Pengalaman Haji Rumadi Ahmad yang Bikin Rindu Kabah

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Rumadi Ahmad mengisahkan pengalaman hajinya yang paling berkesan. Haji pertama saat itu di tahun 2012.

Saat itu dia dipercaya menjadi petugas haji (PPIH). Meski menjadi petugas, masih leluasa untuk umroh dan juga diperbolehkan ikut berhaji.

Tentu sebagai petugas, sebagian besar waktu yang dihabiskannya di Arab Saudi untuk beinteraksi dengan jamaah terutama melayani jamaah haji. “Seperti jika ada jamaah yang sakit atau hal-hal lain. Paling sering saya lakukan adalah melayani jamaah yang tersesat dan tidak tahu arah pulang,”ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (10/6).

Pernah sekitar pukul 03.00 ada jamaah yang diantar seseorang dengan seluruh barangnya hilang. Rumadi yang juga dosen UIN Syarif Hidayataullah selalu terenyuh setiap bertemu dengan jamaah yang mengalami masalah serupa. 

Pasalnya tidak hanya satu atau dua jamaah saja yang seperti itu. Selama menjadi petugas haji, tidak tehitung dia membantu orang dengan kasus yang sama. Ini menjadi pelajaran bagi dirinya sendiri ketika satu saat di kemudian hari melaksanakan haji dan umroh hanya sebagai jamaah semata.

“Alhamdulillah saya bersyukur, saya kembali diundang menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji kembali,” tutur dia.

Ini merupakan penantiannya selama lima tahun setelah mendaftar haji reguler. Tidak sendiri, haji kedua ini Rumadi mengajak serta istrinya. 

Usai berhaji di 2012, dia memutuskan untuk mendaftar haji. Sebagai jamaah haji dan pernah menjalankan haji sebelumnya dia telah memahami tahapan pelaksanaan haji. Apalagi ketika itu dia juga menjadi petugas haji.

“Ketika saya berhaji ini ada kejadian yang tidak saya duga. Tiba-tiba ada rombongan menteri Agama, dirjen Haji dan kawan-kawan petugas haji dari Kemenag. Saya tidak tahu sama sekali ada rencana kunjungan itu,” ujar dia.

Menag dan rombongan juga pasti tidak tahu dia menjadi jamaah haji. Dia tidak menduga menag dan rombongan berhenti di lantai yang ditinggali dan memeriksa kamar jamaah. 

Menag dan rombongan yang hampir semuanya dikenal terkejut dia berangkat menjadi jamaah haji reguler.  “Saya lebih kaget lagi karena waktu itu saya sedang makan mie dan berpakaian ala kadarnya. Menag dan rombongan akhirnya masuk ke kamar saya dan berbincang-bincang di sana,”jelas dia.

Jika dibandingkan ketika kali pertama berhaji tahun 2012 dan haji tahun 2017 situasinya sudah jauh berbeda. Penginapan jamaah sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. 

Demikian juga dengan layanan transportasi. Selain itu katering selama di Makkah dan Madinah juga cukup baik waktu itu. Hanya libur beberapa hari ketika menjelang prosesi haji.

Rumadi menjelaskan menag yang ditemuinya  saat itu adalah Lukman Hakim Saifudin yang juga pernah mengabdi di Lakpesdam PBNU pada awal 90-an dan kini Rumadi menjadi ketuanya.

Selain berhaji dua kali, Rumadi juga memiliki kesempatan berumroh di tahun 2019 bersama istri dan kedua anaknya. “Dahulu saya tidak percaya kalau ada orang cerita rindu ka’bah. Tapi sekarang saya merasakan. Siapapun yang pernah berkunjung ke ka’bah pasti merindukan,” kisah dia.

Demikian juga dengan ziarah ke makam Rasulullah di masjid nabawi. Jadi, jika ada kesempatan pasti ingin kembali ziarah ke Tanah Suci. Secara khusus selama menjalankan ibadah ini beberapa kali dia tidak mengalami pengalaman spiritual yang berbeda. 

Tetapi siapapun yang berdoa di multazam depan Ka’bah pasti setiap Muslim merasa tenang dan tenteram hatinya. Begitu juga ketika dapat sholat di Raudhah Masjid Nabawi, rasanya seperti bersama Rasulullah.

IHRAM

Berjuta Pengalaman di Tanah Suci

Badai pasir dan hujan deras juga menjadi kesan tersendiri bagi Hamdiyah Sebanyak 360 jamaah haji kelompok terbang (kloter) pertama tiba di Asrama Haji Solo, Selasa (28/8) pukul 12.00 WIB.

Jamaah haji tersebut berasal dari Kabupaten Tegal dan seorang dari Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Jamaah haji kloter pertama dari Embarkasi/Debarkasi Solo mendarat di Bandara Adi Soemarmo pada pukul 11. 05 WIB. Mereka langsung dibawa menuju Asrama Haji di Donohudan, Kabupaten Boyolali.

