Pandangan Ibnu Arabi Mengenai Isra Mi‘raj Rasulullah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Isra Mi’raj adalah sebuah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad saw. dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha dan kemudian menuju Sidratulmuntaha pada malam hari untuk menerima perintah salat lima waktu.

Secara teologis peristiwa Isra Mi’raj ini diyakini benar adanya. Sebab, ia disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an (al-Isra’ (17): 1), “Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” dan beberapa hadis Nabi saw.

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa hadis tentang Isra Mi’rajadalah mutawatir karena diriwayatkan oleh sekitar dua puluh sahabat. Dalam peristiwa ini, sebagian besar ulama sepakat bahwa perjalanan Rasulullah saw. tersebut dengan jasadnya.

Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi, salah satu sufi besar, juga membenarkan bahwa Rasulullah saw. melakukan perjalanan Isra Mi’raj dengan jasad dan ruhnya dalam keadaan sadar (Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, t.t.: 25).

Menurut Wahbah az-Zuhaili, Rasulullah saw. menunggangi Buraq dalam keadaan sadar dengan ruh dan jasadnya, bukan dengan ruhnya saja dan bukan pula dalam keadaan tertidur (bermimpi). Hal ini karena kalimat bi ‘abdihi menunjukkan kepada ruh dan jasad.

Kenyataan ini menandakan bahwa Rasulullah saw. melakukan perjalanan Isra Mi’rajdengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar. Sebab, kalau perjalanan Rasulullah saw. tersebut hanya dengan ruhnya saja, maka Allah akan menyebutnya dengan redaksi bi ruhi ‘abdihi. Pendapat bahwa Rasulullah saw. berjalan dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar juga diperkuat oleh an-Najm (53): 17 (at-Tafsir al-Munir, 2009, VIII: 14 & 16-17).

Di sisi lain, Ibn Katsir menyebutkan salah satu hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. melaksanakan salat berjemaah terlebih dahulu di Baitul Maqdis (masjid Al-Aqsa) sebelum menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Dalam kesempatan itu, beliau menjadi imam dan makmumnya adalah seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2000: 1086).

Peristiwa ini diabadikan secara indah dalam salawat Tarhim, karya Syekh Mahmoud Khalil al-Hussary, seraya menyebutkan bahwa yang bermakmum kepada Nabi Muhammad saw. waktu itu adalah seluruh penghuni langit (wa taqaddamta li ash-shalah fa shalla kullu man fi as-sama’ wa anta al-imam).

Selain itu, para ulama masih berbeda pendapat terkait kapan waktu (tahun, bulan, tanggal, dan harinya) terjadinya peristiwa Isra Mi’rajtersebut. Menurut Muqatil, az-Zuhri, dan ‘Urwah, peristiwa Isra Mi’rajterjadi setahun sebelum hijrah pada bulan Rabiulawal. Al-Hafizh ‘Abd al-Gani menyebutkan terjadi pada malam tanggal 27 bulan Rajab dan al-Harbi menyebutkan terjadi pada malam 27 bulan Rabiulakhir setahun sebelum hijrah.

Sementara Ibn Sa‘ad menyebutkan terjadi sebelum hijrah kurang 18 bulan. Wahbah az-Zuhaili sendiri lebih setuju kepada pendapat setahun sebelum hijrah ke Madinah (at-Tafsir al-Munir, VIII: 13-14 & 18). Adapun kalender Hijriah di Indonesia menetapkan peristiwa Isra’-Mi‘raj pada tanggal 27 Rajab. Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH