Cerita Cucu Nelson Mandela Mualaf dan Ditolak Sukunya

Mandla aktif menyuarakan dukungan untuk Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Siapa sangka tokoh perjuangan anti-apartheid Afrika Selatan Nelson Mandela memiliki seorang cucu yang merupakan mualaf. Setelah menjadi seorang Muslim ia kerap memperjuangkan kebebasan Palestina.

Ialah Mandla Mandela. Nama lengkapnya Nkosi Zwelivelile Mandla Mandela dan berasal dari klan Abathembu yang didapat dari kakeknya. Pada 2007 dia diangkat sebagai kepala suku Xhosa sekaligus dilantik sebagai ketua Dewan Adat Mvezo.

Mandla, yang saat itu masih berusia 32 tahun, berperan sebagai juru bicara kelompoknya dan memimpin upacara lokal serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Lulusan ilmu politik itu bersumpah mencoba membantu orang-orang di pedesaan Eastern Cape, yang merupakan salah satu daerah termiskin di negara itu, sebelum dia dilantik.

Ketua Kongres Pemimpin Tradisional Afrika Selatan (Contralesa) Patekile Holomisa mengatakan seharusnya posisi itu dipegang oleh Nelson Mandela. Namun, karena usianya sudah lanjut maka harus diberikan kepada penggantinya.

Nelson sendiri pada lebih dari 70 tahun lalu telah memegang posisi kepala suku. Jabatan itu dia tinggalkan untuk menjadi pengacara dan memimpin perlawanan anti-apartheid. Di usianya yang menginjak 88 tahun, Nelson berpesan agar posisi kepala suku itu diberikan kepada cucunya.

“Ini benar-benar posisi Nelson, tetapi karena usianya yang sudah lanjut maka diputuskan kehormatan akan diberikan kepada penggantinya,” kata Ketua Kongres Pemimpin Tradisional Afrika Selatan Patekile Holomisa. Putra terakhir Nelson Mandela yang masih hidup, ayah Mandla, meninggal dunia pada 2005.

Mandla dan Islam…

Pada 2015, Mandla memutuskan masuk Islam. Lalu, pada awal 2016 menikah dengan perempuan yang juga beragama Islam bernama Rabia Clarke. Dia merasa terhormat dan senang bisa mengumumkan pernikahannya yang berlangsung di Cape Town pada 6 Februari 2016 itu.

Sebelum itu, Mandla telah menikah tiga kali. Pada 2004, dia menikah dengan Tando Mabuna-Mandela. Kemudian pada 2010, ia menikah dengan Anais Grimaud yang berusia 20 tahun. Namun pernikahan ini berujung cerai setelah terjadi skandal perselingkuhan yang dilakukan Grimaud dengan saudara laki-laki Mandla.

Pada Desember 2011, Mandla menikah dengan putri Swazi Nodiyala Mbali Makhathini, tetapi pernikahan itu juga berakhir cerai pada 2014. Barulah pada awal 2016, publik Afrika Selatan dibuat terkejut oleh pernikahan Mandla dengan perempuan Muslim Capetonian. Pernikahan keempat Mandla ini berlangsung di usianya yang ke-42 setelah beberapa bulan menjadi mualaf.

“Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Rabia, keluarga besarnya, dan komunitas Muslim, yang telah menyambut saya di hati mereka. Meskipun Rabia dan saya dibesarkan dalam tradisi budaya dan agama yang berbeda, kebersamaan kami mencerminkan kesamaan kami, kami adalah orang Afrika Selatan,” kata Mandla.

Protes…

Namun, Islamnya Mandla kemudian memicu protes dari Kongres Pemimpin Tradisional Afrika Selatan (Contralesa) yang tidak senang dengan hal itu. Contralesa meminta Mandla untuk mundur dari jabatannya sebagai kepala suku Xhosa karena telah memeluk keyakinan baru. Mandla disebut tidak bisa memimpin sukunya dengan agama baru yang baru saja dipilih.

“Kami sangat terkejut atas berita mualafnya. Kami juga sangat prihatin. Apa yang kami tahu adalah bahwa wanita yang bertobat, bukan pria. Itu kebiasaan kami,” kata Juru bicara Contralesa, Mwelo Nonkonyane.

Contralesa menyampaikan, posisi Mandla sebagai Muslim dapat mempengaruhi kemampuannya menegakkan tradisi Xhosa. Nonkonyane mengatakan agama yang baru dipeluk Mandla bisa menimbulkan konflik bagi rakyatnya.

“Tidak ada yang salah dengan seorang pemimpin tradisional mengikuti keyakinan yang dia pilih, tetapi kami prihatin apakah dia akan dapat terus menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala suku,” kata Nonkonyane.

Tugas kepala adat salah satunya adalah memimpin ritual ucapan syukur untuk leluhur, termasuk mempersembahkan hewan yang disembelih kepada mereka dalam doa. Praktik semacam itu dianggap tidak sejalan dengan kepercayaan banyak Muslim.

Nonkonyane menyebut apa yang dilakukan Mandla bertentangan dengan tradisi bahwa pria mengambil alih budaya istrinya. “Menurut tradisi Afrika, perempuanlah yang harus menjadi bagian dari keluarga yang akan dinikahinya (pihak pria). Ketika dia menerima lamaran Mandla, harapannya adalah agar dia mengadopsi cara-cara rakyatnya,” katanya.

Terlepas dari seluruh polemik itu, Mandla kini seorang Muslim yang berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan di belahan dunia lain. Tak heran, Mandla aktif menyuarakan dukungan untuk Palestina dan mengecam Israel karena telah berperilaku rasialis.

Mandla menilai, apa yang dialami rakyat Palestina selama berpuluh-puluh tahun merupakan contoh pelembagaan rasialisme. Selain rasialisme, juga terjadi pengendalian sistematis terhadap kehidupan Palestina, pencurian tanaman, pembatasan kehidupan pertanian, dan pencaplokan tanah secara ilegal. Karena itu, Mandla tidak henti-hentinya mengampanyekan boikot, divestasi dan sanksi (BDS) untuk Israel.

Mandla melihat ada dukungan masyarakat sipil yang besar untuk Palestina. Pesan yang selalu dia kampanyekan adalah “Apartheid adalah kejahatan terhadap kemanusiaan”. Menurutnya, diperlukan langkah yang lebih efektif untuk memboikot perusahaan yang mengizinkan, berkolaborasi dan mendapatkan keuntungan dari apartheid.

Namun, dia juga mengingatkan, mereka yang tertindas tidak akan bisa lepas dari jeratan penindasan jika tidak bersatu. Persatuan bangsa-bangsa yang tertindas itu dimulai dengan adanya persatuan bangsa-bangsa Palestina sendiri.

“Maka persatuan dari mereka yang tertindas sangat penting,” kata Mandla merujuk pada gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan waktu silam.

KHAZANAH REPUBLIKA