Inilah Lima Sikap Muslim di Era New Normal

SEJUMLAH Provinsi dan Kabuten/Kota di Tanah Air tengah memasuki kenormalan baru. Sebagai orang beriman, kita isi kehidupan normal yang baru dengan nilai-nilai spiritual dan sosial sehingga setiap langkah kehidupan bernilai pahala serta bermanfaat bagi orang lain. Hal prinsip yang harus kita terapkan di era kenormalan baru itu adalah meyakini seyakin-yakinnya bahwa musibah ini adalah ujian dari Allah SWT. Yakin kepada Allah membuat kita menyadari bahwa tidak ada satu kejadian kecuali atas izin Allah SWT.

Dengan keyakinan seperti ini, kita semakin bergantung kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Dikisahkan oleh Alwi Alatas dalam bukunya Whatever Your Problem, Smile, ada seorang mualaf yang saat hendak masuk Islam ingin melihat sesuatu yang ajaib atau hal yang luar biasa dari Allah. Ia ingin mendapat motivasi spiritual sebagai penguat alasan mengapa ia memeluk Islam.

Dalam doanya ia berkata, “Ya Allah, inilah saatnya, inilah waktunya saya akan masuk Islam. Berilah aku satu saja tanda kebesaranMu. Mugkin berupa kilatan halilintar atau apa saja yang menunjukkan kebesaranMu.”

Setelah berdoa, ia menunggu adanya hal yang menakjubkan sebagai bukti bahwa Allah itu ada, bahwa Allah itu Maha Besar. Sekian lama menunggu tak kunjung muncul tanda yang ia harapkan. Ia menunggu lagi. Cukup lama ia menanti tanda itu. Ia merasa gelisah dan terbesit perasaan kecewa. Pikirnya, mengapa Tuhan tidak menunjukkan kebesaranNya kepadanya. Padahal ia ingin masuk Islam dan butuh bukti.

Di depan Si Mualaf ada al-Quran. Dia buka lembaran mushaf. Ayat pertama yang ia buka dan baca adalah ayat tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang bertebaran di alam. Tepatnya pada ayat 37 dan 39 Surat Fushshilat. “Bukankah Kami sudah memperlihatkan tanda-tanda, lihatlah keadaan di sekelilingmu, lihatlah bintang-bintang, dan perhatikan matahari. Semua ini adalah tanda-tanda bagi orang yang berakal,” demikian kurang lebih artinya.

Pelajaran moral dari kisah di atas adalah;

Pertama, kekuasaan Allah, bisa kita lihat dari keadaan di sekitar kehidupan kita sehari-hari.

Kita perhatikan bagaimana makhluk Allah yang super kecil bernama corona menggulung segala tempat kemaksiatan yang selama ini berdiri tegak di tengah-tengah kita. Kantong-kantong kemaksiatan itu ‘dibubaran’ bukan oleh negara, aparat keamanan, atau Satpol PP, tapi oleh mahkluk yang tidak terlihat.

Bukankah ini tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan, yang seharusnya semakin mempertebal keyakinan kita kepada Allah. Oleh karena itu, setiap kali kita melihat benda-benda di sekeliling kita, sadarilah di balik itu semua ada peran dan kekuasaan dari Yang Maha Menentukan.

Kedua, di era New Normal yang harus kita laksanakan adalah bekerja sama. Dengan kerja sama yang sinergis antar semua elemen akan membuahkan persatuan dan semangat kekuatan dalam mengatasi beragam persoalan. Jauh lebih mudah mengatasi problematika keummatan jika kita bersatu melangkah dan berjalan dengan tujuan yang sama.

Al-Quran menyinggung perintah untuk saling bahu membahu dalam membantu sesama.

وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, serta dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Imam Qurtubi, seorang ahli hukum dan pakar tafsir, menyebutkan sejumlah makna dari kata kebajikan (al-Birr) dan takwa (at-Taqwa). Kebajikan adalah segala pelaksanaan hal yang bersifat wajib dan sunnah . Sementara takwa adalah sebuah sikap dalam menjaga kebajikan.

Dalam pandangan Imam Mawardi, Allah menganjurkan bekerja sama dalam kebajikan lalu mengaitkannya dengan takwa, sebab ridhaNya tersimpan dalam ketakwaan kepadaNya. Sementara keridhaan manusia terkandung dalam perbuatan bijak. “Siapa yang menggabungkan antara kerelaan Allah dan manusia, sempurnalah kebahagiaannya dan kenikmatannya.”

Ibnu Khuwaiz menyebut bahwa sikap saling menolong memiliki beberapa sudut pandang. “Jika ia orang berilmu maka wajib baginya untuk menolong umat manusia lewat ilmu yang ia miliki dengan mengajarkannya. Orang yang kaya membantu dengan hartanya, orang yang pemberani menolong agama dengan keberaniannya di jalan Allah, dan sesama umat Islam saling mendukung dalam satu derap langkah untuk melakukan kebaikan.”

Sinergi antara elemen umat Islam tampak kentara di musim wabah. Beberapa waktu lalu sejumlah relawan terlibat dalam gerakan penyemprotan Pasar Besar Malang. Relawan itu datang dari PMI, Ansor NU Klojen Malang, FPI. Ini merupakan sikap kerja sama yang patut kita jadikan contoh sinergi antar elemen masyarakat.

Ketiga, memiliki kepedulian. Islam tidak melulu membahas tentang ritual perseorangan. Islam juga memberikan perhatian tentang sikap empati kepada sesama, tanpa memandang latar belakang agama. Tidak heran jika sejak pertengahan Maret hingga saat ini kepedulian itu masih dan semoga tetap terpelihara.

Peduli kepada sesama merupakan amanat ajaran Islam. Kepada tetangga, kita dianjurkan untuk berbuat baik, tidak menyakiti bahkan kita ulurkan bantun jika mereka membutuhkannya. Kepada orang-orang yang kurang beruntung, terdapat ajaran tentang zakat, sedekah dan kebaikan sosial lainnya kepada mereka.

Anjuran berbuat baik sebagai bentuk kepedulian banyak disebutkan oleh Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad. Dalam bukunya an-Nashaih ad-Diniyyah terlampir sejumlah hadits yang berisi tentang menunaikan hak seorang muslim. Nabi Muhammad ﷺ  bersabda: “Siapa yang tidak memikirkan urusan umat Islam berarti ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Baihaqi)

Dalam kesempatan lain, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengurus kepentingan saudaranya, niscaya Allah akan mengurus kepentingannya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Nabi ﷺ  juga bersabda di waktu lain: “Siapa yang membebaskan seorang mukmin dari kesusahan di dunia, pasti Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari Kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang kesulitan, pasti Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR: Muslim).

Sejumlah Ormas Islam di Tanah Air ikut ambil bagian meringankan beban penderitaan warga yang terdampak wabah Covid-19. Pada 6 Juni 2020 silam Satgas Covid-19 Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Jumputrejo melakukan aksi kemanusiaan. Sasarannya adalah para warga yang sedang menjalani isolasi mandiri. Mereka membagikan puluhan paket pangan kepada warga yang membutuhkan.

Muhammadiyah tidak mau ketinggalan. Lazismu bersama Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC) menyalurkan bantuan bantuan tahap kedua secara serentak. Nilai bantuannya mencapai Rp 18.053 miliar dari hasil penghimpunan Rp 21.179 miliar (19/5/20)

Keempat, rendah hati. Sikap yang satu menggambarkan perilaku bahwa diri kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Kita hanya sekumpulan makhluk yang lemah, tidak ada daya dan upaya jika bukan karena anugerah dan nikmat dari Allah. Sikap rendah hati menjadi sebab kita diberi derajat yang mulia. Sebaliknya sikap angkuh, jumawah, dan sombong menyebabkan kita berada pada kedudukan yang rendah dan hina.

