Aria Wangsakara Sosok Ulama dan Pahlawan Pengusir Kompeni di Tangerang

Hari ini 10 November 2021 Bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai bagian dari mengenang jasa para pahlawan untuk diteladani semangat perjuanganya dalam berjuang membebaskan bangsa dan rakyat dari belenggu keterjajahan baik secara fisik maupun secara non-fisik. Tema yang diambil adalah “Pahlawanku Inspirasiku”.

Para pahlawan wajib menjadi inspirasi generasi bangsa, untuk terus berjuang dalam membangun bangsa dan banyak sekali palawan yang patut untuk dijadikan inspirasi, salah satu pahlawan yang ditetapkan sebagai pahlawan bertepatan dengan Hari Pahlawan adalah Raden Arya Wangsakara.

Dilansir dari laman news.detik.com Rabu (10/11). Raden Wangsakara merupakan tokoh dari Lengkong Tangerang yang melawan kompeni Belanda di masa Kesultanan Banten abad ke-17. Di masa itu, ia juga dikenal sebagai imam di kesultanan karena ilmu agamanya.

Arya Wangsakara juga digelari Kiyai Mas Haji Wangsaraja. Ia memiliki peran khususnya dalam peperangan Banten di era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda di Batavia.

Di buku ‘Catatan Masa Lalu Banten’ karya Halwany Michrob, pada 11 Mei 1658, Banten menyatakan perang kepada kompeni yang melakukan monopoli perdagangan. Pengumuman perang disampaikan oleh sultan dengan diikuti pengerahan pasukan ke daerah perbatasan-perbatasan dekat Batavia.

Pasukan perang yang dibentuk oleh kesultanan juga diikuti oleh para pembesar salah satunya Kartiduta, Aria Wangsakara dan Demang Narapaksa. Wangsakara yang dikenal alim duduk di atas tandu bersama pasukan. Mereka lalu berangkat ke Tangerang dan baru tiba di hari ke delapan lalu membuat barak di Tangerang dan Angke sebagai pusat pertahanan.

Pengerahan pasukan itu mendapat reaksi dari Belanda dengan mengumpulkan pasukan tentara dari berbagai daerah seperti Ternate, Bali, Bandan hingga Ambon. Pasukan ini juga ditempatkan di Angke dan saling berhadap-hadapan dengan pasukan Banten.

Di Angke itu, masing-masing pasukan awalnya hanya menahan diri meski dekat dan saling berhadap-hadapan. Baru pada hari ke delapan pertempuran keduanya pecah. Wangsakara di situ tulisnya memimpin doa agar pasukan Banten memenangkan perang dan menghancurkan kompeni.

“Setelah Haji Wangsaraja bedoa mohon perlindungan Allah untuk menghancurkan penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga. Sepanjang hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya,” tulis Halwani sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (10/11/2021).

Di buku ‘Aria Wangsakara Tangerang, Imam Kesultanan Banten, Ulama Pejuang Anti Kolonialisme 1615-1681’ yang ditulis Mufti Ali, kedua pasukan ini tulisnya hanya dipisahkan kali Cisadane dan memang tidak memulai peperangan selama 7 hari pertama. Baru di hari kedelapan terjadi pertempuran hingga malam.

“Sengitnya pertempuran dilukiskan dengan jelas di Sajarah Banten. Gempar orang yang ada di dalam kota, suara tambur dari Meriam, bersahutan dengan ringkikan kuda, derit kereta kuda besar dan kecil, diejek yang tertinggal, kuda-kuda dipacu kencang, kilatan cahaya senapan, pedang tombak, dan peluru,” tulisnya.

Setelah perang sehari, kedua pasukan kemudian jeda selama tiga hari. Pasukan Banten kemudian sepakat menggunakan strategi perang dadali dengan menyebar pasukan mengelilingi daerah musuh. Ada yang ke arah timur mengelilingi Jakarta bahkan ada yang bertugas membakar perkebunan.

