Memperkokoh Pondasi Rumah Tangga

Tulisan ini akan membahas tentang pentingnya memperkokoh niat ketaatan lillah sebagai pondasi kuat dalam membangun dan menjalani kehidupan rumah tangga. Karena, pondasi yang rapuh dapat memicu pertikaian antara suami dengan istri yang dapat berujung pada perceraian dan penyesalan. Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah umat, banyak orang berumah tangga karena murni cinta. Sebagian lain menjadikan alasan mencari kebahagiaan, bahkan ada yang termotivasi karena hanya takut celaan manusia dengan status single.

Memang, tidak ada yang salah dengan alasan-alasan duniawi tersebut. Namun, jika motivasi menikah itu tidak dibarengi dengan niat untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, serta menjadikannya sebagai alasan utama membangun mahligai rumah tangga, maka sungguh pondasi rumah tangga itu menjadi rapuh. Karena jika pondasinya adalah alasan duniawi tersebut, lantas apa perbedaan antara orang muslim dan kafir dalam pernikahan? Oleh karenanya, pondasi yang kokoh dalam membangun dan menjalani mahligai rumah tangga adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala yang menjadi tujuan utama.

Ketaatan dalam perjanjian yang agung

Allah Ta’ala berfirman,

وَكَیۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضࣲ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّیثَـٰقًا غَلِیظࣰا

Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang agung (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. An-Nisa’: 21)

Dalam Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini, khususnya berhubungan dengan kalimat مِّيثَٰقًا غَلِيظًا (perjanjian yang agung), dijelaskan bahwa Allah Ta’ala juga telah mengambil perjanjian yang kuat dari para suami dengan adanya akad dan (perintah untuk) memenuhi hak-hak istrinya. Oleh karenanya, ada unsur ketaatan kepada perintah Allah dalam setiap perjanjian akad nikah yang dipikul oleh seorang suami dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Sedangkan tanggung jawab taat kepada suami (selama dalam koridor syariat) berada pada pundak istri yang pada akhirnya berarti juga berarti tunduk dan patuh kepada perintah Allah Ta’ala.

Ketaatan dalam menyempurnakan separuh agama

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إذا تَزَوَّجَ العبدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّينِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فيما بَقِيَ

“Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka, bertakwalah kepada Allah pada setengah sisanya.” (HR. Baihaqi dalam kitabnya Syu’bul Iman no. 5486. Al-Albani menyatakan bahwa derajat hadis ini adalah hasan li ghairihi dalam kitab Silsilah As-Shahihah)

Menyebut pernikahan sebagai “separuh agama” adalah sebagai bentuk penekanan untuk mendorong segera menikah.

Al-Ghazali rahimahullah berkata, “Yang dominan dalam merusak agama adalah kelamin (kemaluan) dan perut. Dengan menikah, sudah cukup untuk menjaga dari salah satunya (yaitu kemaluan, pent.). Karena dalam pernikahan terdapat penjagaan dari setan, pemutus keinginan, menahan hawa nafsu (syahwat), menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan.” [1]

Ketaatan dalam membentuk keturunan yang saleh

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إذا مات ابنُ آدَمَ انقَطَع عمَلُه إلَّا مِن ثَلاثٍ: صَدَقةٍ جاريةٍ، أو عِلمٍ يُنتَفَع به، أو وَلَدٍ صالِحٍ يدعو له. رواه مسلمٌ

Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara: yaitu sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Terhadap peran anak saleh yang mendoakannya, Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah anak yang saleh yang mendoakan orang tuanya. Doa anak saleh tersebut akan memberikan manfaat baginya. [2]

Oleh karenanya, apabila tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan, maka pastikan bahwa niat kita setelah mendapatkan keturunan adalah mendidik dan mangasuh anak tersebut sehingga menjadi hamba Allah yang saleh agar kelak dapat mendoakan kita tatkala meninggalkan dunia ini. Bentuklah rumah tangga yang penuh dengan ketaatan, jadilah contoh dan teladan bagi anak-anak kita sebagai hamba Allah yang istikamah dalam iman dan takwa.

