Beberapa Sebab Kita Sulit Mendengar Nasihat? (1)

PADA tulisan sebelumnya telah dibahas beberapa penyebab mengapa kita sering kali enggan untuk menerima nasihat dari orang lain, seperti sikap arogan, cara yang salah, dan waktu yang tidak tepat.

Seperti dikutip dari productivemuslim.com (14/3/2016), penyebab lainnya serta cara yang perlu dilakukan untuk mengatasi tersebut, sehingga kita dapat lapang dada mendengar segala nasihat adalah sebagai berikut.

1. Malas dan Ketakutan Akan Kesalahan

Ya, benar! Meskipun kita hadir di kajian-kajian dan memperoleh berbagai nasihat, tidak jarang itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Kita terlalu malas untuk keluar dari zona nyaman kita untuk melakukan sesuatu yang baru, sehingga kita tak kunjung memperbaiki diri.

Akhiri kemalasan yang melanda! Yakinkan bahwa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita harus memperbaiki atas kebiasaan dan sikap kita saat ini. Dengan adanya kemauan untuk berubah menjadi yang lebih, insya Allah kita pun akan lebih siap dan senang mendengar nasihat seseorang. Karena kita telah bertekad, bahwa kita akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

2. Kesenjangan Generasi

Jika kita mendengar nasihat dari orangtua, kita cenderung untuk berkata, “Apa yang mereka tahu tentang masalah yang saya hadapi sekarang?” Jika kita mendengar nasihat dari orang yang lebih muda, kita cenderung berkata, “Bisa-bisanya dia menasihati saya, padahal dia masih muda dan tidak berpengalaman.” Akhirnya, tidak ada nasihat dari siapapun yang mau kita dengar.

Sadarilah, bahwa mereka yang memberikan nasihat kepada kita adalah orang-orang yang masih menyayangi kita. Orangtua, kakak, adik, saudara, kerabat, sahabat, pasangan, dll. Jangan memandang apakah mereka orang yang sudah tua atau jauh lebih muda dari kita.

Terlebih jika itu datang dari ayah atau ibu, meskipun nasihatnya tampak tidak sesuai dengan permasalahan yang kita hadapi saat ini, bersabarlah dan tetap terima dengan baik. Sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, san ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al Isra [17]: 23)

Mari kita ingat kisah para sahabat. Mereka meninggalkan adat dan kebiasaan lamanya setelah memeluk Islam. Sepanjang waktu mereka menerima berbagai nasihat agar menjadi muslim yang lebih baik. Bayangkan jika mereka berhenti menerima nasihat seperti apa yang mereka lakukan, apakah mereka akan menjadi mereka yang dicintai Allah? Tentuk tidak. Mereka dicintai Allah Rasul-Nya karena mereka senantiasa mendengar dan menuruti nasihat-nasihatnya. Mereka menjadi orang-orang penting yang di kemudian hari memberikan kejayaan Islam di masanya. Mereka adalah contoh nyata bahwa menerima nasihat adalah sesuatu yang akan membawa kebaikan bagi kita pribadi maupun orang lain.[An Nisaa Gettar]

 

 

Nasihat Utsman Bin Affan untuk Kita

Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. Ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonomi yang handal namun sangat dermawan.

Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu.

Rasulullah S.A.W sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Utsman bin Affan juga banyak memberikan nasehat tentang kehidupan bagi umat muslim.

Dalam buku Kepemimpinan dan Keteladanan Utsman bin Affan yang ditulis oleh Fariq Gasim Anuz menyebutkan di antara nasihat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, yaitu:

1.  Untuk Lebih Memikirkan Urusan Akhirat Ketimbang Urusan Dunia.

“Kesedihan karena memikirkan urusan dunia dapat menggelapkan hati, sedangkan kesedihan karena memikirkan urusan akhirat bisa menerangi hati.”(Dalam Nasha ’Ihul ‘Ibad, Syaikh Nawawi Al Bantani)

2.  Perbanyak Berdzikir Tanda Orang Bijak.

“Di antara tanda-tanda orang yang bijaksana ialah: Hatinya selalu dipenuhi dengan dzikrullah, kedua matanya menangis karena penyesalan terhadap dosa, segala perkara dihadapinya dengan sabar dan tabah, serta lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.”

3.  Mendapatkan Nikmat Dalam Beribadah

“Aku menemukan kenikmatan beribadah dalam emapt hal, yaitu:
•    Ketika mampu menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah.
•    Ketika mampu menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
•    Ketika mampu melakukan amar ma’ruf dan mencari pahala dari Allah.
•    Ketika mampu melakukan nahi munkar daan menjaga diri dari murka Allah.”
(Nasha’ihul ‘Ibad, Syaikh Nawawi Al Bantani)

4.  Memanfaatkan Kehidupan Ini Dengan Melakukan Kebaikan.

“Ingatlah, kalian berada di tempat yang terus berubah. Manfaatkanlah sisa umur kalian dengan baik. Bersiaplah menjemput ajal sebaik mungkin. Dan jangan lupa, kematian pasti datang menjemput pada waktu yang tak terduga. Ketahuilah, dunia ini dibentangkan penuh dengan tipuan.