Setelah turun dari bus, jamaah haji tersebut langsung masuk ke Gedung Muzdalifah.
Mereka menjalani pemerik- saan barang bawaan melalui mesin x-ray serta pemeriksaan paspor. Ini menjadi hari kedua pemulangan jamaah haji dari Tanah Suci.

Sehari sebelumnya, jamaah haji dari empat debarkasi juga telah menginjakkan kaki di Tanah Air. Sebanyak 6.026 jamaah dengan tujuan Debarkasi Palembang, Surabaya, Jakarta- Bekasi, hingga Solo berangkat dengan Pesawat Saudi Airlines.

Beragam pengalaman mereka rasakan selama di Tanah Suci. Kebahagiaan mereka masih terlihat ketika sampai di Indonesia. Hamdiyah (67 tahun) yang sedang duduk di dalam gedung Serbaguna Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, salah satunya.

Dia masih tersenyum mengenang pengalaman di Tanah Haram. Sambil menyantap hidang an makanan ringan, Hamdiyah berce rita jika semua ibadahnya berjalan lancar selama di Tanah Suci.

“Enak, mungkin tergantung perbuatannya ya, yakin saja yang terbaik,” kata Hamdiyah.

Dia bersyukur bisa tiba dengan selamat di Indonesia. Ia sangat bahagia saat pesawatnya mendarat dengan selamat di Bandara Udara Soekarno-Hatta.
“Alhamdulillah, senang,” ujar Hamdiyah yang sehari-harinya hanya sibuk mengasuh cucunya.

Ada banyak kejadian yang membekas di benak Hamdiyah selama pelaksaan ibadah haji. Di antaranya, saat melaksanakan shalat sehabis tawaf.

Dia terkaget-kaget karena tersenggol oleh jamaah haji lain yang berbedan besar.
Ia menduga, jamaah haji tersebut berasal dari Arab. Selain itu, badai pasir dan hujan deras juga menjadi ke san tersendiri bagi Hamdiyah.

Ketika itu, jutaan jamaah haji termasuk dirinya secara spontan mengucapkan kalimat istighfar. Ia bersyukur ujian tersebut tak membuat ibadahnya terganggu. Hamdiyah telah menunggu sejak tujuh tahun lalu untuk bisa berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima ini.

Awalnya, ia mendaftarkan diri bersama suaminya. Namun, selang beberapa bulan setelah pendaftaran, suaminya wafat, sehingga ia harus berangkat sendiri.

Peluang untuk menunaikan rukun Islam kelima tidak disia-siakan oleh Hamdiyah guna memanjatkan doa untuk seluruh keluarganya. Ia berharap, Allah mengabulkan doanya agar anak-anaknya mampu menunaikan ibadah haji.

Erna (63), jamaah haji lainnya asal Banten, merasakan hal berbeda. Dia mengaku, kendala kesehatan sangat memengaruhi di rinya dan jamaah lainnya selama pelaksanaan ibadah haji.

Tapi, segala cobaan tersebut ia hadapi dengan sabar serta beristighfar kepada Allah.
Selain itu, melakukan pengobatan yang telah disediakan oleh tim medis. Ia mengapresiasi pelayanan pemerintah, khususnya tenaga medis, sehingga membantu kesehatan para jamaah.

“Untuk tahun ini, saya mengapresiasi pemerintah, terutama Kemenkes sangat baik mulai tingkat puskesmas sampai semua aparat kesehatan sangat baik,”kata Erna.

Badai pasir dan hujan deras rupanya juga menjadi pengalaman yang membekas Erna.
Badai tersebut membuat jamaah khawatir, termasuk dirinya. Badai tersebut ia anggap sebagai kehendak Allah. Sehingga, semua diberikan keselamatan.

Selama melaksanakan ibadah haji, Erna mengaku, tak mengalami hambatan yang berarti. Ia mengikuti segala arahan dari petugas haji. Apalagi, semua petugas di kelompoknya solid dan baik.

Ia menegaskan, kunci ke lancaran dalam melaksanakan ibadah haji adalah kesabaran.
Erna yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga harus me nunggu tujuh tahun agar bisa melaksanakan ibadah haji. Ia berharap, ibadahnya dapat diterima oleh Allah dan menjadi haji mabrur.

Triono (60 tahun) juga merasa terharu ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Tanah Suci. Ia langsung mengucapkan kalimat syukur berkali-kali sebagai ungkapan kebahagiaan.

“Ia menilai bahwa doanya telah dikabulkan oleh Allah untuk ke Tanah Suci.
Alhamdulillah sekali, sampai mau nangis, katanya.

Perasaan tersebut yang membekas pada diri Triono. Selama berada di Tanah Suci, Trio no memperbanyak berdoa untuk dirinya dan keluarganya. Ia berharap, menjadi haji yang mabrur.

Secara umum, menurut Triono, tak ada peristiwa yang membekas selain perasaan bahagia ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Suci. Ia tak mengalami banyak hambatan karena meng ikuti arahan dari para petugas haji.

REPUBLIKA

Catatan Pergi Haji dari Bosnia

Tahun 2017, tercatat 1.411 peziarah haji asal Bosnia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka telah berangkat sekitar tanggal 29 Agustus dan 31 Agustus, dan kembali pada periode 17 September sampai 19 September.

