Faedah Sirah Nabi: Pensyariatan Azan

Berikut adalah kisah tentang pensyariatan azan dari Fikih Sirah Nabi.

Ajakan dan seruan untuk menyembah Allah telah dimulai sejak di Makkah. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya mendapat banyak siksaan, cacian, dan rintangan dari kafir Quraisy dalam menyebarkan dakwah. Adapun fokus utama dakwah di Makkah adalah pembinaan tauhid dan pengokohan akidah yang lurus pada setiap sanubari manusia dan menyucikan mereka dari berhala-berhala yang telah mereka jadikan tuhan.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah dan hati pun telah tenteram dengan terbentuknya masyarakat muslim, maka mulailah turun beberapa syariat, seperti azan, pemindahan arah kiblat, puasa, zakat, jihad, dan sebagainya.

Awal Pensyariatan Azan

Nafi’ meriwayatkan: Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika orang-orang mukmin tiba di Madinah, mereka berkumpul dan saling menyeru untuk melakukan shalat, sebab belum ada saat itu seruan khusus untuk melakukan shalat.

Pada suatu hari, sebagian mereka berkata, “Pakailah naaqus (kayu panjang dipukul dengan kayu kecil), seperti naaqus-nya orang-orang Nasrani. Sementara sebagian yang lain mengatakan, “Pakailah buq (seruling jika ditiup mengeluarkan bunyi), seperti orang Yahudi mengumpulkan pengikutnya. Kemudian Umar bin Khaththab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengutus seseorang untuk menyerukan shalat?” Beliau berkata, “Wahai Bilal, banghun dan serukan shalat.” (HR. Bukhari, 2:77 dan Muslim, 4:75-76)

Pada awal mula pensyariatan shalat, orang-orang mukmin mengerjakannya tanpa ada satu seruan yang baku atau tetap sebagai pertanda telah masuknya waktu shalat. Namun, mereka saling mengajak dan mengingatkan sebagai pertanda waktu shalat telah tiba, lalu mereka pun berkumpul untuk menunaikannya. Hal tersebut memang menyulitkan dan menyusahkan, mungkin karena terlalu lama menunggu antara sesama mereka, atau sebagian lain terlambat sehingga ketinggalan dari shalat berjamaah. Kemudian mereka membicarakannya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi menyudahinya dengan memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat. Seruan tersebut hanya sebagai pemberitahuan waktu shalat dan bukan panggilan atau azan syari seperti sekarang ini, karena saat itu belum ada syariatnya.

Diriwayatkan oleh Sa’ad dalam Tabaqat-nya: Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelum azan disyariatkan, mereka menyeru dengan seruan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘ash-shalaatul jaami’ah’, maka orang-orang pun berkumpul.”

Kemudian disyariatkan azan, sementara seruan ash-shalaatul jaami’ah masih berlaku, karena ia merupakan seruan yang sudah familiar, jika mereka mendengarnya, mereka pun hadir. Selain itu, seruan tersebut juga berfungsi sebagai pembuka dari pengumuman, seperti dibacalan pada pembukaan acara atau ketika Nabi menyuruh sesuatu. Oleh karena itu, seruan ash-shalaatul jaami’ah itu masih ada. Meskipun hal tersebut bukan pada waktu-waktu shalat.

‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bermimpi tentang azan. Diriwayatkan dari Abu Laila, “Shalat itu ada tiga kondisi. Kemudian Abu Laila berkata, ‘Para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan shalatnya kaum muslimin.” Dalam riwayat lain disebutkan dengan “kaum mukminin”. Mereka melakukannya secara serentak, lantas aku tertarik memperhatikan seseorang dari ketinggian mengajak manusia untuk shalat, mereka berdiri di atas atham (bangunan yang tinggi) sambil memukul naaqus (kayu panjang yang dipukul dengan kayu kecil) guna mengajak manusia untuk melaksanakan shalat. Ia berkata, “Kemudian datang seseorang dari Anshar seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat besarnya perhatianmu terhadap azan. Aku bermimpi melihat orang yang memakai baju hijau, berdiri di masjid kemudian mengumandangkan azan. Kemudian duduk sesaat, selanjutnya berdiri kembali mengumandangkan kalimat serupa dan menambah kalimat ‘qad qaamatish-shalaah’.” Ibnu Mutsanna berkata, ‘Katakanlah., aku dalam keadaan sadar, bukan tidur, kemudian beliau bersabda, (Ibnu Mutsanna berkata), “Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebaikan. Ia tidak menyebutkan Amr. Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebaikan. Maka suruhlah Bilal untuk mengumandangkan azan.” Kemudian Umar bin Khaththab berkata, “Aku telah bermimpi sama seperti mimpinya Abu Mutsanna, tetapi ia lebih dahulu menceritakannya sehingga aku pun malu menceritakannya kembali.” (HR. Abu Daud, no. 478, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari Abu ‘Umair bin Anas berkata, “Nabi sangat memperhatikan shalat dan bagaimana cara mengumpulkan umat dalam melaksanakannya.” Lalu dikatakan kepadanya, “Pancangnkan bendera ketika telah masuk waktu shalat. Jika orang melihatnya, maka mereka akan memberitahukannya kepada yang lain. Namun, hal itu tidak membuat beliau tertarik. Lalu disebutkan juga kepada beliau agar menggunakan qan’u atau syabbur (alat yang digunakan untuk mengumpulkan orang).” Ziyad berkata, “Syabbur merupakan syiarnya orang Yahudi.” Kemudian disebutkan naaqus di hadapan Ziyad, ia pun berkata, “Itu merupakan syiarnya orang Nashrani.” Kemudian ‘Abdullah bin Zaid pergi sambil memikirkan kegelisahan Nabi. Pada saat ia tidur, ia pun memimpikan tentang azan.