Pondasi rumah tangga yang kokoh

Ketaatan kepada Allah Ta’ala adalah pondasi yang semestinya menjadi mutlak dalam membangun dan membina rumah tangga. Karena bagaimanapun sulitnya problematika kehidupan yang dijalani bersama, tidak akan menggoyahkan keutuhan rumah tangga selama setiap individu, baik suami maupun istri, benar-benar memahami bahwa tujuan menikah adalah dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Namun jangan lupa, komitmen ketaatan tersebut tentu saja harus terikat kuat dengan sebab-sebab yang dapat menguatkan keistikamahan kita. Sebab-sebab itu tiada lain adalah dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai suri teladan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86950-memperkokoh-pondasi-rumah-tangga.html

Hukum Ayah Tidak Mau Menikahkan Putrinya

Dalam urutan wali nikah, ayah merupakan orang pertama yang berhak untuk menikahkan putrinya. Selama masih ada ayah, yang lain tidak boleh menjadi wali. Namun, bagaimana jika ternyata sang ayah tidak mau menikahkan putrinya padahal sudah ada pria sekufu’ yang datang melamarnya. 

Berdosakah sang ayah? Lalu siapakah yang menjadi walinya? Dalam literatur fikih, tindakan ayah semacam ini disebut ‘adhal, Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan;

العضل هو منع الولي المرأة العاقلة البالغة من الزواج بكفئها إذا طلبت ذلك، ورغب كل واحد منهما في صاحبه

“‘adhal adalah menghalanginya wali kepada wanita yang berakal dan baligh dari menikahi pria yang sekufu’ dengannya, sementara wanita itu menginginkannya. Dan mereka berdua saling mencintai.”

Selain itu, ‘adhal merupakan satu dari sekian banyak dosa kecil bahkan Imam Nawawi dalam fatwanya mengkategorikan ‘adhal sebagai dosa besar. Oleh-karenanya sang ayah dihukumi berdosa ketika tidak mau menikahkan putrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt pada QS. al-Baqarah ayat 232; 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan suaminya, apabila telah terdapat kerelaan antara mereka dengan cara yang ma’ruf.

Ayat ini turun berkaitan dengan kasus salah seorang sahabat bernama Ma’qil bin Yasar yang menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki. Nahas seiring berjalannya waktu,  lelaki tersebut menceraikannya. Begitu masa iddah berakhir, si lelaki menyesal dan berniat untuk menikahi saudarinya Ma’qil kembali.

Ma’qil pun marah lantas berkata; “Dulu aku nikahkan engkau dengan saudariku dan aku memuliakan dirimu tapi engkau malah menceraikannya. Lalu sekarang engkau ingin menikahi saudariku lagi. Tidak! Demi Allah aku tidak akan mengembalikannya padamu” sedangkan saudarinya sendiri menginginkan kembali kepada mantan suaminya itu. Maka turunlah ayat di atas.

Kemudian Rasulullah Saw memanggil Ma’qil dan membacakan ayat tersebut, Ma’qil pun khilaf dan bersedia menikahkan saudarinya kembali dengan laki-laki tersebut. (HR. Bukhari 5331)

Meski demikian, ‘adhal tidaknya seorang ayah tergantung kepada keputusan hakim sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Wahhab Juz II halaman 37;

ولا بد من ثبوت العضل عند الحاكم ليزوج كما في سائر الحقوق

“Vonis ‘adhal harus berdasarkan ketetapan hakim agar hakim bisa menikahkan (si putri) sebagaimana seluruh hak-hak”. Jadi hakimlah yang berhak menentukan apakah seorang ayah ‘adhal atau tidak dan untuk konteks saat ini yang dimaksud hakim adalah pihak KUA.

Oleh-karena itu, apabila sang ayah telah divonis sebagai wali yang ‘adhal maka yang berhak menikahkan adalah hakim (pihak KUA) bukan wali yang lain seperti kakek, paman, dan seterusnya.

Kenapa begitu? Dalam Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu jilid IX, halaman 6723, diebutkan bahwa sang ayah dianggap telah melakukan kedzaliman dengan tidak mau menikahkan putrinya dan yang berhak menumpas kedzaliman adalah Hakim. 

Namum, jika sang ayah tidak mau menikahkan putrinya sampai tiga kali, maka dia dianggap fasiq sehingga hak perwaliannya berpindah kepada wali yang lain sesuai dengan urutan wali.  Demikian penjelasan dalam kitab Fathul Wahhab jilid II, halaman 37.

Demikianlah hukum ayah yang tidak mau menikahkan putrinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Sakralkah Pernikahan Padahal Telah Berzina?

AKHI, Ukhti. Aku ingin mengajakmu untuk merenung.

Apasih makna sebuah pernikahan? Bila sebelumnya engkau telah menyentuh pasanganmu. Engkau telah duduk bersanding dengannya. Engkau telah berpelukan erat dengannya. Engkau telah berjalan berduaan dengannya. Engkau telah bersembunyi di balik tabir menutup pintu dari pandangan manusia bersamanya.