Kaum shalihin adalah orang-orang yang kehidupannya ramai dengan hiasan tawadhu (rendah hati). Seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah kedatangan tamu di waktu malam. Ketika selesai shalat isyak, beliau menulis sesuatu di sisi sang tamu yang datang berkunjung. Saat tengah menulis lampu minyaknya nyaris padam. Bergegaslah sang tamu berdiri untuk menyalakan kembali. Ia hendak memperbaiki lampu tersebut.

Wahai Amirul Mukminin, biarkan aku memperbaiki lampu minyak itu.” Umar menolak. Beliau berkata “Tidak termasuk dari kehormatan seseorang ketika ia memanfaatkan tamunya.” “Apa perlu aku panggilkan pelayanmu,” kata si tamu.

Jangan. Ia sudah terlelap tidur.” Kemudian Umar mengambil minyak dalam sebuah botol, ia tuangkan ke dalam lampu minyak. “Wahai Amirul Mukmin, apakah pantas engkau melakukannya sendiri seperti ini?” tanya kembali Si Tamu.

Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku tetap seorang Umar saat aku keluar dan kembali pulang. Maka sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah manusia yang bersikap rendah hati.”

Kelima, dispilin. Jika kita kembali mengambil pelajaran dari salat akan kita temukan keteraturan dalam membagi waktu di dalam kehidupan.  Ada lima waktu pelaksanaan shalat yang mengajarkan sikap disiplin dalam kehidupan kaum beriman.

Seperti itulah sikap disiplin dalam berbagai situasi dan kondisi yang tengah kita hadapi. Era New Normal jangan kita maknai sebagai sikap bebas melakukan aktifitas dengan mengindahkan protokol kesehatan. Sikap acuh dan tidak disiplin ini bisa menjadi tabungan bencana dan musibah untuk kedua kalinya.

Oleh karena itu, kita harus tetap disiplin dalam menanamkan keyakinan kepada Allah, disiplin dalam bekerja sama, berempati, bersikap rendah hati, dan menjaga kebersihan. Tanpa adanya kedisiplinan niscaya era New Normal bisa berubah menjadi new musibah yang tentu tidak pernah kita harapkan, bukan?

Lima sikap pada kenormalan baru bukan sikap yang baru dalam kehidupan beragama. Sebab kapan saja kita harus memegang teguh keimanan hingga ajal datang menjemput. Bekerja sama dalam melakukan kebaikan, memiliki sikap filantropis, bersikap rendah hati dan displin dalam mewujudkannya, bukanlah barang baru. Namun ajaran-ajaran itu perlu sekali untuk kembali kita angkat agar menjadi pengamalan di sepanjang zaman.*

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Pengasuh Majlis Taklim Ar-Rahmah, Sawojajar, Malang

HIDATATULLAH

Solusi Shalat Jumat di Masa “New Normal” Hingga Jumatan Gelombang Kedua

Bagaimana cara shalat Jumat di masa “new normal” karena keadaan masjid yang dibatasi? Apakah mungkin sampai diadakan Jumatan gelombang kedua?

Kita ketahui bersama bahwa shalat Jumat itu wajib dan dihukumi wajib ain selama terpenuhi syarat-syaratnya. Hal ini berdasarkan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Juga wajibnya shalat Jumat didukung dalil-dalil berikut ini.

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjamaah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud, no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas tiang-tiang mimbarnya,

لَيَنْتَهِيَنَّ أقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الغَافِلِينَ

Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Jumat atau Allah pasti akan menutupi hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim, no. 865)

Dalam hadits lain disebutkan,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” (HR. Abu Daud, no. 1052; An-Nasai, no. 1369; dan Ahmad 3:424. Kata Syaikh Al-Albani hadits ini hasan sahih).

