Ayah Bunda, Jangan Pilih Kasih Pada Anak-anakmu!

“Membagi sama adil, memotong sama panjang, “ demikian pepatah orang bijak terkait berbuat adil.  Meski hanya empat huruf, tetapi melakukan perbuatan adil bukanlah pekerjaan ringan. Hatta, berlaku adil kepada anak-anak kita.

Tak sedikit para orang tua lebih condong hatinya kepada salah satu anaknya sehingga terkesan ‘mengistimewakan perlakuan’ terhadap salah satu anaknya.

Tak ayal, hal ini akan menimbulkan kecemburuan dan kedengkian diantara anak-anak yang lainnya.

Adil berasal dari kata Al-‘Adl artinya Maha Adil. Al-‘Adl bearasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Tak bisa dipungkiri, hanya Allah Subhanahu Wata’ala saja yang bisa berlaku adil.

Sedang hati manusia cenderung berobah. Termasuk perlakukan orang tua kepada anak-anaknya. Hal ini sangat manusiawi.

Nabi Ya’qub Alaihis salam sendiri lebih sayang dan cinta kepada putranya, Yusuf daripada saudara-saudaranya yang lain. Namun perasaan sayang kepada Yusuf diantara anak-anak beliau yang lain itu hanya beliau simpan di dalam hati dan tidak ditunjukkan dalam perlakuan khusus diantara anak-anak beliau.

Al-Qur’an menceritakan perihal Yusuf ketika ia menceritakan sebuah mimpi kepada ayahnya, Ya’qub alaihissalam;

إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku“. (Qs. Yusuf : 4)

Nabi Ya’qub sadar bahwa ini adalah pertanda sebuah keistimewaan yang bakal Allah anugerahkan kepada Yusuf, putra kesayangannya tersebut. Alih-alih segera memberi tahu ta’wil mimpi tersebut, Nabi Ya’qub malah lebih dahulu berpesan kepada Yusuf agar tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya yang lain agar tidak timbul rasa dengki di hati mereka.

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf : 5)

Nabi Ya’qub lebih mendahulukan yang lebih penting dari yang penting yaitu berpesan kepada Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya yang lain agar tidak memunculkan kecemburuan dan kedengkian di hati mereka, baru kemudian beliau menafsirkan arti dari mimpi tersebut (Qs. Yusuf : 6)

Memang tidak mungkin seseorang memiliki rasa kasih sayang yang sama di dalam hati terhadap anak-anaknya. Tentunya ada salah satu anak yang lebih ia sayangi dari yang lainnya.

Namun hal itu tidak ada masalah dan tidak ada dosa baginya selama ia bisa berbuat adil dalam perlakuan dzahir terhadap anak-anaknya. Ia harus berlaku adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya termasuk juga dalam memberi ciuman untuk anak-anaknya, menampakkan senyum dan wajah yang berseri-seri kepada mereka semua tanpa membedakan satu dari yang lainnya.

Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh Sahabat beliau Basyir bin Sa’ad Al-Anshory untuk berlaku adil terhadap seluruh anak-anaknya saat ia lebih mengutamakan putranya yang bernama Nu’man dari saudara-saudaranya. Nu’man bin Basyir menceritakan ;

تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ

“Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Saya tidak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya.”

Setelah itu saya bersama ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahukan pemberian ayahku kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada anak-anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu. Kemudian ayahku pulang dan meminta kembali pemberiannya itu.” (HR. Muslim: 3055)

Memang berbuat adil itu tidak mudah.  Apalagi menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati adalah sesuatu yang sulit. Adapun dalam perkara pemberian, Islam menggariskan bahwa orang tua harus berbuat adil,  dan harus memberi bagian yang sama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ

“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut. [HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 12.003].*/Imron Mahmud

 

HIDAYATULLAH

Jagalah Hak Allah dan Orangtua

RASULULLAH Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang memutuskan tali silaturahim tidak akan masuk surga.” (HR al-Bukhari-Muslim).

Bagaimana dia bisa masuk surga, sedangkan dia sendiri memutus hubungan dengan orangtuanya.

Dalam hadist lain, Rasulullah bersabda, “Tatkala Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan ar-rahim, maka rahim itu tergantung di Arsy dan berkata, ‘Tuhan! Inilah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari pemutusan hubungan silaturrahmi.’ Maksudnya, aku adukan pemutusan hubungan di dunia kepada-Mu. Akan tetapi, bersihkanlah aku dari orang yang memutuskan tali silaturahmi. Allah kemudian menanyakannya, ‘Relakah kamu bila Aku menyambung orang yang menyambungmu, dan memutus orang yang memutusmu?’ Ia menjawab, ‘Tentu, Tuhan!’ Kemudian Allah berfirman, Itu adalah untukmu.” (HR al-Bukhari-Muslim).

Orang yang memutus hubungan silaturahmi pasti diputuskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Apakah kamu mengira jika kamu sudah berkuasa, kamu akan bisa berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah. Jika itu yang terjadi, Dia akan membuat pendengaran mereka tuli dan membutakan penglihatan mereka. (Muhammad: 22-23).

Dalam al-Qur’an, Allah banyak menyertakan hak orangtua dengan hak-Nya.

Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sudah mencapai lanjut usia, janganlah kamu berkata, “Ah” kepada mereka dan jangan membentaknya. Akan tetapi, berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Selain itu, rendahkanlah dirimu di hadapan mereka dengan penuh kasih sayang dan berdoalah, “Tuhan! Sayangilah mereka, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil. (al-Isra’: 23-24)

Walaupun huruf “Ah” itu sedikit, tetap saja tidak boleh diucapkan kepada kedua orangtua. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan mereka yang berfoya-foya di istana-istana (gedung-gedung), villa-villa mewah, tetapi dia juga merendahkan kedua orang tuanya? Bagaimana dengan orang yang lebih menyayangi istrinya dibandingkan ibu kandungnya sendiri? Bagaimana dengan orang yang berbicara kasar dan selalu menentang dalam menjawab?

Itu merupakan bentuk perbuatan yang senantiasa terulang dalam masyarakat kita. Bahkan, kita juga sering mendengar dan melihatnya. Semoga para pendurhaka menyadari perbuatan buruknya melalui ayat dan hadist-hadist yang telah memperingatkan mereka dari tindakan terkutuk itu, yang tidak patut diterima oleh orangtua yang sudah bersusah payah, menderita, dan mendidiknya dari kecil hingga dewasa. Semoga mereka dapat mengambil pelajaran dari kisah orang-orang saleh tentang perilaku mulia mereka dalam berbakti kepada kedua orangtuanya.

Ibnu Sirin pernah menyuguhkan makanan untuk ibunya. Dia tidak mau menikmati makanan dan tempat yang sedang dimakan oleh ibunya karena takut bila tangannya mengambil makanan yang disukai oleh ibunya. Imam Ahmad juga pernah melayani ibunya di rumah yang hanya ada dia dan Allah sebagai penolong. Dia memasak makanan untuk ibunya, menyapu, membersihkan rumah, serta mengerjakan segala pekerjaan untuk ibunda tercinta.

Durhaka memiliki bentuk yang banyak. Di antaranya adalah durhaka kepada kedua orangtua sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Kedurhakaan inilah yang paling terkenal.

Namun, ada perilaku durhaka dalam bentuk lain, yaitu kedurhakaan manusia terhadap Tuhan. Sebagaimana yang telah kita lihat, dia berpaling dari agama dan dari kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan mereka lebih suka mengikuti perilaku orang-orang kafir yang jauh dan Tuhan dalam segala hal, dengan anggapan bahwa kemajuan dan kemoderenan berada pada sikap mengikuti dan meniru perilaku mereka.

Mereka tidak menyadari bahwa kemajuan dan kemoderenan terletak pada keunggulan kepribadian, merealisasikan kandungan kitab suci dan sunah Nabi dalam kehidupan.*/DR. ‘Aidh bin ‘Abdullah al-Qarni, dinukil dari bukunya Membangun Rumah dengan Takwa.

 

HIDAYATULLAH

Ketika Anak tak Lagi Beradab

Orang tua adalah guru utama dalam pendidikan adab yang bermula dari penanaman akidah tauhid. Orang tua menjadi imam dalam ibadah dan teladan dalam akhlak (QS [2]:30-32, [31]:12-19).