Pada pagi harinya, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpi tersebut, kemudian ia berkata, “Ya Rasulullah, aku seperti berada dalam kondisi antara tidur dan sadar, kemudian datanglah kepadaku seseorang mengajarkan azan.” Abu Umair berkata, “Padahal Umar bin Khaththab telah mimpi serupa sebelum itu, tetapi ia menyembunyikannya selama dua pulu hari, kemudian baru ia memberitahukannya kepada nabi, beliau berkata kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk tidak memberitahukannya kepadaku?” Umar menjawab, “Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku, lalu aku pun jadi malu untuk menceritakannya.”

Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Bilal, bangunlah dan perhatikan apa yang disampaikan oleh ‘Abdullah bin Zaid, dan lakukanlah!” Kemudian Bilal pun mengumandangkan azan.”

Abu Basyar berkata, “Abu Umair mengabarkannya kepadaku bahwasanya orang-orang Anshar menyangka bahwa sekirarnya saat itu ‘Abdullah bin Zaid tidak sakit, niscaya Rasulullah akan menjadikannya sebagai muazin.”

Dari ‘Abdullah bin Zaid berkata, “Ketika beberapa sahabat memberikan usulan kepada Nabi untuk menggunakan naqus dalam mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba saya bermimpi melihat seseorang dengan naqus di tangannya berputar di sisiku, kemudian aku berkata, “Wahai hamba Allah, apa engkau menjual naqus itu?” Ia menjawab, “Apa yang akan kamu perbuat dengan naqus?” Kemudian ‘Abdullah bin Zaid menjawab, “Sebagai seruan untuk shalat.” Kemudian ia berkata, “Maukah engkau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?” ‘Abdullah menjawab, “Ya, mau.” Dia berkata, “Kumandanglah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Tidak lama setelah itu, ia berkata, “Jika kamu mendirikan shalat, maka ucapkanlah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Pada paginya, aku menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku kabarkan kepadanya apa yang ada dalam mimpiku. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar. Katakan kepada Bilal mengenai mimpimu itu, suruhlah dia mengumandangkannya. Sesungguhnya ia lebih baik suaranya dibandingkan kamu.” Kemudian aku menyampaikan kepada Bilal dan ia pun mengumandangkannya. Umar bin Khaththab mendengarnya dari rumah, lalu keluar dan menarik selendangnya seraya berkata, “Demi Rabb yang telah mengutusmu wahai Rasulullah, aku telah bermimpi seperti ‘Abdullah bermimpi.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah.” (HR. Abu Daud, sahih).

Begitulah proses pensyariatan azan shalat, yaitu pada awal mulanya tanpa seruan yang baku, kemudian seruan dengan lafaz ash-shalaatu jaami’ah, kemudian dengan cara dan lafaz yang khusus.

Pensyariatan azan dengan cara yang terakhir adalah pada tahun pertama Hijriyah.

Pelajaran dari Pensyariatan Azan

Pertama: Azan secara syari adalah pemberitahuan tentang telah masuknya waktu shalat dengan lafaz tertentu.

Kedua: Hikmah pensyariatan azan sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi:

  1. Sebagai syiar Islam.
  2. Sebagai syiar tauhid.
  3. Sebagai pemberitahuan akan masuknya waktu shalat sekaligus memberitahukan tempatnya.
  4. Seruan untuk melaksanakan shalat secara berjamaah.

Ketiga: Hikmah menggunakan seruan atau panggilan ketika shalat, tidak dalam bentuk perbuatan, karena ucapan itu lebih ringan, memudahkan semua orang dalam melaksanakannya pada segala tempat dan waktu.

Keempat: Pentingnya shalat berjamaah.

Kelima: Pentingnya musyawarah dalam mencapai mufakat.

Keenam: Agungnya suara azan karena mengandung dzikir yang sangat mulia.

Ketujuh: Hikmah disyariatkannya azan berdasarkan mimpi dan bukan berasal dari nabi sendiri menunjukkan tentang tingginya pujian beliau terhadap orang lain dan sebagai penghormatan baginya.

