Adakah Nabi dari Kalangan Wanita?

Pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ini

Yang menjadi pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ini adalah bahwa tidak ada Nabi dari kalangan wanita.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Yang menjadi pendapat ahlus sunnah wal jama’ah, dan pendapat ahlus sunnah ini telah disebutkan oleh Syekh Abul Hasan ‘Ali bin Isma’il Al-Asy’ari rahimahullah, bahwa tidak ada Nabi dari kalangan wanita. Yang ada dari kalangan wanita adalah shiddiqah. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala tentang wanita yang paling mulia, yaitu Maryam binti ‘Imran, ketika Allah Ta’ala berfirman,

مَّا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ

“Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar.” (QS. Al-Maidah [5]: 75)

Allah Ta’ala mensifati (Maryam) dalam kedudukan yang paling mulia, yaitu sebagai shiddiqah. Seandainya beliau adalah Nabi wanita, tentu akan disebutkan dalam posisi pemuliaan dan pengagungan tersebut. Maka beliau (Maryam) adalah shiddiqah berdasarkan dalil tegas dari Al-Qur’an.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 423)

Ahlus sunnah juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِم مِّنْ أَهْلِ الْقُرَى

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf [12]: 109)

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala berfirman menyebutkan Nabi Muhammad, “Kami tidak mengutus sebelum kamu, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali orang laki-laki, bukan wanita, dan bukan pula malaikat.” (Tafsir Ath-Thabari, 16: 293)

Pendapat yang menyelisihi ahlus sunnah

Terdapat pendapat yang menyelisihi ahlus sunnah dalam masalah ini, yaitu yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dan Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahumallah. Di antara yang dianggap sebagai Nabi dari kalangan wanita adalah Sarah istri Nabi Ibrahim, ibunda dari Nabi Musa, Maryam ibunda dari Nabi Isa, dan Asiyah istri Fir’aun.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata setelah menetapkan adanya kenabian bagi kaum wanita dan di antara Nabi wanita adalah Maryam ‘alaihassalam, “Dan firman Allah Ta’ala,

وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ

“Dan ibunya seorang yang sangat benar”; tidaklah artinya melainkan bahwa Maryam adalah Nabi wanita.” (Al-Fashlu fil Milali wal Ahwaa’ wan Nihal, 5: 13)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

“Pendapat yang benar bahwa Maryam adalah seorang Nabi wanita.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4: 83)

Pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dapat disanggah dengan perkataan Ibnu Katsir rahimahullah yang telah kami kutip sebelumnya. Yaitu jika memang benar bahwa Maryam adalah seorang Nabi tentu akan disebutkan dalam ayat tersebut, karena ayat tersebut sedang berbicara tentang kemuliaan ibunda Maryam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam rangka menyanggah pendapat Ibnu Hazm,

“Abu Muhammad (yaitu Ibnu Hazm), beliau adalah ulama yang luas ilmunya dan juga menyampaikan banyak faidah ilmu yang agung. Akan tetapi, selain memiliki perkataan-perkataan baik dan brilian yang mengagumkan, beliau juga memiliki perkataan-perkataan munkar dan syadz (ganjil) yang mengherankan. Salah satu contohnya adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa Maryam adalah seorang Nabi wanita. Telah disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Bakr, Al-Qadhi Abu Ya’la, Abul Ma’alai, dan selain mereka, adanya ijma’ (ahlus sunnah) bahwa tidak ada Nabi dari kalangan wanita.” (Majmu’ Al-Fataawa, 4: 396)

Ulama yang mengatakan bahwa ada Nabi dari kalangan wanita juga berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

كَمَلَ مِنْ الرِّجَالِ كَثِيرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Manusia yang sempurna dari kalangan laki-laki sekian banyak, namun tidak ada manusia sempurna dari kalangan wanita melainkan Maryam binti ‘Imran, Asiyah, dan istrinya Fir’aun.” (HR. Bukhari no. 3769)

Cara berdalil seperti ini dapat disanggah bahwa kata “sempurna” tidaklah otomatis menunjukkan bahwa Nabi bisa berasal dari kalangan wanita. Hal ini karena yang dimaksud dengan “sempurna” dalam hadits tersebut adalah mencapai puncak keutamaan dan kemuliaan yang sesuai dengan kondisi (kodrat) para wanita. (Lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar, 6: 447)

Juga sebagian mereka menyangka bahwa ada Nabi dari kalangan wanita karena sebagian wanita mulia tersebut mendapatkan kabar berita dari malaikat. Sebagaimana kepada ibu dari Nabi Musa ‘alaihis salaam dalam firman Allah Ta’ala,