Memang, sama halnya dengan umat Islam di seluruh dunia, termasuk yang berasal dari Bosnia Herzegovina, mengunjungi Ka’bah untuk berhaji setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka yang mampu. Namun, situasi keuangan yang sulit merupakan kendala bagi banyak dari mereka tak menghalangi niat mereka. Biaya haji tahun 2017 mencapai 7.490 BAM ( Mark Bosnia-Herzegovina). Sebagian orang mengatakan harganya cukup mahal, namun pihak Departemen Haji dan Umroh dalam Riyasat Komunitas Islam di Bosnia menjelaskan bahwa harga haji sebenarnya tidak tinggi. Hal ini mengingat dana sebesar itu untuk mempunyai semua kebutuhan perjalanan selama berhaji.

“Harga haji terbentuk berdasarkan layanan yang ditawarkan kepada warga Muslim. Harga ini termasuk transportasi dari markas mufti ke Sarajevo, pajak bandara, transportasi udara, akomodasi selama tinggal berada di Makkah dan Madinah. Ini juga mencakup transportasi di Arab Saudi, biaya kunjungan ke berbagai tempat untuk berziarah, biaya pengadaan koper, rompi, jilbab, biaya dam untuk hewan kurban, dan serta menyediakan pakaian yang sesuai. Jadi itu adalah harga yang realistis, mengingat layanan yang kami tawarkansesuai dengan kualitas transportasi dan akomodasi dan, tentu saja, biaya makanan disertakan juga, “kata Nezim Halilović, Kepala Departemen Haji dan Umrah dalam Riyasat Komunitas Islam di Bosnia Herzegovina.

Edhem Effendi Čamdžić, mantan Mufti Banja Luka, yang mengaku sudah empat kali pergi ke haji. Kepergian pertamanya dia lakukan pada tahun 1980. Dia pun mengatakan bahwa sesampai di tanah suci perasaannya memang tak bisa dilukiskan.

“Kita tahu bahwa tidak semua orang bisa pergi berhaji. Inilah yang membuat orang tidak boleh mengatakan bahwa pergi haji mahal. Saya pergi ke sana empat kali dan saya akan pergi 40 kali lagi. Dahulu kala, orang-orang dari wilayah Bosnia ini pergi ke haji dengan kuda, pertama ke Dubrovnik, kemudian dengan perahu ke Mesir, di sepanjang Alexandria ke Terusan Suez, dan kemudian ke Jeddah. Ada sekitar 70 kilometer dari Jeddah ke Makkah. Sekarang semuanya berbeda,” kata Čamdžić.

Čamdžić mengatakan jumlah seluruh jamaah haji di Makkah pada tahun 1980 mencapai hampir satu juta orang.”Meski prang sebanyak itu, tapi tidak ada yang mengganggu siapa pun. Itu adalah kenangan tak terlupakan. Ketika saya melihat Ka’bah untuk pertama kalinya pada tahun 1980, saya sangat gembira. Aku juga seperti merasa pingsan di Masjid Nabawi. Bayangkan, saya ini seseorang yang datang dari sebuah negara kecil, berhasil mendekati Nabi. Maka saya hanya bisa menangis saat membicarakan hal itu, “kata Čamdžić.

 

IHRAM

Neneng Pulang dari Haji Bersama Kenangan Suami Tercinta

Perempuan paruh baya itu memasuki Gedung Serba Guna 2 (SG2) Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (15/9), dengan tatapan sendu.

Sesekali ia menunduk menatap kosong dua tas paspor warna oranye yang tergantung di lehernya, sambil tangan kanan dan kirinya membawa dua tas jinjing warna serupa memasuki ruangan penerimaan jamaah haji.

Satu pasang tas paspor dan jinjing oranye itu miliknya. Satu pasang lagi, milik suaminya.

Perempuan itu, Neneng Hasanah (52 tahun), tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ia akan kembali ke ruangan ini hanya bersama sepasang tas milik suaminya. Masih lekat di benaknya, ketika pertama kali memasuki ruangan ini berdua dengan sang suami, Ahmad Dumyati (52) menjelang keberangkatan mereka ke Tanah Suci akhir Juli 2017 lalu.

Sepasang suami istri ini amat bersyukur memiliki kesempatan menjadi tamu Allah pada musim haji 1438 H ini. Mereka tergabung dalam kelompok terbang JKG 04, dari Embarkasi Jakarta Pondok Gede.

Beribadah ke Tanah Suci bersama pasangan, tentunya menjadi harapan banyak orang. Begitu pula Neneng Hasanah dan Ahmad Dumyati. Perjalanan suci itu dimulai dari ruangan ini, saat mereka memperoleh pemeriksaan kesehatan hingga menggunakan gelang penanda jamaah haji Indonesia. Semua proses pemberangkatan dilakukan bersama, berdua.

