Akhirnya Kapok Pinjam Uang di Bank

Jangan baca tulisan ini, kalau tidak Anda akan kapok dan tidak mau lagi meminjam uang di bank.

Berutang riba zaman ini di bank kerugiannya tiga:

  1. Sejak meminjam, sudah kena riba
  2. Jika telat, kena denda
  3. Jika mau lunasi lebih cepat, kena penalti

Sejatinya utang riba saat ini lebih jahiliyyah dari utang riba di jahiliyyah.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan ayat riba berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut Allah melarang orang beriman untuk bermuamalah dengan riba dan memakan riba dengan kelipatan yang banyak. Sebagaimana orang jahiliyah di masa silam, jika telah jatuh tempo, maka nanti akan disebut, “Mau dibayar ataukah mendapatkan riba (dibungakan).” Jika utang dibayar tepat waktu, berarti tidak dibungakan. Namun jika tidak dibayar pas jatuh tempo, maka utang tersebut akan dikembangkan (dibungakan) karena adanya pengunduran waktu pembayaran. Ada pula yang berkata bahwa utang tersebut akan ditambah dari sisi jumlah. Itulah yang terjadi setiap tahun. Maka dikatakan riba itu berlipat karena awalnya dari sesuatu yang sedikit terus bertambah dan bertambah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:419)

Hendaklah kreditur (pihak yang memiliki tagihan pada pihak lain) memberikan kemudahan pada orang yang sulit melunasi utang. Kemudahan yang diberikan bisa jadi diberi penundaan sampai memiliki harta. Kemudahan lain bisa jadi pula bersedekah dengan cara memutihkan utang atau menggugurkan sebagiannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam–Abul Yasar-, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi utang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad, 3: 427. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Katsir mengatakan, bersabarlah pada orang yang susah yang sulit melunasi utang. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 287).

Di halaman yang sama, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa jangan seperti orang Jahiliyah, di mana ketika sudah jatuh tempok disebutkan pada pihak yang berutang (debitur), “Lunasilah. Kalau tidak, utangmu akan dikembangkan.”

Kalau disuruh bersabar, maka tidak boleh kenakan riba. Riba di masa dulu seperti dicontohkan oleh Ibnu Katsir, ketika tidak mampu melunasi saat jatuh tempo barulah ada riba.

Kalau riba masa kini, sejak awal meminjamkan sudah dikenakan bunga (riba) dan kalau telat ada denda.

Setelah membaca ini, masih mau juga meminjam uang di rentenir dan bank ribawi?

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/20701-akhirnya-kapok-pinjam-uang-di-bank.html

Adab Pinjam-meminjam dalam Islam, Seperti Apa?

Berhutang atau meminjam terkadang menjadi kebiasaan atau kebutuhan. Sehingga, seseorang terlilit dalam hutang dan tidak jarang hutang menjerat peminjam.

Di dalam Islam, hutang pada dasarnya diperbolehkan. Namun, Islam juga mengatur adab dalam meminjam dan berhutang.

Pakar ekonomi syariah, Dr. Oni Sahroni, MA, mengatakan berhutang diperkenankan dalam Islam. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR. Bukhari).

Bagi peminjam (kreditor), hendaklah ia membantu saudaranya tatkala ia membutuhkan pinjaman. Karena membantu orang lain yang membutuhkan termasuk tolong menolong dalam kebaikan.
Sebagaimana firman Allah QS. Al-Maida ayat 2, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Di sini, kata Oni, kreditor tidak boleh mengambil imbalan bersyarat atas jasa pinjamannya. Misalnya, Oni mencontohkan, A meminjam uang Rp 10 juta kepada B yang mempersyaratkan pengembaliannya melebihi pokok pinjaman.
Maka, ia mengatakan kelebihan tersebut adalah riba jahiliah yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah, bahwa setiap manfaat bersyarat yang diterima kreditor itu riba. Kecuali jika atas inisiatif debitur (tanpa diperjanjikan), maka dibolehkan.
Sedangkan bagi debitur (peminjam), Ketua Dewan Pengawas Syariah Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) ini mengatakan yang bersangkutan boleh meminjam, tetapi dengan itikad ia mampu menunaikan utangnya pada masa yang disepakati. Oleh karena itu, menurutnya, tidak diperkenankan meminjam dalam kondisi tidak mampu menunaikan pinjaman tersebut.
“Semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan finansial dan fasilitas dalam batas standar (sederhana atau tidak berlebihan), agar tidak menyebabkan defisit dan berutang,” kata Oni melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Rabu (12/12).
Bagaimanapun, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI ini mengatakan, hendaklah hidup sederhana sebagaimana pesan dan keteladanan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sehingga, ia tidak sampai harus berhutang untuk memenuhi hajatnya.
Di antara maknanya, kata dia, adalah memenuhi hajat hidupnya sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Ia mengatakan, hendaknya berbelanja karena kebutuhan dan bukan sebaliknya. Karena memiliki sesuatu yang tidak dibutuhkan itu bukan dari adab Islam.
Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah gaya hidup mewah. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewah-mewahan.” Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hidup sederhana termasuk bagian dari iman.”
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan.”(QA. Al-Isra’: 26-27)
Doktor pertama Indonesia di bidang Fiqh Muqarin Universitas Al-Azhar ini mengatakan, Islam melarang untuk berbuat boros (tabdzir). Imam an-Nawawi menerangkan alasan larangan penghamburan tersebut.
Beliau berkata, “Sesunguhnya pemborosan harta akan menyebabkan orang meminta-minta kepada orang lain. Sedangkan penyediaan harta memberikan maslahat akan hajat dunianya. Jika kemampuan keuangannya stabil, maka hal itu akan berpengaruh terhadap agamanya. Karena jika keuangannya stabil, seseorang bisa fokus dengan urusan-urusan akhiratnya.”