SYARAT SHALAT JUMAT

Dalam madzhab Syafii sendiri disebutkan syarat-syarat pendirian shalat Jumat sebagai berikut.

  1. Harus dikerjakan di waktu shalat Zhuhur.
  2. Dikerjakan di kota.
  3. Dikerjakan secara berjamaah.
  4. Dikerjakan oleh empat puluh orang laki-laki merdeka, baligh, dan berdomisili di tempat tersebut (mustawthin).
  5. Tidak didahului atau dibarengi shalat Jumat yang lain di kota yang sama.
  6. Diawali dengan dua khutbah.

Syarat-syarat di atas disebutkan dalam kitab Safinah An-Najah (kitab dasar fikih Syafii), walaupun dari sisi jumlah 40 dipersilihkan oleh para ulama.

Hukum asalnya, shalat Jum’at hanya dilakukan satu kali di satu tempat dalam satu kota, agar terjadi ijtimak (pertemuan) kaum muslimin sebanyak mungkin, karena hal tersebut merupakan salah satu tujuan utama shalat Jumat itu sendiri. Inilah praktik shalat Jum’at yang telah berlangsung sejak hijrahnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah (622 M) hingga dibangunnya kota Baghdad sebagai ibukota Daulah Abbasiyah sekitar satu setengah abad kemudian (762-767 M).

PERMASALAHAN SHALAT JUMAT DI MASA “NEW NORMAL”

Di masa pandemi seperti ini, pelaksanaan ibadah atau aktivitas dengan shaf rapat di masjid ataupun lainnya sangat berpotensi dan bahkan terbukti menjadi penyebab penularan. Ini jelaslah merupakan kemudharatan besar yang wajib dicegah, apalagi jika tidak mengindahkan protokol lainnya, tentu semakin besar potensi penularan penyakit yang tergolong mematikan ini. Di samping itu, terjadinya penularan saat pelaksanaan ibadah jumatan atau shalat berjamaah dapat merusak citra masjid dan kaum muslimin, karena akan dituding sebagai sumber masalah.

Akan tetapi bila kita menerapkan physical distancing dalam masjid, maka daya tampung masjid akan berkurang dratis hingga menjadi sekitar 40% saja. Ini tentunya menimbulkan masalah baru yaitu tidak tertampungnya jamaah.

Dalam kondisi seperti ini, kita dihadapkan kepada empat pilihan yang masing-masing memiliki mudharat di satu sisi dan manfaat di sisi lain, yaitu:

Opsi A: Tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid dengan shaf rapat.

Opsi B: Melaksanakan shalat Jumat satu kali di masjid dengan shaf renggang tanpa menambah tempat alternatif.

Opsi C: Menyediakan tempat alternatif sebagai masjid darurat khusus untuk shalat Jum’at, semisal aula, ruang pertemuan, ruang futsal atau yang lainnya.

Opsi D: Melakukan shalat Jumat dalam dua gelombang di satu masjid.

Tentunya, opsi C adalah yang paling sesuai dengan kaidah syariat, karena paling kecil mudharatnya dan paling besar manfaatnya, kemudian disusul dengan opsi D. Sebab, opsi C lah yang paling aman bagi kesehatan jamaah, sedangkan ibadah hanya dapat ditunaikan sesuai tuntunan (sempurna) bilamana seseorang dalam kondisi sehat dan aman. Adapun bila ia jatuh sakit atau terancam keselamatan dirinya, maka akan sulit melakukan ibadah dengan sempurna.

Oleh karenanya, menjaga kesehatan masyarakat secara umum lebih didahulukan daripada menjaga kesempurnaan suatu ibadah. Sebab bila masyarakat jatuh sakit, niscaya bukan hanya shalat jum‟atnya yang tidak dapat dilakukan dengan sempurna, namun ibadah-ibadah lainnya juga terpengaruh.

