Niat Puasa Ramadhan Tiap Malam atau Sekali

Dalam Madzhab Maliki, niat puasa Ramadhan dilakukan di malam hari yakni setelah matahari terbenam hingga bersamaan dengan fajar

PARA ulama berbeda pendapat mengenai kapan niat puasa harus dilakukan dalam melaksanakan puasa Ramadhan. Di bawah ini kami jabarkan niat puasa Ramadhan menurut empat madzhab.

Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi berpendapat bahwasannya niat untuk melaksanakan puasa Ramadhan dibagi dalam beberApa waktu. Waktu pertama adalah waktu setelah terbenamnya matahari. Pada asalnya waktu niat adalah waktu awal melakukan suatu amalan, namun untuk mengetahui waktu awal terbitnya fajar adalah hal yang sulit dan itu terjadi di waktu-waktu kebanyakan manusia lalai, maka untuk memberi kemudahan bisa dilakukan setelah matahari terbenam.

Namun para ulama Madzhab Hanafi juga membolehkan melakukan niat puasa Ramadhan setelah fajar hingga pertengahan hari (dari terbit matahari hingga waktu dhuha) ada pula yang berpendapat sebelum Dzuhur. (Al Mabsuth, 3/62).

Madzhab Maliki

Sedangkan dalam Madzhab Maliki, niat puasa Ramadhan dilakukan di malam hari yakni setelah matahari terbenam hingga bersamaan dengan fajar. Dan itu cukup dilakukan di awal malam Ramadhan dengan niat puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. (Lihat, At Taudhih fi Syarh Mukhtashar Ibni Hajib, 2/397).

Madzhab Syafi’i

Adapun dalam madzhab Syafi’i, niat puasa dilaksanakan di malam hari bulan Ramadhan dan tidak cukup dengan hanya berniat di malam pertama bulan Ramadhan saja untuk seluruh puasa Ramadhan dalam sebulan. (Al Majmu Syarh Al Muhadzab, 6/289).

Madzhab Hanbali

Pendapat madzhab Hanbali dalam masalah waktu niat puasa Ramadhan sama dengan madzhab Syafi`i, yakni harus dilakukan di malam hari satiap hari bulan Ramadhan. (Al Mughni, 3/109).

Dalil Madzhab Hanafi

Dalil yang digunakan oleh madzhab Hanafi:

عنْ سَلَمَة بنِ الأكْوَع رَضِي الله عَنْهُ أنَّ النبيَّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم بَعَثَ رَجُلاً يُنادي فِي النَّاسَ يَوْمَ عاشورَاءَ أنَّ مَنْ أكَلَ فَلْيُتِمَّ أوْ فَلْيَصُمْ ومَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلاَ يَأْكُلْ (رواه البخاري)

Artinya: Dari Salamah bin Al Akwaradhiyallahuanhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengutus seseorang untuk menyeru manusia mengenai puasa Asyura`, ”Barangsiapa telah makan maka hendaklah ia berpuasa dan barangsiapa belum makan maka janganlah ia makan.” (Riwayat Al Bukhari).

Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa puasa Asyura di waktu itu adalah puasa wajib sebelum dimansukh dengan kewajiban puasa Ramadhan, sedangkan Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk berpuasa meski di siang hari, sehingga mereka pun berniat pada siang hari. (Lihat, Umdah Al Qari, 10/303).

Dalil Mayoritas Ulama

Adapun mayoritas ulama yang berpedoman pada Hadits:

عَنْ حَفْصَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ» (أخرجه النسائي وغيره)

Artinya: Dari Hafshah dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda, ”Barangsiapa tidak meniatkan puasa sebelum fajar maka tidak puasa baginya.” (Riwayat An Nasa`i dan lainnya)

Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan mengenai Hadits itu, “Tirmidzi dan Nasai cenderung menghukuminya mauquf sedangan Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah menshahihkan marfunya.” (Bulughul Maram, hal. 261).

Menggabungkan Pendapat Para Mujtahid

Ibnu Hajar Al Haitami seorang ulama rujukan dalam fatwa dan fiqih bagi pengikut Madzab Syafi`i menyatakan bahwa hendaknya bertaklid kepada Imam Malik dalam berniat puasa di malam pertama Ramadhan untuk seluruh puasa Ramadhan, sehingga ketika lupa berniat pada malam hari, maka puasa tetap sah menurut Madzhab Maliki.

Demikian juga hendaknya meniatkan diri untuk puasa di pagi hari ketika lupa berniat puasa di malam hari mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah, hingga puasanya tetap sah menurut madzhab Hanafi. (Fath Al Jawwad, hal. 431). Wallahu alam bish shawab.*

HIDAYATULLAH