Adakah Kewajiban Zakat untuk Harta Anak Kecil dan Orang Gila?

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Adakah kewajiban zakat untuk harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila?

Jawaban:

Terdapat perselisihan ulama Rahimahumullah dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk harta yang dimiliki anak kecil (yang belum balig, pent.) dan orang gila. Hal ini mempertimbangkan bahwa mereka tidak dikenai kewajiban (beban) syariat (taklif). Telah dipahami bahwa anak kecil (yang belum balig) dan orang gila itu tidak termasuk mukallaf (orang yang dikenai beban syariat), sehingga tidak ada kewajiban zakat berkaitan dengan harta yang mereka berdua miliki.

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa zakat itu tetap wajib atas mereka. Inilah pendapat yang tepat. Hal ini karena zakat itu termasuk dalam hak harta (yang harus ditunaikan, pent.), dan tidak melihat status pemilik harta (apakah termasuk mukallaf ataukah tidak, pent.). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Maka Allah Ta’ala kaitkan (adanya) kewajiban zakat itu dengan (kepemilikan) harta. Seperti halnya perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“(Dan jika mereka telah menaatinya), maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19).

Berdasarkan dalil tersebut, maka terdapat kewajiban zakat atas harta yang dimiliki oleh anak kecil dan orang gila. Dan yang mengurus (pembayaran) zakatnya adalah walinya.

***

@Rumah Kasongan, 4 Jumadil ula 1443/ 9 Desember 2021

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 509-510, pertanyaan no. 356.

Sumber: https://muslim.or.id/70991-kewajiban-zakat-untuk-harta-anak-kecil-orang-gila.html

Definisi Orang Gila yang Tidak Terkena Beban Syariat

Dalam pandangan hukum syar’i, memvonis seseorang dengan vonis gila bukanlah perkara mudah dan harus berhati-hati. Karena orang yang gila itu tidak terkena beban syariat. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفعَ القلَمُ عن ثلاثةٍ : عنِ الصَّبيِّ حتَّى يبلغَ ، وعن المجنونِ حتَّى يُفيق ، وعنِ النَّائمِ حتَّى يستيقظَ

“Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 2: 5)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

من لا عقل له فإنه لا تلزمه الشرائع، ولهذا لا تلزم المجنون، ولا تلزم الصغير الذي لم يميز، بل ولا الذي لم يبلغ أيضاً، وهذا من رحمة الله تعالى، ومثله أيضاً المعتوه الذي أصيب بعقله على وجه لم يبلغ حد الجنون

“Orang yang tidak berakal, maka tidak terkena kewajiban syariat. Oleh karena itu, (kewajiban syariat) tidak berlaku untuk orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, bahkan juga yang belum baligh. Ini adalah bagian dari rahmat Allah Ta’ala. Demikian juga, orang yang pikun yang terganggu akalnya walaupun belum sampai level gila.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 12: 15-16)

Ketika seseorang dikatakan gila, maka dia tidak wajib salat, tidak wajib puasa, tidak boleh berjual-beli, tidak boleh bermuamalah dengan hartanya, tidak boleh akad nikah, dan lain-lain. Ini semua adalah konsekuensinya.

Apa patokan gila?

Definisi junun atau gila, disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,

أَنَّهُ اخْتِلاَل الْعَقْل بِحَيْثُ يَمْنَعُ جَرَيَانَ الأَْفْعَال وَالأَْقْوَال عَلَى نَهْجِهِ إِلاَّ نَادِرًا. وَقِيل: الْجُنُونُ اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الْمُمَيِّزَةِ بَيْنَ الأَْشْيَاءِ الْحَسَنَةِ وَالْقَبِيحَةِ الْمُدْرِكَةِ لِلْعَوَاقِبِ بِأَنْ لاَ تَظْهَرَ آثَارُهَا، وَأَنْ تَتَعَطَّل أَفْعَالُهَا. وَعَرَّفَهُ صَاحِبُ الْبَحْرِ الرَّائِقِ بِأَنَّهُ: اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الَّتِي بِهَا إِدْرَاكُ الْكُلِّيَّاتِ

“Gila adalah terganggu akalnya, sehingga seseorang tidak bisa berbuat dan berkata berdasarkan itikad yang benar kecuali sedikit saja.

