Menggapai Pahala dalam Amarah

Allah Ta’ala menganugerahkan perasaan bagi manusia dengan segala hikmahnya. Ada rasa senang, sedih, bahagia, cemas, bahkan rasa benci dan marah. Semua jenis perasaan tersebut apabila dapat dikendalikan dengan niat ingin mendapatkan rida-Nya, tentu akan berbuah pahala. Sebab, bagaimanapun keadaan kita, baik dalam kesusahan maupun kesenangan, tetap saja ada celah untuk mendapatkan limpahan pahala dari Allah Ta’ala. Itulah indahnya menjadi seorang muslim, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له

Alangkah mengagumkan keadaan orang mukmin (yang beriman). Semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya). Dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur. Maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar. Maka itu adalah kebaikan baginya.” [1]

Amarah Ibarat Dua Sisi Mata Pisau

Kita ambil contoh rasa marah. Ketika melihat atau mendengar seseorang yang melakukan perbuatan melanggar syariat Allah Ta’ala, maka amarah yang kemudian timbul karena membenci perbuatan orang tersebut akan menjadi pahala. Hal ini karena kita telah menjalankan amanah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ

“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya. Apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya. Yang demikian adalah selemah-lemah keimanan.” [2]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan kita untuk membenci perbuatan kufur untuk diri kita sendiri. Hal ini menandakan bahwa perasaan marah atau benci ada tempatnya. Bahkan rasa marah atau benci tersebut  bisa menghantarkan kita untuk mendapatkan manisnya iman. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu:

(1) Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.

(2) Apabila ia mencintai seseorang yang ia mencintainya hanya karena Allah.

(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” [3]

Namun, ketika kita tidak mampu mengendalikan semua perasaan itu, maka kita justru akan melakukan banyak kekeliruan yang bermuara pada dosa dan penyesalan. Seperti dalam kondisi marah, kadangkala kita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Mulai dari berkata kasar, memecahkan benda-benda, menyalahkan siapa saja, hingga bertindak di luar kesadaran yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.

Oleh karenanya, penting bagi kita untuk membekali diri dengan mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian terhadap pengendalian amarah. Kita dapat melihat banyak riwayat yang menerangkan betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak kesempatan selalu mengajarkan ummatnya agar mampu untuk mengendalikan amarahnya.

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Amarah

  1. Wasiat dalam mengendalikan amarah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan pengendalian amarah sebagai wasiat kepada kita.

Sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu anhu  bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Berilah aku wasiat!”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berkali-kali, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau jangan marah!” [HR Al-Bukhari].

  1. Kendalikan amarah dengan duduk, berbaring, dan diam

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk, berbaring, ataupun diam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.

“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk! Apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya). Dan jika belum, hendaklah ia berbaring!” [4]

Diam juga menjadi solusi ketika amarah menghampiri diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam!” [5]

  1. Menahan amarah, bentuk kekuatan yang hakiki

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa kekuatan sejati ada pada seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” [6]

  1. Janji surga bagi orang yang mampu menahan amarah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّة

“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.” [7]

  1. Bidadari dan tempat khusus di hari kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »

Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [8]

Saudaraku, betapa kita dapat membuktikan kasih sayang Allah Ta’ala di setiap lini kehidupan yang kita jalani. Semua hal yang terjadi pada diri kita dapat berbuah pahala dan kemuliaan di sisi Allah yang kemudian dapat memberikan jalan untuk menggapai surga-Nya. Bahkan, rasa amarah yang dari sudut pandang lain, kita ketahui sebagai sumber malapetaka. Akan tetapi, dapat menjadi sumber pahala, tergantung pada bagaimana niat dan sikap kita dalam mengendalikannya sesuai dengan tuntunan syariat. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan keimanan dan ketakwaan kepada kita agar selalu ingat bahwa kita selalu berada dalam pengawasan-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Catatan Kaki :

  1. HR. Muslim No. 2999 dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ’anhu.
  2. HR. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al-Khudri.
  3. HR. Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), At-Tirmidzi (no. 2624), An-Nasa’i (VIII/95-96), dan Ibnu Majah (no. 4033) dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu.
  4. HR. Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
  5. HR Ahmad (I/239, 283, 365), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), Al-Bazzar (no. 152- Kasyful Atsar) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
  6. HR. Bukhari (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
  7. HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu.
  8. HR. Abu Dawud (no. 4777), At-Tirmidzi (no. 2021), Ibnu Majah (no. 4186) dan Ahmad (3/440).

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/68825-menggapai-pahala-dalam-amarah.html

Manusia Diberi Pahala Lebih, Ini Penjelasannya

Alquran menerangkan bahwa manusia akan diberi pahala lebih.

Alquran menerangkan, manusia akan diberi pahala lebih dari sesuatu yang dikerjakannya. Namun, manusia akan diberi hukuman seimbang atas kejahatan yang dilakukannya.

Menurut Tafsir Kementerian Agama, manusia diuntungkan karena akan mendapatkan pahala lebih banyak dari suatu kebaikan yang dikerjakannya. Sementara, manusia akan dihukum sesuai dengan kejahatan yang dikerjakannya, artinya hukumannya tidak diperberat atau diringankan.

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah: 286)

Terkait ayat ini, Tafsir Kementerian Agama menerangkan, dalam mencapai tujuan hidup, manusia diberi beban oleh Allah sesuai kesanggupannya. Mereka (manusia) diberi pahala lebih dari yang telah diusahakannya, dan mendapat siksa seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukannya.

Amal yang dibebankan kepada seseorang hanyalah yang sesuai dengan kesanggupannya. Agama Islam adalah agama yang tidak membebani manusia dengan beban yang berat dan sukar. Mudah, ringan dan tidak sempit adalah asas pokok dari agama Islam.

Dalam surah dan ayat lain, dijelaskan bahwa Allah tidak menjadikan kesukaran untuk kamu dalam agama. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Kemudian Allah menerangkan hasil amalan yang telah dibebankan dan dilaksanakan oleh manusia, yaitu amal saleh yang dikerjakan mereka. Maka balasannya akan diterima dan dirasakan oleh mereka berupa pahala dan surga.

Sebaliknya perbuatan dosa yang dikerjakan oleh manusia, maka hukuman akibat mengerjakan perbuatan dosa itu akan dirasakan dan ditanggung pula oleh mereka, yaitu siksa dan azab di neraka.

Ayat ini mendorong manusia agar mengerjakan perbuatan yang baik serta menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan agama. Ayat ini memberi pengertian bahwa perbuatan baik itu adalah perbuatan yang mudah dikerjakan manusia karena sesuai dengan watak dan tabiatnya, sedang perbuatan yang jahat adalah perbuatan yang sukar dikerjakan manusia karena tidak sesuai dengan watak dan tabiatnya.

Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci dan telah tertanam dalam hatinya jiwa ketauhidan. Sekalipun manusia oleh Allah diberi potensi untuk menjadi baik dan menjadi buruk, tetapi dengan adanya jiwa tauhid yang telah tertanam dalam hatinya sejak dia masih dalam rahim ibunya, maka tabiat ingin mengerjakan kebajikan itu lebih nyata dalam hati manusia dibanding dengan tabiat ingin melakukan kejahatan.’

Setelah disebutkan sifat-sifat orang yang beriman dan menyebutkan karunia yang telah dilimpahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu tidak membebani hamba dengan yang tidak sanggup mereka kerjakan, maka Allah mengajarkan doa agar diampuni dari segala dosa karena mengerjakan perbuatan terlarang disebabkan lupa, salah atau tidak disengaja.

Doa yang diajarkan kepada kita bukanlah sekadar untuk dibaca dan diulang-ulang lafaznya saja, melainkan maksudnya ialah agar doa itu dibaca dengan tulus ikhlas dengan sepenuh hati dan jiwa, di samping melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sesuai dengan kesanggupan hamba itu sendiri.

Doa erat hubungannya dengan tindakan dan perbuatan. Tindakan dan perbuatan erat pula hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Sebab itu orang yang berdoa belumlah dapat dikatakan berdoa, bila ia tidak mengerjakan perbuatan yang harus dikerjakan serta menjauhi larangan yang harus ditinggalkan.

Berbuat dan beramal haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan. Ada amal yang sanggup dikerjakan dan ada amal yang tidak sanggup dikerjakan, ada amal yang dikerjakan dengan sempurna dan ada pula amal yang tidak dapat dikerjakan dengan sempurna. Untuk menyempurnakan kekurangan ini, Allah mengajarkan doa kepada hamba-Nya. Dengan kata lain, doa itu menyempurnakan amal yang tidak sanggup dikerjakan dengan sempurna.

Dari doa itu dipahami bahwa pada hakikatnya perbuatan terlarang yang dikerjakan karena lupa atau salah dan tidak disengaja, ada juga hukumannya. Hukuman itu ditimpakan kepada pelakunya. Karena itu Allah mengajarkan doa tersebut kepada hamba-Nya agar dia terhindar dari hukuman itu.

Setelah diajarkan doa untuk meminta ampun kepada Allah dari segala perbuatan yang dilakukannya karena lupa dan tidak sengaja, maka diajarkan juga doa yang lain untuk memohon agar dia tidak dibebani dengan beban yang berat sebagaimana yang telah dibebankan kepada orang-orang dahulu.

Kemudian diajarkan lagi doa untuk memohon agar dia tidak dibebani dengan beban yang tidak sanggup dipikulnya.

Di antara doa orang-orang yang beriman ini sebagai berikut, “Ya Allah, hapuskanlah dosa dan kesalahan kami, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, dan janganlah kami diazab karena dosa perbuatan yang telah kami kerjakan. Janganlah kami disiksa karenanya, berilah kami taufik dan hidayah dalam segala perbuatan kami, sehingga kami dapat melaksanakan perintah-perintah Engkau dengan mudah.”

Kita sudah diberi pedoman dalam berdoa kepada Allah, memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi orang kafir. Pertolongan yang dimohonkan di sini ialah pertolongan agar mencapai kemenangan. Yang dimaksud kemenangan adalah kemenangan dunia dan akhirat, bukan semata-mata kemenangan dalam peperangan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pahala Tidur di Awal Malam

Nabi SAW menganjurkan agar kaum mukmin tidur di awal malam.

Secara normatif, tidur bukan pekerjaan aktif manusia, namun pekerjaan aktif Allah SWT. Karena itu sejatinya seseorang bukan tidur tapi dibuat tertidur oleh Allah SWT dengan sebab kantuk dan lelah. Allah SWT berfirman, “Dan Dialah yang menidurkan kalian di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari.” (QS. al-An’am/6: 60).

Begitu juga bangun dari tidur, manusia dibangunkan dari tidur oleh Allah SWT atas kuasa-Nya, “Kemudian Dia membangunkan kalian pada siang hari.” (QS. al-An’am/6: 60). Dengan demikian, tidur dan bangun itu adalah kehendak Allah SWT. Terkait dengan tidur, Nabi SAW menganjurkan agar kaum mukmin tidur di awal malam.

Bersumber dari Abu Bazrah, diungkapkan bahwa,  “Nabi SAW tidak suka tidur sebelum shalat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari). Ada dua informasi yang didapat dari atsar ini. Pertama, Nabi SAW tidak tidur sebelum Isya. Kedua, Nabi SAW tidur setelah Isya atau di awal malam dan tidak suka kongkow-kongkow.

Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah.” (HR. Bukhari). Dalam konteks ini, pahala tidur di awal malam adalah karena menaati perintah Nabi SAW tersebut. Selain banyak pahala lain yang mengikutinya.

Lebih tegas lagi, Nabi SAW bersabda, “Tidak ada perbincangan (sesudah shalat Isya), kecuali bagi orang yang sedang shalat atau orang bepergian.” (HR. Turmudzi). Secara implisit Nabi SAW mengajarkan apabila tidak ada kebutuhan yang sangat penting, sebaiknya seorang mukmin tidur di awal malam agar bisa bangun pada dua pertiganya.  

Tidur di awal malam berarti memperpanjang waktu tidur yang memang harus digunakan secara maksimal hingga mencapai dua pertiganya. Allah SWT berpesan, “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu.” (QS. al-Qashash/28: 73).  Sepertiganya digunakan untuk beribadah hingga pagi.

Bangun pada dua pertiga malam itu lebih mudah dilakukan apabila seorang mukmin tidur di awal malam. Maka itu, bagi yang selama ini masih merasa berat untuk bangun pada dua pertiga malam, maka cobalah tidur di awal malam agar bisa menunaikan shalat Tahajud dan rangkaian ibadah sunah lainnya seperti berzikir dan membaca Alquran.

Selain itu, aktivitas tidur di awal malam itu sendiri harus diniatkan  untuk beribadah agar berpahala sepanjang tidur tersebut. Sebab, menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, ada dua macam kematian. Pertama, kematian kecil yang disebut dengan tidur. Kedua, tidur yang tidak bangun lagi selama-lamanya, ini adalah kematian besar.

Terkait kematian besar dan kecil, Allah SWT berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.  Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (QS. al-Zumar/39: 42).

Dalam kehidupan keseharian, orang yang tidur di awal malam dan bangun pada dua pertiganya tampak lebih cerah mukanya, muda dan sehat. Hal ini logis, karena dia tidur di saat prime time sehingga tidurnya berkualitas. Begitu juga saat dia bangun, mandi dan berwudhu dengan menggunakan air segar pertama pada hari itu.

Inilah kiranya pahala lain  bagi orang yang tidur di awal malam dan bangun pada dua pertiganya. Semoga Allah SWT memberikan anugerah besar ini kepada kita agar dapat mengamalkan yang Rasulullah SAW sunahkan. Sebab  setiap sunah yang diimplementasikan berujung pada diberinya pahala dari Allah SWT. Aamiin.

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Pahala Bangun Pagi

Bangun pagi jadi penanda waktu dimulainya semua kebaikan.

Pagi adalah masa awal sebuah hari. Bagi orang Indonesia waktu pagi terbentang mulai tengah malam hingga matahari terbit. Dalam Islam waktu pagi identik dengan waktu Subuh. Kata “Subuh” itu sendiri berarti pagi. Kata “Pagi” dalam Alquran diulang hingga sembilan belas kali. Terkait ini, tentu bangun pagi juga memiliki keistimewaan tersendiri.

Nabi SAW memberi informasi, “Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang di antara kalian pada saat tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika ia bangun lalu berzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepaslah lagi satu ikatan.

Kemudian jika dia mengerjakan shalat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah pahala bagi yang bangun pagi. Pertama, terlepas dari belenggu setan. Kedua, merasa semangat dan bergembira.

Sementara bagi orang yang meneruskan tidurnya akan mendapatkan kerugian. Pertama dia akan suram mukanya dan tidak bergairah. Kedua, tidak shalat Subuh. Padahal shalat Subuh disaksikan oleh para malaikat. Allah SWT berfirman, “Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat)” (QS. al-Isra’/17: 78).

Menurut pengarang Tafsir Jalalain, malaikat yang menyaksikan shalat Subuh sangat banyak. Mereka adalah para malaikat yang berjaga pada malam hari dan para malaikat yang berjaga pada siang hari. Nabi SAW bersabda, “Para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul di waktu Subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam keluarga, bangun pagi harus menjadi budaya, di samping sebagai ajaran agama. Seorang ayah, harus mampu membangunkan anaknya untuk shalat Subuh. Suami isteri harus saling berpesan untuk saling membangunkan  apabila ada anggota keluarga  yang bangun kesiangan. Insya Allah keluarga yang bangun pagi akan mendapat pahala.

Nabi SAW bersabda ketika membangunkan Fatimah, puteri kesayangan beliau, ”Wahai anakku, bangunlah. Songsong rezeki Tuhanmu dan janganlah kamu termasuk pribadi  yang lalai. Sebab Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya di antara terbit fajar dengan terbit matahari.” (HR. Ahmad dan Baihaki). Inilah pahala bangun pagi, beroleh rezeki.

Selanjutnya orang yang bangun pagi akan didoakan oleh Nabi SAW. Hal ini terkuak dalam hadits yang ditulis oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Turmudzi dalam kitab induk hadits  mereka. Nabi SAW bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi”. Tentu ini adalah keberuntungan tiada tara bagi orang yang senantiasa bangun pagi.

Bangun pagi selain ditujukan untuk beribadah, harus juga didedikasikan untuk menolong sesama. Terkait hal ini, Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad mengutip hadits Nabi SAW, “Barangsiapa yang di awal pagi mendedikasikan diri menolong orang yang dizalimi dan memberi yang orang Islam perlukan, maka ia mendapat pahala seperti haji mabrur.” 

