3 Komitmen al-Ghazali

Saat sedang berziarah di makam Nabi Ibrahim, Imam Ghazali menyatakan tiga hal sebagai komitmen pribadi. Pertama, tidak akan lagi mengunjungi pengadilan. Kedua, tidak akan lagi menerima hadiah dari kalangan kerajaan. Ketiga, tidak akan lagi mendebat orang.

Imam Ghazali kemudian memutuskan pergi berhaji. Selama 10 tahun, ia mencari ketenangan batin. Ia menjelajahi padang gurun, hutan, perkotaan, dan pegunungan. Dalam pada itu, ia juga menulis banyak buku.


Setelah sekian lama itu, Imam Ghazali akhirnya kembali ke Baghdad. Dia diterima dengan sukacita oleh pemerintah dan masyarakat Kota Baghdaddan kemudian Nishapur. Di sinilah ia menulis karya akbarnya, Ihya Ulumu ad-Din. Namun, Imam Ghazali hanya mengajar tidak lama di Nizamiyya Nishapur. Ia kemudian kembali ke kampung halamannya, Tabran, di mana ia mendirikan sekolah sendiri dan mengajar.

Baca juga: Pemikiran Wasathiyah Al Ghazali pada Kaum Muslimah

Imam Ghazali wafat pada 505 Hijriah (1111 Masehi) dalam usia 53 tahun. Saudaranya, Ahmad Ghazali, menyaksikan saat-saat terakhir Imam Ghazali. Katanya, Pada Senin pagi, Imam (Ghazali) bangun dan mengambil wudhu. Kemudian, ia shalat sunah Fajar. Lalu, ia meminta serbannya dan sambil menciumnya ia menjelaskan, ‘Aku menerima Allah sebagai Tuhanku’. Kemudian, Imam Ghazali wafat

 

sumber: Republik Online

al-Ghazali: Kebahagiaan di Akhirat takkan Bisa Tanpa Takwa

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di Tus, Persia, pada 450 Hijriyah (1058 Masehi). Pada masa mudanya, al-Ghazali belajar pada imam Masjid al-Haram, al-Juwayni. Kemudian, bakat al-Ghazali menarik perhatian Nizam al-Mulk, yakni wazir Kesultanan Seljuk sekaligus pendiri sekolah Nizamiyyah.

Nizam al-Mulk menunjuk al-Ghazali untuk menjadi kepala sekolah Nizamiyyah di Baghdad. Memasuki usia 33 tahun, al-Ghazali sudah menjadi cendekiawan yang terhormat di ibu kota kerajaan.

Demikian disarikan dari Pembukaan buku The Faith and Practice of al-Ghazali karya Montgomery Watt. Empat tahun kemudian, al-Ghazali mengalami kegelisahan intelektual. Dia meninggalkan Baghdad untuk melakukan pencarian spiritual. Ia wafat di Tus pada 505 Hijriyah.

Imam Ghazali digelari Hujjatul Islam karena taraf keilmuannya yang tinggi. Pendidikan dini Ghazali muda dimulai dari guru-guru sekitar rumahnya. Ia kemudian pindah ke Jurjan dan berada di bawah bimbingan Imam Abu Nasr Ismaili.

Metode pengajarannya ialah guru menerangkan, sementara para murid mencatat apa yang disimaknya. Ghazali muda merupakan murid yang unggul dan dapat memahami apa yang diajarkan gurunya dengan mudah.

Saat itu, pusat-pusat pendidikan Islam tersebar merata ke seluruh negeri. Tetapi, hanya Nishapur dan Baghdad yang paling terkemuka. Imam Ghazali memutuskan hijrah belajar ke Nishapur lantaran itulah yang paling dekat dengan daerah asal.

Di Nishapur, Imam Ghazali belajar pada Imam Masjidil Haram, al-Juwayni. Selain guru besar, Imam al-Juwayni juga dekat dengan raja. Reputasinya diakui hampir semua kalangan.

Di antara para murid Imam al-Juwayni, al-Ghazali termasuk yang paling brilian. Kemudian, Imam Ghazali ditunjuk menjadi asisten Imam al-Juwayni. Saat itulah Imam Ghazali mulai menulis sejumlah karya atas dorongan gurunya.

Imam al-Juwayni wafat pada 475 Hijriyah (1086 Masehi). Karena itu, Imam Ghazali memutuskan meninggalkan Nishapur dan bertolak menuju Baghdad.

Saat itu, Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang paling unggul. Di Baghdad, Imam Ghazali belajar di bawah bimbingan Nizam al-Mulk, yang tersohor sebagai pendiri sekolah Nizamiyyah.

