Meneladani Kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (Bag. 1)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Kisah di dalam Alquran Al-Karim mengandung pelajaran besar

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

Keutamaan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

Sosok Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, atau tepatnya Rasulullah Ibrahim ‘alaihis salam, adalah sosok yang Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk mengikuti agamanya, dalam ajaran syari’at Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang tidak dihapus dalam agama Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.’” (Qs. An-Nahl: 123)

Mengapa demikian? Karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam merupakan imamul hunafa’ (ahli tauhid). Beliau termasuk ulul ‘azmi minar rusul (para rasul pemilik kekuatan dan ketegaran yang sangat kokoh ‘alaihimush shalatu was salamu). Jumlah mereka hanya 5 rasul berdasarkan surah Al-Ahzab ayat 7. Beliau termasuk khalilullah (salah satu dari dua rasul yang paling dicintai oleh Allah) berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 125 dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim). Dan terkumpul pula pada diri beliau sifat-sifat kesempurnaan manusia berdasarkan surah An-Nahl ayat 120.

Tentunya, derajat beliau tetap di bawah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang paling mulia berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dan ijma’. Namun, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam lebih dahulu menjadi utusan Allah yang terkumpul padanya seluruh sifat-sifat sempurna dan dalam rangka menjaga ajaran Allah yang sebelumnya. Sehingga pantas Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti agamanya.

Nah, insyaAllah di sini kita akan meneladani kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan putra hasil didikan beliau, Nabi Isma’il ‘alaihis salam.

Baca Juga: Kisah Teladan dari Para Ulama Hebat di Bulan Ramadan (Bag. 1)

Berdoa

Senjata seorang mukmin adalah doa. Dengan berdoa, seorang mukmin menjadi kuat dan diberi kekuatan oleh Allah Ta’ala. Sebaliknya, dengan merasa tidak butuh berdoa dan meninggalkan doa, seorang mukmin itu menjadi lemah.

Bagaimana tidak lemah, bukankah Allah sumber segala kekuatan? Sedangkan orang yang tidak mau berdoa, berarti seolah-olah tidak butuh kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أعجزُ الناسِ من عجز عن الدعاءِ

“Manusia paling lemah adalah orang yang lemah dari berdoa kepada Allah.” (HR. At-Thabarani, sahih)

Di dalam surah Ash-Shaffaat ayat 100, dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lama tidak memiliki putra. Namun beliau tidak berputus asa. Beliau terus berdoa, dengan doa yang tidak hanya berisi permohonan kepada Allah berupa anak keturunan saja, namun beliau juga memohon keturunan yang saleh, yang bisa membantunya agar berbahagia di dunia dan di akhirat.

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk anak yang saleh.” (QS. Ash-Shaffaat: 100)

Anugerah putra

Setelah kurang lebih 86 tahun, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak memiliki putra. Allah Ta’ala mengabarkan,

فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ

“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” (QS. Ash-Shaffat: 101)

Sulit dilukiskan bagaimana gembiranya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam setelah beliau tua, menunggu 86 tahun penantian yang panjang, akhirnya memiliki putra. Sehingga wajar jika beliau sangat mencintai putranya. Namun, karena Allah telah memilih beliau sebagai hamba yang paling dicintai dan Allah angkat sebagai imam ahli tauhid, maka Allah menjaga tauhid beliau agar tetap murni dan jangan sampai terkotori dengan kecintaan kepada putranya. Karena sesungguhnya, pokok dasar dari tauhid itu adalah cinta kepada Allah Ta’ala.

Oleh karena itulah, Allah menarbiyah beliau dengan tarbiyah tauhid, yaitu:

Pertama: Perintah berhijrah ke Mekah

Allah perintahkan beliau untuk berhijrah bersama istri dan sang bayi Isma’il dari Palestina ke Mekah. Waktu itu, jarak antara kedua wilayah ini ditempuh selama satu bulan perjalanan. Beliau diperintahkan untuk menaruh keduanya di lembah yang tidak berpenghuni, tidak berair, dan tidak bertanaman. Namun, justru dengan cara itulah tauhid Nabi Ibrahim menjadi sempurna. Karena hal itu tidak bisa terwujud, kecuali dengan tawakal yang sempurna kepada Allah semata! Dan kisah ini terdapat dalam surah Ibrahim ayat 37.

