Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 7): Memahami tentang Haid, Nifas dan Istihadah

Berilmu sebelum beramal merupakan kaidah yang semestinya menjadi pedoman bagi ummat islam dalam menjalankan pelbagai syariat yang telah ditetapkan Allah Ta’ala. Tidak terkecuali ibadah yang sangat agung seperti halnya salat. Oleh karenanya, pelbagai hukum yang berkaitan dengan salat adalah hal yang wajib untuk diketahui, termasuk di antaranya adalah haid, nifas dan istihadah yang senantiasa dialami oleh setiap wanita.

Haid

Haid dan hikmahnya

Darah yang secara alami keluar dari rahim seorang wanita yang sudah balig dalam waktu tertentu merupakan definisi haid [1]. Allah Ta’ala menciptakan darah dan menetapkannya bagi kaum wanita sebagai makanan bagi janinnya melalui tali pusar sehingga wanita hamil tidak mengalami haid. Apabila seorang wanita melahirkan, maka sisa-sisa makanan janin tersebut akan keluar dalam bentuk darah nifas. Kemudian Allah Ta’ala mengubah sebagian darah wanita tersebut menjadi susu yang dikonsumsi oleh bayinya. Setelah melahirkan dan menyusui, aktivitas darah itu akan kembali lagi seperti semula yang keluar setiap bulannya baik dalam waktu enam atau tujuh hari sesuai dengan ketetapan Allah Ta’ala [2].

Warna darah haid

Terdapat empat warna darah haid yang perlu difahami oleh wanita muslimah, yaitu: hitam, merah, kekuning-kuningan dan keruh [3]. Sebagaimana hadis Fatimah binti Abi Hubaisyi Radhiallahu’anha, “Bahwasanya dia pernah mengalami istihadah, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Jika darah haid, sesungguhnya ia berwarna hitam yang sudah dikenal. Oleh Karena itu, tinggalkanlah salat. Jika berwarna lain, berwudulah, karena sesungguhnya ia hanya (semacam) keringat.’” [4].

Warna kekuning-kuningan dan keruh tidak termasuk dalam kategori haid, terkecuali pada saat berlangsungnya masa haid. Namun apabila masa haid telah berakhir, hal tersebut tidak lagi termasuk darah haid meski keluar berulang kali [5].

al-Allamah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah kemudian menguatkan pendapat bahwa warna kekuning-kuningan dan warna keruh setelah bersuci tidak termasuk dalam kategori darah haid sama sekali, tapi cairan tersebut sama seperti air kencing yang dapat membatalkan wudu dengan syarat keluarnya tidak pada saat berlangsungnya masa haid.

Baca Juga: Fatwa Ulama: Berhenti Nifas Sebelum 40 Hari

Masa haid dan lamanya

Usia seorang yang mengalami haid

Para ulama Rahimahumullah berbeda pendapat tentang batas usia serta waktu mulai dan berhentinya haid bagi seorang wanita. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah condong kepada pendapat ad-Darimi Rahimahullah yang mengungkapkan bahwa seberapa pun didapatkan ukuran darah itu, bagaimanapun keadaannya dan berapa pun usia wanita yang mengalaminya tetap dikategorikan sebagai haid [6]. Dengan kata lain, kapan pun seorang wanita melihat darah yang umumnya dikenali sebagai darah haid, maka itu adalah haid [7].

Masa berlangsungnya haid

Sebagaimana pendapat tentang usia, berkaitan dengan batasan minimal dan maksimal haid juga terdapat perbedaan pendapat dari para ulama Rahimahumullah. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menguatkan pendapat bahwa tidak ada batasan masa haid dan masa suci antara dua waktu haid. Beliau menegaskan bahwa setiap darah yang merupakan kebiasaan sebagai darah haid maka itu adalah haid. Namun apabila darah tersebut keluar secara terus-menerus, yang demikian itu bukanlah haid [8].

Hal-hal terlarang karena haid

Hal-hal yang dilarang karena sedang haid, diantaranya:

1. salat [9], dengan catatan bahwa tidak perlu mengqada salat setelah bersuci dari haid, kecuali puasa [10];

2. puasa [11];

3. tawaf di Baitullah [12];

4. menyentuh mushaf Al-Quran [13];

5. duduk dan berdiam di masjid [14];

6. berhubungan badan [15];

7. talak [16];

8. menjalani ‘iddah dengan hitungan bulan [17].