Namun, kini Neneng ada di ruangan itu untuk melakukan proses pemulangan tanpa sang suami, sendiri. Hanya kenangan tentang suami tercinta yang menemani. Tas paspor milik sang suami tampak terus di dekapannya, jadi penanda kebersamaan yang terakhir kali dengan pria yang ia cintai.

“Bapak Ahmad Dumyati wafat di Tanah Suci karena stroke ringan,” ujar Muhamad Amir Khoiri, Ketua Rombongan Bus 9 kloter JKG 04 kepada Humas PPIH Jakarta Pondok Gede, Sabtu (9/9).

Menurut Khoiri, almarhum sebelumnya memang memiliki riwayat sakit, namun ketika berangkat dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan. “Sakitnya gula, tapi pas mau berangkat gak ada keluhan apa-apa,” kata Neneng lirih.

Takdir berkata lain. Almarhum yang beberapa tahun sebelumnya gagal berangkat karena faktor kesehatan, mengalami serangan stroke ringan di Tanah Suci. Akibatnya, Dumyati sempat mendapat perawatan di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah selama satu pekan sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Ahmad Dumyati berdasarkan catatan Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), wafat pada tanggal 22 Agustus 2017 akibat gangguan sirkulasi darah. “Saat mau persiapan safari wukuf, di situ kejadiannya,” ujar Neneng dengan mata berkaca-kaca.

Menurut Khoiri yang juga turut mendampingi almarhum selama perawatan, sebelum meninggal dunia almarhum sempat melaksanakan umrah wajib serta satu kali umrah sunah. “Saat ingin umroh kedua, almarhum sudah merasakan badannya tidak enak, jadi beliau kembali ke hotel,” kata Khoiri.

Menghadapi kenyataan bahwa sang suami telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, ibu empat orang anak ini mengaku ikhlas. Menurutnya, itu memang sudah kehendak Allah, dan itu merupakan yang terbaik. “Dia cuma kepengen pulang aja,” ujar Neneng tercekat saat ditanya pesan terakhir almarhum sambil mendekap tas paspor milik sang suami.

Rasa kehilangan yang amat dalam sempat membuat diri Neneng terguncang. “Alhamdulillah ada teman-teman, dan ketua rombongan yang menguatkan,” ujarnya.

Dukungan jamaah lain selama pelaksanaan ibadah haji membantu warga Cilincing Jakarta Utara ini lebih tegar dalam menghadapi masa dukanya.

Ucapan bela sungkawa pun datang dari seluruh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Jakarta Pondok Gede. “Ini adalah takdir kehidupan yang tidak bisa dihilangkan. Jadi bagaimanapun Bu Neneng harus meneruskan cita-cita almarhum. Insya Allah, almarhum khusnul khotimah,” tutur Saiful Mujab, Wakil Ketua II PPIH Jakarta Pondok Gede, membesarkan hati Neneng.

Neneng pun mengangguk, berjanji untuk tetap meneruskan cita-cita almarhum.

 

IHRAM

Uwais al-Qarni Berhaji Sembari Menggendong Ibunda

Uwais Al-Qarni adalah pemuda Shaleh dari Yaman, sejak lahir Uwais memiliki penyakit belang di sekujur tubunya. Meskipun fisiknya tidak sempurna tapi ia tidak pernah mengeluh kepada Allah justru ia sangat taat kepada Allah dan sangat berbakti pada ibunya.

Sehari-harinya ia habiskan untuk beribadah dan mengembala sapi, hanya sedikit orang yang mengenal Uwais Karena ia hanya fokus untuk beribadah, menghafal Alquran dan merawat ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan, Siang hari ia berkerja keras, malam hari dia selalu asyik bermunajat kepada Allah. Baginya tidak dikenal didunia jauh lebih baik dari pada tidak dikenal Allah.

Uwais yang hidup dalam kemiskinan, kemiskinan itu tidak membuatnya malas dalam beribadah malah semakin membuatnya takut kepada Allah dan semakin mendorongnya untuk lebih tenggelam dalam ketaatan kepada Allah dan sibuk menjalankan Sunnah-sunnah Rasulullah yang sangat dicintainya.

Pada suatu ketika, ibu Uwais yang semakin tua dan sakit-sakitan meminta kepadanya agar membawanya menunaikan ibadah Haji. Uwais hanya dapat mengiyakan permintaan ibunya, tapi ia yang miskin berpikir bagaimana ia bisa membawa ibunya beribadah haji sementara ia sangat miskin, perjalanan dari Yaman ke Madinah membutuhkan banyak biaya dan harus menggunakan unta untuk membawa ibunya dan harga unta pun sangat mahal.

Uwais terus berdoa sungguh-sungguh kepada Allah agar dimudahkan jalannya untuk memenuhi keinginan ibunya menunaikan ibadah haji. Allah yang maha baik memberikan ilham kepada Uwais, Uwais membeli seekor anak sapi yang sudah tidak menyusu, kemudian ia membuat sebuah kandang sapi diatas bukit.

