Perbedaan Pungli dan Pajak dalam Perspektif Islam

Di dalam kajian fikih madzhab, penyerahan harta kepada pihak lain dihukumi sah bilamana penyerahan tersebut mengikut pada aturan dan ketentuan syara’ yang berlaku. Kita bisa memetakannya berdasar ada atau tidaknya akad pertukaran barang dan jasa.

Penyerahan yang sah yang disertai ketiadaan akad pertukaran barang atau jasa, ada meliputi: 1) zakat, 2) infaq, 3) shadaqah, 4) hibah, 5) hadiah, 6) wakaf, 7) waris, 8) utang, 9) rampasan perang, dan 10) harta khumus dari harta rikaz. Adapun penyerahan yang sah dan disertai akad pertukaran barang dan jasa, meliputi: 1) jual beli dan barter, 2) qiradl (permodalan), 3) istitsmar (investasi), syirkah 4) gadai, 5) upah (fee), 6) ju’lu (komisi) 7) ganti rugi (ta’widl), 8) iuran. Pajak dalam kajian sebelumnya masuk dalam rumpun nafkah. Adapun cukai masuk dalam rumpun ganti rugi. (Baca: Pajak dalam Pandangan Hukum Islam)

Adapun penyerahan harta kepada pihak lain, bisa dipandang sebagai tidak sah, manakala ditemui adanya illat keharaman di dalamnya. Kita juga bisa membedakannya menjadi 2, yaitu berdasar ada atau tidaknya barang yang dijadikan wasilah.

Penyerahan harta yang tanpa disertai wasilah berupa barang atau jasa dan hukumnya tidak sah, antara lain: 1) harta curian, 2) harta hasil perampokan, 3) harta pemaksaan (mustakrah) dari selain hakim, 4) harta ghashab, 5) harta rampasan yang bukan akibat perang, 6) harta hasil kecurangan, 7) harta riba qardli, dan lain sebagainya. Sementara itu, penyerahan yang tidak sah dengan ditanda adanya wasilah berupa barang atau jasa, antara lain: 1) harta hasil riba jual beli (riba nasiah, fadhly, dan al-yad), 2) suap (risywah), 3) harta hasil jual beli dengan curang, 4) harta judi, 5) harta hasil undi nasib, 6) pungutan liar karena alasan jasa keamanan, dan lain sebagainya.

Sebenarnya yang membedakan antara sah dan tidaknya suatu penyerahan harta kepada pihak lain adalah tergantung pada ada atau tidaknya illat keharaman. Pada kasus money game misalnya, mengapa penyerahan harta itu disebut sebagai tidak sah, adalah disebabkan karena ketiadaan kerja / usaha dan ruang penyaluran usaha. Ketika tidak ada kerja dan usaha, maka penyerahan harta yang disertai janji pengembalian lebih dari yang harta yang diserahkan, merupakan buah dari relasi adanya unsur eksploitatif dan aniaya. Sedikit atau banyak janji kembalian, tetaplah tersimpan makna sebagai penyerahan yang aniaya karena unsur melazimkan sesuatu kepada pihak lain yang tidak seharusnya. Syara’ melabelinya sebagai haram. Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka ada hisabnya kelak di akhirat sebagai wa al-naru aula bihi (neraka merupakan yang utama baginya).

Melazimkan sesuatu kepada pihak lain, hanya dibenarkan adanya relasi yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, karena relasi juragan dan pekerja, penjual dan pembeli, pemodal dan yang dimodali, pengusaha dengan pemodal, pernikahan, orang tua dan anak, anak yatim dan walinya, mayit dan ahli waris, orang yang wasiat dan diwasiati, pihak yang merugikan dan yang dirugikan, negara dan warganya (muwathanah). Akad kelaziman tidak berlaku terhadap relasi penganggur dan pendapatan (income), tidak bermodal dengan pendapatan, perampok dan harta hasil rampokan, hakim dengan uang suap, dan relasi-relasi lain sejenisnya. Relasi ini selain tidak disahkan oleh syara’ (hukum taklifi), juga merupakan relasi yang tidak masuk akal, sehingga menyalahi hukum sebab-akibat (hukum wadl’i).

Dalam konteks seperti ini, maka sebenarnya yang dikehendaki oleh syariat, adalah bukan hanya kemaslahatan dunia, melainkan juga kemaslahatan di akhirat yaitu selamat dari api neraka. Itu maknanya, setiap individu harus selamat dari mengambil harta secara aniaya dan menindas pihak lain.

Oleh karena itu, syara’ menggariskan pula bahwa suatu akad akan dipandang sah selain karena faktor illat yang ditetapkan, juga karena hikmah yang didapatkan, seperti saling ridla (an taradlin), dan thayyibi al-anfus (cara pengambilan dilakukan dengan cara yang baik).