Keutamaan Azan

1- Setan menjauh saat mendengar azan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqamah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari, no. 608 dan Muslim, no. 389)

2- Yang mendengar azan akan menjadi saksi bagi muazin pada hari kiamat

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَىْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah suara azan yang keras dari yang mengumandangkan azan didengar oleh jin, manusia, segala sesuatu yang mendegarnya melainkan itu semua akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 609). Termasuk juga di sini jika yang mendengar adalah hewan dan benda mati sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat lain disebutkan,

الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ

Muazin diberi ampunan dari suara kerasnya saat azan serta segala yang basah maupun yang kering akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 515; Ibnu Majah, no. 724; dan An-Nasai, no. 646. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dinilai oleh Al-Hafizh Abu Thahir). Termasuk juga yang mendengarnya adalah malaikat karena sama-sama tidak terlihat seperti jin. Lihat Fath Al-Bari, 2:88-89.

3- Kalau tahu keutamaan azan pasti akan jadi rebutan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

Seandainya setiap orang tahu keutamaan azan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari, no. 615 dan Muslim, no. 437)

Fikih Azan

Syarat sah untuk muazin

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Tamyiz
  4. Laki-laki

Catatan: Azan wanita untuk laki-laki tidak boleh sebagaimana tidak sahnya wanita mengimami laki-laki.

  1. Mengeraskan suara
  2. Sudah masuk waktu shalat
  3. Mengetahui waktu-waktu shalat
  4. Azan mesti diucapkan secara berurutan
  5. Kalimat azan diucapkan secara berkesinambungan (muwalah)

Sunnah azan

  1. Berdiri
  2. Menghadap kiblat
  3. Dalam keadaan suci

Catatan: Disunnahkan muazin dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun hadats besar. Dimakruhkan muazin dalam keadaan berhadats, lebih-lebih lagi jika dalam keadaan junub.

  1. Baligh, lebih utama dari anak kecil yang tamyiz
  2. Adalah, bagus agamanya dan berakhlak mulia
  3. Suara muazin bagus
  4. Bisa melihat, yaitu melihat langsung waktu shalat
  5. Menoleh dengan leher (bukan dengan dada) ke kanan saat ucapan “hayya ‘alash sholaah” dan ke kiri saat ucapan “hayya ‘alal falaah”
  6. Mengucapkan dengan tartil, perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa
  7. Melakukan tarji’, mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali, pertama secara lirih, kedua secara jahar
  8. Mengucapkan tatswib pada azan Shubuh (ash-shalaatu khairum minan nauum) setelah ucapan hayya ‘alash sholaah dan hayya ‘alal falaah
  9. Menetapkan dua muazin, ada yang mengumandangkan azan sebelum Shubuh dan ada yang setelah masuk Fajar
  10. Yang mendengarkan azan disunnahkan inshat (diam) dan ijabah (mengikuti azan)
  11. Shalawat kepada Nabi dengan suara lirih bagi muazin, bagi yang mendengar azan, lalu meminta kepada Allah wasilah dan berdoa kepada-Nya setelah selesai azan (dengan diberi jeda)
  12. Berdoa untuk diri sendiri karena waktu antara azan dan iqamah adalah waktu mustajabnya doa

Syarat iqamah

  1. Iqamah itu furada (umumnya satu kalimat yang diucapkan)
  2. Isra’ (cepat pengucapannya)
  3. Iqamah diulang untuk setiap shalat wajib, termasuk shalat yang dijamak atau shalat yang luput
  4. Sudah masuk waktu

Sunnah iqamah

  1. Menunggu jamaah
  2. Berpindah tempat
  3. Yang azan itulah yang iqamah
  4. Meninggikan suara untuk iqamah, tetapi lebih rendah dari suara azan
  5. Musafir boleh mengumandangkan iqamah di kendaraannya

Lima Amalan Ketika Mendengar Azan

Lima amalan tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut:

(1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muazin.

(2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD atau membaca shalawat ibrahimiyyah seperti yang dibaca saat tasyahud.

(3) minta kepada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah: ALLAHUMMA ROBBA HADZIHID DA’WATIT TAAMMAH WASH SHOLATIL QOO-IMAH, AATI MUHAMMADANIL WASILATA WAL FADHILAH, WAB’ATSHU MAQOOMAM MAHMUUDA ALLADZI WA ‘ADTAH.

(4) membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH WA ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUH, RADHITU BILLAHI ROBBAA WA BI MUHAMMADIN ROSULAA WA BIL ISLAMI DIINAA, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash.

(5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan. (Lihat Jalaa-ul Afham hlm. 329-331)

Referensi

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  3. Jalaa-ul Afham fii Fadhli Ash-Shalah wa As-Salaam ‘ala Muhammad Khoir Al-Anam. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Dar Ibn Katsir.

— 

Selesai disusun pada Jumat sore, 24 Rajab 1443 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/31959-faedah-sirah-nabi-pensyariatan-azan.html