Setelah kandang sapi itu jadi maka setiap sore hari uwais menggendong anak sapi yang masih kecil itu dipunggungnya kemudian ia bawa naik ke atas bukit dan setiap pagi Uwais menggendong anak sapi itu ke kaki bukit untuk diberikannya makan. Uwais melakukan itu setiap hari dan orang-orang menganggap Uwais gila, karena bukan membiarkan sapi berjalan tapi ia malah menggendongnya.

Padahal perbuatan uwais itu bukan tanpa alasan, ia sangat cerdas. Ia jadi terbiasa menggendong anak sapi itu selama delapan bulan, dan selama delapan bulan itu pula berat anak sapi yang tadinya 20kg menjadi 100 kg, otot-otot ditubuh Uwais pun menjadi terbentuk dan dia semakin kuat.

Tibalah musim haji, barulah semua usaha dan kerja kerasnya menunjukan hasil yang luar biasa. Uwais membawa ibunya menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki sambil menggendongnya dari Yaman ke Makkah yang berjarak 600km ,Uwais yang sudah terbiasa menggendong sapi ke atas bukit setiap harinya. Ia dapat dengan mudah membawa ibunya.

Setelah mereka kembali keyaman, tidak lama ibunya meninggal dunia. Dia sangat bersyukur dapat menunaikan smeua permintaan ibunya, Allah memuliakan martabat Uwais disisi-Nya.

 

REPUBLIKA

Haji Ibadah Berurai Air Mata: Nangis Mulu di Baitul Haram

Menangis itu nikmat dan dapat memupus gundah gulana. Seperti pengalaman haji bersama istri dan ibu di tahun 1994 disusul beberapa kali UMRAH sekeluarga sesudahnya yang semua biayanya dari hasil menulis dan melukis kaligrafi Alquran.

Sampai sehari sebelum berangkat dari kampung saya di Kuningan, saya berfikir, “Apaaaa ya yang belum?” Hingga tahu kalau saya belum pernah bisa menangis selama berdo’a. Saya pun berdo’a, “Ya Allah, biarkan hamba menangis terus mulai berangkat sampai hamba pulang.” Dan, itu benar-benar jadi kenyataan.

Dari mulai pemeriksaan imigrasi, tangis itu mulai meledak. Para penonton mungkin menyangka, “Kasihan deh, calon Haji ini belum berangkat sudah kecopetan,” padahal saya sedang membayangkan Nabi SAW sedang berkhutbah di Padang Arafah: “Ayyuhannaaaaaaaas….!”

 

Begitu melihat pucuk-pucuk menara Masjid Nabawi, raungan tangis mulai lagi, “Uuuu… uuu… uuu,” sampai-sampai menginspirasi istri untuk menohok dengan sikut kirinya dari bangku sebelah.

“Hei, nangis tuh kira-kira saja!”  tegurnya,

“Ini juga sudah dikira-kira,” jawab saya sambil menyetop tangis sejenak. “Uuu… Uuu…”

Di sana-sini menangis, sampai-sampai di pasar pun nangis, karena ingat peringatan Nabi bahwa pasar itu sarang setan.

Apalagi saat tawaf keliling Ka’bah, air mata terus tumpah sampai-sampai saya khawatir tak ada lagi cadangan air mata buat di Indonesia.

Di Masjidil Haram, seorang anak muda India yang belum juga bisa menangis, tertarik melihat sesenggukan saya.

“Kalau situh kapan mau nangisnya ya akhie?” tanya saya kepada si anak muda India itu. Dia pun menjawab,”Present in Arafah, insya Allah.”

Seorang anak muda dari Mesir, setelah lama saya ajak ngobrol, langsung merogoh koceknya dan … 
هل تسْمٙحُ لى ان اُعْطِيَك نقودا لولدِك لشراءِ الحٙلوِيّاتِ؟” /
“Hal tasmahu li an u’thiyaka nuqudan liwaladika lisyira’il halawiyat?” (Bolehkah saya kasih tuan fulus guna dibelikan permen untuk putra tuan?)

Ditanya seperti itu, maka tentu saja saya jawab dengan ‘Na’am’. Sekedar untuk kenangan, saya balas ngasih dia dengan selembar uang Rupiah 500 gambar monyet karena sudah tidak ada lagi uang Indonesia yang lain.

Dan sampai saat wassalam alias pulang haji, terutama saat menatap pucuk-pucuk menara Masjidil Haram, ledakan tangis itu kumat lagi. Tapi ya Allah, nikmatnyaaaaa tangisan ini. Terasa plong hati ini.

Nah, bagi jamaah yang masih tinggal di Makkah atau Madinah saya hanya memohon: Pak hai dan bu hajah, ayo kita menangis  haru sebelum keluarga pada nangis gembira menyambut di Indonesia!

Doa saya semoga mendapat haji yang mabrur. Amin.

Oleh: Didin Sirodjudin AR, Didin Sirodjudin AR, seniman kaligrafi dan pendiri Pesantren Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka).

FOTO: Didin Sirodjudin AR berhaji bersama keluarga pada tahun 1994. Ongkos hajinya didapat dari kemampuan dia menulis kaligrafi ayat Alquran. 

Air Mata Mengucur di Multazam

Detik-detik pergantian tahun 1994-1995. Tak ada jeritan terompet. Tak ada dentang lonceng jam. Tak ada sirine meraung. Tak ada jabat tangan ‘selamat tahun baru’. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Tak ada nyanyian. Tak ada pesta hura-hura. Dan, air mata mengucur di multazam, dalam irama doa dan istighfar.

Suasana malam tahun baru di Masjidil Haram, juga di kota suci Makkah — yang jatuh pada malam Ahad, tak lebih istimewa dari tengah-tengah malam biasa. Bahkan, lantai sekeliling Ka’bah tak lebih padat dari malam Jumat (dua malam sebelumnya), yang memang merupakan ‘malam libur’ di Saudi Arabia. “Tak ada tradisi perayaan malam tahun baru di sini,” kata Ibramim Hasima, pemandu umrah Al-Hussam, di Aziz Khogeer Palace sebuah hotel yang hanya berjarak 50 meter dari pintu Masjidil Haram, seperti dilansir dari pusat data Republika.co.id.

Di kalangan masyarakat negara yang memakai perhitungan tahun Hijriyah, malam tahun baru Masehi seperti tak ada artinya. Tak lebih dari malam-malam biasa. Lebih-lebih di kota suci Makkah, yang kental suasana keagamaan. Kompleks pertokoan, pasar, areal parkir, halaman Masjidil Haram, tak sepadat malam Jumat.

Di dalam Masjidil Haram, pada malam itu, tampak ratusan jamaah bertawaf mengelilingi Ka’bah seperti pada malam-malam sebelumnya. Puluhan orang pun berdesakan mencium hajar Aswad, puluhan lainnya khusuk bersembahyang sunnah di luar lingkaran tawaf, sementara dingin angin gurun menusuk-nusuk tulang, dan bintang-bintang menggelantung di langit malam. Terdengar gemeremang zikir, tahmid, istighfar, doa dan rintihan di pintu Ka’bah dan multazam (daerah antara hajar aswad dan pintu Ka’bah). Air mata haru, bahagia, rasa dosa, tobat dan penyesalan pun mengucur di sini.

Tetapi, beberapa rombongan jamaah umrah dari Indonesia dan dari berbagai belahan benua lainnya, sengaja menghabiskan malam pergantian tahun di Masjidil Haram. “Kita akan menikmati malam tahun baru di sisi Ka’bah untuk mengintrospeksi diri, melihat kembali apa yang telah kita lakukan dalam setahun dan merencanakan perbaikan di tahun depan,” kata Salim Bahannan, General Manager Intan Tour, menjelang keberangkatan jamaah umrahnya.

Makna khusus Tahun baru bagi umat Islam adalah 1 Muharram. Orang Jawa menyebutnya 1 Suro. Namun, bagi masyarakat Muslim di negara yang memakai perhitungan tahun Masehi, malam tahun baru tetap memiliki makna penting. Dan, malam pergantian tahun itu akan memiliki makna khusus ketika dinikmati di Masjidil Haram. “Saya merasa bahagia dapat melewatkan malam tahun baru di sini, kata Wulansari dengan mata berkaca-kaca.

Gadis yang menjadi public relation sebuah perusahaan di Jakarta itu sempat mengaku, malam-malam tahun baru sebelumnya ia habiskan dengan ‘berhura-hura’ bersama teman-teman sebayanya. Karena itu, melewatkan malam tahun baru di Masjidil Haram, baginya memiliki makna khusus.

Setidaknya, tahun kali ini tidak ia lewatkan dengan hura-hura, tapi dengan langkah-langkah ritual, dengan sentuhan religiusitas yang kental. Apalagi, malam itu ia lewatkan setelah menjalankan umrah pada hari sebelumnya. “Ada sesuatu dalam diri saya yang tercerahkan. Iman saya rasanya makin tebal,” katanya.

Perasaan yang sama juga dikemukakan Rumonda Kesuma, wanita karir yang bergerak di bidang advokasi. Bahkan oleh remaja kelas satu SMA Don Bosco Jakarta, Robin Yudhistira Ralie, dan Melania, siswi kelas satu SMA Santa Ursula Jakarta. “Bahagia sekali saya dapat berakhir tahun di Masjidil Haram,” kata Monda.

“Senang sekali. Rasanya gimana, gitu. Apalagi ketika mencium hajar Aswad,” kata Melania, yang umrah bersama adiknya, Melinda (siswi kelas dua SMP Marsudirini Jakarta) dan Armand Chandra (siswa kelas tiga SD Marsudirini). Tentu saja, mereka dikawal oleh sang Ayah, H. Kusnadi Abdul Hafidz, seorang pengurus DPD Golkar DKI.

Allah terasa dekat. Selalu ada perasaan khusus yang sangat personal ketika seorang hamba Allah berada di dekat Ka’bah, Baitullah yang menjadi titik kiblat (arah) sembahyang. “Ada perasaan makin dekat dengan Tuhan,” kata Fatmawati, seorang gadis Bali.

“Ini saya rasa suatu peningkatan iman,” tambah mahasiswi FSUI itu.

Dalam kedekatan seperti itu, ketertiban dan kekhusyukan sembahyang pun meningkat. Apalagi, di sekeliling Masjidil Haram dan di seluruh kota suci Makkah (juga di Madinah) suasana keagamaan terasa amat kental.

Tiap terdengar suara azan tiap orang tampak menghentikan kegiatan keduniawiannya. Toko-toko ditutup, mobil-mobil dihentikan, dagangan kaki lima dikemasi, kantor-kantor diistirahatkan, dan semuanya berbondong-bondong menuju masjid untuk salat berjamaah.

Kekhusyukan dan suasana agamis itu terasa lebih tajam bagi orang-orang yang biasanya hidup di kota metropolis super sibuk dan padat kerja. “Saya belum pernah merasakan kekhusyukan bersembahyang seperti di sini. Di Jakarta, sembahyang saya hampir selalu terganggu macam-macam kesibukan kerja,” kata Wulansari.

“Genap lima waktu saja sudah untung, di Jakarta waktu sembahyang kita sering lewat karena padatnya kerja,” timpal jamaah yang lain.

Yang dirasakan Fatmawati dan Wulansari itu adalah sentuhan religiusitas yang universal, yang juga dirasakan hampir tiap jamaah saat berada di Masjidil Haram. Dari manapun mereka berasal dan dari golongan sosial manapun. Ketika hamba Allah bersembahyang, kedekatan dengan Tuhan itu sudah amat terasa. Ketika hamba Allah bertawaf, berzikir, mengadu dan berdoa di sisi Ka’bah, perasaan dekat itupun makin mengental. Tuhan serasa hadir menguasai dan membelai seluruh perasaan.

Tak berlebihan, jika kemudian isak tangis sering tak terbendung, tumpah bersama doa dan pengakuan dosa, dalam gelegak perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata — karena sangat personalnya. Air mata pun mengucur di multazam, di depan pintu Ka’bah, sepanjang lingkaran tawaf dan di lantai Masjidil Haram ketika hamba Allah bersujud ke bumi.

“Biarlah, hanya Allah yang tahu, apa sebenarnya yang ada dalam perasaan hamba-hambanya. Ini urusan pribadi hamba dengan Tuhannya,” kata KH Cholid Abri, pembimbing rokhani jamaah umroh Intan Tour.

Tak berlebihan, jika kemudian perasaan jamaah umrah amat lekat dengan Masjidil Haram dan ingin terus berada di sana. Seperti diakui Rumonda, banyak yang merasa bersedih ketika ‘jatah tinggal’ di Makkah habis dan harus pulang negeri masing-masing.

Apalagi, yang tidak punya beban kerja dan keluarga yang menunggu di Tanah Air. “Sedih rasanya harus meninggalkan Masjidil Haram,” ujar Monda.

Penyegaran iman. Begitulah. Sangat tepat jika perjalanan umrah disebut sebagai ‘perjalanan pencerahan rokhani’. Banyak kegelapan rokhani ataupun kegelapan iman yang lantas ‘tercerahkan’ setelah seseorang melakukan umrah, ibadah yang sering disebut ‘haji kecil’ ini.

Dalam bahasa AM Syaefuddin (tokoh Nahdlatul Ummah yang juga berumrah lewat Intan Tour), perjalanan umrah adalah perjalanan ‘penyegaran iman’. “Dengan Umroh kita mengembalikan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia,” katanya.

Umrah, kata AM Syaefuddin, sangat efektif sebagai penyegaran iman. “Kebutuhan spiritual ditumpahkan sekaligus setahun sekali selama sepuluh hari. Kita biasanya merasakan kepuasan batin yang luar biasa,” katanya.

Karena itu, ia menganggap, orang-orang sibuk yang hidup di kota besar sangat penting untuk menyempatkan diri berumroh. Makin sibuk seseorang, menurutnya, makin perlu berumroh setahun sekali, agar imannya tetap terjaga dan hubungannya dengan Tuhan tetap terpelihara.

Perjalanan wisata umrah

Ini mungkin paket wisata plus atau ibadah plus. Atau, menurut istilah Direktur Intan Tour, Abdul Mannan, ibadah berdimensi wisata. “Ini perjalanan ibadah berdimensi wisata atau wisata berdimensi ibadah, katanya.

Paket umrah Al-Hussam Makkah yang dilaksanakan melalui Intan Tour Jakarta itu memang penuh suasana wisata, walaupun tujuan utamanya tetap ibadah. Tinggal landas dari Bandara Sukarno-Hatta 23 Desember 1994 pukul 23.00 WIB dengan Boeing 767 Gulf Air, pesawat singgah sebentar di Singapura dan Moscat.

Dari Moscat, jamaah umrah (bersama para penumpang lain yang kebanyakan para TKI asal Madura) dibawa ke Bahrain untuk tukar pesawat. Mengisi waktu menunggu sekitar dua jam, para jamaah pun mulai shopping di kompleks pertokoan air port. Setidaknya, nonton berbagai komoditi yang dipamerkan di balik etalase, yang harganya rata-rata jauh lebih murah daripada di Jakarta. Sebuah kamera tele-zoom Canon yang di Jakarta seharga Rp 875 ribu, misalnya, di Bahrain hanya sekitar Rp 500 ribu atau sekitar 250 dolar AS.

Gulf Air pembawa jamaah umrah Intan Tour baru mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah Sabtu 24 Desember pukul 16.00 WIB atau pukul 12.00 waktu setempat. Berarti, dengan rute dan transit tersebut, Jakarta–Jeddah ditempuh dalam waktu 17 jam, lebih lama enam jam dibanding penerbangan lain yang mengambil rute Singapura langsung Jeddah.

Menginap semalam di hotel Trident (bintang empat) sambil menyaksikan acara-acara TV yang syur, seperti TV Mesir yang menyajikan film tari perut atau Star TV yang menyajikan musik-musik pop India yang seronok (ada juga yang memanfaatkan waktu untuk shopping), pagi harinya rombongan dibawa dengan bus full AC ke Madinah. Dan, suasana wisata pun makin terasa.

Pemandangan-pemandangan menakjubkan terpampang hampir sepanjang jalan: bukit-bukit batu yang berjulangan menghitam di kana-kiri jalan, ceruk-ceruk bukit dengan oase dan gerombolan kambing, sungai-sungai kering dengan hanya beberapa genangan air, kebun-kebun korma di tengah hamparan padang batu, onta-onta di kaki bukit, burung-burung gagak yang bergerombol di pinggir jalan, dan apa saja yang bisa bersahabat dengan batu-batu.

Sampai di Madinah (setelah enam jam perjalanan) suasana keagaan tiba-tiba terasa amat kental. Sajian-sajian sekuler tak bisa lagi disaksikan di layar TV. Hanya siaran TV pemerintah Arab Saudi yang dapat disaksikan di kamar hotel. Apalagi, rombongan tinggal di hotel Al-Hussam yang berjarak hanya 100 meter dari Masjid Nabawi — sebuah masjid yang amat megah dengan tiang-tiang, kusen-kusen, lampu-lampu dan ornamen-ornamen indah yang bersepuh emas. Di pojok masjid inilah terdapat makam Nabi Muhammad saw yang selalu padat peziarah.

Semangat beribadah pun amat terasa. Tiap terdengar suara adzan, ribuan orang berbondong ke masjid untuk sholat berjamaah, meninggalkan kegiatan sehari-hari mereka. Semangat beribadah jamaah umroh pun tersulut seketika. Hampir tiap waktu sholat berjamaah tak terlewatkan. Dan, Intan Tour tetap memberi sentuhan wisata dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Jabal Uhud (medan perang Uhud), pasar korma, masjid Qiblatain (tempat turunnya wahyu pemindahan kiblat sholat dari Masjidil Aqsa ke Ka’bah), Masjid Quba, Masjid Tujuh (lokasi perang Handak) dan percetakan Alquran. Acara wisata (bebas) lainnya adalah shopping dan jalan-jalan di pertokoan.

Tinggal di Madinah dua hari dalam suasana keagamaan yang kental, jamaah rasanya menjadi amat siap untuk melaksanakan ibadah umroh. Dan, berangkatlah jamaah ke Makkah 27 Desember langsung dengan pakaian ihram. Ibadah umroh dimulai dari Miqat Bir Ali. Suara talbiyah pun lantas menggema di dalam bus hampir sepanjang perjalanan (lima jam) ke Masjidil Haram.

Dua kali jamaah dipandu berumrah secara berombongan. Selebihnya, jamaah bebas berumrah sendiri. Ada yang umrah sampai delapan kali, ada yang lima kali, ada pula yang merasa cukup dua kali. Suasana beribadah terasa sangat kental. Apalagi, jamaah tinggal di Aziz Khogeer Palace yang hanya berjarak 50 meter dari pintu Masjidil Haram.
Tiap kesempatan shalat berjamaah hampir tak pernah terlewatkan. Namun, dimensi wisata tetap tak terlewatkan, dengan mengunjungi Jabal Noor (tempat Gua Hirak), Jabal Rahmah (Arafah), Mina, Jabal Soor (tempat persembunyian Nabi ketika akan hijrah ke Madina), pabrik Kiswah (kain penutup Ka’bah), dan tentu saja shopping di pasar seng.

Puas beribadah di Masjidil Haram, rombongan pertama pulang ke Jakarta 1 Januari 1995 dan rombongan kedua (para wartawan, anggota DPR dan tokoh masyarakat) baru meninggalkan Makkah 4 Januari 1995. Rombongan kedua masih sempat shopping lagi di Balad (Jeddah) dan tinggal semalam di Hotel Al-Kayyam Jeddah, dan baru terbang ke Jakarta malam hari 5 Januari 1995.

 

sumber IHRAM

 

Apa saja Paket Umrah yang  ditawarkan oleh Umrah Umat? Klik di sini!