Adapun opsi D (mengadakan shalat Jumat dua gelombang di satu masjid), maka tidak boleh dilakukan selagi masih dapat dicarikan tempat alternatif, karena inilah yang lebih kecil mudharatnya dan lebih besar manfaatnya. Demikian pula opsi A (mengadakan shalat Jum‟at satu kali dengan shaf rapat), jelas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada kesempurnaan ibadah. Sedangkan opsi B tidak memberikan solusi apa-apa bagi jamaah yang tidak tertampung.

Namun bila pihak DKM atau pihak terkait tidak mendapatkan tempat alternatif untuk menampung jamaah dan para jamaah juga kesulitan untuk melaksanakan shalat Jumat di tempat lain; maka dalam kondisi darurat seperti ini, opsi D dapat dipilih.

KAIDAH-KAIDAH YANG MENDASARI HAL DI ATAS

Pertama:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَاتِ وَتُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang pada dasarnya terlarang, tapi harus ditentukan kadar daruratnya secara proporsional.”

Kedua:

لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ

“Tidak ada kewajiban saat tidak mampu melakukannya.”

Ketiga:

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Kondisi yang sulit mengundang datangnya kemudahan.”

Keempat:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membiarkan maupun melakukan kemudharatan.”

Kelima:

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Memilih perbuatan yang paling kecil kemudaratannya.”

Keenam:

الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ

“Adanya kebutuhan umum dapat dianggap seperti kondisi darurat.”

HIMBAUAN DARI DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD

  1. Bagi kaum muslimin yang hendak melaksanakan shalat berjamaah di masjid, maka wajib mengikuti protokol penggunaan masjid yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, termasuk merenggangkan shaf dan memakai masker.
  2. Bagi orang tertentu yang dianjurkan oleh dokter untuk tidak berangkat ke masjid, maka ia tidak boleh berangkat ke masjid.
  3. Orang yang sedang sakit batuk, flu, dan demam tidak boleh ke masjid selama pandemi belum berakhir.
  4. Bagi yang masih merasa belum aman untuk shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid, maka secara syari masih diberi udzur untuk shalat di rumah.
  5. Jika dengan protokol New Normal masjid jami’ tidak bisa menampung jamaah, maka shalat Jumat dapat dilakukan di masjid lain, mushalla, gedung, lapangan dan sebagainya untuk menampung jamaah yang tidak tertampung oleh masjid jami’.
  6. Bila poin kelima tidak dapat diwujudkan, maka shalat Jumat boleh dilakukan dalam dua gelombang di masjid yang sama. Dalam hal ini, hendaknya diupayakan menyiapkan imam dan khatib yang berbeda pada masing-masing gelombang, namun jika kesulitan maka boleh dilakukan oleh imam dan khatib yang sama.
  7. Panduan ini hanya berlaku untuk daerah yang memenuhi syarat penerapan aturan New Normal menurut disiplin ilmu kesehatan.

Dua masalah yang sering ditanyakan terkait shalat saat “new normal”:

  1. Shalat dengan Shaf Renggang, Apakah Sah?
  2. Shalat dengan Mengenakan Masker?

REFERENSI

Semoga bermanfaat.


Diselesaikan di Darush Sholihin, Kamis sore, 12 Syawal 1441 H, 4 Juni 2020

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24695-solusi-shalat-jumat-di-masa-new-normal-hingga-jumatan-gelombang-kedua.html

Shalat Berjamaah di Fase New Normal Wabah

Sering muncul pertanyaan apakah kita tetap shalat berjamaah terkait dengan adanya penerapan konsep new normal wabah covid19. Jawabanya: untuk fatwa, kita kembalikan kepada ustadz setempat yang telah berkonsultasi atau berkoordinasi dengan pemerintah dan dinas kesehatan setempat. 