Hal-hal yang dibolehkan saat haid

Hal-hal yang dibolehkan saat haid, diantaranya:

1. pergaulan suami-istri kecuali berhubungan badan [18];

2. mendatangi tempat pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha serta mendengarkan khutbah, kalimat-kalimat yang baik dan seruan kaum muslimin [19];

3. melaksanakan amal ibadah seperti zikir, doa, dan haji, serta umroh (kecuali tawaf di Baitullah) [20].

Nifas

Darah yang keluar dari rahim yang disebabkan oleh kelahiran, baik yang keluar bersama bayi baik satu, dua, atau tiga hari sebelum atau setelahnya sampai batas waktu tertentu merupakan definisi dari nifas [21]. Batas minimum nifas adalah tidak terbatas, sedangkan batas maksimumnya adalah empat puluh hari [22].

Pada dasarnya, nifas merupakan darah haid itu sendiri yang sebelumnya tertahan karena kehamilan sehingga hukumnya adalah sama dengan hukum haid kecuali dalam beberapa keadaan, diantaranya:

1. ‘Iddah; nifas tidak dapat dijadikan sebagai hitungan ‘iddah, sedangkan haid bisa.

2. Masa al-i’laa (sumpah). Bisa dipergunakan hitungan masa haid, tetapi tidak masa nifas.

3. Balig; seseorang bisa dinilai balig dengan haid, namun tidak dengan nifas sebab usia balig lebih dulu datang sebelum nifas [23].

Istihadah

Mengalirnya darah secara terus menerus di luar waktu haid yang disebabkan oleh sakit dan gangguan dari (sejenis) keringat mulut yang terdapat di bagian bawah rahim yang biasa disebut “al-‘adzil” [24].

Perbedaan darah haid dan istihadah

Tiga perbedaan umum antara darah istihadah dan darah haid, yaitu:

1. Darah haid adalah hitam dan kental dan memiliki bau anyir. Adapun darah istihadah adalah merah yang tidak memiliki bau.

2. Darah haid keluar dari dalam rahim. Adapun darah istihadah keluar dari bagian bawah rahim berupa keringat.

3. Darah haid adalah darah alami yang keluar pada waktu-waktu tertentu. Adapun darah istihadah merupakan darah penyakit yang tidak terikat pada waktu tertentu [25].

Keadaan wanita istihadah

Terdapat tiga keadaan wanita yang mengalami istihadah, diantaranya:

1. Masa haidnya diketahui sebelum dia mengalami istihadah. Dalam keadaan demikian, masa yang diketahui itu termasuk sebagai waktu haid dan berlaku baginya hukum haid. Adapun darah yang keluar setelah itu merupakan istihadah [26].

2. Wanita yang istihadah tidak mempunyai waktu haid yang rutin sebelum istihadah itu datang, akan tetapi ia bisa membedakan antara darah haid dengan darah istihadah (27).

3. Wanita yang tidak memiliki waktu-waktu haid yang pasti serta tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadah. Maka hendaklah ia menghitung hari haidhnya seperti hari haid pada umumnya wanita (6-7 hari) yang dimulai dari pertama kali dia mengetahui keluarnya darah, dan selebihnya dihitung sebagai istihadah (28).

Ketentuan hukum bagi wanita istihadah

Hukum taklifi bagi seorang wanita istihadah sama dengan wanita yang suci sebagaimana umumnya seperti salat, puasa, i’tikaf, menyentuh musfah dan sebagainya, kecuali dalam beberapa hal berikut:

1. Tidak diwajibkan baginya mandi besar [29].

2. Wajib berwudu ketika ingin salat dengan mencuci bekas darah dari rahimnya dan menahannya dengan kain (pembalut) [30].

Kesimpulan

Pengetahuan dan ilmu tentang perkara haid, nifas dan istihadah merupakan fardu ‘ain bagi setiap hamba Allah Ta’ala khususnya kaum wanita muslimah sebagai wujud dari upaya dalam menggapai kesempurnaan ibadah salat. Maka kepada setiap wanita muslimah hendaklah mengetahui perihal ini. Begitu pula kepada kaum pria muslim agar dapat membimbing istri, anak, dan keluargnya kepada kemurnian dan kesempurnaan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Wallahu’alam.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66515-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-7.html

Bagaimana Wanita Istihadah Bersuci?

Wanita Istihadah dan Cara Bersucinya?

Wanita yang mengalami Istihadah, mendapatkan keringanan dalam bersuci. Mengingat darah tersebut sering keluar, sehingga sangat menyusahkan bila diwajibkan berwudhu dan membersihkan diri setiap kali darah itu keluar.

Sementara Islam adalah agama yang  memberikan kemudahan kepada penganutnya. Allah ‘azza wa jala berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج

Dia (Tuhanmu) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan. (QS. al Haj: 78).

Dari ayat ini kemudian para ulama menyimpulkan sebuah kaidah fikih,

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.”

Cara Bersuci Wanita Istihadah

Cara berwudhu untuk wanita mustahadoh adalah dengan melakukan dia hal berikut :

[1] Cukup berwudhu setiap masuk waktu sholat.

[2] Membasuh kemaluan dan bagian tubuh yang terkena darah. Kemudian mengenakan pembalut, agar tidak menyebar semampunya.

Pertama, berwudhu setiap masuk waktu sholat.

Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Fatimah bintu Abu Hubaisy, saat bertanya kepada Nabi perihal istihadah yang beliau alami,

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

“Berwudhulah kamu setiap kali shalat hingga waktu itu tiba.”

(HR. Bukhori no. 226)

Maksudnya, setiap kali masuk waktu sholat. Karena lam dalam kalimat likulli untuk menunjukkan waktu (lit tauqit).  Seperti dalam firman Allah ta’ala,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat diwaktu telah tergelincirnya matahari, sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al Isra’: 78). (Lihat: Syarah Abi Dawud 2/86, karya al ‘Aini).

Ketentuan ini berlaku apabila hadast tersebut keluar setelah berwudhu. Adapun bila tidak keluar, maka boleh  menggunakan wudhu sholat sebelumnya untuk sholat berikutnya.

Al Mardawi rahimahullah dalam kitab al Inshaf menjelaskan,

مراده بقوله: “وتتوضأ لوقت كل صلاة ” إذا خرج شيء بعد الوضوء ؛ فأما إذا لم يخرج شيء فلا تتوضأ على الصحيح من المذهب.

“Berwudhu setiap masuk waktu sholat.”,  maksudnya adalah, apabila setelah wudhu tersebut keluar sesuatu (hadast). Adapun bila tidak keluar, maka tidak wajib wudhu kembali menurut pendapat yang shahih dalam mazhab  (hambali).” (al Inshof fi Ma’rifati ar Rajih min al Khilaf, 1/286).

Kedua, membasuh kemaluan dan bagian tubuh yang terkena darah. Kemudian mengenakan pembalut.

Landasannya adalah hadis Aisyah radhiyallahu’anha yang mebceritakan tentang Fatimah bintu Abu Hubaisy, saat bertanya kepada Nabi perihal istihadah yang beliau alami, apakah menyebabkan tidak sholat. Nabi menjawab,

لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيَْس بِحَيْض فَدَعِي اَلصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Tidak, itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haid. Bila haidmu datang tinggalkanlah shalat. Dan bila darah itu berlanjut (dari jadwal haidmu), maka bersihkanlah dirimu dari darah itu, lalu shalatlah.” (Muttafaqun ‘alaih).

al Harowi rahimahullah menerangkan,

( فاغسلي عنك الدم ) أي أثر دم الاستحاضة واغتسلي مرة واحدة ، ولعل الاكتفاء بغسل الدم دون غسل انقطاع الحيض

“Bersihkanlah dirimu dari darah itu, maksudnya dari bekas darah istihadah, dengan sekali basuhan. Barangkali maksudnya adalah membasuh bagian yang terkena darah saja, bukan mandi seperti mandi karena berhenti dari haid.” (Mirqoh al Matafih Syarh Misykah al Mashobih, 2/499).