5. Belajar Dari Sejarah

“Belajarlah dari pengalaman generasi sebelum kalian, bersu gguh-sungguhlah dan jangan melupakan agar kalian tidak dilupakan. Dimana para penghuni dunia yang memakmurkan dan menikmatinya dalam waktu cukup panjang? Jauhilah dunia ini sebagaimana Allah telah menghamparkannya, dan carilah keuntungan akhirat. Allah telah membuat perumpamaan untuk itu.

 

REPUBLIKA

Ingatlah Nasihat, Lupakan Pujian yang Menjatuhkan

SELALULAH ingat orang yang pernah menolongmu, lupakan orang yang pernah engkau tolong. Selalulah ingat dosa-dosa yang telah kau lakukan, lupakan menghitung pahala yang telah kau kumpulkan. Selalulah ingat nikmat surga saat kau dapati keletihan dan beratnya menjaga iman dan amal, lupakan lezat dan keindahan maksiat berbanding dengan pedihnya azab akhirat.

Selalulah ingat orang yang pernah engkau sakiti, lupakan orang yang pernah menyakitimu. Selalulah ingat, nikmat-nikmat yang pernah kau dapatkan, lupakan duka dan luka yang pernah kau rasakan. Selalulah ingat orang-orang yang pernah mengajarimu, lupakan orang-orang yang pernah engkau ajari.

Selalulah ingat harta yang belum engkau sedekahkan, lupakan harta yang telah engkau infakkan. Selalulah ingat orang-orang yang kekurangan dan ditimpa nestapa, lupakan khayalan-khayalanmu tentang orang-orang yang diberi kelebihan dunia.

Selalulah ingat ilmu yang belum kau amalkan, lupakan amal dari ilmumu yang telah engkau laksanakan. Selalulah ingat akhirat yang kian dekat mendatangimu, lupakan dunia yang telah pergi meninggalkanmu. Selalulah ingat istri/suamimu yang halal bagimu dan setia mendampingimu, lupakan laki-laki/wanita yang haram bagimu dan berupaya merayumu serta memikat hatimu.

Selalulah ingat bayang-bayang keberhasilan dari kerja kerasmu, lupakan bayang-bayang kegagalan yang pernah menghampirimu. Selalu ingatlah nasihat dan kritik membangun untukmu, lupakan pujian sanjungan yang dapat menjatuhkanmu. Wallahu A’lam.

 

[Ust. Abdullah Haidir Lc.]

INILAH MOZAIK

 

 

——————————————-

Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini! 

An-Nashihat li ar-Ra’i wa ar-Ra’yat, Islam Pandang Penting Nasihat

Dalam Islam, nasihat menduduki posisi dan peranan penting. Dalam surah al-Ashr (103) ayat 3 ditegaskan bahwa berwasiat kepada sesama merupakan cara agar terhindar dari golongan orang-orang yang merugi.

Al-Khuthabi memastikan hampir tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan sebuah pesan, kritik, ataupun masukan, selain nasihat.  Karenanya, apabila merujuk kepada sejumlah referensi kamus Arab, kata nasihat adalah lafal bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.

Temuan al-Mazuri setidaknya menguatkan fakta tersebut. Menurut dia, kata nasihat berasal dari kata nashaha yang berarti bersih atau merajut dengan sebuah benang. Kata nasihat juga tercantum dalam sebuah hadis riwayat Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daari.

Hadis itu menjelaskan bahwa inti agama adalah nasihat. Menurut sebagian ulama, kedudukan hadis tentang nasihat sebagai inti agama menempati seperempat dari agama, seperti yang ditegaskan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi.

Bahkan, Imam an-Nawawi menyebut hadis itu sebagai satu-satunya jalan menggapai maksud agama. Sebab, menurutnya, hakikat tujuan-tujuan agama terangkum dalam  empat kategori nasihat.

Dalam hadis itu diterangkan ada beberapa kategori peruntukan nasihat. Pertama, nasihat kepada Allah, berupa taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, nasihat untuk kitab suci Alquran, dengan mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ketiga, nasihat bagi Rasul-Nya, yakni mengikuti dan menerapkan sunah yang pernah dicontohkannya.

Keempat, nasihat bagi para pemimpin dan umat Islam secara keseluruhan. Dalam konteks nasihat bagi pemimpin dan umat Islam yang terakhir inilah, tercatat sejumlah karya berupa kitab tentang nasihat kepada pemimpin dan rakyat telah ditulis oleh para ulama.

Al-Mawardi pernah menulis kitab bertajuk Nashihat al-Muluk dan Nashihat al-Ikhwan. Kitab yang sama juga pernah disusun Abu Bakar al-Hanbali dengan judul Tajannub al-Fadlihah fi Taqdim an-Nashihat.

Abu al-Khair Badar ad-Din bin Abu al-Ma’mar bin Ismail at-Tabrizi (636 H) adalah satu dari sekian cendekiawan Muslim yang mempunyai kepedulian akan pentingnya sebuah nasihat. Ulama terkemuka itu menuliskan kitab yang berisi pesan-pesan dan wasiat yang pernah disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabat semasa hidupnya.

Menurut analisis at-Tabrizi, di antara sunatullah adalah menetapkan umat manusia, ada yang menjadi rakyat dan pemimpin. Fungsi pemimpin, menurut dia, mengarahkan dan menjaga rakyat agar tetap berada dalam koridor keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan, baik dunia maupun akhirat.

 

 

sumber: Republika ONline