  1. Ada ustadz setempat yang berfatwa yang boleh shalat berjamaah
  2. Ada ustadz setempat yang berfatwa jangan shalat berjamaah sementara dahulu, bersabar sebentar setelah wabah berakhir kita shalat berjamaah kembali

Kami menekankan pada kata-kata “berkonsultasi”, karena ustadz setempat yang berfatwa perlu mengetahui gambaran kasus yang benar (tashawwur yang benar), sehingga dapat mengeluarkan fatwa yang benar pula. Apabila gambaran kasusnya (tashawwur) tidak tepat, maka fatwa juga tidak tepat. Dalam hal ini bukan ustadznya yang salah, tetapi salah informasi yang masuk atau salah memahami gambaran kasusnya. Inilah maksud dari kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

  1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
  2. tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Fatwanya bisa berbeda-beda setiap tempat, karena setiap tempat kondisinya berbeda-beda dan kebijakan pemerintah setempat berbeda-beda serta data di dinas kesehatan berbeda-beda.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa fatwa dan hukum berubah sesuai keadaan ‘urf (kebiasaan) dan mashalahat keadaan saat itu. Beliau berkata

فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد والأحوال

“Sesungguhnya fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat istiadat dan kondisi.” [I’lamul Muwaqqi’in 6/114]

CATATAN PENTING terhadap kaidah di atas, yang berubah adalah fatwa yang terkait dengan ‘urf dan mashlahat keadaan saat itu, BUKAN dengan hukum syariat yang telah pasti dan tidak berubah sepanjang masa misalnya hukum shalat lima waktu, apapun hukumnya tetap wajib ‘ain.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

التغير في الفتوى ، لا في الحكم الشرعي الثابت بدليله

“Yang berubah adalah fatwa, bukan hukum syariat yang telah tetap dengan dalil”

Sebagai contoh: Fatwa bolehnya makan babi karena darurat dan hanya ada daging babi saat itu, apabila tidak makan bisa mati.

Hukum makan babi adalah haram secara syariat dan tidak akan berubah, tetapi fatwa saat itu dan kondisi saat itu saja hukum makan babi menjadi boleh karena darurat.

Dalam kesempatan lain Ibnul Qayyim  menjelaskan bahwa hukum ada dua yaitu yang tidak berubah sepanjang masa dan hukum yang berubah sebagaima kami jelaskan di atas. Beliau berkata,

الأحكام نوعان:

النوع الأول: نوع لا يتغير عن حالة واحدة هو عليها، لا بحسب الأزمنة ولا الأمكنة، ولا اجتهاد الأئمة، كوجوب الواجبات، وتحريم المحرمات، والحدود المقدرة بالشرع على الجرائم ونحو ذلك، فهذه لا يتطرق إليه تغيير، ولا اجتهاد يخالف ما وضع له.

والنوع الثاني: ما يتغير حسب المصلحة له، زماناً ومكاناً وحالاً، كمقادير التعزيرات، وأجناسها، وصفاتها، فإن الشارع ينوع فيها بحسب المصلحة”. انتهى

“Hukum ada dua macam

  1. Hukum tidak berubah dari satu keadaan dan terus-menerus hukumnya seperti itu. Tidak berubah sesuai dengan waktu, tempat dan ijtihad para imama seperti kewajiban hukum yang wajib, keharaman hukum yang haram, hukuman hadd yang telah ditetapkan syariat pada beberapa kejahatan. Hukum ini tidak berubah dan tidak ada ijtihad yang dapat menyelisihi yang telah ditetapkan
  2. Hukum yang berubah sesuai dengan kemashalahatan terkait dengan waktu, tempat dan keadaan seperti kadar hukum ta’zir, jenis dan tata caranya sesuai dengan mashlahat.” [Ighatsatul Lahfan 1/330]

Hukum shalat berjamaah ini telah kami tulis di juga di awal-awal terjadinya wabah covid19 tanggal 20 maret dan penjelasannya masih sama. Silakan baca: Shalat Berjamaah dan Jumat Ketika Ada Wabah, di artikel selanjutnya!

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56875-shalat-berjamaah-di-fase-new-normal-wabah.html