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ

“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia”.” (QS. Al-Qashash [28]: 7)

Juga malaikat datang kepada ibunda Maryam dan memberikan kabar tentang ‘Isa ‘alaihis salaam,

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاء الْعَالَمِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 42)

Anggapan ini pun bisa disanggah bahwa semata-mata mendapatkan kabar berita dari malaikat tidaklah otomatis menunjukkan bahwa para wanita mulia tersebut diangkat menjadi Nabi. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4: 423)

Kesimpulan dalam masalah ini

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah sebagaimana aqidah ahlus sunnah wal jama’ah bahwa tidak ada Nabi dari kalangan wanita. Adapun perkataan yang menyelisihi pendapat tersebut adalah pendapat yang syadz (ganjil) yang tidak boleh dianggap.

An-Nawawi rahimahullah berkata setelah mengutip perkataan Al-Qadhi ‘Iyadh, “Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keduanya (yaitu Asiyah istri Fir’aun dan Maryam) adalah Nabi adalah pendapat yang dha’if. Dan sejumlah ulama telah mengutip ijma’ bahwa keduanya bukanlah Nabi.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 15: 199)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Perkataan ini (bahwa ada Nabi dari kalangan wanita) adalah perkataan syadz yang tidak pernah dikatakan oleh satu pun para ulama salaf.” (Majmu’ Al-Fataawa, 4: 396)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/61632-adakah-nabi-dari-kalangan-wanita.html

Pernahkah Rasulullah Bersalah?

Khazanahalquranmenulis, bahwa sebagian orang meyakini bahwa Rasulullah saw pernah melakukan kesalahan.

Mereka berpendapat bahwa beliau maksum (terjaga dari salah dan dosa) hanya ketika diutus sebagai nabi, sebelum itu beliau dikatakan “tidak terjaga” dan bisa saja melakukan kesalahan. Bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa Nabi Muhammad itu tidak beriman sebelum menjadi nabi.

Untuk mencari jawaban dari pernyataan ini, marilah kita renungkan sejenak ayat-ayat berikut ini.

Sejak Nabi Musa as lahir, Allah telah Merencanakan skenario yang begitu indah untuk menyelamatkan nabi-Nya dari keganasan Firaun.

Dia Memerintahkan ibu Musa untuk menghanyutkannya di sungai hingga diselamatkan oleh istri Firaun sendiri. Hingga dewasa pun, Firaun tidak pernah mampu menggagalkan dakwah Nabi Musa kepada umatnya.

Semua ini dapat terjadi karena Musa berada langsung dibawah pengawasan dan penjagaan Allah swt. Seperti dalam Firman-Nya,

“Dan agar engkau (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS.Thaha:39)

Sekarang kita mulai akan menyimpulkan bahwa ternyata Nabi Musa as telah berada dalam “penjagaan” dan “pengawasan” Allah sejak masih bayi. Sementara kita tau bahwa Nabi termulia dari deretan para Nabi adalah Nabi Muhammad saw.

Mungkinkah Nabi Musa berada dalam pengawasan Allah sejak bayi sementara Nabi Muhammad baru memdapatkannya setelah menjadi Nabi?

Mungkinkah Nabi Musa “dijaga” oleh Allah sejak awal kelahirannya sementara Nabi Muhammad baru mendapat penjagaan setelah diutus sebagai Rasul?

Sungguh hal yang mustahil

Karena Allah pun menggunakan kata yang sama seperti yang digunakan kepada Nabi Musa, yaitu dengan kata (dibawah “Penglihatan” atau “Pengawasan”-Ku) seperti dalam Firman-Nya,

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu Ketetapan Tuhan-mu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (QS.At-Thur:48).

Jika Nabi Musa dibawah pengawasan Allah sejak bayi, maka Nabi Muhammad pasti mendapat kemuliaan yang lebih agung dari Musa. Beliau telah terjaga dari segala kesalahan, bahkan ketika masih kanak-kanak dan belum diutus sebagai Nabi.

Bagaimana Nabi Muhammad akan melakukan kesalahan sementara beliau adalah Makhluk termulia dan Ciptaan paling sempurna yang telah mendapat stempel dari Allah sebagai Uswatun Hasanah, contoh bagi seluruh umat manusia.”Allah telah mendidikku dan itulah sebaik-baik didikan” (Rasulullah saw).

Dalam berbagai Firman-Nya, Allah selalu Mengagungkan Nabi Muhammad saw. Lalu mengapa kita pelit untuk mengagungkan seorang yang telah Diagungkan oleh Allah dengan kemuliaan yang tak terhingga?

 

INILAH MOZAIK

Mengapa Nabi SAW Lahir di Arab?

Kita memang perlu menelisik hikmah ilahiah di balik pemilihan Semenanjung Arab, bukan bagian dunia yang lain, sebagai tempat diangkatnya Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul. Kemudian, menggali hikmah di balik terpilihnya masyarakat Arab sebagai bangsa pertama yang diserahi tanggungjawab untuk memikul dakwah Islam.

Untuk itu, pertama, kita harus mengenal karakter dan ciri khas bangsa Arab sebelum kelahiran Islam. Selain itu, kita harus mengetahui gambaran geografis kawasan yang mereka diami, termasuk posisinya di antara beberapa daerah yang mengelilinginya. Bahkan, kita harus memiliki gambaran tentang berbagai bangsa lain yang ada pada saat itu, seperti Persia, Romawi, Yunani, dan India termasuk termasuk tradisi yang berkembang, kebiasaan, dan ciri khas peradaban masing-masing.

Saat itu, di dunia terdapat dua bangsa besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi. Selain itu, ada pula Yunani dan india.

Kala itu, Persia menjadi tempat pertarungan berbagai pandangan agama dan filsafat. Di wilayah ini terdapat aliran Zoroaster yang dianut para penguasa. Salah satu ajarannya adalah menganjurkan setiap laki-laki untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya. Bahkan, Raja Yazdajird II yang berkuasa pada pertengahan abad kelima Masehi menikahi putri kandungnya sendiri. Ajaran aneh ini hanya salah satu dari sekian banyak ajaran agama Zoroaster yang benar-benar menyimpang dari akal sehat. Akan tetapi, tentu bukan di sini tempatnya untuk membeberkan semua itu.

Selain itu, di Persia juga terdapat kepercayaan Mazdakiah. Menurut imam Al-Syahristani, agama ini setali tiga uang dengan Zoroaster; sama-sama aneh. Salah satu ajarannya adalah menghalalkan semua wanita dan harta yang ada di dunia ini. Dalam pandangan mereka, manusia adalah milik bersama, sebagaimana air, api, dan harta. Agama sesat ini mendapatkan banyak pengikut dari kalangan sesat yang gemar menuruti dan mengumbar hawa nafsu.

Sementara itu, imperialisme Romawi mencengkeram kuat. Kerajaan besar ini terlibat konflik berkepanjangan dengan kaum Nasrani Syria dan Mesir. Berbekal kekuatan militer yang mereka miliki, Romawi mengobarkan semangat imperialisme ke penjuru dunia, Salah satu misinya adalah menyebarkan ajaran Kristen yang telah dimodifikasi sesuai keinginan mereka.

Sebagaimana Persia, Romawi juga pernah “sakit keras”. Pada saat itu, hampir seluruh wilayah Romawi dilanda kesulitan. Ketimpangan ekonomi muncul dalam bentuk penindasan dan pajak yang mencekik kebanyakan rakyat.

Adapun Yunani kala itu masih tenggelam dalam kubangan takhayul dan mitologi teologis yang menjebak penduduknya dalam debat kusir yang tidak bemanfaat.

Sementara itu, tentang India dinyatakan Prof. Abu Hasan Al-Nadwi sebagai berikut. Semua penulis sejarah India sepakat menyatakan, sejak paruh awal abad itulah, akhirnya mereka banyak yang tersesat. Mereka tega membunuh anak-anak perempuan dengan dalih menjaga kehormatan. Mereka rela mengeluarkan harta secara berlebihan demi mengejar kemuliaan. Mereka juga tak segan untuk saling membunuh satu sama lain demi menjaga harga diri.

Kondisi seperti inilah yang digambarkan Allah Swt. dalam firmanNya, “… dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat,” (QS Al-Baqarah [2]: 198).

Ayat ini lebih merupakan petunjuk bahwa kesesatan bangsa Arab rupanya lebih dapat “dimaafkan” dibandingkan bangsa lain kala itu, bukan untuk menunjukkan kebodohan atau penghinaan terhadap mereka. Alasannya, bangsa lain tenggelam dalam kemerosotan moral, padahal mereka di tengah obor peradaban dan tamadun yang terang-benderang. Kelebihan yang mereka miliki justru memerosokkan mereka ke dalam jurang kerusakan.

Sementara itu, secara geografis, Semenanjung Arab terletak tepat di antara semua bangsa yang tengah bergejolak.