Yang lebih parah lagi engkau sudah pernah tidur di atas kasur berduaan dengannya. Lalu apa artinya akad nikah? Apa gunanya resepsi? Apa gunanya saksi dan wali? Apa gunanya mengumumkan kepada khalayak ramai pernikahanmu?

Kalau semua orang telah mengetahui hubunganmu dengannya? Dan Sang Pencipta telah melihat kelakuanmu selama ini. Apa masih ada yang sakral dari pernikahan yang seperti ini?

Hanya sekedar untuk mendapatkan buku hijau, namun semuanya sudah dilakukan sebelum akad nikah. Jangan membohongi dirimu sendiri dengan berpura-pura menikah. Memulai lembaran baru sebagai pasutri.

Yang dahulunya haram menjadi halal. Yang dahulu dilarang menjadi sebuah anjuran. Padahal sebelum akad nikah kau sudah menghalalkan semuanya.

Islam adalah agama yang menghargai wanita. Menghormati dan menjaga putri Adam. Wanita di dalam Islam bukan barang dagangan yang bisa kau pegang-pegang sebelum kau menikahinya. Dia bukan pakaian yang bisa kau coba-coba untuk melihat keselarasannya. Dia bukan makanan yang bisa kau cicipi rasanya.

Namun dia adalah mutiara indah di dalam cangkang kerang. Yang hanya boleh disentuh, dipegang, dibuka dan dibawa oleh yang telah melakukan ijab qabul. Itulah keindahan pernikahan di dalam Islam. Kesakralan akad nikah.

Itulah guna seorang wali dan saksi. Bukan hanya sekedar mendatangkan penghulu dan bertanda tangan di buku. [Ust. Dr. Syafiq Riza Basalamah]

 

INILAH MOZAIK

Rumi: Perkawinan

Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku,
Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Harum semak dan senandung burung kan menebarkan pesona
Pada saat kita memasuki taman, kau dan aku.

Bintang-bintang nan beredar sengaja menatap kita lama-lama:
Bagi mereka kita kan jadi bulan, kau dan aku.
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, kan menyatu dalam kenikmatan puncak,
Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku.

Burung-burung yang terbang di langit kan menatap iri
Karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku.
Sungguh ajaib, kau dan aku, duduk di sudut yang sama di sini,
Pada saat yang sama berada di Irak dan Khurasan, kau dan aku.

[Rumi]

 

sumber:Mozaik.Inilah

Suamiku, Izinkan Aku tak Menurutimu Satu Kali Saja

PERTENGKARAN demi pertengkaran selalu terjadi setiap hari dalam rumah tanggaku. Seakan menjadi makanan harianku dan suami. Selalu terjadi pertengkaran, sekalipun tidak bertengkar, suamiku tetap bersikap dingin, kaku, cuek bahkan mendiamiku.

Akalasia Esaphagus, inilah awal ujian itu datang. Adikku Dika, divonis mengidap penyakit langka yang belum diketahui pasti penyebabnya. Penyakit yang membuat penderitanya akan sangat sulit untuk menelan, hanya bisa minum atau membuat makanan menjadi benar-benar cair untuk bisa tetap memberi asupan ke tubuh.

Penyakit ini membuat tenggorokan adikku tidak berfungsi untuk menelan makanan, yang ada hanya rasa panas dan terbakar di tenggorokannya saat menelan. Jika tidak dalam bentuk cairan, makanan-makanan yang masuk akan keluar kembali. Aku tidak bisa menahan air mataku, setiap kali melihat kondisi Dika, adikku.

Orangtuaku bukanlah orang berada, memiliki lima orang anak dan aku adalah yang ketiga, sementara Dika adalah adik lelaki bungsuku. Dalam keluarga, bisa dibilang akulah satu-satunya yang memiliki kemampuan finansial yang lebih baik dari kakak dan adikku yang lain. Walaupun masing-masing kami telah berkeluarga, terkecuali Dika.

Inilah yang membuatku berjibaku mencari informasi pengobatan dan mengurus adikku yang sedang melawan penyakit Akalasia Esaphagus. Waktu, tenaga, dan tentunya biaya kubagi antara kehidupan rumah tanggaku dan juga pengobatan medis Dika. Allah, izinkan hamba membantu adik hamba, tanpa sedikitpun melupakan kewajiban hamba sebagai seorang istri dan ibu.

Hari demi hari berganti menjadi berbulan-bulan, entah sudah berapa bulan Dika sakit dan alhamdulillah aku tetap dipercaya Allah untuk mengurus Dika dari semua hal. Hingga pada akhirnya, suamiku meradang, ia marah. Alasan kemarahannya adalah aku terlalu fokus pada adikku, sampai tak mempedulikan dan mengurusi dirinya dan juga anakku.