Dari semua informasi di atas, maka dapat dimengerti bahwa bangun pagi jadi penanda waktu dimulainya semua kebaikan. Sementara pada setiap kebaikan yang dilakukan ada pahala tersendiri yang dijanjikan. Yang dijanjikan itu pasti akan diberikan. Allah SAW tegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran/3: 9).

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Pahala Meninggalkan Maksiat

Sekecil apa pun perbuatan dosa, ingatlah kepada siapa dosa itu diperbuat.

Pahala meninggalkan maksiat itu begitu hebat. Saking hebatnya sampa-sampai Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan kehinaan maksiat menuju kemuliaan taat, maka Allah akan membuatnya kaya tanpa harta, mengokohkannya tanpa tentara, dan membuatnya berjaya tanpa massa pendukung.” (HR. Baihaki). Alhamdulillah.

Secara umum, orang dikatakan kaya karena berharta. Harta dibelanjakan untuk mendapatkan kesenangan dan ketenangan. Namun harta hanya bisa membeli kesenangan, tidak ketenangan. Oleh karena itu, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad, orang yang meninggalkan maksiat akan diberikan ketenangan di dalam hati.

Sebuah bangsa menjadi kokoh karena dijaga oleh bala tentara. Sama seperti orang yang menjadi aman karena banyak para penjaga di kiri dan kanan. Namun bagi orang yang meninggalkan maksiat, akan diberikan kekuatan oleh Allah SWT. Sebuah kekuatan yang tidak ada yang mampu membandinginya dan menandinginya.

Dalam kontestasi politik, seorang kandidat pejabat legislatif atau eksekutif memburu konstituen untuk mendapatkan dukungan. Namun bagi orang yang meninggalkan maksiat, Allah SWT akan memberikan kejayaan dalam berbagai lapangan kehidupan tanpa perlu ada manusia yang mendukungnya. Allah SWT sendiri yang membuatnya berkibar.

Secara filosofis, meninggalkan maksiat adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Seseorang yang berbuat dosa kecil, misalnya, ia tidak boleh memandang kecilnya dosa itu. Tetapi kepada siapa dosa kecil diperbuat, yakni kepada Allah SWT. Sama seperti orang yang mendapatkan kebaikan kecil, harus dipandang dari siapa kebaikan itu berasal.

Dalam Mukasafah al-Qulub, Imam al-Ghazali bercerita tentang Utbah al-Ghulam. Sebelum menjadi seorang waliyullah, ia adalah pelaku maksiat kelas kakap. Satu waktu, ia tertarik untuk datang ke majelis Syaikh Hasan al-Basri di Basrah Irak. Ada yang hendak ditanyakan perihal maksiat yang dilakukannya kepada guru sufi yang dikenal bijak-bestari itu.

Dengan menundukkan kepala, di hadapan Syaikh Hasan al-Basri, Utbah al-Ghulam bertanya, “Wahai Syaikh, apakah orang seperti aku yang selama hidupnya berbuat maksiat, akankah tobatku diterima oleh Allah SWT?”. Dengan ringan Syaikh Hasan Bashri menjawab,”Ya, Allah SWT akan menerima tobatmu dan mengampunimu”.

Mendengar jawaban itu, bukan main kagetnya Utbah al-Ghulam. Saking kagetnya seketika ia pingsan. Setelah siuman, kembali ia menanyakan perihal perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya. Kembali Syaikh Hasan al-Basri menjawab dengan jawaban yang sama. Namun untuk kedua lainya, Utbah al-Ghulam pingsan karena rasa gembiranya yang begitu hebat.

Setelah sadar, ia mengangkat mukanya dan menengadahkan tangan seraya berdoa kepada Allah SWT. “Ya Allah, kalau benar Engkau telah mengampuni dosaku, maka mudahkanlah aku dalam mempelajari ilmu agama. Ya Allah, kalau benar Engkau telah mengampuni dosaku, anugerahi aku suara yang indah dalam melantunkan Alquran.

Ya Allah, kalau benar Engkau telah mengampuni dosaku, maka penuhi kecukupan makanan untukku setiap hari”. Singkat cerita, doa Utbah dikabulkan Allah SWT. Ia diberikan  kemudahan  memahami ilmu agama sehingga ia jadi orang yang dalam ilmunya. Allah SWT juga menganugerahinya suara indah, sehingga banyak orang kafir masuk Islam saat mendengar ia membaca Alquran.