Prof. Muhammad Al-Mubarak menyatakan, siapa pun yang melihat Semenanjung Arab pasti akan melihat bahwa wilayah ini memang terletak tepat di tengah-tengah dua peradaban besar: peradaban Barat materialis yang menciptakan potret manusia dalam bentuk yang sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran dan peradaban spiritual-khayali yang berpusat di Timur, seperti India dan Cina.

***

Melalui gambaran kondisi bangsa Arab dan bangsa lain di sekitarnya sebelum Islam, kita dapat dengan mudah mengungkap hikmah ilahiah yang tersembunyi di balik ketetapan Allah Swt. memilih Semenanjung Arab, bukan wilayah yang lain, sebagai tempat kelahiran Rasulullah Saw. sekaligus pengangkatan beliau sebagai utusan-Nya. Allah SWT. menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa pertama yang menerima dakwah agung ini. Dari kalangan merekalah yang pertama dititahkan Allah untuk menebarkan dakwah islam ke seluruh penjuru bumi agar semua manusia menyembah Allah SWT.

Banyak orang berpendapat, pemeluk agama sesat dan pemuja peradaban yang rusak akan sulit diobati sebab mereka memandang baik kerusakan yang menjangkiti diri mereka, bahkan membanggakannya. Adapun mereka yang berada dalam fase pencarian akan lebih mudah menerima kebodohan karena tidak akan membanggakan tamadun atau peradaban yang mereka sendiri belum mencapainya. Kelompok yang kedua ini tentu lebih mudah untuk diobati dan diarahkan. lni tentu bukan hikmah ilahiah yang kita maksud karena analisis seperti ini hanya pantas dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan terbatas dan jengah bersusah-payah.

Kalau saja Allah SWT. berkehendak menjadikan Islam lahir di tempat lain, seperti Persia, Romawi, atau India, pastilah Dia menyiapkan segala sesuatu yang mendukung keberhasilan dakwah di sana, sebagaimana yang Dia siapkan di Semenanjung Arab. Demikian itu tidaklah sulit bagi Allah SWT karena Dialah Zat Yang Maha Menciptakan segala sesuatu.

Hikmah terpilihnya Semenanjung Arab ini senada dengan hikmah terpilihnya Rasulullah yang ummi alias tidak dapat membaca dan menulis. Bagi Allah, demikian itu bisa jadi agar manusia tidak meragukan misi kenabian yang diemban Muhammad SAW. Selain itu, Allah SWT. mengunci mati semua pintu keraguan terhadap keabsahan dakwah Rasulullah SAW.

Hal lain yang turut menyempurnakan hikmah ilahiah yang sedang kita bicarakan ini ialah, lingkungan tempat tinggal rasul yang buta huruf itu memang seharusnya lingkungan yang juga ”buta huruf”, berbeda dengan semua bangsa yang ada di sekitarnya. Maksudnya, bangsa Arab kala itu adalah bangsa yang belum ”terkontaminasi” peradaban yang ada di sekelilingnya. Pikiran mereka belum dicemari berbagai macam filsafat yang tidak jelas ujung-pangkalnya.

Hikmah ilahiah lainnya adalah menyingkirkan keraguan dari dada semua manusia. Tidaklah mudah untuk dipercaya, andaikata nabi yang diutus Allah SWT. dari kalangan terpelajar yang menguasai kitab-kitab kuno, sejarah bangsa-bangsa purba, dan peradaban di sekitarnya. Di samping itu, Allah SWT. juga ingin menyingkirkan keraguan manusia, seandainya dakwah islam lahir di tengah bangsa ‘ berperadaban tinggi dan memiiiki pemikiran filsafat yang sudah terbangun, semisal Persia, Yunani, atau Romawi. Jika itu terjadi, pasti akan muncul banyak ”setan” yang menyangkal kenabian Muhammad Saw. Mereka akan menuduhnya sebagai upaya eksperimental-kebudayaan atau sebagai salah satu pemikiran lilsafat belaka.

Berkenaan dengan hikmah Ilahiah ini, Al-Qur’an secara gamblang menyatakan, ”Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (AI-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS Al-Jumu’ah [62]: 2).

Memang sudah kehendak Allah untuk memilih utusan yang buta huruf. Adalah kehendak-Nya memilih tempat kelahiran rasul pilihan-Nya di tengah bangsa yang sebagian besar masyarakatnya buta huruf. Tujuannya agar mukjizat kenabian dan syariat islam dapat menyala terang di dalam dada setiap insan, tanpa harus dikotori berbagai paham dan ajaran karsa kreatif manusia. Hal ini menunjukkan, betapa besar rahmat Allah SWT.  bagi hamba-hamba-Nya. Wallahua’ lam. [Paramuda/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH