Kisah Jenderal Jujur Tolak Biaya Haji dari Kapolri

Mantan Gubernur Sumatera Barat ini tergolong teguh pendirian, menolak segala bentuk gratifikasi, apalagi korupsi. Setidaknya itu tercermin kala Kaharoedin ditawari naik haji oleh Kapolri.

Dream – Kisah Brigjen Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa ini layak dicontoh. Terutama oleh pejabat di negeri ini. Mantan Gubernur Sumatera Barat ini tergolong teguh pendirian, menolak segala bentuk gratifikasi, apalagi korupsi. Setidaknya itu tercermin kala Kaharoeddin ditawari naik haji oleh Kapolri.

Cerita ini terjadi tahun 1967. Setelah pensiun, Kaharoeddin didatangi oleh Brigjen Polisi Amir Machmud. Amir Machmud adalah keluarga sekaligus sahabat Kaharoeddin. Hubungan mereka sangat dekat sejak awal kemerdekaan. Amir yang merupakan junior Kaharoeddin menjadi jenderal polisi yang paling bersinar saat itu.

Brigjen Amir ditugasi Kapolri Jenderal Sutjipto Judodihardjo untuk menjemput Kaharoeddin ke Jakarta. Selanjutnya Kaharoeddin akan naik haji diongkosi Kapolri. Mungkin Kapolri saat itu sengaja menyuruh Amir yang menjemput karena tahu kedekatan mereka.

Amir diharapkan mampu membujuk Kaharoeddin yang terkenal keras menolak semua gratifikasi, termasuk dari atasannya sendiri.

Maka tanggal 16 Agustus 1967, Amir datang ke kediaman Kaharoeddin di Jl Tan Malaka no 8, Kota Padang. Suasana pertemuan berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan. Namun Kaharoeddin menolak pemberian Kapolri untuk naik haji.

“Malu kalau naik haji diuruskan Kapolri,” kata Kaharoeddin seperti dikutip dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan, terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.

“Dia saklek kalau urusan seperti ini. Tak mau menerima pemberian apa pun,” kata cucu Kaharoeddin, Aswil Nasir, membenarkan kisah ini saat berbincang dengan merdeka.com.

Cerita tak berakhir di sana. Pada Lebaran tahun 1970, Bupati Tanah Datar Mahjoeddin Algamar dan Wali Kota Padang Achirul Jahja datang ke rumah Kaharoeddin. Bagi keduanya dan Bupati Pariaman M Noer, Kaharoeddin memang sudah dianggap ayah sendiri.

Saat berbincang, mereka merayu dengan halus agar Kaharoeddin mau naik haji. Maklum, Kaharoeddin dianggap ahli agama, taat beribadah dan jujur. Sayang kalau Rukun Islamnya belum lengkap jika tak ke Tanah Suci.

Begitu dirayu, Kaharoeddin langsung memotong pembicaraan itu. “Jadi maksud kalian mau menggunakan uang negara untuk ongkos naik haji saya?” tanyanya tegas.

Buru-buru dua bupati itu menggeleng. “Bukan begitu Bapak. Bapak jangan berpikiran seperti itu. Kami kan anak-anak bapak. Kami akan iuran agar bapak bisa naik haji,” kata mereka.

Keduanya berkali-kali menjelaskan ini sama sekali bukan uang negara, melainkan uang pribadi mereka. Sengaja ditabung sebagai pemberian agar Kaharoeddin bisa berhaji.

Setelah lama dibujuk dan yakin uang ini merupakan uang halal, Kaharoeddin mau juga berangkat. Tapi masalah baru muncul, keluarga ingin agar Kaharoeddin naik haji bersama istrinya. Pasangan ini memang sama-sama berusia lanjut.

Tapi Kaharoeddin enggan meminta pada siapa pun. Demi ongkos naik haji istrinya, keluarga Kaharoeddin akhirnya menjual tanah milik mereka. Dengan itu Kaharoeddin mampu berhaji tahun 1971. Padahal dia menjadi Komandan Polisi Sumatera Tengah bertahun-tahun. Dia juga menjadi Gubernur Sumatera Barat selama tujuh tahun. Dia gubernur pertama Sumatera Barat.

Jika mau, enteng saja Kaharoeddin naik haji bersama keluarganya dengan biaya dinas. Atau malah mengkorupsi uang negara untuk naik haji atau umroh. Sudah rahasia umum, banyak sekali pejabat yang melakukan hal itu. Tapi Kaharoeddin tak mau. Dia tidak ingin jadi koruptor.

Seandainya semangat Brigjen Kaharoeddin masih diteladani sampai saat ini, tentu rakyat Indonesia tak akan sengsara. (Ism)

 

sumber: Dream.co.id