Sang Penjaga Terakhir Masjid Al-Aqsha

Kisah ini diceritakan seorang ahli sejarah dan  wartawan Turki bernama  Ilham Bardakci  dan Said Terzioglu. Saat itu tanggal 21 Mei 1972, Ilhan dan Said sedang berada di daerah Masjid Al Aqsha. Dirinya sedang berjalan di daerah halaman Masjid Al Aqsha saat matanya melihat sang serdadu tersebut.

Tinggi sang serdadu tua itu kurang lebih dua meter dengan wajah yang penuh bekas luka Serdadu tersebut berdiri dengan tegap mengawasi rombongan ahli sejarah tersebu Tinggi sang serdadu tua itu kurang lebih dua meter dengan wajah yang penuh bekas luka dan sepasang mata tajam. Serdadu tersebut berdiri dengan tegap mengawasi rombongan ahli sejarah tersebut.

Pria ini bernama Kopral Hasan Igdirli, lelaki berusia 93 ini adalah tentara terakhir Turki Ustmani yang meninggalkan masjid al-Aqsha, pada tahun 1982, bukan pulang ke negaranya, tapi ke pemakaman.

Kisah Ilhan Bardakci ini ditulis dalam benguk cerita berjudul “Saya Mengenalnya di Masjid al-Aqsha”.

“Itu kejadian beberapa tahun, tepatnya tahun 1972. Kala itu saya seorang jurnalis muda. Beberapa politisi dan pengusaha dari Turki berada di Israel untuk sebuah kunjungan kehormatan,” ujarnya dikutip laman IHH.

 

Ilham Bardakci menceritakan, kala itu dia sedanng berjalan-jalan di sekitar Al-Quds asy Syarif sampai tiba tepat di depan pintu Masjid al-Aqsha, tepatnya di “Area 12 Ribu Obor” yang dibangun oleh Sultan Khilafah Utsmaniyah  dari 1512 hingga 1520. Pemerintahannya terkenal karena ekspansi besar-besaran, khususnya penaklukannya antara 1516 dan 1517 dari seluruh Dinasti Mamluk, Mesir, yang mencakup; Syam, Hijaz, Tihamah, dan Mesir itu sendiri.

Sultan Yawoz Selim, ketika menggabungkan al-Quds ke dalam otoritasnya pada 30 Desember 1517, hadir di Masjid Al-Aqsha dan mendapati shalat isya’ dalam keadaan gelap. Sejak itu dia perintahkan pasukannya masing-masing prajurit menyalakan obor, jumlah mereka ada 12.000 tentara. Mereka semua shalat isya di area tersebut di bawah penerangan obor. Maka dinamainya area atau halaman tersebut dengan nama ini. Demikian tulis jurnalis Turki sebagaimana dikutip Palestine Information Centre (PIC).

Saat itu, Bardakci melihat Kopral Hasan di depan halaman kedua. Ketika dia bertanya kepada pemandu, siapa dia? Namuan jawaban yang didapat, kakek itu hanya seorang gila karena sudah ada di sini selama bertahun-tahun dan berdiri di seperti patung. Tidak pernah bicara apapun dengan siapapun. Dia hanya melihat ke arah Masjidil Aqsha Menunggu hingga matahari terbenam.

“Dia tidak berbicara atau mendengarkan siapa pun. Dia hanya menunggu, dia orang gila, kurasa.  Aku sudah cukup dewasa untuk tahu tidak ada yang akan melihat halaman tanpa alasan yang jelas. Apa yang tidak bisa saya dapatkan adalah, kilauan pada jenggot putihnya karena angin atau beban berat selama bertahun-tahun itu. Dia berdiri seperti burung merpati, akan menyiram dengan kalpak tua di kepalanya,” ujar sang pemandu.

Bardakci mendekatinya dan mengucapkan salam dengan bahasa Turki, “Selamu Aleykum baba (ayah).” Disapa demikian, dia gerakan matanya berbinar-binar. Ia lalu menjawab salam dengan bahasa Anatolia dengan fasih, “Aleykum Selam oğul (wahai anakku)!” Sang wartawan kaget dengan jawabannya menggunakan bahasa tersebut, lantas bertanya tentang identitasnya.

“Saya adalah Kopral Hasan dari Korps ke-20, Brigade ke-36, Batalyon ke-8, komandan Resimen senapan mesin ke-11,” ujar Hasan Igdirli.

 

Hasan bercerita, dirinya berasal dari Iğdır, Anatolia. Kala itu, pasukannya menggempur Inggris di Terusan Suez dalam sebuah perang besar. Namun tentaranya kalah hingga semua pasukan ditarik keluar dari Al-Quds.

“Ketika Negara Utsmani jatuh, dan agar tidak terjadi penjarahan dan perampokan di kota – al-Quds – pasukan Turki meninggalkan satu unit tentara sampai pasukan Inggris memasuki al-Quds, (biasanya pasukan yang menang tidak memperlakukan unit tentara yang kalah diperlakukan sebagai tawanan seperti ketika bertemu mereka). Saya bersikeras agar saya menjadi salah satu anggota unit ini dan menolak untuk kembali ke negara saya.

“Al-Quds adalah Pusaka Sultan Selim Han (Sultan Ottoman ke-9 dan Khalifah Utsmaniyah pertama). Tetap bertugas jaga di sini. Jangan biarkan orang-orang khawatir tentang ‘Ottoman (Utsmaniyah) telah mundur; apa yang akan kita lakukan sekarang”. Orang-orang Barat akan bersukacita jika Ottoman meninggalkan kiblat pertama  umat Islam dari nabi kita tercinta. Jangan biarkan kehormatan Islam dan kemuliaan Ottoman diinjak-injak,” ujar seorang letnan, pemimpin Kopral Hasan.

“Kami tinggal di al-Quds karena kami takut saudara-saudara kami di Palestina akan mengatakan bahwa Utsmani meninggalkan mereka. Kami ingin Masjid al-Aqsha tidak menangis setelah 4 Abad. Kami ingin sultannya para nabi, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, tidak bersedih. Kami tidak ingin dunia Islam berduka dan berkabung,” ujar Kopral Hasan.

Lebih lanjut Kopral Hasan menambahkan, “Kemudian setelah itu tahun-tahun yang panjang berlalu seperti kejapan mata. Semua teman-temanku sudah berpulang ke rahmat Allah satu demi satu (jumlah mereka ada lima puluh tiga orang), dan musuh-musuh tidak bisa menghabisi kami, tetapi taqdir dan kematian (yang mengakhiri kami),” ujarnya.

 

Kopral Hasan menyampaikan permintaan terakhir kepada Bardakci dan berkata, “Anakku, ketika kamu pulang ke Turki, pergilah ke Desa Tokat Sanjak (daerah ini sekarang bernama Pontus, red). Di sana ada komandan saya, Kapten Mustafa. Beliau yang menempatkan saya di sini sebagai penjaga di tempat suci ini, Masjid al-Aqsha dan meletakkan amanah di pundak saya. Cium tangannya untukku,  katakan kepadanya bahwa Kopral Hasan, Komandan Resimen Senapan Mesin ke-11, masih tegap berdiri menjaga Masjid al-Aqsha. Masih berdiri berjaga di tempat yang Anda tinggalkan sejak waktu itu. Dia belum pernah meninggalkan tugasnya untuk selamanya. Dia menginginkan doa-doa keberkahan Anda, komandan!”

Bardakci menyanggupi permintaannya sembari menyembunyikan air matanya yang telah meleleh. Bardakchi meraih  kepala Kakek Hasan dan berkali-kali menciumi keningnya.

”Saya kembali ke rombongan, seolah semua sejarah dihidupkan kembali dari buku dan didirikan di depanku. Saya mengatakan situasi itu kepada pemandu wisata dan dia tidak bisa percaya. Saya memberinya alamat rumah dan mengatakan: “tolong kabari saya jika terjadi sesuatu”.

Saat kembali ke Turki, Bardakci segera menuju wilayah Tokat untuk menyimpan amanah Kakek Hasan. “Saya menelusuri nama Letnan Mustafa Efendi dari catatan militer. Rupanya dia sudah meninggal beberapa tahun lalu. Saya tidak bisa mematuhi janji yang telah saya berikan. Dan tahun-tahun berlalu,  sampai pada tahun 1982, mereka memberi tahu ada telegraf di tempat saya bekerja. Ada satu baris tertulis: “Wali Utsmaniyah terakhir yang menjaga dan menunggu Masjid Al-Aqsa telah meninggal hari ini”.

Tahun 2017, Yayasan Bantuan Kemanusiaan Turki (IHH) meresmikan sebuah masjid megah di lingkungan Tel al-Hawa di Jalur Gaza.

Pembangunan Masjid ‘Onbaşı Hasan’ (Kopral Hasan), diambil dari nama Kopral Hasan yang telah setiah menjaga Masjid Al-Aqsha selama pendudukan Inggris di Yerusalem (Baitul Maqdis), hingga akhir hayatnya.

“IHH telah menyediakan sejumlah besar layanan dan bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak serangan 2008 dan hingga saat ini. Namun, saya pikir bantuan terbesar yang kami berikan adalah membangun masjid ini,” kata perwakilan IHH di Gaza, Muhammad Kaya.

Kopral Hasan tetap menjadi penjaga masjid al-Aqsha, meninggalkan tanah air dan rakyatnya. Di hatinya ada keberanian, kesetiaan dan kebanggaan yang hanya diketahui oleh orang-orang terhormat.*

 

HIDAYATULLAH