Pinjam Uang Tak Boleh ada Kelebihan Pengembalian

ADA trik lain yang sering digunakan para sales dan marketing, yaitu mengubah istilah. Memang mereka tidak menerapkan bunga dalam cicilan. Bunganya memang benar-benar 0%.

Tetapi ada istilah-istilah lain yang coba disamarkan seolah-olah bukan bunga. Misalnya uang administrasi, biaya inflasi, dan macam-macam istilah aneh lainnya. Seolah-olah biaya-biaya masuk akal dan wajar.

Padahal kalau kita renungkan lagi, ternyata secara prinsip biaya itu tidak ada bedanya dengan bunga. Cuma istilahnya berbeda, tetapi hakikatnya sama.

Seperti pada kasus koperasi simpan pinjam syariah yang diadakan pada jemaah masjid. Ketentuannya, setiap anggota yang tidak lain adalah jemaah rutin masjid berhak meminjam uang ke koperasi syariah masjid. Ketentuannya, setiap peminjaman harus disertai infak. Besar infak itu kecil saja, yaitu 2,5% per bulan.

Misalnya saya pinjam uang 10 juta, maka selama uang itu masih di tangan saya, tiap bulan saya harus berinfak sebesar 25 ribu rupiah. Kelihatannya ringan dan mudah, apalagi yang namanya infak itu kan ibadah juga. Maka seolah-olah cara ini dianggap halal.

Padahal kalau kita teliti lebih dalam dengan melihat realitas bukan istilah, akad ini tidak lain akan yang dilakukan oleh para rentenir, yaitu membungakan uang atau menyewakan uang. Hanya saja, akad ini kemudian dibungkus dengan istilah-istilah yang menipu, bahkan berbau agama.

Bagaimana hukumnya? Hukumnya jelas 100% haram. Karena sistem pinjam uang itu pada dasarnya tidak boleh ada kelebihan dalam pengembalian. Tetapi niatnya kan berinfak?

Niat infaknya tentu berpahala, tetapi berinfak itu kepada siapa? Kalau infaknya kepada anak yatim, fakir miskin, janda tidak mampu, dan mereka yang membutuhkan, tentu saja boleh. Tetapi kalau kewajiban 2,5% itu harus dibayarkan kepada koperasi, sebagai konsekuensi peminjaman uang, itu adalah bunga. Mau diganti dengan istilah apa pun terserah saja, tetapi hakikatnya adalah bunga dari penyewaan uang.

Lain halnya kalau yang dipinjamkan atau disewakan itu berupa aset barang, seperti tenda, kursi dan lainnya. Maka benda-benda seperti itu memang halal disewakan. Koperasi berhak menyewakan barang-barang itu, dan kita yang meminjam silahkan berinfak.

Namun catatan penting yang harus digaris-bawahi adalah bahwa uang tidak boleh disewakan, walau pun yang menyelenggarakannya koperasi syariah, yang bernaung di bawah masjid. Bahkan walau pun akadnya bukan bunga tetapi infak.

Dalam hal ini, istilah bunga disamarkan menjadi infak. Dan inilah salah satu bentuk kamuflase yang diharamkan. Yang jelas, kita tidak bisa tiba-tiba memvonis sebuah akad itu halal atau haram, kalau belum kita telanjangi satu per satu detil persyaratannya.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

INILAH MOZAIK