Nabi SAW menasihati semua orang tua agar peduli akan adab anak-anaknya. “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR Ibnu Majah).

Imam al-Bayhaqi meriwayatkan bahwa anak memiliki hak terhadap orang tuanya. “Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik.”

Di Pesantren, ananda Ihza Aulia diajarkan mahfudzat, “Li kulli syai-in ziinatul fi-wara, wa ziinatul mar`i tamaamul adabi” yang artinya setiap sesuatu memiliki perhiasan. Dan, perhiasan seseorang adalah kesempurnaan adabnya.

Pendidikan adab bukan hanya sekadar moral atau etika, melainkan kemampuan mengenal Allah SWT dan Rasulnya. Dr Adian Husaini dalam buku Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab menjelaskan orang beradab dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah SWT.

Oleh karenanya, tujuan pendidikan Islam melahirkan manusia yang baik. Disebut orang baik jika ia mengenal Tuhan dan mencintai NabiNya, menghormati para ulama, menghargai ilmu, dan mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi.

Bangsa ini tengah dihadapkan dengan berbagai problem keadaban, khususnya di kalangan anak-anak remaja. Betapa memilukan ketika seorang gadis remaja (17 tahun) di Gorontalo mengajak pacarnya untuk membunuh ayah kandungnya, hanya karena tidak merestui hubungan mereka. 

Sepekan sebelumnya, seorang mahasiswa membunuh dosen di FKIP UMSU Medan karena sering ditegur dan tidak diluluskan jika tidak bersikap baik.

Peristiwa yang paling mengiris-iris hati ketika YY (14 tahun), seorang  murid SMP di Rejang Lebong, Bengkulu, diperkosa dan dibunuh secara biadab oleh 14 remaja. Mereka pecandu minuman tuak (miras) dan film porno.

Para pelaku yang sebagian putus sekolah itu mestinya mendapat hukuman mati atau dikebiri, tapi hanya dijatuhi 10 tahun penjara. Keluarga korban  menanggung derita dan malu sepanjang hayat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawaban sederhana karena pemerintah, lembaga pendidikan dan sosial, serta keluarga belum mampu menjalankan peran dengan baik dan bersinergi dalam pendidikan anak.

Kini, sebagian anak bangsa telah hilang akal sehatnya sehingga mudah melakukan tindakan tak beradab, bahkan melebihi binatang (QS [7]:179, [45]:23).

Sejak dahulu, minuman keras (miras) dan narkoba selalu beririsan dengan perzinaan (pornografi, pemerkosaan, dan pelecehan seksual) yang berujung kekerasan atau pembunuhan.

Manusia beradab  lahir dari pendidikan yang dilandasi ketuhanan, kemanusiaan, kearifan, dan keadilan sosial. Jika semua pemangku kepentingan pendidikan menjalankan perannya, akan lahir anak-anak yang beradab.

Namun, jika salah satunya disfungsi, muncul generasi tak beradab. Pendidikan Islami hadir untuk membangun keluarga terbaik (khair al-usrah) sebagai sekolah pertama (al-madrasah al-uulaa) untuk melahirkan pribadi terbaik (khair al-bariyyah).

Kedua orang tua bertindak sebagai guru sekaligus kurikulum berjalan. Namun, bila tidak didukung oleh sekolah kedua (al-madrasah al-tsaniyah), yakni lembaga pendidikan formal dan sekolah ketiga (al-madrasah al-tsaalitsah), yakni lembaga-lembaga sosial, teman sebaya, media massa, dan publik figur, anak akan galau dan disorientasi.

Ketiga lembaga ini pun akan berdaya jika dikuatkan oleh kebijakan pemerintah sebagai sekolah keempat (al-madarasah ar-raabi’ah) yang berpihak pada kebenaran dan kemaslahatan.

Namun, kita tidak boleh putus asa menghadapi kondisi seburuk apa pun seraya memohon pertolongan kepada Allah SWT agar anak-anak dijaga dari fitnah dan neraka (QS [66]:6). Allahu a’lam bish-shawab. 

 

 

Oleh: Dr Hasan Basri Tanjung MA

sumber: Republika Online