Niat, Salah Satu Syarat Sahnya Puasa Ramadhan

Sebagian besar ulama madzhab empat sepakat niat merupakan salah satu syarat sahnya puasa Ramadhan. Adapun apakah niatnya dibaca atau cukup di dalam hati, ini masuk ranah khilaf

SEBAGIAN umat Islam akan memulai puasa Ramadhan (sebagaian sudah berpuasa). Salah satu hal patut diketahui adalah syarat sahnya puasa Ramadhan ada empat, salah satunya adalah niat berpuasa.

Syarat Sah Puasa Ramadhan

Syarat bagi orang yang hendak melakukan ibadah shiyam (puasa) Ramadhan agar  puasanya sah ada 3:

  • Muslim, adalah orang yang setidak-tidaknya dengan sadar telah mengucapkan syahadatain (dua kalimah syahadat).
  • Baligh (dewasa menurut syara’), bagi laki-laki telah bermimpi basah sehingga mengeluarkan mani (sperma) atau yang telah berumur lima belas tahun. Adapun bagi wanita sudah mengalami haid atau telah berumur sepuluh tahun.
  • Berakal sehat, apabila seseorang tidak mengidap penyakit syaraf, gila, idiot dan sejenisnya.

Niat masuk rukun puasa Ramadhan

Seseorang yang tengah melakukan ibadah shiyam (puasa) wajib melaksanakan rukun shiyam (puasa) agar puasanya diterima Alah. Adapun rukun shiyam (puasa) adalah sebagai berikut:

  • Niat
  • Shiyam (puasa)
  • Futhur (berbuka puasa).

Niat merupakan hal yang sangat mendasar dalam setiap ibadah, termasuk dalam puasa. Seluruh ulama sepakat, tanpa niat puasa Ramadhan, puasa Ramadhan menjadi tidak sah.

Terdapat banyak riwayat hadis yang menjelaskan bahwa niat menjadi syarat sah atau kewajiban niat puasa Ramadhan. Di antaranya hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam Al-Tirmidzi, Al-Nasai dan Ibnu Majah dari Sayidah Hafshah, dia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mazhab kami –maksdunya Syafiiyyah- bahwa dia tidak sah –maksudnya puasa Ramadhan- kecuali dengan berniat di waktu malam. Dan ini pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, Dawud dan mayoritas ulama salaf dan kholaf.” (dari ‘Al-Majmu, 6/318).

Syaikh Wahbah Al-Zuhail dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebutkan bahwa syarat niat puasa Ramadhan ada empat;

Pertama, niat puasa Ramadhan harus dilakukan di waktu malam, dimulai sejak waktu Maghrib tiba hingga waktu Shubuh. Kedua, ta’yinun niah atau menentukan jenis puasa yang hendak dilakukan, sebagaimana wajib menentukan jenis shalat dalam niat ketika mengerjakan shalat wajib.

Dalam puasa Ramadhan, ketika kita melakukan niat, maka kita wajib menyebut ‘Ramadhan’ dalam niat. Misalnya, nawaitu shauma ghadin min romadhan (saya niat puasa besok dari bulan Ramadhan).

Ketiga, memutlakkan niat hanya untuk puasa Ramadhan saja, bukan untuk puasa yang lain. Keempat, harus melakukan niat setiap malam selama bulan Ramadhan. Hal ini karena setiap hari selama bulan Ramadhan merupakan ibadah mustaqillah (independen), tidak dapat dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya. Karena itu, menggabungkan niat hanya di awal malam hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh puasa selama satu bulan dinilai tidak cukup.

Sementara itu, dalam kitab Hasyiyah Bājūrī Imam Ibrāhim Bājūrī mengatakan paling minimalnya niat puasa itu sebagai berikut.

“نويت صوم رمضان”.

Nawaitu shouma rhomadhona

Artinya: “Saya berniat puasa Ramadhan.” (Hasyiyah Bājūrī: 1/633).

Lalu dalam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb  Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” (Fathul Qarīb: 194).

Adapun Imam Baramāwi yang dikutip dalam I’ānah Thõlibīn, ia menganjurkan untuk membaca beberapa kalimat pengganti lafadz “lillahi ta’ala”.

وقوله : (لله تعالى) : ويسن أن يقول إيمانا واحتسابا لوجه الله الكريم

“Dan pada lafadz ‘lillahi ta’ala’ disunnahkan untuk mengucapakan ucapan ‘imānan wa ihtisāban li wajhillāhi al-karīm’.”  (I’ānah Thõlibīn: 2/1228).

Apakah niat wajib dilafalkan?

Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Prof Dr Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa menurut istilah syara’, niat adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Para ulama berbeda pendapat soal pelafalan niat.

Sebagian besar ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah atau bukan hal wajib. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzab Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah.

Sedangkan Madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.

Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah termasuk kelompok yang tidak mewajibkan. Beliau mengatakan;

كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ

“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa. Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (dalam Majmu’ Fatawa, 6:79).

Sementara bagi sebagian ulama lain, syarat melafalkan niat, untuk membantu hati memperjelas niat. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Mu’īn oleh Imam Imam Zainuddin Al-Malībārī.

وفرضه، أي: الصوم: النية بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها بل يندب.

“Kewajiban puasa salah satunya adalah niat dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan. Akan tetapi dianjurkan.” (Fathul Mu’īn: 261).

Lalu Imam Sayyid Bakri dalam I’ānah Thõlibīn menambahkan alasan dianjurkannya melafalkan niat.

وقوله: (بل يندب) أي: التلفظ بها ليساعد اللسان القلب.

“Pengucapan niat itu (dianjurkan) agar lisan dapat membantu hati.” (I’ānah Thõlibīn: 2/1217).

Dalam Madzhab Syafi’i (termasuk mayoritas umat Islam di Indonesia), lafadz niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shouma ghodin ‘an adaa-i fardhisy syahri romadhooni hadzihis sanati lillaahi ta’aala

“Artinya: Aku niat puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

Jika demikian, memanglah masalah melafalkan niat merupakan masalah ranah perbedaan pendapat antar ulama sejak dulu. Dalam menyikapi perkara seperti ini maka berlaku kaidah yang disebutkan Imam As Suyuthi dalam Al-Asybah wa An Nadzair (hal. 158):

((لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ))

Artinya: Tidak diinkari perkara yang diperselisihkan padanya, dan sesungguhnya yang diinkari perkara yang ada kesepakatan atasnya (yakni perkara yang disepakati untuk dilarang). Silahkan umat Islam memilih yang mana. Wallahu a`lam bish shawwab.*

HIDAYATULLAH

Melafalkan Niat Puasa, Bid`ah? Inilah Pendapat Madzhab Empat

Melafalkan niat puasa di bulan Ramadhan jamak dilakukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Namun sebagian yang lainnya menolak perbuatan itu dan menilainya sebagai perbuatan bid’ah yang harus ditinggalkan. Nah, bagaimana sebenarnya hukum melafalkan niat puasa di bulan Ramadhan menurut madzhab empat? Mari kita merujuk kepada kitab-kitab rujukan dalam masing-masing madzhab.

Madzhab Hanafi

Ibnu Nujaim menyatakan bahwasannya letak niat adalah hati, dan tidak cukup dengan melafalkannya melalui lisan. Namun ia mengutip,”Dan barang siapa tidak mampu menghadirkan hatinya untuk berniat dengan hatinya atau kesusahan dalam berniat maka cukup baginya mengucapkan dengan lisannya.” (Al Asybah wa An Nadza`i, 1/39).

Ath Thahthawi menyampaikan mengenai niat puasa,”Dan tidaklah mengatakannya dengan lisan sebagai syarat. Hanya saja melafalkannya merupakan sunnah, sebagaimana dalam Al Haddadi, yakni sunnah para masyayikh sebagaimana dalam Tuhfah Al Akhyar.” (Hasyiyah Ath Thahthawi `ala Maraqi Al Falah, hal. 242).

Madzhab Maliki

Syihabuddin An Nafarawi menyatakan, ”Dan mustahab baginya pula meninggalkan palafadzan dari ihram akan tetapi mencukupkan dengan niat. Sebagimana dimakruhkan baginya melafadzkan ‘nawaitu’ pada shalat maupun puasa. Kacuali terjangkit perasaan waswas atau melakukan hal itu dengan dimaksudkan untuk toleransi dalam khilaf.” (Fawaqih Ad Dawani, 1/353).

Madzhab Syafi’i

Imam An Nawawi berkata menganai niat puasa,”Dan tempatnya niat di dalam hati. Dan tidak disyaratkan mengucapkan dengan lisan tanpa khilaf. Dan tidak cukup dengan lisan tanpa khilaf akan tetapi mustahab pelafalan bersama dengan hati sebagaimana yang telah lampau dalam wudhu dan shalat.” (Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/296).

Madzhab Hanbali

Musa Al Hajjawi Al Maqdisi menyatakan, ”Dan melafalkan niat dan apa-apa yang diniatkannya di sini (yakni dalam mandi, wudhu dan tayamum) dan di seluruh perbiadatan bid’ah dan telah menyatakan bahwa ia mustahab secara sirr bersamaan dengan hati banyak dari kalangan muta`akhirin dan dinashkan oleh Imam Ahmad beserta sejumlah muhaqqiqin kebalikannya.” (Al Iqna`, 1/24)

Dalam madzhab Al Hanbali sendiri yang menyatakan bahwa melafalkan niat adalah bid’ah adalah Ibnu Taimiyah. Sedangkan mereka yang menyatakan mustahab menyatakan agar apa yang diucapkan menuntun hati. Termasuk yang menyatakan mustahab adalah Ibnu Ubaidan, Ibnu Tamim, Ibnu Razin. Az Zarkasyi menyatakan,”Ia lebih utama bagi kalangan muta’akhirin.” Al Mardawi dan Asy Syihab Al Futuhi menyatakan bahwa pendapat mustahab merupakan pendapat madzhab. (Lihat, Kasysyaf Al Qina`, 1/87).

Kesimpulan

Semua ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah. Adapun madzhab Hanafi dan Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah. Sedangkan madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.

Jika demikian, memanglah masalah melafalkan niat merupakan mesalah yang mana ada perselisihan para ulama mengenai hal itu sejak dulu. Dalam menyikapi perkara seperti ini maka berlaku kaidah yang disebutkan Imam As Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nadzair (hal. 158):

((لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ))

Artinya: Tidak diinkari perkara yang diperselisihkan padanya, dan sesungguhnya yang diinkari perkara yang ada kesepakatan atasnya (yakni perkara yang disepakati untuk dilarang). Wallahu a`lam bish shawwab.*

HIDAYATULLAH

Niat Puasa Ramadhan, Setiap Hari atau Sekali dalam Sebulan?

Pertanyaan:

Apakah dalam bulan Ramadhan kita perlu berniat setiap hari ataukah cukup berniat sekali untuk satu bulan penuh?

Jawaban:

Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Tetapi jika puasanya terputus di tengah bulan, baik karena bepergian, sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakan puasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

 

Read more https://konsultasisyariah.com/5747-niat-puasa.html

Niat Puasa Cukup di Awal Ramadhan atau Setiap Hari?

Niat adalah termasuk syarat sahnya puasa. Seorang yang tidak berniat, maka puasanya tidak sah. Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar biasa. Menahan lapar bisa jadi hanya sekadar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.

Namun, satu hal yang perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati [1]. Semoga Allah Ta’ala merahmati Imam An-Nawawi Rahimahullah, ulama besar Syafi’iyah yang mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama”[2].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama” [3].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[4]

Wajib Berniat sebelum Fajar

Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshah Radhiyallahu ‘anha, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[5]

Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar. [6]

Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah ketika beliau berkata, “Pada suatu hari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?”, kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya sejak pagi aku berpuasa.”[7]

Imam An-Nawawi r mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah”[8].

Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya [9].

Niat Cukup Sekali di Awal atau Tiap Hari?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama kita.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa niat cukup sekali di awal bulan. Ini adalah pendapat ulama Malikiyah. Pendapat ini juga dipilih Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Beliau berkata, “Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Tetapi jika puasanya terputus di tengah bulan, baik karena bepergian, sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakan puasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya” [10].

Pendapat kedua, niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan rakaat dalam shalat.[11]

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah berkata, “Puasa bulan Ramadhan wajib di lakukan dengan berniat pada malam harinya, yaitu seseorang harus telah berniat puasa untuk hari itu sebelum terbit fajar. Bangunnya seseorang pada akhir malam kemudian makan sahur menunjukkan telah ada niat pada dirinya (untuk berpuasa). Seseorang tidaklah di tuntut melafadzkan niatnya dengan berucap: “Aku berniat puasa (hari ini)”, karena yang seperti ini adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan! Berniat puasa selama bulan Ramadhan haruslah dilakukan setiap hari, karena (puasa pada) tiap-tiap hari (di bulan itu) adalah ibadah yang berdiri sendiri yang membutuhkan niat. Jadi, orang yang berpuasa harus berniat dalam hatinya pada masing-masing hari (dalam bulan itu) sejak malam harinya. Kalau misalnya dia telah berniat puasa pada malam harinya kemudian dia tertidur pulas hingga baru terbangun setelah terbitnya fajar, maka puasanya sah, karena dia telah berniat sebelumnya. Wallahu a’lam”[12]. [AW/Tutorial Ramadhan]

 

sumber: PanjiMas