Illat dan hikmah ini selanjutnya bisa kita gunakan untuk menetapkan status hukum pungutan liar (pungli), suap, dan apa yang membedakannya dari iuran, pajak atau cukai.  Jika kita berhenti pada makna pungutan harta unsigh, maka berhenti pada pengertian ini dapat menggiring kita pada penyamaan. Namun, bila kita memandang adanya faktor luar (aridly) yang menyertainya, maka kita akan menjadi lain memandangnya. Itulah sebabnya para ulama dari lembaga fatwa al-Azhar menyatakan:

ليس المراد منه ما قد يتبادر إلى ذهن البعض؛ من مواساة الفقراء والمحتاجين فقط، بل مرادنا ما هو أعم من ذلك؛ من حق المجتمع على الفرد في التعاون على إقامة مصالح الدولة كافة، ولجماعة المسلمين حق في مال الفرد

“Tidak ada maksud kami untuk bersikap tergesa-gesa menyampaikan kabar gembira bagi orang fakir dan pihak yang berkebutuhan unsigh, namun lebih dari itu, kami bermaksud ke hal yang lebih umum lagi, yaitu haknya masyarakat yang wajib berlaku atas individu di dalam ikut serta membantu mewujudkan kemaslahatan umum bagi negaranya, sebagaimana layaknya hak jamaah (perkumpulan) kaum muslimin atas individu pembentuk jamaah.” (Fatawi al-Azhar)

Pajak dan cukai, memiliki relasi kelaziman (sebab akibat) yaitu berupa ikatan akad muwathanah (relasi negara dan warga negara) dan wajibnya ganti rugi terhadap kerugian yang muhaqqaq (nyata dan bisa dipastikan). Relasi muwathanah ini kedudukannya sama dengan relasi munakahah, sehingga melazimkan nafkah. Demikian halnya dengan cukai, yang memiliki relasi penyebab tidak langsung terhadap timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dewasa ini menjadi sangat penting diperhatikan, bahkan dtetapkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup.

Lain halnya dengan pungutan liar dan suap. Keduanya selain dicela oleh syariat, juga ditetapkan sebagai terlarang oleh hukum positif (wadl’i) negara.

Pajak dan cukai dibolehkan oleh ulama jumhur (ulama yang berafiliasi dengan pemerintahan), karena faktor khidmahnya penyelenggara negara. Setiap khidmah merupakan kulfah (kerja). Dan setiap kerja, membutuhkan ujrah (fee). Adapun karena khidmah, maka berlaku wajibnya nafkah, sebagamana khidmahnya istri, berlaku wajibnya nafkah baginya. Antara nafkah dan ujrah menduduki posisi yang hampir setara, dan dibedakan oleh unsur thayyibi al-anfus.

Hal semacam ini tidak kita temui pada pungutan liar (pungli) dan risywah. Pungli ini dalam literasi Arab juga disebut sebagai al-maks. Ada jiwa yang tertindas di dalam pungli dan suap, sehingga menjadi antitesa dari thayyibi al-anfus yang berlaku pada pajak. Itu sebabnya kita mendapati keterangan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يدخل الجنة صاحب مكس

“Tidak masuk surga orang yang berprofesi sebagai shahibu maksin (pungutan liar).”

Mushannif dari kitab Auni al-Ma’bud menjelaskan pengertian dari shahibu maksin ini sebagai:

صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر

Shahibu al-maks adalah pihak yang memungut pedagang yang ditemuinya, yang kemudian dikenal sebagai al-‘usyur (10%).” (Aunu al-ma’bud, Juz 8, halaman 111)

Batasan bahwa suatu pungutan itu disebut maksin, adalah bila terdapat indikasi, sebagai berikut:

المكس النقص والظلم ودراهم كانت تؤخذ من بائعي السلع في الأسواق في الجاهلية أو درهم كان يأخذه المصدق بعد فراغه من الصدقة انتهى

“Al-maksu yang bersifat mengurangi dan mendhalimi, adalah dirham yang dipungut dari pedagang yang ada di pasar pada masa jahiliyah atau dirham yang diambil oleh penarik zakat dari orang yang sudah membayarnya.” (Aunu al-ma’bud, Juz 8, halaman 111)

Berangkat dari penjelasan terakhir ini dapat kita simpulkan bedanya al-maks dengan pajak. Al-Maks merupakan pungutan liar atau pungutan lain selain yang ditentukan kewajibannya, misalnya menarik lagi zakat setelah selesai ditunaikanya zakat sehingga zakatnya menjadi double. Jadi, ada unsur aniaya yang terdapat di dalam pungutan itu sehingga jauh berbeda pengertiannya dengan pajak. Di dalam al-maks tidak ada akad kelaziman yang berlaku dan dibenarkan oleh syara’.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Pajak di dalam Islam

Pertanyaan

Saya telah memperoleh ijazah perpajakan dan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda terkait hukum bekerja di instansi perpajakan.

