Inikah Penyebab Arab Takut Lawan Israel?

Melihat serangan koalisi Arab Saudi terhadap pemberontak Houthi di Yaman, memunculkan beragam pertanyaan. Koalisi tersebut lebih memilih menyerang Houthi yang berafiliasi ke Syiah Iran, ketimbang membungihanguskan Israel penjajah sejati. Lantas, benarkah ketidakberanian Arab terhadap Israel itu dipicu trauma atas kekalahan mereka perang melawan Israel sepanjang sejarah?

Sejarah mencatat, Arab harus menelan kekalahan terus menerus melawan Israel. Dalam Perang Arab-Israel Pertama, menyusul pendirian negara Israel 14 Mei 1948 di bawah pimpinan David Ben Gurion, aliansi negara Arab takluk di hadapan Isrel. Dalam perang yang berlangsung selama hampir 10 bulan itu (sejak 15 Mei 1948 hingga 10 Maret 1949—Red), pasukan Yordania, Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi bergerak ke Palestina untuk menduduki daerah-daerah yang diklaim sebagai wilayah ‘negara Israel’. Ada sekitar 45 ribu tentara yang dikerahkan oleh negara-negara Arab tersebut pada waktu itu.

“Sementara, di pihak Israel sendiri awalnya hanya diperkuat oleh 30 ribu prajurit, namun pada Maret 1949 meningkat jumlahnya menjadi 117 ribu tentara,” ungkap Yoav Gelber dalam buku Palestine 1948: War, Escape and the Emergence of the Palestinian Refugee Problem.

Perang Arab-Israel Pertama berakhir dengan kekalahan di pihak negara-negara Arab. Menurut catatan, jumlah tentara Arab yang gugur mencapai 7.000 orang.  Perang itu juga menewaskan 13 ribu warga Palestina. Di samping itu, berdasarkan hasil penghitungan resmi PBB, ada 711 ribu orang Arab yang menjadi pengungsi selama pertempuran berlangsung.

Sebagai akibat dari kemenangan Israel tersebut, setiap orang Arab yang mengungsi selama Perang Arab-Israel Pertama, tidak diizinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka yang kini sudah diklaim Zionis sebagai wilayah negara Israel.

“Oleh karenanya, para pengungsi Palestina yang kita jumpai hari ini adalah keturunan dari orang-orang Arab yang meninggalkan tanah air mereka ketika terjadinya perang 1948-1949,” tutur Erskine Childers lewat tulisannya,  The Other Exodus The Spectator, yang dipublikasikan dalam buku The Israel-Arab Reader: A Documentary History of the Middle East Conflict,(1969).

Perang Arab-Israel kembali meletus ketika Mesir melakukan nasionalisasi terhadap Terusan Suez pada 1956. Kebijakan yang digawangi oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu mendorong Israel  untuk menginvasi Semenanjung Sinai, sehingga menyebabkan peristiwa yang dikenlan sebagai ‘Krisis Suez’.

Tak lama berselang, pasukan Inggris dan Prancis juga mendarat di Pelabuhan Suez. Keikutsertaan dua negara Eropa itu dalam konflik tersebut seolah-olah untuk memisahkan pihak yang bertikai. Namun, motivasi mereka sebenarnya pada waktu itu hanya untuk melindungi kepentingan investor di negara-negara yang terkena dampak nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir.

Perang Arab-Israel yang kedua ini berakhir dengan kesepakatan damai. Mesir setuju untuk membayar jutaan dolar kepada Suez Canal Company—selaku pemegang otoritas Terusan Suez sebelum dinasionalisasi oleh Presiden Nasser.

Pada dekade berikutnya, hubungan Israel dengan negara-negara tetangga Arab tidak pernah sepenuhnya normal. Menjelang Juni 1967, ketegangan antara Mesir dan Israel kembali meningkat. Mesir memobilisasi pasukannya di sepanjang perbatasan Israel di Semenanjung Sinai. Sementara, Israel meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap lapangan udara Mesir pada 5 Juni. Peristiwa itu menimbulkan Perang Arab-Israel Ketiga yang berlangsung selama enam hari.

Dalam perang tersebut, Mesir juga dibantu oleh sejumlah negara Arab lainnya, yaitu Yordania dan Suriah. Di samping itu, Arab Saudi, Kuwait, Libya, Maroko, dan Pakistan juga ikut mendukung Mesir dalam pertempuran tersebut. Hasilnya, Mesir dan koalisi negara-negara Arab kembali menelan kekalahan. Menurut catatan, ada sekitar 19 ribu tentara Arab yang hilang atau gugur di medan perang kala itu.

Meski berulangkali menderita kekalahan, upaya yang dilakukan Arab Saudi, Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon untuk membela Palestina di masa lalu menunjukkan betapa tingginya rasa solidaritas mereka sebagai sesama bangsa Arab pada waktu itu. Catatan sejarah tersebut menjadi ironis, mengingat hari ini negara-negara Arab saling memerangi saudara mereka sendiri di Yaman.

 

sumber: Republika Online