Kedua: Perintah menyembelih putranya melalui mimpi

Allah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim ‘alahis salam melalui mimpi, dan mimpi para nabi itu adalah wahyu. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup beraktifitas bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (QS. Ash-Shaffaat: 102)

Pelajaran tauhid yang besar dalam perintah menyembelih putranya

Tatkala kecintaan yang besar kepada Isma’il telah masuk ke dalam hati salah satu dari hamba yang paling dicintai-Nya, Khalilullah Ibrahim ‘alahis salam, maka Allah pun memerintahkan beliau untuk menyembelih Isma’il. Sehingga keluarlah dari hatinya rasa cinta kepada selain Allah tersebut. Karena jika tidak, cinta tersebut berpotensi mendominasi dan mengotori kecintaannya kepada Allah.

Semua itu karena Allah tidak rida hati hamba yang dicintai-Nya tersebut berpaling kepada selain-Nya. Karena Allah mencintai tauhid dan tidak rida terhadap syirik. Serta agar ibadah cinta, takut, dan harap itu menjadi kontinyu dan terus ditujukan untuk Allah semata, tidak mendua dalam hati hamba-Nya.

Pelajaran besar dari ketaatan sosok remaja yang saleh, Isma’il ‘alahis salam

Ulama berselisih pendapat tentang umur beliau saat peristiwa dimintai pendapat tentang mimpi bapaknya. Ada yang mengatakan 13 tahun dan ada pula yang berpendapat 7 tahun. Wallahu a’lam, pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran adalah 13 tahun.

Berikut ini beberapa pelajaran berharga yang bisa diambil dari peristiwa tersebut:

Pertama: Dalam seusia remaja SMP itu, ia sudah mengetahui bahwa mimpi para nabi itu adalah wahyu Allah yang tentunya hal itu adalah sebuah kebenaran dan mengandung perintah-Nya. Oleh karena itu, ia mengatakan,

يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ

Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu.” Hal ini mengisyaratkan bahwa bapaknya telah berhasil mendidik putranya dengan pendidikan keimanan dan pengetahuan diniyah (agama) yang bagus.

Kedua: Bukan hanya itu, namun Allah mudahkan ayahnya dalam mendidik mental putranya, sehingga menjadi sosok remaja yang tahan banting dalam bentuk bersabar melaksanakan perintah yang sangat berat. Jangankan remaja, orangtua pun pada umumnya tidak sanggup memikulnya. Bukan hanya itu, anak saleh Isma’il juga terdidik rela berkorban, bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun.

Dengan tegarnya remaja saleh Isma’il merespon ayahandanya,

قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Jika kita ingin mendapatkan generasi yang tahan banting, maka janganlah hanya memikirkan sisi fisik pendidikan anak, namun juga perhatian yang besar dan proposional terhadap tarbiyah imaniyah ruh spiritual. Karena berapa banyak anak yang disekolahkan di lembaga pendidikan (sekolah, pondok, atau universitas) berfasilitas mewah, semewah hotel yang kokoh menjulang tinggi. Namun sayangnya, banyak mental spiritual output (luaran) lulusannya tidak sekokoh bangunan sekolahnya, bahkan iman, ilmu, dan amalnya masih rapuh.

Ini bisa jadi menandakan perhatian pengembangan fisik dan profit (bisnis pendidikan), serta hal-hal yang sifatnya aksesoris lebih besar dibandingkan dengan perhatian terhadap mutu pendidikan, baik dari sisi ilmiyah, amaliyah, maupun imaniyah.

Ketiga: Cara Khalilullah Ibrahim ‘alahis salam membangun komunikasi dengan putra remajanya adalah dengan memposisikan putranya sebagai teman akrab dan menggunakan cara dialogis untuk mengkondisikan agar ia siap menerima perintah Allah yang sangat berat, bukan hanya di luar kemampuan rata-rata remaja seusianya, bahkan di luar kemampuan rata-rata manusia!

Jika kita ingin melahirkan generasi yang cerdas dan pemberani, maka pupuklah suasana dialogis dan musyawarah serta dudukkan mereka sebagai teman. Ketika usia remaja, psikologis mereka akan menerima perlakuan tersebut sebagai bentuk pengakuan jati diri dan kedewasaan serta pemuliaan yang menggali kecerdasan dan keberaniannya. Di usia tersebut, mereka sangat berkeinginan menampakkan potensi dirinya. Sehingga jika banyak dipaksa, maka dikhawatirkan akan memberontak.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77101-meneladani-kehidupan-nabi-ibrahim-dan-nabi-ismail-bag-1.html

Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim as

BULAN Dzulhijjah meru­pakan bulan istimewa bagi umat Islam. Di dalamnya, umat Islam melaksanakan ibadah haji, kurban, dan mendirikan shalat Idul Adha seraya mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil.

