Bahaya Politisasi Agama bagi Indonesia

Pada era globalisasi yang semakin maju ini, politisasi agama telah menjadi salah satu isu yang sangat kontroversial dan berbahaya di berbagai belahan dunia. Politisasi agama merujuk pada upaya pemanfaatan dan penyalahgunaan agama oleh aktor politik untuk kepentingan politik mereka sendiri. Berikut ini bahaya politisasi agama bagi Indonesia.

Fenomena ini mengancam keragaman, kestabilan, dan keharmonisan sosial dalam masyarakat yang beragam keyakinan dan kepercayaan. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bahaya politisasi agama dalam konteks sosial dan politik serta implikasinya yang serius.

Salah satu bahaya terbesar dari politisasi agama adalah terjadinya polarisasi masyarakat. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, perbedaan keyakinan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan budaya dan pemahaman saling menguntungkan, justru berubah menjadi pemicu konflik dan perpecahan.

Politisasi agama sering kali memperkuat garis pemisah antara kelompok agama yang berbeda, menimbulkan sentimen anti-agama, dan menciptakan suasana sosial yang penuh ketegangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya polarisasi sosial yang memperburuk hubungan antar kelompok, mengancam toleransi, dan menghancurkan ikatan sosial yang selama ini dibangun.

Selain itu, politisasi agama juga dapat mengganggu proses demokrasi yang sehat. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, maka keputusan politik dan kebijakan publik sering kali tidak didasarkan pada pertimbangan rasional atau kepentingan umum, melainkan dipengaruhi oleh pertimbangan agama yang sempit. Hal ini mengarah pada diskriminasi terhadap kelompok minoritas, pelanggaran hak asasi manusia, dan pembatasan kebebasan beragama.

Politisasi agama juga sering mengabaikan pemisahan antara agama dan negara yang merupakan prinsip dasar dalam sistem demokrasi sekuler. Ketika agama dijadikan instrumen politik, integritas lembaga-lembaga negara dapat terkikis dan korupsi politik semakin merajalela.

Lebih lanjut, politisasi agama dapat memberikan ruang bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk meraih kekuasaan dan menyebarkan ideologi radikal. Dalam situasi politik yang terpecah belah, kelompok-kelompok ekstremis seringkali memanfaatkan situasi tersebut untuk memperkuat pengaruh mereka dan mempromosikan agenda mereka yang intoleran dan kekerasan.

Politisasi agama menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan gerakan-gerakan radikal yang memicu terorisme dan kekerasan agama. Hal ini mengancam keamanan nasional dan membahayakan keselamatan masyarakat secara keseluruhan.

Selain bahaya-bahaya tersebut, politisasi agama juga dapat merusak tatanan sosial dan ekonomi suatu negara. Ketika agama digunakan sebagai sarana politik, fokus pembangunan dan perbaikan masalah sosial-ekonomi sering kali terabaikan.

Sumber daya dan energi yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat, justru teralihkan untuk kepentingan politik yang sempit. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketidakadilan sosial yang lebih besar.

Langkah untuk Mengantisipasi Politisasi Agama

Untuk menghadapi bahaya politisasi agama, langkah-langkah perlu diambil secara kolektif oleh pemerintah, lembaga keagamaan, masyarakat sipil, dan individu. Pertama, penting untuk memperkuat prinsip pemisahan agama dan negara dalam konstitusi dan kebijakan publik.

Pemerintah harus menjaga kemandirian lembaga-lembaga agama dari campur tangan politik, sementara lembaga keagamaan harus menghindari jatuh ke dalam perangkap politik yang dapat merusak otoritas moral mereka.

Kedua, pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai universal harus ditekankan. Masyarakat harus diajarkan tentang pentingnya toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan penolakan terhadap diskriminasi berbasis agama.

Pendidikan agama harus mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang esensi agama sebagai sumber kedamaian dan kerukunan, bukan sebagai alat politik. [Baca juga: Fenomena Gairah Beragama].

Terakhir, dialog antar agama dan dialog antarkelompok harus ditingkatkan. Melalui dialog yang konstruktif, kelompok-kelompok agama dan politik dapat mencari kesamaan dan membangun pemahaman saling menguntungkan.

Kerjasama antara pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat sipil dapat membantu mengatasi kesalahpahaman, mempromosikan perdamaian, dan memperkuat keragaman.

Politik dan agama adalah dua domain yang berbeda dengan peran dan tujuan yang berbeda pula. Politisasi agama membahayakan keragaman, kestabilan, dan keharmonisan sosial.

Untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan damai, kita perlu menghindari politisasi agama dan memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan beragama, dan pemisahan antara agama dan negara.

Dengan begitu, kita dapat melangkah menuju masa depan yang lebih baik, di mana agama dihormati sebagai sumber inspirasi pribadi tanpa terjebak dalam politik yang merusak.

Demikian penjelasan bahaya politisasi agama bagi Indonesia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Politisasi Larangan Shalat Jenazah, MUI DKI Jakarta : Ini tak Bermartabat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta mengimbau agar semua pihak tidak melakukan politisasi agama menghadapi Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua.

Imbauan ini menyikapi merebaknya kabar penolakan shalat terhadap jenazah Hindun binti Raisman pada Selasa (7/3), nenek 78 tahun, warga Karet Setiabudi, Jakarta Selatan.

Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta, KH Zulfa Mustofa mengatakan politisasi agama itu misalnya larangan menshalati jenazah pendukung pasangan calon (paslon) tertentu atau sebaliknya menjadikan isu tersebut sebagai alat serang kubu paslon lain agar mendapatkan citra intoleran dan meraih simpati.

“Cara semacam ini sungguh tak bermartabat,” kata dia  saat berbincang dengan Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (11/3).

Dia meminta semua pihak menghargai perbedaan dan menyikapinya secara dewasa. Pilkada DKI satu sisi harus diakui bisa memicu kerawanan jika tidak dikelola dengan baik oleh berbagai pihak.

Semua berkewajiban  menjaga ketenangan, baik umat Islam maupun umat lain. Tidak boleh ada provokasi. Tindakan emosional biasanya diawali dengan provokasi. Dalam pertemuan antara MUI DKI Jakarta dan pemerintah daerah, muncul kesepakatan agar semua pihak menjaga kondisivitas ibu kota.

Dia berharap spanduk-spanduk pelarangan jenazah pendukung Paslon tertentu sudah tidak terpasang lagi. “Jadi ya kalau semua bisa menahan diri insya Allah kerawanan itu sendiri bisa dihindari,” ujar dia.

 

sumber:Republika Online

 

——————————————————————————
Buat Anda yang sudah mendaftar Haji, segera download aplikasi Android ini untuk mengetahui Jadwal keberangkatan Anda ke Tanah Suci.
Download di sini!
——————————————————————————