Definisi lain, gila adalah rusaknya kekuatan pikiran untuk membedakan antara akibat baik dan akibat buruk dari suatu perbuatan. Yaitu karena ia tidak tahu bagaimana akibat dari suatu perbuatan yang bahaya, atau dia meninggalkan suatu perbuatan yang jelas baik baginya.

Penulis kitab Al-Bahrur Ar-Ra’iq mendefinisikan bahwa gila adalah rusaknya kekuatan akal secara menyeluruh sehingga tidak bisa memahami sesuatu.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16: 99)

Dan salah satu indikasi gila, dalam pandangan syar’i, adalah tidak bisa diajak bicara dengan benar. Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan,

فجعل الشارع البلوغ علامة لظهور العقل و فهم الخطاب. و من لا يفهم لا يصح تكليفه لعدم الامتثال

“Syariat menjadikan baligh sebagai indikasi untuk munculnya akal dan kemampuan memahami perkataan. Siapa saja yang tidak memahami perkataan (orang lain), maka tidak sah untuk diberi beban syariat, karena ia tidak bisa memunculkan niat untuk menaati syariat.” (Syarhul Waraqat fi Ushulil Fiqhi, hal. 80)

Dari beberapa penjelasan di atas, indikasi gila menurut penjelasan para ulama adalah:

* Tidak bisa berkata atau berbuat berdasarkan itikad yang benar.

* Tidak tahu akibat dari suatu perbuatan yang membahayakan.

* Tidak pernah mengerjakan perbuatan yang jelas baik, seperti mandi, makan, dan memakai pakaian.

* Tidak paham apa-apa sama sekali.

* Tidak paham perkataan orang lain.

Dan ada beberapa pembahasan turunan dari al-junun (gila), di antaranya:

al-‘atah (pikun)

ad-dahasy (linglung)

as-safah (idiot)

Yang ini semua ada babnya masing-masing.

Ringkas kata, jangan sampai memvonis seseorang itu gila padahal dia tidak gila. Karena konsekuensinya berat. Jika seseorang disebut gila, tapi dibiarkan berjual-beli, akad nikah, dan lainnya, maka ini aneh!

Dan tidak sekedar pernah periksa atau dirawat di RSJ lalu otomatis gila. Dan juga tidak sekedar orang-orang mengatakan “si Fulan gila” lalu dia otomatis gila dalam pandangan syariat. Namun, perlu melihat batasan-batasan syariat dalam hal ini.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69431-definisi-orang-gila-yang-tidak-terkena-beban-syariat.html

Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Seksi RSP: LGBT Masuk dalam Kategori ODMK

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Seksi Religi, Spritualitas dan Psikiatri (RSP) PDSKJI, baru-baru ini merilis pernyataan sikap yang mengatakan, para pelaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender (LGBT), masuk orang yang memiliki masalah kejiwaan (ODMK).

Ketua Seksi RSP PDSKJI Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH membenarkan bila organisasi profesinya telah mengeluarkan rilis tersebut.

Fidiansjah membenarkan meski kesepakatan internasional tidak menggolongkan LGBT bentuk ODGJ, namun tinjauan yang dilakukan hingga keluarnya pernyataan itu terkait kajian ilmu kesehatan jiwa secara holistik.

“Maka dengan memperhatikan tinjauan holistik tadi, maka LGBT masuk dalam kategori ODMK (Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa),” demikian disampaikan Fidiansjah kepada hidayatullah.com, Senin (08/02/2016).

Sebelumnya, hari Jumat (05/02/2016), Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Seksi Religi, Spritualitas dan Psikiatri (RSP) PDSKJI mengeluarkan rilis bersama isinya mengatakan pelaku LGBT adalah orang-orang yang memiliki masalah kejiwaan.

“LGBT masuk dalam kategori ODMK (Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa), yang merujuk pada terminologi ODMK pada UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,” demikian pernyataan sikap RSP-PDSKJI.

Dalam pernyataan tersebut juga dijelaskan, bahwa pernyataan sikap kalangan perhimpunan dokters spesialis jiwa dimaksudkan untuk membantu program pemerintah dan membangun bangsa.

“Upaya Seksi RSP ini diharapkan dapat berkontribusi untuk program pemerintah RI melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu LGBT yang diusulkan masuk dalam kategori ODMK (Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa) yang merujuk terminologi ODMK pada UU Keswa.*

 

sumber: Hidayatullah.com