Astaghfirullah, mengapa suamiku merasa demikian? Sedang ia melihat sendiri aku masih setia mengurusnya dan anak kami. Aku harus mengurangi waktuku mengurus Dika, dan yang tidak pernah kusangka adalah, ia melarangku membantu biaya pengobatan medis Dika.

Di sudut kamar Dika, aku duduk memperhatikan tubuh ringkihnya. Hatiku penuh tanya, mungkin ada berjuta tanya dalam hati. Bagaimana ini, aku berada di pilihan yang benar-benar sulit sepanjang hidupku. Satu sisi aku adalah istri yang harus menuruti perkataan dan perintah suami, sebagai imamku, sedang di satu sisi ada sosok lemah yang perlu aku bantu. Ya Allah, berikan jalan terbaik dari dua persimpangan ini.

Seorang teman, memberiku saran untuk salat istikharah dan mendirikan salat tahajud di setiap malamku. “Tanyakan pada-Nya dengan kesungguhanmu” begitu isi pesan terakhir teman ku. Setiap hari ku isi hari dengan salat istikharah dan tidak lupa dua rakaat di pertiga malamku.

Ada banyak cara Allah menjawab doa hamba-nya, dan mungkin inilah salah satunya. Tepat selesai tahajud, teman yang sama mengirim ku pesan.

“Assalammuallaikum Dewi, apakabar mu ? Maaf aku mengganggu tidurmu. Cuma ingin mengingatkan untuk tahajud. Wassalam”

“Walaikumsalam. Baik san, kamu sendiri gimana kabar? Alhamdulillah aku baru selesai tahajud” balasku.

“Alhamdulillah, begitupun dengan ku. Sudah mendapat jawaban atas kegalauan mu ?”

“Belum san, tapi keinginan untuk mengobati Dika selalu ada dalam pikiranku. Bahkan kian semangat. Tapi apalah daya san, istri harus menuruti suami bukan ?”

Lama kuterima balasan pesan dari Santi, temanku. Menjelang berakhirnya waktu subuh. Balasan pesan dari Santi seakan menjadi jawaban dari Allah dan memperkuat niatku membantu Dika.

“Dew, maaf sebelumnya. Bukan maksudku membuatmu menjadi istri durhaka dan tidak menuruti suamimu. Tapi, bisakah kau merasa ini seakan menjadi cara Allah membantumu membuat tabungan amal di Jannah-Nya melalui sakitnya Dika?. Dew, kita tidak tau kapan umur kita akan diambil, begitu juga dengan Dika. Mungkin dengan membantu pengobatan Dika, Allah juga sedang mempersiapkan atau mungkin menambah tabungan amal ibadahmu. Coba bicarakan lagi dengan suamimu. Kamu membantu orang sakit, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau maksiat. Bismillah, yakinlah Allah bersama orang yang berniat baik.”

Siang itu juga, aku membicarakan kembali pada suami tentang niatku membantu biaya pengobatan Dika. Sungguh disayangkan, suamiku tetap pada keras hatinya, dengan alasan anak kami membutuhkan biaya sekolah. Aku meminta maaf pada suamiku, sungguh sangat memohon maaf. Aku tetap pada niatku, membantu Dika semampuku sampai Allah sendiri yang menghentikan kemampuanku.

Keesokan harinya, kubawa Dika ke salah satu rumah sakit terbaik di kotaku. Bermodal informasi dari temanku yang seorang dokter, bahwa RS tersebut sedang melakukan riset tentang Akalasia Esaphagus kubawa Dika ke sana. Muncul satu pertanyaan lagi di depanku, relakah aku menjadikan Dika kelinci percobaan riset mereka?

Bismillah, dengan yakin aku merelakan Dika dijadikan objek riset mereka. Allah, aku percaya atas kuasa dan rencana-Mu, berikan hasil terbaik untuk Dika. Aku percaya, apapun dariMu adalah yang terbaik untuk hamba-Mu.

Waktu berlalu, berkali-kali sudah Dika menjalani pengobatan di rumah sakit terbaik itu. Terlalu banyak teknik pengobatannya, sampai aku sendiri sulit mengingatnya. Tapi benar adanya, manusia hanya bisa berencana, dan serahkan hasil akhir pada sang pemilik rencana terbaik. Hari ini untuk pertama kalinya ku lihat Dika makan bubur bercampur potongan roti. Rasanya sudah lama tidak melihatnya makan senikmat itu. Walau belum sembuh total, setidaknya kondisi Dika sudah berkurang dan lebih baik dari sebelum ia dijadikan kelinci percobaan. Dan hubunganku dengan suamiku? alhamdulillah, Allah membuka pintu hati suami ku, ia sadar atas keegoisan dan ketakutannya selama ini. Alhamdulillah.. rasa syukur tiada henti ku panjatkan pada-Nya atas kondisi Dika. Dan rasa syukur yang khususku sampaikan pada pemilik hati atas hubunganku dengan suami yang semakin membaik mengikuti membaiknya kondisi Dika. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301846/suamiku-izinkan-aku-tak-menurutimu-satu-kali-saja#sthash.tlMF5wlt.dpuf

Lima Jenis Perkawinan Ini Dilarang, Apa Sajakah?

Islam mengajarkan umatnya sampai kepada jenis-jenis perkawinan yang boleh dan yang dilarang. Dalam Alquran, hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 23-24 yang menyebutkan lima jenis perkawinan dilarang. Berikut ulasannya seperti dikutip dari buku Ensiklopedi Muhammad karya Afzalur Rahman.

 

1. Menikahi Saudara Sepersusuan

Nabi Muhammad melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan saudara sepersusuan. Hal ini sama seperti larangan mengawini orang-orang yang memiliki hubungan sedarah.

Ummu Al-Fadi menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Orang yang disusui sekali atau dua kali tidak menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah,” (HR Muslim).

Selain itu Ummu Salamah juga mengatakan Rasulullah bersabda: “Hubungan persaudaraan sesusu yang menyebabkan perkawinan tidak sah adalah susu yang diambil dari payudara, kemudian dimasukkan ke dalam mangkuk dan diambil sebelum waktu penyapihan,” (HR Tirmidzi).

 

2. Pertukaran Perkawinan 

Dalam pertukaran perkawinan atau biasa disebut Al-Syighar, orang-orang menukarkan putri-putri atau saudara-saudara perempuan mereka tanpa membayar mahar.

Ibn Umar mengatakan Rasulullah melarang pertukaran perkawinan yang berarti ketika si A menikahkan putrinya dengan B. Maka B ini pun menikahkan putrinya dengan si A. Apalagi pernikahan tersebut jika dilangsungkan tanpa membayar mahar tergolong dilarang dalam Islam.

 

3. Menikahi Ibu, Anak, Bibi, atau Saudara Perempuan dari Istri

Rasulullah mengatakan dalam hadisnya bahwa jika seseorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan sudah berhubungan intim dengannya, maka dia tidak boleh menikahai anak perempuan istrinya itu. Namun jika dia belum melakukan hubungan intim dengan perempuan itu, dia boleh menikahi anak perempuan dari perempuan itu.

“Dan, jika seseorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dia tidak boleh menikahi ibu perempuan itu, terlepas apakah dia telah melakukan hubungan intim atau belum dengan perempuan itu,” (HR Tirmidzi).

Selain itu, Abu Hurairah mengatakan Rasulullah melarang menikahkan perempuan dengan pria yang pernah menikahi bibi dari perempuan itu. Baik bibi dari garis ayahnya maupun garis ibunya.

Ditambah lagi, Rasulullah melarang menikahkan seorang bibi dari garis ayah dengan pria yang telah menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki bibi itu (keponakannya). Seorang bibi dari garis ibu dengan pria yang pernah menikahi anak perempuan dari saudara perempuan bibi itu (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Darimi dan Nasa’i).

Dalam suatu riwayat, Al-Dahhhak ibn Fairuz AD-dailami menceritakan kisah ayahnya. “Wahai Rasulullah, aku telah menerima Islam (sebaga agamaku) dan aku telah menikahi dua orang kakak beradik. Rasulullah  menjawab pilihlah seorang dari mereka yang kau inginkan,” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah).

 

4. Menikahi Perempuan Musyrik

Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 disebutkan jangan menikahi perempuan musyrik, sebelum perempuan itu beriman. Dalam ayat itu dikatakan menikahi hamba sahaya (budak) perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meski menarik hati.

“Mereka (pasangan musyrik) mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Allah menerangkan ayat-ayatnya supaya manusia mengambil pelajaran,” tulis ayat itu.

 

5. Menikahi Pezina

Dalam surat An-Nur Ayat 24 dijelaskan bahwa pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik. Pezina perempuan pun tidak boleh menikah kecuali dengan pezina pria atau dengan pria musyrik.

“Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki dirinya), maka sungguh Allah maha pengampun.”

sumber: Republika Online