Keluarga Sholihah dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an telah mengatur semua masalah dalam setiap sisi kehidupan kita. Dari yang hal-hal terkecil sampai masalah-masalah yang besar tidak pernah diabaikan oleh Al-Qur’an.

مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ

“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab.” (QS.Al-An’am:38)

Setiap urusan yang berkaitan dengan keselamatan dan kebahagiaan manusia telah diatur dengan rapi oleh Al-Qur’an. Tinggal pilihan berada ditangan kita untuk mau mengamalkannya atau tidak.

Salah satu pelajaran penting yang akan kita petik pada hari ini adalah ketika Allah menceritakan tentang keluarga Nabi Zakaria as.

Ketika menceritakan keluarga Nabi Zakaria as, Al-Qur’an memberi tiga poin penting yang perlu diperhatikan dalam keluarga ini.

Allah swt berfirman,

فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’:90)

Ada tiga poin penting yang perlu kita renungkan dalam keluarga ini :

1. Mereka selalu berlomba untuk melakukan kebaikan.

Apa yang dapat kita bayangkan bila setiap keluarga selalu berlomba ingin memberikan yang terbaik.

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan.”

2. Selalu menjalin hubungan dengan Allah swt.

Keluarga ini selalu memohon bimbingan kepada Allah swt dari yang hal-hal kecil hingga yang hal-hal yang besar.

Dalam keadaan senang atau susah, keluarga ini tetap selalu mengingat Allah swt.

“dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas.”

3. Keluarga ini selalu dipenuhi kekhusyu’an dan setiap perbuatannya dilakukan untuk Allah semata.

Dalam keadaan punya atau kekurangan keluarga ini selalu berada dalam sikap tawadhu’ dan menerima ketentuan Allah swt.

“Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”

Dalam ayat ini keluarga bahagia digambarkan dengan tiga syarat. Yaitu saling berlomba dalam kebaikan, tidak pernah putus hubungannya dengan Allah swt dan selalu melaksanakan perintah Allah dengan khusyu’. Ibadahnya penuh kekhusyu’an dan hatinya khusyu’ dalam menerima semua ketentuan Allah swt.

Dalam ayat lain disebutkan,

وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya.” (QS.Tha-Ha:132)

Inilah kriteria-kriteria keluarga sholihah dalam Al-Qur’an. Semoga kita memperoleh keluarga yang sakinah, sholihah dan penuh kebahagiaan dengan mengikuti tuntunan Al-Qur’an

Semoga bermanfaat

 

KHAZANAH ALQURAN

Pentingnya Pola Asuh Ayah

Seorang ibu dipandang menjadi sosok yang sangat penting dalam merawat anak-anak sejak usia dini hingga menginjak dewasa. Sentuhan ibu sejak kepada anak sejak usia 0 tahun dinilai akan menentukan perkembangan anak ke depannya.

Pembina Forum Usroh, Irwan Rinaldi, dalam kajian bertema Satu Momen untuk Selamanya di Masjid Nurul Amal, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama ini mengatakan, ayah juga mempunyai peranan penting dalam menentukan perkembangan anak. Menurut dia, persoalan kenakalan remaja salah satu penyebabnya kurangnya perhatian ayah kepada mereka.

“Persoalan korupsi, narkoba banyak penyebabnya salah satunya lemahnya peran ayah.

Ini gak bisa ditolak,” ujar Irwan mengungkapkan penyebab kenakalan tersebut berdasarkan hasil penelitiannya.

Selain kasus tersebut, kasus lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) pun diakibatkan oleh peran ayah yang lemah dalam pengasuhan. Oleh karena itu, Irwandi mendorong para ayah agar berperan sebagai pengasuh ketika berada di rumah.

Pasalnya, sejauh ini banyak dari ayah yang tidak melakukannya meskipun sedang berada di rumah.

Seorang anak, lanjut Irwan, membutuhkan pelajaran dari sosok ayah. Irwan berpendapat jika ingin seorang anak sukses pada masa depan, penting untuk melihat pemahaman ayah dalam mendidik. Pasalnya, ayah merupakan tokoh moral bagi anak.

“Karena anak itu amanah dunia. Maksudnya jangan meninggalkan anak- anak yang lemah,” kata Irwan.

Menurut Irwan, generasi lemah setidaknya disebabkan oleh usia biologis mereka lebih maju daripada psikologis. Padahal, justru idealnya justru sebaliknya, yakni usia psikologis anak lebih maju dibandingkan biologis.

Irwan mengungkapkan, usia anak antara 0-15 tahun harus dimanfaatkan sesungguh-sungguhnya oleh ayah. Karena pada usia tersebut, Allah memberikan potensi yang luar biasa. Hanya, Irwan menilai ayah tak memiliki buku panduan bagaimana cara mengasuh.

Akibatnya pola asuh yang dilakukan tak sesuai anjuran.

“Itu sebabnya guru TK bukan guru sembarangan. Kalau gak punya bukunya kita mau ngapain, ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Irwan juga menjelaskan tentang pembagian waktu luang bagi ayah dalam mengasuh anak. Sebagai ayah, waktu mereka harus terbagi dengan pekerjaan. Sehingga dibutuhkan pembagian waktu yang tepat.

Irwan membagi waktu ayah menjadi tiga, yaitu bekerja, sisa, dan bermakna.

Ia mendorong supaya ayah memanfaatkan waktu bermakna secara maksi- mal meskipun jauh lebih sedikit dibandingkan waktu bekerja dan sisa. Waktu bermakna, yaitu bagaimana seorang ayah perhatian seluruhnya berpusat kepada anak.

Ia tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga terlibat secara jiwa. Sehingga tercipta keintiman antarkeduanya.

Ia mengungkapkan bahwa anak pada usia 0-6 tahun sangat membutuhkan sentuhan kedua orang tuanya, terlebih ayah. Pada usia tersebut, ia membutuhkan kenyamanan luar biasa.

Dalam situasi seperti ini, Irwan menilai sentuhan ayah harus masuk. Anak butuh fisik dan psikologis. “Anak agak susah kalau gak punya psikologis,” Ia menegaskan.

Oleh sebab itu, Irwan mendorong agar para ayah mengoreksi diri sendiri tentang pola asuh kepada anak. Menurut dia, ada dua tipe pola asuh, yaitu keterlibatan langsung dan tidak langsung.

Namun, Irwan menganjurkan agar pola asuh lebih kepada keterlibatan langsung. Seorang ayah dituntut untuk selalu membuat sesuatu yang bermakna dengan anak.

Salah satu kuncinya mengenal anaknya sendiri. Selain mengenal fisik, juga harus memahami fase perkembangan anak.

Irwan menyadari bahwa terjadi perubahan pola asuh dalam sejarah keayahan di Indonesia. Pada 1970-an, pola asuh yang diterapkan berbasis agama.

Sedangkan, saat ini pola tersebut bergeser, yaitu ayah hanya sebatas seorang pencari nafkah dan penyambung keturunan. Kondisi seperti saat ini, menurut Irwan, sangat membahayakan bagi perkembangan anak. Hal itu pula yang mem buat anak-anak banyak terjerumus kepada perilaku negatif, seperti mengonsumsi narkoba dan seks bebas.

REPUBLIKA

Usia 18 Tahun, Ibnu Khaldun Telah Kuasai Berbagai Ilmu, Bagaimana Dengan Anak Kita?

Hebat sekali, pada umur 18 tahun Ibnu Khaldun sudah menguasai ilmu keislaman dan umum. Pada umur itu ia juga sudah mandiri dalam belajar dan tidak bergantung kepada seorang guru. Tentunya apa yang dialami Ibnu Khaldun berbeda dengan anak-anak kita saat ini, dimana pada umur sekian masih disibukkan dengan les sana- les sini. Anak-anak kita pun belum mandiri dalam belajar dan masih harus terikat pada seorang guru.

Temuan itu diungkap oleh Dinar Kania Dewi, Kandidat Doktor Pendidikan Islam, dalam Diskusi Sabtuan INSISTS, berjudul Konsep Pendidikan Ibn Khaldun dalam Kitab Muqaddimah (2011).

Ibnu Khaldun (1332 M/732 H) merupakan salah satu ilmuwan besar yang lahir ketika peradaban Islam mengalami ujian berat di Timur maupun di Barat. Bisa dikata Ibnu Khaldun adalah ulama langka. Namanya harum hingga Eropa dan Amerika sebagai asset ilmuwan dunia yang menguasai berbagai jenis keilmuan.

Selain menguasai ilmu hadis dan fiqh, Ibn Khaldun juga menguasai ilmu-ilmu rasional (filosofis), yaitu teologi, logika, ilmu alam, matematika dan astronomi. Selain itu, Ibnu Khaldun juga seorang pendidik.

Berbeda dengan konsep Pendidikan Sekular, Ibn Khaldun berpandangan bahwa kebenaran yang hakiki bersumber dari Allah SWT. “Ibnu Khaldun selalu meletakkan wahyu sebagai premis mayor, bukan premis minor,” kata Dinar.

Dalam kitabnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun juga menyoroti problematika pendidikan pada zamannya yang masih relevan hingga saat ini. Menurut Ulama yang pernah menjadi Qadi di Universitas Al Azhar itu, ringkasan yang biasa diperintahkan seorang guru kepada murid adalah salah satu bentuk masalah dalam pengajaran.

“Ini bisa jadi intropeksi juga bagi kita, yang kadang suka baca buku ringkasan, ketimbang buku rujukannya langsung,” sambung Ibu dua anak ini.

Selain itu, beragamnya metode dalam pendidikan menyebabkan pelajar menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menguasai berbagai metode yang sebenarnya maknanya satu dan sama. Dinar pun akhirnya mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap berganti-ganti kebijakan.