Apakah harus membasuh kemaluan atau mengganti pembalut setiap masuk waktu sholat berikutnya?

Selama ia sudah berusaha maksimal dalam membersihkan najis kemudian menjaga najis supaya tidak menyebar dengan mengenakan pembalut, maka tidak harus diulang. Kalaupun ingin mengulangi, itu sebatas anjuran.
Kecuali bila ada keteledoran, maka ia diharuskan mengulang. Inilah pendapat yang dipegang oleh ulama Hanabilah dan yang kami pilih dalam masalah ini, wallahua’lam.

Dalam kitab Matholib Ulin Nuha, diterangkan,

ولا يلزم إعادة غسل , ولا إعادة تعصيب لكل صلاة حيث لا تفريط في الشد ; لأن الحدث مع غلبته وقوته لا يمكن التحرز منه

“Tidak harus membasuh ulang, juga tidak harus mengganti pembalut setiap kali sholat, selama tidak teledor dalam mengenakan pembalut (sehingga hadast benar-benar terjaga, pent). Mengingat hadast tersebut sering keluar, maka tidak mungkin untuk dihindari.”

Kemudian diterangkan,

فإن فرّط في الشد , وخرج الدم بعد الوضوء لزمت إعادته ; لأنه حدث أمكن التحرز منه

“Namun bila ia teledor dalam mengenakan pembalut, dan darah (istihadoh) keluar setelah wudhu, maka wajib mengulang wudhu dan mencuci kemaluan kembali. Karena ia (dihukumi kondisi) berhadas yang mungkin dihindari.” (Matholib Ulin Nuha 1/263).

Dalilnya adalah perkataan Aisyah radhiyallahu’anha,

اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّي
” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah beri’tikaf bersama salah seorang isteri beliau. Ia melihat ada darah dan cairan berwarna kekuningan. Lalu di bawahnya diletakkan baskom sementara ia tetap mengerjakan shalat.” (HR. Bukhori).

Beliau melakukan ini tentu setelah berusaha maksimal. Dan Nabi tidak melarangnya.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah (no. 53090) diterangkan,

وفي هذا يسر على المرأة، وعليه فلا حرج عليك أن تأخذي به، لأن الله يقول: وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [سورة الحـج: 78].

“Pendapat ini memberi kemudahkan bagi para wanita. Oleh karenanya tidak masalah Anda mengikuti pendapat ini. Karena Allah berfirman, “Dia (Tuhanmu) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesusahan. (QS. al Haj: 78).”

Kapan Wudhunya Batal?

Wudhunya batal dikarenakan dua sebab  berikut :

[1] Keluar dari waktu shalat.

[2] Keluar hadats lain selain darah Istihadah.

Misalkan dia berwudhu untuk sholat Subuh.  Maka ketika terbit matahari, otomatis wudhunya batal karena telah keluar dari waktu subuh. Oleh karena itu apabila ingin sholat dhuha, wajib beruwudhu kembali.

Hal ini berdasarkan hadis,

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

“Berwudhulah kamu setiap masuk waktu shalat hingga waktu itu tiba.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Pada hadis ini dijelaskan bahwa keabsahan wudhu wanita mustahadoh dikaitkan dengan waktu sholat. Sehingga apabila telah keluar dari waktu sholat, maka wudhu batal.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin saat ditanya apakah boleh bagi wanita yang mengalami uzur karena hadast yang sering keluar, menggunakan wudhu subuh untuk sholat dhuha. Beliau menjawab,

لا يصح ذلك، لأن صلاة الضحى مؤقتة، فلابد من الوضوء لها بعد دخول وقتها، لأن هذه المرأة كالمستحاضة، وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم ، المستحاضة أن تتوضأ لكل صلاة ،

“Seperti itu tidak boleh. Karena waktu sholat dhuha itu sendiri (sudah keluar dari waktu subuh). Ia harus berwudhu kembali untuk sholat dhuha setelah masuk waktunya. Kondisk wanita ini seperti wanita mustahadoh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan wanita mustahadoh untuk berwudhu setiap masuk waktu shalat.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al ‘Utsaimin no. 241, 11/286)

Kemudian keluar hadats lain selain darah Istihadah. Seperti (mohon maaf) keluar gas kentut, maka wudhunya batal. Meskipun ia masih di dalam waktu sholat yang sama. Karena kentut adalah hadats normal yang menyebabkan batalnya wudhu. Sehingga ia dikembalikan ke hukum normal.