Menariknya, rangkaian ibadah itu erat kaitannya dengan kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim AS. Jika diper­hatikan, keluarga Nabi Ib­rahim merupakan salah satu profil keluarga ideal yang dikisahkan dalam Alquran.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim AS. Di anta­ranya, pertama: ketelanan Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah. Dalam keluaganya, Nabi Ibrahim adalah kepala keluarga. Ia membina keluar­ganya sesuai dengan tuntunan Allah.

Sebagai suami, Ibrahim berlaku adil kepada istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar, taat kepada Nabi Ibrahim. Ketaatan istri terse­but tentu tidak terlepas dari kemuliaan pribadi dan keta­atan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT.

Hal ini mengajarkan kepa­da kita bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami harus mampu menam­pilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, berkepribadian luhur, cinta pada keluarga, dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.

Akan sulit bagi seorang suami yang menginginkan istrinya taat dan shalehah, sementara suami sendiri memiliki akhlak yang buruk. Akan sia-sia jika suami lebih menginginkan istrinya beru­bah ke arah yang lebih baik, sementara pribadi sang sua­mi tersebut tidak pula mampu mengubah kebiasaan-kebia­saan buruk yang ia lakukan. Sejatinya, ubahlah diri sendiri, maka Allah akan memper­mu­dah jalannya untuk mengubah orang-orang yang dipimpinnya, termasuk istri dan anak-anaknya.

Sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim AS tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang, demokratis, dan menjadi teladan. Perhati­kanlah dialog Nabi Ibrahim ketika menjalankan perintah Allah untuk menyembelih Ismail.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibra­him, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang dipe­rintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapa­tiku termasuk orang-orang yang sabar” (Qs. ash-Shaffat/37: 102).

Dalam dialog yang dike­mu­kakan Alquran di atas, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi dan anaknya dan bersifat demokratis. Sifat kasih sayang itu tergambar dari pilihan kata yang diguna­kannya ketika menyeru buah hatinya: ya bunayya (hai anakku). Penggunakan kata ya bunayya merupakan pang­gi­lan penuh kasih sayang kepada anaknya.

Kemudian, Ibrahim me­min­ta pendapat kepada anak­nya ketika diperintah untuk menyembelih sang anak terse­but. Tampak jiwa demokratis seorang ayah yang sebe­lum­nya telah berupaya mena­namkan nilai-nilai pendidikan yang baik kepada Ismail.

Jangankan mengajak un­tuk kebaikan yang mengun­tungkan secara lahiriah, keti­ka diajak untuk mengor­bankan nyawa sekali pun, sang anak rela tanpa protes. Kita tentu bertanya, upaya apa yang dilakukan oleh Ibrahim sehingga anaknya setaat itu?

Semua itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan ketela­danan yang dilakukan oleh Nabi Ibarahim. Alquran me­nga­­badikan doa Nabi Ibrahim,rabbi habli minashshalihin, Wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shaleh (Qs. ash-Shaffat/37: 100).

Hal ini mengajarkan kepa­da kita agar senantiasa ber­doa untuk memperoleh anak yang shaleh. Anak adalah amanah. Ia bisa menjadi fitnah (al-Anfal/8: 28). Karena itu, berdoa dan berlindunglah kepada Allah agar kita diberi kekuatan dan kemampuan untuk mendidik anak yang shaleh sehingga ia tidak men­jadi fitnah yang merugi­kan.

Doa itu juga diiringi de­ngan usaha. Usaha itu bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam memilih jodoh. Siti Hajar, meskipun berkulit hitam, berstatus budak, tetapi imannya teguh, akhlaknya mulia, taat bera­gama dan patuh pada suami­nya.

Usaha seperti ini juga diajarkan dalam Alquran. Allah menegaskan bahwa seorang budak yang beriman jauh lebih berharga dari pada seseorang yang musyrik, mes­ki­pun menarik hati (Qs. al-Baqarah/2: 221).

Karena itu, jika mengi­nginkan anak yang shaleh, mulailah dari memilih jodoh. Jika istri yang dipilih biasa mengabaikan perintah Allah, bagaimana mungkin ia akan mampu mendidik anak yang shaleh. Bukankah ibu merupa­kan guru pertama bagi seorang anak?