Terakhir, Allah SWT juga menurunkan beberapa potong roti lengkap dengan kuahnya setiap pagi untuknya. Inilah pahala meninggalkan maksiat yang sangat hebat. Pahala yang berefek positif bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.  Semoga ada di antara kita yang mampu melaksanakannya.   Aamiin.

KHAZANAH REPUBLIKA

Agar Olah Raga Bersepeda Berpahala

Alhamdulillah olahraga sepeda mulai digemari di zaman ini. Olahraga bersepeda olahraga yang bagus dan cukup aman karena tidak terlalu memberatkan sendi. Olahraga ini cocok untuk berbagai usia termasuk orang tua sekalipun.

Di zaman ini, kita sangat perlu melakukan olahraga secara rutin, karena di zaman ini kita dimanjakan dengan berbagai macam sarana dan fasilitas yang menyebabkan tubuh kita kurang bergerak atau bahkan malas bergerak. Agama Islam pun mengajarkan agar kita selalu sehat dan kuat. Salah satu cara yang paling baik menjaga kesehatan dan stamina adalah dengan berolahraga rutin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.” [HR. Muslim]

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan

أن المؤمن القوي في إيمانه ، والقوي في بدنه وعمله : خيرٌ من المؤمن الضعيف في إيمانه أو الضعيف في بدنه وعمله ؛ لأن المؤمن القوي يُنتج ويَعمل للمسلمين وينتفع المسلمون بقوته البدنية وبقوته الإيمانية وبقوته العملية

“(Yaitu) Seorang mukmin yang kuat iman dan kuat badan serta amalnya, ini lebih baik daripada seorang mukmin yang lemah imannya dan lemah badan serta amalnya, karena mukmin yang kuat akan produktif dan memberikan manfaat bagi kaum muslimin dengan kekuatan badan, iman dan amalnya.” [Al-Muntaqa 5/380]

Bagi yang hendak melakukan olahraga bersepeda hendaknya kita memperhatikan beberapa poin berikut:

Pertama: kita niatkan olahraga agar badan sehat dan mudah melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan yang bermanfaat bagi manusia. Olahraga ini hukumnya mubah, akan tetapi suatu hal yang mubah dan merupakan wasilah ibadah akan menjadi senilai dengan ibadah tersebut sesuai niatnya. Sebagaimana kaedah

الوسائل لها أحكام المقاصد

“Wasilah/sarana sesuai dengan hukum tujuannya”

Wasilah atau sarana itu sesuai dengan tujuan dari niatnya, apabila wasilah atau hal-hal yang mubah kita niatkan untuk kebaikan maka ia juga akan bernilai kebaikan. Hendaknya kita luruskan niat olahraga sepesa bukan hanya sekedar ikut-ikutan, adu gengsi, adu bagus-bagusan dan adu mahal-mahalan sepeda

Kedua: Hindari berlebihan dalam membeli sepeda dan aksesorisnya. Tidak harus sepeda yang mahal atau sepeda sport. Jika memang mampu, maka Alhamdulillah,  tetapi apabila tidak mampu jangan dipaksakan dan jangan sampai terkesan boros. Cukup dengan sepeda biasa saja, yang penting tetap bisa bersepeda dengan baik.  Jangan sampai seperti ada oknum yang dia kucing-kucingan atau sembunyi-sembunyi dari istrinya membeli sepeda mahal dan berbagai aksesoris mahal, sedangkan untuk membelikan sekedar perhiasan murah  bagi istrinya atau  dia sangat pelit

Ketiga: olahraga hukumnya mubah. Hendaknya jangan sampai hal yang mudah ini melalaikan kita dari tugas yang utama semisal ibadah yang wajib. Hindari bersepeda sampai berlebihan karena salah satu tanda Allah berpaling dan tidak peduli dengan hambaN adalah dengan menyibukkan hamba tersebut dengan hal-hal yang mubah dan tidak bermanfaat. Misalnya berlebihan bersepeda itu meninggalkan istri dan anak di akhir pekan pada waktu liburan, ia pergi bersepeda seharian penuh. Padahal di akhir pekan itu ada hak istri dan anak-anak untuk bermain-main serta berekreasi dengan ayahnya, karena umumnya para ayah di hari kerja bekerja seharian

Keempat: Hindari adu gengsi dengan bersepeda terlalu kauh jaraknya, Amenempuh jarak sampai puluhan bahkan ratusan kilometer, lalu pamer di grup, screenshot dan menyebarkan di berbagai macam sosmed. Tidak  jarang kita dengar berita ada orang yang kecelakaan dan kecapekan dalam bersepeda 

Kelima: Hindari  bersepeda dengan rasa sombong dan mendominasi di jalan raya dengan menutup jalan bagi kendaraan lainnya.  Terkadang sepeda yang mahal dan  aksesoris yang mahal, kita merasa sombong seolah-olah kita menguasai jalan tersebut dan menyebabkan kendaraan yang lain susah berjalan 

Keenam: Apabila kita tidak bisa bersepeda keluar karena istri tidak setuju, mungkin karena istri ditinggal terus,  kita bisa bersepeda indoor yaitu bersepeda di rumah. Sepeda di rumah juga masih bisa meraih manfaat lainnya, misalnya bersepeda  sambil mendengarkan kajian menonton kajian atau menonton hal-hal yang bermanfaat selama 30 menit selama 1 jam atau bersepeda sambil mengobrol ringan dengan keluarga

Kami yakin poin-poin diatas hanya segelintir oknum saja yang melakukannya. Kita tetap optimis Indonesia sehat dengan bersepeda demikian semoga bermanfaat. Mari tetap semangat olahraga dan berdoa agar dijauhkan dari sifat malas.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” [ HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57391-agar-olah-raga-bersepeda-berpahala.html

Besar Kecilnya Pahala Sebanding dengan Pengorbanan

DIANTARA cara berkurban yang diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, adalah berkurban secara mandiri atau kolektif. Sapi dapat dikurbankan maksimal kolektif tujuh orang, onta sepuluh orang. Meski secara urutan, kurban onta lebih utama dari qurban sapi. Dan kurban sapi lebih utama dari qurban kambing. Dalilnya adalah hadis tentang anjuran berlomba-lomba untuk segera menghadiri shalat Jumat.

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat hadir (duduk) untuk mendengarkan dzikir (khutbah).”
(Muttafaqun alaih)

Pada hadis di atas bekurban unta disebutkan pertama, lalu sapi, kemudian kambing. Menunjukkan bahwa binantang kurban paling utama adalah onta. Karena memang harga onta paling mahal dibanding hewan kurban lain, sehingga pengorbanan dana paling besar dibanding kurban sapi atau kambing. Ada sebuah kaidah fikih yang sangat populer berkaitan dengan pahala suatu ibadah, “Besar kecilnya pahala, berbanding dengan kadar pengorbanan saat melakukan ibadah.”

Namun yang menjadi pertanyaan, antara korban mandiri dan kolektif, mana yang lebih besar pahalanya? Tentu saja berkurban secara mandiri lebih besar pahalanya. Karena orang yang berkurban mandiri, dia dapat meraup seluruh pahala menyembelih qurban secara utuh, berbeda dengan yang berkolektif, ibadah dan pahalanya untuk orang-orang yang tergabung dalam kolektif itu. Sementara letak inti nilai ibadah pada qurban, adalah pada menyembelihnya, karena Allah azza wa jalla.

Kesimpulan ini pernah dinyatakan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Berkurban kambing lebih utama daripada qurban onta secara kolektif. Karena menyembelih, adalah tujuan ibadah dalam ibadah kurban. Dan orang yang berkurban mandiri, dia dapat meraup seluruh pahala sembelihan qurban.” (Dikutip dari : Aujazul Masalik 10/227)

Sehingga bila kita urutan model berkurban dari yang paling afdhol:
Pertama, kurban mandiri:
1. Kurban onta.
2. Kemudian kurban sapi.
3. Lalu kambing.

Kedua, kurban kolektif:
1. Kolektif (maks) sepuluh orang untuk kurban onta.
2. Kemudian kolektif (maks) tujuh orang untuk kurban sapi.