“Saat ini pemerintah kita ganti menteri, ganti kebijakan. Metode pun berbeda-beda dalam pendidikan kita saat ini dari mulai quantum learning, accelerated learning, hipnoparenting dan lain sebagainya.” Kritik Direktur Operasional Andalusia Islamic Education Management Service itu.

Salah satu ciri khas konsep pendidikan yang dilahirkan oleh Ulama kelahiran Tunisia tersebut adalah apa yang disebut dengan malakah. Malakah bisa dikatakan kebiasaan yang sudah mengakar dalam diri seseorang hingga bentuk perbuatan itu dengan kokoh tertanam (dalam pikiran). Mencapai malakah hanya dimungkinkan melalui pembelajaran yang bertahap (tadrij) disertai pengulangan dan pembiasaan.

“Malakah akan menciptakan pengetahuan reflek pada seseorang. Ilmu yang sudah dipelajarinya akan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.” jelas Dinar

Metode paling mudah untuk memperoleh malakah, kata Ibnu Khaldun, adalah dengan melalui latihan diskusi atau debat ilmiah guna mengungkapkan pikiran-pikiran dengan jelas dan perdebatan masalah-masalah ilmiah. Inilah cara yang mampu menjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian dan bukan melalui hapalan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya

“Makanya, Ibnu Khaldun itu dianggap ahli dalam ilmu retorika,” ungkap Dinar.

Ada tiga hal metode pengajaran yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun. Pertama adalah Penyajian Global (sabil al-ijmal). Pada tahap awal pengajaran sebuah disiplin ilmu/ aspek keterampilan, guru hendaknya menyajikan hal-hal pokok, problem-problem yang prinsip dari setiap materi pembahasan dalam bab-bab yang dijelaskan. Keterangan atau penjelasan dari guru harus bersifat global (ijmal) serta memperhatikan potensi intelek (aql) dan kesiapan (isti’dad) dari masing-masing peserta didiknya untuk menangkap apa yang diajarkan kepadanya.

Kedua, Pengembangan (al-syarh wa al-bayan). Pengetahuan atau keterampilan yang disajikan harus diangkat ketingkat yang lebih tinggi. Guru harus menyertakan ulasan tetang berbagai aspek yang menjadi kontradiksi di dalamnya dan ragam pandangan (teori) yang terdapat pada materi tersebut. Keahlian pelajar pada tahap ini harus lebih disempurnakan.

Terakhir adalah penyimpulan (takhallus).Pokok pembahasan harus disampaikan dengan lebih mendalam dan lebih rinci dalam konteks yang menyeluruh. Segala aspek yang ada berserta pemahamannya harus dipertajam lagi dan semua masalah penting, sulit dan kabur harus dituntaskan. Pada tahap terakhir ini diharapkan malakah dari pelajar mencapai kesempurnaan.

 

ERA MUSLIM

Wahai Para Orang Tua, Jangan Musuhi Anakmu

NABI Nuh adalah nabi yang paling panjang usianya. Menurut salah satu riwayat, umur beliau lebih 1.000 tahun. Dalam hidup selama itu, ternyata lebih banyak derita yang dialami ketimbang bahagia. Derita dan bahagia yang dimaksud adalah musibah dan anugerah. Beliau sangat sabar dan tetap bersyukur. Karenanya beliau bergelah ‘abdan syakuura.

Di antara musibah beliau adalah anak beliau yang durhaka kepada beliau. Anaknya mendustakan kerasulan beliau sekitar 1.000 tahunan. Ternyata, kedurhakaan selama itu tak menjadikan Nabi Nuh keras hati dan kehilangan kasih sayang. Saat badai topan terjadi dengan banjir melanda, Nabi Nuh masih terus mengajak anaknya supaya naik ke perahu agar selamat bersama beliau. “Anakku, mari naik bersama kami,” ajak beliau.

Pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa orang tua tidak boleh bosan-bosan mengajak anak menjadi baik dan lebih baik. Setiap ada waktu bermakna masih ada kesempatan untuk berubah. Lebih dari itu, kisah di atas adalah kabar bermuatan perintah “wahai orang tua, jangan musuhi anakmu.”

Pandulah anak dengan cinta, doakan anak dengan tulus dan teruslah memberi perhatian untuk keselamatan dan kebahagiaan anak. Kebahagiaan orang tua seringkali dititipkan Allah dalam kebahagiaan anak. Semoga kita dan anak-anak kita senantiasa diselamatkan dan dibahagiakan Allah.

 

INILAH MOZAIK

Orangtua Berdosa Bila Biarkan Anak Pakai Rok Mini

APABILA seorang ibu memakaikan rok pendek pada putrinya dan si ayah sendiri ketika melihatnya tidak berkomentar, padahal sebenarnya ia tidak setuju dengan pakaian tersebut, lalu apakah si ayah berdosa atas sikapnya tersebut?

Berdasarkan Ensiklopedi Anak karya Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, Darrus Sunnah dinyatakan bahwa keduanya berdosa.