Nabi Ibrahim juga men­jadi teladan bagi anaknya. Ibrahim membawa Ismail untuk membangun Ka’bah lalu berdiam di sekitarnya (Qs. Ibrahim/14: 37). Nabi Ibrahim memberi contoh secara lang­sung bagaimana cara beri­badah kepada Allah, bukan sekedar nasihat.

Upaya ini sejatinya kita teladani dengan konsisten menjadi contoh yang baik kepada anak keturunan kita; bukan sekedar menceritakan contoh kebaikan saja.

Kedua, profil Siti Hajar sebagai ibu yang pendidik. Siti Hajar memainkan perannya sebagai ibu yang bertanggung jawab dalam mendidik anak­nya. Ia seorang ibu yang tang­guh, pantang menyerah dan tak kenal putus asa.

Ketika bayinya meronta kehausan, Siti Hajar berlari-lari mencari air. Dari Shafa ke Marwa, berulang-ulang untuk mencari air demi me­me­­nuhi kebutuhan jasmaniah anaknya. Peristiwa itu kemu­dian diabadikan dalam ritual ibadah Sa’i ketika Haji dan Umrah.

Siti Hajar juga menyerang Iblis dengan lontaran batu ketika Iblis mencoba untuk merusak ruhaniyah anaknya agar menolak keputusan Ibrahim menyembelih Ismail atas perintah Allah. Lontaran batu itu juga menjadi ibadah melontar jumrah dalam iba­dah Haji.

Hal ini menunjukkan bah­wa Siti Hajar melindungi fisik dan ruhaniyah anaknya. Siti Hajar menjadi pendidik perta­ma dan laksana sekolah bagi anaknya. Al-Ummu Madrasah, Ibu adalah sekolah.

Siti Hajar juga menampil­kan dirinya sebagai sosok istri yang patuh pada suami dan taat kepada Allah. Meskipun terasa berat menerima kepu­tusan Ibrahim untuk taat pada perintah Allah agar menyembelih putra semata wayangnya, tetapi demi kepa­tuhannya kepada sang suami dan ketaatannya pada Allah, Siti Hajar rela tanpa banta­han sekecil apa pun.

Sikap ini seharusnya dite­la­dani oleh setiap istri. Seorang istri harus patuh pada suami selagi tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah SWT.

Ketiga, profil Nabi Ismail sebagai anak shaleh. Nabi Ismail tidak membantah perintah ayahnya. Malah Ismail menguatkan hati ayah­nya agar tabah menjalankan perintah tersebut. Ia berkata: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepa­da­mu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Kesalahen Ismail sejatinya menjadi inspirasi dan taula­dan bagi generasi muda saat ini. Seorang pemuda harus siap berkorban apa saja untuk berbakti kepada orang tua. Waktu, pikiran, tenaga, bah­kan jiwanya sekali pun ia korban­kan demi baktinya pada orang tua sehingga mereka bangga memiliki anak seperti dia. Namun kepatuhan pada orang tua itu tidak boleh berten­tangan dengan perintah Allah.

Seorang anak harus bang­ga melihat orang tuanya taat kepada Allah, meskipun harus mengorbankan hal-hal yang dicintainya di dunia ini. Karena itu, seorang anak perlu pula memberi dukungan dan semangat kepada orang tuanya agar tetap konsisten mene­gakkan kebenaran.

Dengan begitu ketaatan dan kemuliaan pribadi sang anak akan memberi energi positif kepada orang tuanya. Inilah kebanggan orang tua yang tak ternilai harganya.

Kepatuhan, ketaatan, pe­ngor­banan, dan keteladanan merupakan kata kunci dari keberhasilan keluarga Nabi Ibrahim as. Karena itu, Allah menganugerahkan keba­ha­giaan pada keluarganya. Bahkan melalui istri pertama, Siti Sarah, juga melahirkan Ishaq yang kelak juga menjadi nabi.

Semua itu pun disyukuri oleh Nabi Ibrahim a.s. “Sega­la puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq”. Namun rasa syukur itu tetap diringi dengan kepas­rahan sepenuh hati kepada Allah seraya berdoa: Ya Tu­han­ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku (Ibrahim/14: 39-40).

Sejatinya, pelaksanaan Hari Raya Idul Adha/Hari Raya Kurban di tahun ini, menjadi momentum bagi kita untuk mengevaluasi keluarga kita masing-masing. Kisah teladan Nabi Ibrahim hendak­nya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, da­lam ridha Allah SWT. Amin. [MuhammadKosim/Haluan]

 

sumber: Islam Pos