Sekian, semoga mencerahkan. Wallahualam bis shawab. [Ustadz Ahmad Anshori, Lc]

Keutamaan Menanam dan Mengolah Tanaman bagi Muslim

JIKA ada non-muslim memberi sedekah, apa akan mendapat pahala dan balasan akhirat? Coba renungkan dua hadits berikut:

Dari Jabir radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Mabad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Mabad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Mabad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552)

Pada riwayat Muslim yang lain disebutkan, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman melaikan apa yang dimakan dari tanaman tersebut akan menjadi sedekah baginya. Apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan sedekahnya.” (HR. Muslim, no. 1552)

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengomentari hadits di atas, “Di dalam hadits tersebut terdapat keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat.”

Hal ini berbeda dengan sedekah jariyah. Tanaman yang disebut di atas tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai sedekah jariyah. Lihatlah tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya, tetap jadi amal yang pahalanya terus mengalir. Juga kata Imam Nawawi hadits ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang terbaik adalah bertani. Juga kata beliau bahwa pahala dan balasan akhirat hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin. Faedah lainnya lagi, seseorang dapat pahala ketika sesuatu yang miliki dicuri, dimakan oleh binatang ternak atau burung, dan semacamnya. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 10: 195)

Kesimpulan dari Imam Nawawi dari perkataan di atas: PAHALA DAN BALASAN AKHIRAT hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin (bukan orang kafir). Sungguh prihatin saja, saat ini sebagian pondok pesantren Islam malah membiarkan non-muslim masuk di tengah-tengah mereka untuk memberi bantuan. Yang mengherankan, non-muslim diagungkan bak pahlawan, padahal masih banyak saudara mereka yang muslim yang bisa membantu.

Kami doakan, moga Allah beri hidayah. Semoga jadi renungan. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Pahala Tiada Putus: Menggali Sumur

SUDAH saatnya kita bersemangat menanam investasi pahala selama masih di dunia. Karena masa hidup di dunia adalah kesempatan yang Allah jadikan tempat beramal. Untuk masa yang lebih abadi di setelah wafat. Kita akan melihat lebih dekat 7 amal yang dijanjikan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketiga, menggali sumur.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Suatu ketika ada seorang lelaki yang merasakan sangat kehausan, lalu ia menjumpai sebuah sumur. Diapun turun, lalu meminum airnya. Setelah itu ia naik lagi. Sesampainya di atas, dia melihat seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya memakan tanah yang lembab saking hausnya. Lelaki itu mengatakan, Anjing ini pasti merasa sangat kehausan sebagaimana hausku tadi.

Lalu ia kembali turun ke dalam sumur dan memenuhi sepatunya dengan air. Setelah itu ia beri minum anjing tersebut. (Oleh karena perbuatannya) Allah pun bersyukur kepadanya dan mengampuninya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah perbuatan baik kita terhadap hewan mendapat ganjaran pahala?” Rasulullah menjawab, “Pada setiap nyawa itu ada ganjaran pahala.” (Muttafaqun alaihi)

Jika hanya dengan memberi minum seekor anjing bisa menyebabkan semua dosanya terampuni, bagaimana pula dengan orang yang membuat sebuah sumur, yang bisa dimanfaatkan banyak orang? Tentu pahalanya sangat besar.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376980/pahala-tiada-putus-menggali-sumur#sthash.SXpvBeMo.dpuf

Pahala Jejak Kaki Ketika Menuju Ketaatan

ALLAH tidak hanya mencatat amal perbuatan yang kita lakukan, namun Allah juga mencatat semua pengaruh dari perilaku dan perbuatan kita. Allah berfirman, Sesungguhnya Kami yang menghidupkan orang mati, Kami catat semua yang telah mereka lakukan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan semuanya kami kumpulkan dalam kitab (catatan amal) yang nyata. (QS. Yasin: 12)

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dua tafsir ulama tentang makna kalimat, bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Pertama, Jejak kaki mereka ketika melangkah menuju ketaatan atau maksiat. Ini merupakan pendapat Mujahid dan Qatadah sebagaimana yang iriwayatkan oleh Ibnu Abi Najih.

Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma, bahwa ada Bani Salamah ingin berpindah membuat perkampungan yang dekat dengan masjid nabawi. Karena mereka terlalu jauh jika harus berangkat salat jemaah setiap hari ke masjid nabawi. Ketika informasi ini sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda, “Wahai Bani Salamah, perjalanan dari rumah kalian ke masjid akan dicatat jejak-jejak kaki kalian.” (HR. Muslim 1551, dan Ahmad 14940)

MOZAIK