Strategi ini rupanya berhasil dan pasukan Banten dapat merebut beberapa benteng pertahanan milik Belanda. Ada yang menguasai benteng belanda di Sudimara, hingga ada yang bisa menerobos ke timur Ciangke.

Pertempuran itu berakhir begitu ada perjanjian damai pada Juli 1659. Salah satu perjanjian itu menyepakati batas wilayah kekuasaan antara Kesultanan Banten dan kompeni Belanda yang menguasai Batavia.

“Dalam salah satu pasal dari sepuluh pasal dalam perjanjian damai yang ditandatangani pada 10 Juli 1659 tersebut disebutkan bahwa kedua belah pihak bersepakat untuk menentukan batas wilayah Banten dan Batavia dengan tapal batas Sungai Cisadane sejak dari muara hingga daerah pegunungan sampai Ange-Tangerang yang jatuh ke tangan kompeni,” tulisnya.

Selain perang melawan Belanda, masa Sultan Ageng Tirtayasa juga berhasil menguasai Sumedang dari hegemoni Mataram dan VOC. Sultan oleh Mufti disebut memberikan ucapan ke Aria Wangsakara yang notabenenya dari sana dan mengatakan bahwa daerah itu telah kembali ke kekuasaan Banten.

ISLAM KAFFAH

Ini Alasan Para Pahlawan Nasional Memilih Pakaian Islami Dalam Perjuangan Melawan Belanda

Jika kita kembali melihat sejarah, kita akan mendapati banyak dari para pahlawan bangsa yang memimpin perjuangan melawan lebih memilih pakaian Islami berupa Jubah dan Sorban daripada pakaian adat daerahnya.

Guru Besar sejarah Universitas Padjajaran Profesor Ahmad Mansur Suryanegara mengungkapkan bahwa alasan para pejuang mengenakan pakaian Islami dengan jubah dan Sorban adalah karena pada masa itu pakaian adat identik dengan para pembantu Penjajah Belanda untuk menindas masyarakat Nusantara.

Para pejuang seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo lebih memilih mengenakan busana Islami dari pada pakaian adat Jawa ketika melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada masa itu.

Berikut penjelasan lengkap yang ditulis Profesor Ahmad Mansur Suryanegara melalui akun Facebook pribadinya, pada hari Selasa 15 Desember tahun 2015:

“Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo menanggalkan busana adat Jawa ketika para pengena busana adat justru menjadi pembantu utama penjajah Protestan Belanda dalam menindas rakyat dengan menggunakan topeng budaya adat untuk memadamkan Cahaya Islam.

Pangeran Diponegoro, walau menyandang keris, menurut Dr Tjipto Mangunkusumo tidak pernah menghunus kerisnya di tengah peperangan. Tetapi selalu membacakan Al Quran untuk membangkitkan jiwa juang umat dan rakyat pendukungnya yang anti penjajah.

Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo berbusana Islami menyelamatkan bangsanya dari keruntuhan moral bangsanya.

Pembusana adat Djawa bertingkah laku pemadat, merendahkan martabat wanita, perusak keluhuran adat Djawa, perusak Syariah Islam dalam Istana Kesultanan dan di masyarakat Djawa. Berkedok memelihara Adat Djawa, tapi bermental rendah.

Bila disebutkan “Ora Ndjowo” artinya tingkah lakunya tidak Islami. Saat itu “Jowo” atau “Jawa” di masyarakat memiliki arti mengerti. Bila disebut “Ora Ndjowo” artinya adalah ora ngerti atau tidak Islami. Ora artinya tidak. Djawa artinya Islam dan Pribumi berseberangan penjajah yang asing.

Dalam perjalanan sejarah, adat daerah di Nusantara diperadabkan oleh ajaran Islam. Pada masa penjajahan Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintah Kolonial Belanda, Adat budaya yang bersifat lokal dijadikan pemecah belah kesatuan bangsa atau umat. Dijadikan alat oleh penjajah melawan Islam yang bersifat universal dan pemersatu bangsa Indonesia” (IM/Ram)

ERA MUSLIM