Pertama, apakah saya boleh bekerja di instansi perpajakan dan apakah secara syar’i bekerja di sana hukumnya halal?

Kedua, apakah mewajibkan pajak di samping zakat diperbolehkan di negara Islam?

Ketiga, apabila bekerja di instansi perpajakan diperbolehkan, maka bagaimana memahami hadits yang mencela pajak dan pemungutnya?

Saya berharap Anda dapat menghilangkan kegalauan saya dalam permasalahan ini. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Jawaban Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus –hafizhahullah– :

الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد

Sebelum masuk ke dalam jawaban pertanyaan di atas, kita perlu membedakan antara dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazha-if” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :

  1. Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya.
  2. Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.

Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]

dan firman-Nya,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)

Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].

Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.

Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.

Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :

  1. Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
  2. Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
  3. Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara  yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.

Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.

Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا يحلّ مال امرئ مسلم إلاّ بطيب نفس منه

Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya[1]

من قتل دون ماله فهو شهيد

Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid[2].

ألا إنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام

Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar)[3].

Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan. Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas. Gambaran inilah yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Kabair dengan komentarnya,

المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق

Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.

Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.

Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwa pajak tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

تؤخذ من أغنيائهم و ترد على فقرائهم

Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan kepada kalangan fakir[4].

Berdasarkan penjelasan di atas, maka seorang muslim yang peduli akan agamanya berkewajiban menjauhi segala bentuk keharaman dan kemaksiatan serta menjauhkan diri dari setiap pekerjaan yang justru akan memperbanyak dosa dan mengotori harta yang dimilikinya. Sebagaimana dia berkewajiban untuk tidak menjadi alat dan perantara untuk memaksa dalam tindak kezhaliman yang digunakan oleh para pelakunya dalam  membebani manusia dengan berbagai pungutan harta.

Bahkan, bisa jadi dia termasuk pelaku kezhaliman itu sendiri, karena biasanya seorang yang berserikat dengan para pelaku kezhaliman dan berbagi harta yang haram dengan mereka, (maka hal itu juga merupakan tindak kezhaliman), karena syari’at apabila mengharamkan suatu aktivitas, maka uang yang diperoleh dari aktivitas tersebut juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قاتل الله اليهود لمّا حرّم عليهم شحومها جملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه

Semoga Allah membinasakan Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, mereka malah mencairkannya, kemudian menjual dan menggunakan uang hasil penjualannya[5].

Adapun penetapan pajak di samping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil dan tindakan ‘Umar ibn al-Khaththab radliallahu ‘anhu yang mendukung hal tersebut.

Inilah yang nampak bagiku dalam permasalahan ini. Apabila benar, maka hal itu berasal dari Allah dan jika keliru, maka hal itu berasal dari diriku. Saya memohon kepada Allah untuk meneguhkan langkah kita, menjauhkan kita dari kesesatan, memberi taufik kepada kita untuk mengerjakan amalan yang mengandung kebaikan di dunia dan akhirat, serta menjadikan diri kita sebagai sarana dalam memperbaiki manusia dan negara. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamenguasai dan Mahaberupaya atas hal itu.

وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين؛ وصلّى الله على محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما

Aljazair 12 Jumadi al-Awwal 1417 H

http://www.ferkous.com/rep/Bi2.php

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Saudi Terapkan PPN 5%, Kemenag Kaji Biaya Ibadah Haji 2018

Jakarta (Kemenag) — Terhitung 1 Januari 2018, Pemerintah Arab Saudi memberlakukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar 5%. PPn ini dikenakan bagi produk makanan, pakaian, barang elektronik, bensin, serta tagihan telepon, air dan listrik, dan pemesanan hotel.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengaku sedang mengkaji dampak kebijakan ini, utamanya terkait dengan biaya ibadah haji 2018.

“Kita sekarang sedang mendalami penetapan biaya ibadah haji 2018. Tentu akan ada kenaikan karena semua komponen, akomodasi, konsumsi, transportasi, terkena penambahan 5% itu,” terang Menag usai memimpin upacara peringatan Hari Amal Bakti Kementerian Agama di Jakarta, Rabu (03/01).

“Kita sedang menghitung agar kenaikan itu tetap dalam jangkauan jamaah dan tidak jauh melonjak. Kita masih mendalami rincian biaya haji ini,” sambung Menag.

Menag mengaku mendapat kepastian tentang kebijakan ini sekitar dua minggu lalu, tepatnay saat berkunjung ke Saudi. Dalam kesempatan itu, Menag bertemu Menteri Haji Arab Saudi untuk membahas dan menandatangani MoU penyelenggaraan ibadah haji 1439H/2018M.

 

KEMENAG RI