Keringanan Ini Juga Berlaku Untuk Hadas Daa-im Lainnya

Hadast Daa-im adalah keadaan berhadats yang terus-menerus atau sulit dihindari. Seperti tetesan air seni  (sulasul baul), cairan keputihan atau cairan madzi, yang sering keluar. Bagi mereka yang mengalami keadaan seperti ini, ia mendapatkan keringanan dalam hal wudhunya, seperti keringanan yang didapat wanita mustahadoh.

Syaikh Abdulaziz Alu Syaikh (Musti kerajaan Saudi Arabia) menerangkan,

وقد أخذ العلماء من هذا الحديث أن أصحاب الأعذار ممن حدثهم دائم لهم نفس حكم المستحاضة من جهة الوضوء لوقت كل صلاة، مع التحفظ لئلا يصيب اليدين أو الثوب أو البقعة التي يصلي عليها شيء من النجاسة.

“Dari hadis ini (hadis tentang Fatimah bintu Abu Hubaisy di atas, pent), para ulama menyimpulkan bahwa orang-orang yang beruzur, karena mengalami hadast daa-im,  mendapatkan hukum yang sama seperti wanita mustahadoh. Maksudnya dalam hal wudhu setiap kali masuk waktu sholat dan mengenakan pembalut (atau yang sejenis) supaya najis tersebut tidak mengenai tangan, baju atau tempat sholat.”
(http://www.mufti.af.org.sa/node/2960)

Wallahua’lam bis showab.

Madinah An Nabawiyah
Ahmad Anshori

Read more https://konsultasisyariah.com/27730-bagaimana-wanita-istihadah-bersuci.html

Kapan Wanita Nifas Mulai Sholat?

Mau tanya ust, yg mnjd tolak ukur mulai wajib sholat lagi bagi wanita yg mengalami nifas itu selama darah itu berhenti atau ada batas waktu maksimal nya ya..? Trmksh atas penjelasannya pak ust…

Hamba Allah, di Bantul.

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du..

Tolak ukur wanita yang nifas wajib melaksanakan sholat kembali tergantung pada dua kondisi berikut :

[1]. Jika darah nifas berhenti sebelum batas waktu maksimum keluarnya darah nifas. Maka dengan berhentinya darah nifas dan munculnya tanda suci, dia menjadi wajib shalat kembali.

Karena tidak ada batasan waktu minimum untuk keluarnya darah nifas.

Tanda sucinya adalah : keringnya kemaluan atau keluar cairan bening.

[2]. Jika darah nifas keluar melebihi waktu maksimum, maka melebihi waktu maksimum keluarnya darah nifas itu adalah tanda dia wajib sholat kembali.

Kemudian darah yang keluar setelah itu dihukumi sebagai darah istihadhoh. Tentang darah istihadhoh bisa anda pelajari pada artikel berikutnya.

Berapa Batas Waktu Maksimumnya?

Batasan waktu maksimum keluarnya darah nifas adalah empat puluh hari, menurut mayoritas ulama (jumhur). Sehingga darah masih keluar melebihi empat puluh hari, tak lagi dihukumi darah nifas, tetapi sebagai darah istihadhoh.

Imam Abu Isa at Tirmidzi rahimahullah menukil adanya ijmak sahabat dalam hal ini,

أجمع أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أن النفساء تقعد عن الصلاة أربعين يوماً، إلا أن ترى الطهر قبل ذلك، فتغتسل وتصلي

Pada ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersepakat bahwa wanita yang mengalami nifas, diizinkan tidak melakukan sholat selama empat puluh hari. Kecuali jika dia suci sebelum itu, maka dia langsung mandi besar kemudian sholat.

Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari

وعلى هذا جماعة الناس

Pendapat ini dipegang oleh sejumlah ulama.

(Dikutip dari fatwa Islamway.net)

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36011-kapan-wanita-nifas-mulai-sholat.html