Seorang ayah berdosa karena ia penanggung jawab seluruh isi rumah tangganya, terhadap istrinya dan anak-anaknya. Seharusnya ia menasihati istrinya, yaitu ibu dari putrinya, dan juga menasihati putrinya.

Si ibu juga berdosa karena ia bertanggung jawab terhadap putri-putrinya dan ia rida dengan pakaian seperti itu untuk putrinya. Artinya, baik si ayah maupun si ibu telah bahu-membahu dalam melakukan dosa dan permusuhan.

Tanggung jawab dan beban seorang suami lebih besar ketimbang tanggung jawab sang istri, karena dia lah tulang punggung keluarga, istri dan anak-anaknya. Adapun istri, ia memiliki tanggung jawab yang lebih kecil, yaitu hanya bertanggung jawab terhadap putra-putrinya.

Intinya, baik ayah maupun ibu sama-sama berdosa karena mereka berdua telah bahu-membahu berbuat dosa dan permusuhan, serta telah membiasakan perbuatan buruk kepada putrinya sejak usia dini. [Fatwa Syekh Abdur Razaq Afifi, hlm. 574]

 

INILAH MOZAIK

Cinta Kasih Ibu Dapat Tumbuhkan Kecerdasan Emosional Anak

PENDIDIKAN yang baik dan benar adalah pendidikan yang mampu membentuk kepribadian anak dengan ciri-ciri, di antaranya, sebagai berikut:

  • Pemberani
  • Penyabar
  • Penyantun
  • Hormat, tunduk, dan patuh kepada kebenaran
  • Menjauhi kezaliman dan mengembangkan keadilan
  • Berbakti kepada orang tua
  • Tunduk dan patuh kepada perintah Allah Subhanalah Wa Ta’ala
  • Mencintai sesama makhluk Allah Subhanalah Wa Ta’ala

Pendeknya, pendidikan anak yang baik dan benar adalah pendidikan yang dapat membentuk kecerdasan dan kesholehan pada diri anak. Pertanyaan yang muncul dari sini adalah: pendidikan yang berlandaskan apakah pendidikan yang dapat membentuk kecerdasan dan keSholehan pada diri anak?

Saya tidak memiliki jawaban yang lain untuk menjawab pertanyaan di atas, kecuali jawaban Islam. Hanya paradigma. Islamlah yang akan mampu membentuk pribadi anak menjadi cerdas dan sholeh. Saya tidak menemukan konsep lain, ideologi lain, isme lain, atau teologi lain yang dapat membentuk kepribadian anak itu menjadi cerdas dan sholeh. Sebaliknya, konsep, ideologi, isme, atau teologi lain justru seringkali membentuk kepribadian anak yang timpang:

  • Anak menjadi cerdas tetapi sekaligus rusak akhlaknya.
  • Atau anak menjadi sholeh tetapi bodoh.
  • Atau anak menjadi tidak sholeh sekaligus menjadi tidak

 

Pendidikan model Barat, misalnya, adalah pendidikan yang menghasilkan anak cerdas tetapi rusak akhlak atau moralitasnya sehingga Anda jangan heran apabila melihat anak-anak Barat demikian brilian otaknya, tetapi sekaligus demikian ‘brilian’ dalam mengumbar nafsu syahwat. Model yang seperti ini tidak akan pernah terjadi apabila orang tua menerapkan pendidikan berparadigma Islam sebab tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak menjadi cerdas sekaligus sholeh.

Pertanyaannya, bagaimana wujud pendidikan yang demikian itu pada anak, khususnya yang harus dilakukan oleh seorang ibu? Di sini, saya hanya akan memfokuskan pembahasan pada tanggung jawab dan kewajiban seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak itu terbagi menjadi empat, yakni:

  • merawat
  • mengasuh
  • mendidik
  • membelajarkan

Karena ibu adalah perempuan, sedangkan perempuan memiliki kecenderungan yang amat besar dalam cinta, kasih, dan sayang, dan kecenderungan yang demikian ini sudah sepantasnya diberikan kepada anak-anaknya, maka tugas pendidikan yang paling penting dan pokok dilakukan oleh ibu adalah merawat dan mengasuh anak-anaknya. Tugas ini paling sesuai dengan eksistensi ibu sebagai seorang perempuan. Tugas ini pula yang paling sesuai dengan unsur kedekatan kepada anak-anaknya.

Lihatlah hubungan seorang ibu dan anaknya. Ibu memiliki rahim. Dalam rahim tersebut ibu mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari. Selama itu, si ibu tidak pernah berpisah sedikit pun dengan anak yang dikandungnya. Lalu si ibu ini melahirkan dan menyusui. Semua ini telah membawa hubungan dan ikatan eimosional, spiritual, dan intelektual yang amat dekat dengan anaknya. Oleh karena itu, dalam masa-masa seperti ini, si ibu haruslah memberikan perawatan dan pengasuhan kepada anak-anaknya.

Saya mengatakan kepada Anda bahwa hanya ibu yang mampu memberikan perawatan dan pengasuhan yang baik kepada anak-anaknya. Seorang ayah pun sesungguhnya bisa melakukan hal ini. Namun, seorang ayah terlalu lemah dalam masalah-masalah yang seperti ini jika dibandingkan dengan seorang ibu. Dengan kata lain, kelebihan yang dimiliki oleh semua ibu jika dibandingkan dengan kelebihan yang dimiliki oleh seorang ayah adalah dalam memberikan perawatan dan pengasuhan terhadap anak-anaknya.

Sebagai seorang ibu, Anda haruslah memberikan rawatan dan asuhan yang sebaik-baiknya kepada putra dan putri Anda. Perhatikanlah pertumbuhan dan perkembangan anak Anda. Jaga kesehatan fisiknya. Jaga pula kesehatan mental dan spiritualnya.

Dalam masa-masa melaksanakan tanggung jawab pendidikan ini, Anda harus terus mengembangkan sifat-sifat khas Anda sebagai seorang perempuan:

  • sabar
  • lembut
  • penyayang
  • santun
  • cinta kasih

Anda harus mengembangkan sifat-sifat ini, sebab sifat-sifat ini akan membuahkan kecerdasan emosional pada anak Anda sebagai ladang yang akan ditanami oleh nilai-nilai spiritual. Anda tidak usah mencontoh ibu-ibu yang bersikap keras, kasar dan tidak sabar yang seringkali banyak kita jumpai.

 

 

*/Muhammad Muhyidindikutip dari bukunya Bangga Menjadi Muslimah

HDAYATULLAH

Mendidik Anak Tangguh di Zaman Now

Mendididik anak memiliki tantangan yang berbeda-beda di setiap zaman. Di era digital ini pun tantangan mendidik anak sangatlah dahsyat. Bersiurannya informasi yang sangat mudah diakses dari media sosial dan internet sangat mempengaruhi perilaku anak.

Hal itu di sampaikan Pakar Digital Parenting Bendri Jaisyurrahman saat mengisi kajian parenting di Masjid Aqshal Madina, Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/03/2018).

Menurutnya, orangtua jangan sampai membiarkan anaknya lemah dalam menghadapi perkembangan zaman.

“Hendaklah kita khawatir, kita takut meninggalkan anak-anak kita dalam keadaan lemah. Anak-anak yang lemah inilah yang mudah tergerus oleh arus zaman.

Anak-anak yang lemah yang tidak siap menghadapi perkembangan zaman. Anak menjadi mudah ikut-ikutan,” jelasnya dalam kajian yang bertemakan ‘Mendidik Anak Tangguh di Zaman Now’ tersebut.

Menurutnya, ikatan hati antara orangtua dan anak sangatlah penting dalam mendidik anak di era ini. Orangtua harus memikat hati sang anak sebelum menasehatinya. Orantua harus memberi penjelasan dulu sebelum memberi tugas.

“Jika anak tidak mendengarkan kita, bikin dia jatuh cinta pada kita dulu. Seringkali kita mengeluarkan ayat untuk anak, padahal mungkin anak hanya butuh ayat-ayat cinta dari kita.

Ketika anak yang terikat hatinya sadar bahwa berbicara dengan orangtua lebih nyaman, dia akan tahu bahwa update status di media sosial tidak senikmat bicara dengan orangtua,” lanjutnya di depan ratusan jamaah.

Ia juga menambahkan, orangtua harus berada di sisi anak saat sang anak sedang sedih, saat sakit, dan saat mereka sedang unjuk prestasi.

“Karena anak itu titipan Allah, bukan untuk dititipkan ke orang lain,” ujarnya di akhir kajian.*/Sirajuddin Muslim

 

HIDAYATULLAH

Wahai Orangtua Milenial, Waspadai ‘Sharenting’

MEMBAGIKAN foto dan pengalaman tentang anak di media sosial sudah menjadi tren di kalangan orangtua generasi milenial. Kegiatan ini disebut sharenting (perpaduan kata “share” dan “parenting”), bahkan istilah ini resmi masuk ke dalam Collin English Dictionary pada tahun 2016.

Meski sharenting bernilai positif, seperti berbagi pengalaman dan tips kepengasuhan anak dengan sesama orangtua di media sosial, namun terlalu sering mendokumentasikan setiap tingkat perkembangan anak di media sosial, ada konsekuensi besar dibaliknya. Orangtua harus tetap berhati-hati.

Dikutip dari Internet Matters, inilah yang akan terjadi pada anak jika orangtua terlalu oversharing di media sosial:

Pertama, anak kehilangan hak privasi

Dengan melakukan sharenting, Anda memamerkan sisi kehidupan anak kepada pengikut Anda di media sosial, padahal anak Anda belum bisa mengatakan “tidak” atas apa yang Anda lakukan.

 

Anak-anak masih terlalu muda untuk memahaminya, tapi Anda telah mengambil hak privasi mereka, yang mana sebagai orangtua, Anda seharusnya melindungi privasi anak.

Kedua, anak merasa malu dan menjadi sasaran bullying.

Anda mungkin pernah memposting foto anak Anda dengan caption lucu yang berkomentar tentang ekspresi wajahnya atau kegiatan yang mereka lakukan. Bisa jadi ketika si anak mulai besar, justru hal tersebut membuatnya merasa tidak nyaman atau bahkan menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Ketiga, orang lain menilai anak Anda dari apa yang Anda posting.

Apa saja yang Anda bagikan, berkontribusi kepada reputasi online Anda; seperti status, foto, link yang dibagikan, atau komentar. Semua hal ini adalah jejak yang sulit Anda hapus di internet. Jadi, ketika memposting tentang anak Anda, sebenarnya Anda sedang membentuk reputasi online mereka.

 

Seiring bertambahnya usia anak, kelak ia akan terjun ke dalam dunia pendidikan dan kerja. Apa yang Anda bagikan dapat mempengaruhi masa depan mereka. Misalnya, Anda pernah mengeluh tentang perilaku anak di media sosial. Hal itu akan menciptakan reputasi online negatif tentang anak.

Keempat, menjadi sasaran predator online.

Masih segar di ingatan kita kasus grup pedofil di Facebook. Atau kasus penipuan yang ternyata bermula dari infomasi yang didapat pihak yang tidak bertanggungjawab dari media sosial. Kasus-kasus tersebut hanyalah salah satu contoh akibat ketidaktahuan orangtua akan bahaya yang mengintai di dunia maya.

Jika Anda tidak memperhatikan pengaturan privasi media sosial Anda, orang asing manapun bisa dengan mudah mencari tahu nama anak Anda, sekolah, tanggal lahir, dan teman anak Anda. Logikanya, apakah Anda bersedia berbagi informasi seperti ini begitu saja dengan orang asing yang Anda temui di jalan? Tentu tidak, kan? Tapi tanpa sadar, ternyata Anda telah membagikannya kepada predator online.

Jadi, apakah sharenting berbahaya? Tentu ini kembali kepada orangtua. Sharenting bisa memberikan dampak positif jika dilakukan dengan aman dan benar. Berikut tips aman sharenting di media sosial.

Pengaturan Privasi

Cek siapa saja yang bisa melihat postingan Anda. Pastikan postingan tersebut tidak untuk publik atau semua kontak. Cari tahu bagaimana melakukan pengaturan privasi di media sosial mana saja yang Anda gunakan. Jika Anda menggunakan Instagram, ganti akun Anda menjadi akun privat.

Pertimbangkan dulu sebelum posting

Apakah foto ini akan membuat anak saya malu ketika ia besar nanti? Apakah orang lain nanti akan mengejek anak saya? Apa caption seperti ini nantinya akan disalahartikan? Jika ragu, jangan bagikan.

Pilah-pilih audiens

Daripada membagikan foto anak kepada semua pengikut, teman, atau kontak yang ada di media sosial, bagikan saja kepada orang-orang terdekat Anda yang memang ingin tahu tentang perkembangan anak Anda.

Bicarakan pada anak

Jika anak sudah bisa diajak berdiskusi dan tahu lebih banyak tentang media sosial, Anda harus meminta izin padanya jika ingin mengunggah foto atau memposting status tentang dirinya.*/Karina Chaffinch

 

HIDYATULLAH

7 Pola Asuh Penyebab LGBT Menurut Elly Risman

Akhir-akhir ini, fenomena LGBT kian merebak. Seperti diketahui, LGBT adalah fenomena yang ditujukan pada para Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Maraknya pembahasan fenomena LGBT akhir-akhir ini, mendorong Elly Risman, MPsi., psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, untuk membahas mengenai pola asuh agar anak terhindar dari LGBT.

Memang, penyebab seseorang menjadi LGBT sangat kompleks. Banyak pula kontroversi mengenai hal ini. Namun, menurut Elly Risman, pola asuh juga bisa menjadi salah satu senjata untuk membuat anak terhindar dari LGBT. Nah, disarikan dari video Elly Risman, mari kita simak apa saja pola asuh penyebab anak menjadi LGBT.

1. Orangtua yang Tidak Peduli

Psikolog anak lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan, kebanyakan orangtua cuek atau abai, kurang peduli, bahkan seolah kurang ngeh terhadap anak-anak mereka. Sehingga menyebabkan para anak khususnya anak laki-laki menjadi lemah dalam BMM. Yang dimaksud BMM oleh Elly Risman adalah lemah dalam Berfikir, Memilih, dan Mengambil keputusan.

 

2. Hilangnya Peran Papa

Tidak sedikit orangtua yang keliru saat mengasuh anak laki-laki. Kenapa anak laki-laki? Karena menurut penelitian, otak kiri laki-laki selalu lebih kuat dibanding otak kiri wanita. Namun, sambungan antara otak kanan dan otak kiri pada wanita lebih baik. Sehingga para lelaki sangat mudah fokus pada suatu hal berbeda dengan wanita yang mampu memikirkan banyak hal dalam satu waktu.

Anak laki-laki menjadi banyak yang salah asuh karena kurangnya sosok ayah dalam kehidupannya untuk mengembangkan otak kirinya tersebut. Para ayah biasanya sibuk mencari nafkah sehingga hanya punya waktu beberapa jam di malam hari dan akhir pekan untuk keluarga. Itupun kalau tidak ada proyek lain di luar jam kerja.

Menurut Elly, saat ini peran ayah semakin tak terlihat dalam pengasuhan anak. Zaman dahulu, para ayah selalu mengusahakan agar punya banyak waktu dengan keluarga, sebut saja ayah dari Ibu Elly Risman ini. Beliau bekerja tak jauh dari rumah sehingga beliau selalu bisa menyempatkan waktu bermain bersama anak.

Untuk itu, orangtua perlu lebih meluangkan waktu agar dapat bermain dan berinteraksi dengan anak-anak.

 

3. Anak Lelaki Terlalu Banyak Berinteraksi dengan Ibu 

Karena ayah tidak hadir, maka ibulah yang mendidik anak laki-laki sepenuhnya. Contohnya, ketika si anak laki-laki masih kecil, ia dijadikan wadah curhat ibu terhadap suaminya alias ayah dari si anak tersebut. Pada akhirnya si anak laki-laki ini akan membanding bandingkan sosok ayahnya dengan ayah-ayah yang lain.

Belum lagi ketika anak laki-laki tersebut beranjak dewasa. Ia terbiasa ke mana-mana bersama ibu dan kurang ajakan dari sang ayah. Misalnya saja menemani ibu ke salon. Hal ini bisa membuat anak tidak punya model identifikasi untuk menjadi lelaki. Mengenai bagaimana ia berperilaku, bersikap, dan merasa sebagai laki-laki.

Dikhawatirkan, hal ini juga bisa menjadi penyebab anak menjadi LGBT.

 

4. Anak Perempuan Kurang Kasih Sayang AYAH

Selanjutnya, pada anak perempuan. Banyak sekali anak perempuan yang kekurangan pengasuhan sang ayah. Sang ayah pergi di subuh hari menitipkan uang jajan kepada anak, pergi bekerja, kemudian kembali di malam hari.

Banyak ayah yang mengira tugasnya hanyalah sebatas memberi nafkah untuk masa depan anak, lantas lepas tangan terhadap yang lain.

Kurangnya kasih sayang lawan jenis khususnya sang ayah kepada anak perempuan ini kadang kala bisa membuatnya lebih nyaman mendapat kasih sayang dari teman atau sosok lain. Kalau teman atau sosok lainnya tidak bermasalah, tidak mengapa. “Tapi kalau salah pemilihan sosok, bisa ditebak apa yang akan terjadi pada si anak.”

Bagaimana sebenarnya akibat dari peran ayah yang lepas terhadap anaknya?

Menurut beberapa penelitian atas kurangnya peran ayah terhadap anak, ini menyebabkan anak laki-laki menjadi nakal, agresif, terlibat narkoba, dan pada ujungnya bisa terperangkap dalam seks bebas. Sementara pada anak perempuan juga bisa berdampak pada depresi.

Ingat, peran orangtua sangat vital dalam awal terbentuknya LGBT. Jangan sampai justru pola asuh kita menjadi pemicu anak terlibat LGBT tanpa kita sadari.

5. Kurang Pemahaman AGAMA

Selanjutnya adalah kurangnya pemahaman agama. Agama hanya dikenalkan lewat berbagai ritual, tidak melalui penanaman nilai-nilai dan perilaku.

 

6. Terlalu Bebas Menggunakan GADGET

Hal lain yang berpotensi jadi pemicu anak menjadi LGBT adalah para orangtua banyak yang belum begitu paham dengan gadget seperti smartpone, tablet, dan komputer.

Anak laki-laki menjadi sasaran utama dari pornografi dan narkoba. Mengapa? Pasalnya, laki-laki memiliki otak kanan dominan yang lebih mudah fokus, memiliki hormon testosteron atau hormon seks yang lebih, serta penampilan fisik di mana organ vital berada di luar sehingga lebih mudah distimulasi.

 

7. Anak Terpapar PORNOGRAFI

Semuanya berawal dari gadget, dari segala apps yang ada di dalamnya. Segala info dan hal negatif dengan mudah didapatkan anak dari gadget yang diberikan oleh orangtuanya sejak dini. Bahkan mengalahkan segala asuhan orangtuanya. Pada akhirnya orangtua hanya dijadikan sesosok penegak hukum, di mana anak bisa menjadi sosok yang berbeda ketika berada di hadapan orang tuanya.

Pornografi masuk melalu mata, kemudian diolah dengan hati. Maka BMM tadi pada anak sangat penting bagi anak. Pada akhirnya merangsang dopamin, menyebabkan ketagihan, sehingga berusaha meniru bahkan mencoba.

Maka orangtua yang santai saja, merasa aman-aman saja dengan gadget dan segala hal yang diberikan kepada anaknya ini yang akan berbahaya. Ia pun berpendapat, terpaan pornografi bisa berujung pada rasa penasaran yang bisa memicunya terlibat dalam fenomena LGBT.

 

Sumber: Tabloid Nakita

Enam Prinsip Mendidik Anak (selesai)

Sambungan artikel PERTAMA

 

Kedua, waktu makan

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah Ra ia berkata: Aku masih anak-anak ketika berada dalam pengawasan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tanganku bergerak kesana kemari di atas nampan makanan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Hai anak kecil….sejak itu begitulah cara makanku.

Anak-anak ketika menghadapi makanan terkadang kita jumpai melakukan hal-hal yang tidak pantas.

Seperti berebut makanan, duduk dengan kaki diangkat dan sebagainya. Saat itulah pentingnya orang tua mendampingi dan mengarahkan anak untuk berbuat santun dan sopan.

Ketiga, waktu anak sakit

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas ibn Malik Ra berkata: Seorang anak Yahudi pernah dijenguk oleh Rasulullah.

Nabi duduk di dekat kepalanya dan bersabda kepadanya: Masuk Islamlah kamu. Anak itu melihat ke arah bapaknya yang saat itu juga berada di sana. Si bapak berkata: Turutilah Abul Qasim. Maka, dia pun masuk Islam.

Dikatakan, meski sudah lama berinteraksi dengan anak dan keluarga Yahudi itu, tapi Nabi justru mengajaknya masuk Islam ketika sang anak sedang sakit dan dijenguk oleh Nabi.

Keempat: Bersikap adil terhadap semua anak

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir Ra. Bahwa bapaknya membawanya menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan berkata: Sesungguhnya aku memberikan seorang budakku kepada anakku ini.

Rasulullah bertanya: Apakah seluruh anakmu engkau beri pemberian yang sama dengannya? Dia menjawab: tidak. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Jangan engkau persaksikan aku dalam kejahatan.

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa memberikan sesuatu ataupun bersikap haruslah adil terhadap semua anak. Karena jika tidak maka orang tua telah berbuat kejahatan.

Disimpulkan bahwa tidak menyamaratakan pemberian (tidak adil) kepada anak-anak hukumnya haram. Karena membedakan pemberian dapat menimbulkan permusuhan, kebencian dan kedengkian di antara mereka.

Agar jiwa mereka tidak terkotori dengan sifat dengki hendaknya orang tua menegakkan keadilan seadil-adilnya. Karena yang biasa terjadi orang tua lebih membela sang adik dan menyalahkan kakak atau sebaliknya.

Subhanallah, inilah solusi yang terang benderang buat para orang tua.

Kelima: Memberikan Hak Anak

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad Ra, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam diberi minuman. Nabipun minum dan diapit oleh seorang anak kecil di samping kanan sedang di samping kiri Nabi tampak berjejer beberapa orang dewasa.

Nabi menoleh kepada anak itu, apakah engkau mengizinkanku untuk memberi minum kepada mereka terlebih dahulu?

Anak kecil itu menjawab: tidak, aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun. Maka, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam meletakkan cawan itu di tangannya.

Kisah ini mengajarkan penghormatan hak kepada anak kecil, dan bukan justru mengorbankannya untuk kepentingan orang dewasa.

Sebab menunaikan hak anak mengajarkan mereka untuk menerima kebenaran dan menumbuhkan karakter positif tentang memberi dan menerima.

Misalnya saja, ada orang lain ingin meminjam barang milik sang anak, serta merta orang tua biasanya memberikannya tanpa meminta izin lebih dahulu kepada anak, sang pemilik mainan tersebut.

Jika anak protes, tak sedikit si anak malah mendapat teguran keras dan memaksa dia untuk merelakan barangnya dipinjam.

Kira-kira kalau dewasa kelak bagaimana sang anak bisa menghormati hak orang lain?

Keenam: Membantu anak berbakti dan ta’at.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mendoakan orang tua yang memberikan peluang atau mendukung anak-anak untuk berbakti dan ta’at agar mendapatkan rahmat dan ridha Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Raulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Semoga Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya.

Juga, diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Bantulah anak-anak kalian untuk berbakti. Barang siapa yang menghendaki, dia dapat mengeluarkan sifat durhaka dari anaknya.

Cara sederhana membantu anak untuk berbakti adalah tidak membebani mereka dengan sesuatu yang sulit.

Mengarahkan untuk mengerjakan kebaikan sesuai dengan porsi umur dan kemampuannya. Tentunya dengan bertambahnya umur dan fisik, beban anak juga akan bertambah.

Hal fatal yang sering terjadi ketika orang tua tidak melatih anak untuk menyelesaikan beban mereka secara bertahap. Akhirnya banyak anak yang tidak dewasa sesuai dengan usianya.*/Maftuhaibu lima orang anak di Balikpapan

 

HIDAYATULLAH