Tak membutuhkan waktu lama, Imam Ghazali ditunjuk menjadi guru di institusi terhormat itu. Sosok yang bernama lengkap Abu Ali Hasan ibn Ali Tusi ini merupakan pakar hukum Islam yang disegani. Ruang kerjanya lebih mirip wahana debat antarsarjana hukum Islam. Para pemula begitu bersemangat mengasah kemampuan dan ilmunya dalam lingkungan demikian. Demikian pula dengan Imam Ghazali. Sisi geniusnya mulai tampak dari ajang ini.

Pada usia 33 tahun, Imam Ghazali diamanahi sebagai kepala Universitas Nizamiyya di Baghdad. Dia menjadi sosok yang berpengaruh. Bahkan, kalangan kerajaan banyak meminta saran darinya. Inilah puncak karier Imam Ghazali berkat kerja kerasnya menuntut ilmu. Filsafat merupakan salah satu kajian favoritnya. Tetapi, posisinya yang dalam puncak kemapanan justru memunculkan kegelisahan batin. Ia lantas memutuskan meninggalkan Baghdad dan berkelana mencari ketenangan spiritual.

Imam Ghazali menulis, “Dalam enam bulan saya dalam keadaan yang dirundung cemas luar biasa, sampai-sampai saya tak bisa bicara, makan, atau mengajar.”

“Saya sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan di akhirat takkan bisa tanpa takwa, mengendalikan hawa nafsu. Dan semua ini hanya bisa tercapai bila kecintaan terhadap dunia disudahi. Sampai kita mengabaikan dunia dan merindukan akhirat. Saat memikirkan diri sendiri, saya merasa begitu dekat dengan dunia. Saat saya mempelajari alasan saya mengajar, saya merasa itu semata-mata karena saya mengejar status. Saya yakin berada di pinggir jurang bahaya.”

Imam Ghazali meninggalkan Baghdad dan menuju Suriah pada 488 Hijriyah (1096 Masehi). Dari keputusan itulah, perjalanan spiritual dan intelektualnya kian terasah.

Di Damaskus, Imam Ghazali hidup sendirian dan menghabiskan hari-hari dengan beribadah. Dia akan menyusuri tangga naik di menara MasjidAgung Umawiyah. Di sana, ia seharian merenung dan beribadah.

Di masjid yang sama, ia juga mengajar beberapa murid. Dua tahun kemudian, Imam Ghazali bertolak ke Yerussalem dan tinggal di Kubah Batu. Lantas, ia berjalan ke Kota Khaleef di Tepi Barat.

 

sumber: Republika Online

Pesan al-Ghazali Agar Sukses Dunia Akhirat

Imam al-Ghazali pernah menulis kumpulan nasihat yang ditujukan kepada muridnya. Nasihat tersebut merupakan permintaan khusus sebagai bekal sang murid agar sukses dunia akhirat. Petuah bijak itu sedianya,hanya lewat lisan, tetapi sang murid menginginkan kekekalan wasiat tersebut.

Tokoh yang berjuluk Hujjat al-Islam itu akhirnya mengabulkan lewat karyanya yang berjudul Ayyuha al-Walad al-Muhib. Risalah ini juga dikenal dengan sebutan Ar-Risalah al-Waladiyah lantaran banyaknya kata walad dalam risalah tersebut.


Hal mendasar yang digarisbawahi tokoh bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i itu, yakni Muslim menurutnya harus memiliki iman dan amalan yang saleh serta kejernihan jiwa. Apa yang ditulisnya merupakan kasih sayang kepada murid.

Walaupun surat ini pada mulanya ditujukan khusus untuk murid Imam al Ghazali, isi dan kandungannya berlaku untuk umum. Bagi sosok yang tersohor dengan sebutan Algazel di Barat pada abad pertengahan itu, mereka yang sedang menuntut ilmu perlu memahami untuk apa melakukan itu. Jangan sampai salah berniat.

Langkah awal dalam menuntut ilmu adalah niat yang baik. Niat seperti itu akan mengarahkan seseorang kepada ilmu yang bermanfaat, bukan yang sekadar memberikan pemahaman, tetapi akhirnya tidak berguna baik bagi sendiri maupun orang lain.


Menuntut ilmu bukan sekadar untuk menjadi pintar. Bukan pula untuk memarginalkan orang lain. Pengarang karya monumental bertajuk Ihya’ Ulumiddin ini mengingatkan, ketika berilmu, maka seseorang memiliki beban tersendiri. Dia seakan ingin menasihati, tak ada gunanya berilmu, jika ilmu yang didapat justru mencelakai orang lain.

Sungguh tak berguna jika ilmu yang didapat digunakan untuk kemaksiatan dan keangkuhan. Sebab, jika demikian adanya, sesungguhnya orang seperti itu adalah yang dimaksud dalam hadis berikut, Orang yang berat menanggung siksa di hari kiamat ialah orang yang berilmu, tetapi tidak mendapat manfaat dari ilmunya itu.

 

sumber: Republika Online