Doa Ramadhan 2021: Doa Setelah Tadarus Al-Quran

Dalam buku Doa Harian Bersama M. Quraish ShihabProf. Quraish Shihab menyebutkan doa setelah tadarus Al-Quran. Lafadz doa setelah tadarus Al-Quran adalah sebagai berikut;

اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا جَهِلْنَا وذَكِّرْنا مِنْهُ مَا نَسِيْنا وَارْزُقْنِا تِلاَوَتَهُ آنَاءَ الْلَيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ اللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ اْلاَعْظَمِ وَبِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ اَعْطَيْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْوبنا وَنُوْرَ صُدُوْرِنا وَجَلاَءَ اَحْزَانِنَا وَهُمُوْمِنَا اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا اِمَامًا وَرَحْمَةً وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Latin:

Allohumma ‘allimnaa maa jahilnaa wa dzakkirnaa minhu maa nasiinaa warzuqnaa tilaawatahuu aanaa-al laili wa athroofan nahaari. Alloohumma innaa nas-aluka bismikal a’zhomi wa bikullismin huwa laka sammaita bihii nafsaka aw anzaltahuu fii kitaabika aw a’thoitahuu ahadan min kholqika aw ista’tsarta bihii fii ‘ilmil ghaibi ‘indaka an taj’alal qur-aana robii’a quluubinaa wa nuuro shuduurina wa jalaa-a ahzaaninaa wa humuuminaa. Alloohummaj’alhu lanaa imaaman wa rohmah. Wa shollallaahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shohbihii wa sallam.

Artinya:

Ya Allah, ajarlah kami dari ayat-ayat Al-Quran apa yang belum kami ketahui, ingatkanlah kami menyangkut kitab suci-Mu apa yang kami lupakan dan anugerahilah kami kemampuan membaca dan menelaahnya pada malam dan siang hari.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengen nama-Mu yang termulia dan dengan semua nama yang Engkau cantumkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau sampaikan pada salah seorang dari hamba-Mu atau rahasiakan dalam diri-Mu, agar Engkau menjadikan Al-Quran penyejuk hati kami, cahaya mata kami, penyingkap kesedihan dan keresahan kami. Ya Allah, jadikanlah Al-Quran sebagai imam kami dan sebagai rahmat pada kami.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad, juga kelurga dan para sahabatnya, juga semoga Dia memberikan keselamatan.

BINCANG SYARIAH

E-book Spesial Ramadhan Baca

Bersemilah Ramadhan…

di hati orang-orang yang beriman.
Hadirnya disambut kebahagiaan,
Detik-detiknya diisi ketaatan,

Sudah siap kencangkan ikat pinggang?
Untuk “dia” yang segera akan bertandang..

Kiranya kita menyiapkan diri, agar Ramadhan tak hanya datang dan kemudian menghilang (tanpa meraih banyak keutamaannya).

***
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat.
Telah terbit E-book pertama dari muslimah.or id yang berjudul “Bersemilah Ramadhan”.

E-book ini adalah E-book kumpulan artikel pilihan seputar ramadhan yang dimuat di website Muslimah.Or.Id.

Berisi artikel tentang ilmu, nasihat, penyemangat dan motivasi khususnya bagi muslimah untuk mempersiapkan diri menyambut ramadhan, produktif selama ramadhan dan istiqomah beramal setelah ramadhan.

Memuat beberapa artikel, diantaranya:
(1) Nasihat
(2) Fiqh wanita
(3) Fatwa ulama
(4) Pendidikan anak
(5) Kumpulan tips,
(6) Kesehatan
(7) Serba-serbi hari raya
(8) Qadha puasa, dan
(9) Puasa Syawal.

https://www.dropbox.com/s/jyruodj9s35nych/E-Book%20Bersemilah%20Ramadhan%20Muslimah.or.id.pdf?dl=0

Atau

https://drive.google.com/file/d/1IahHZFOS-FtH6qHbptOiyfYptMlvQ1Ii/view?usp=drivesdk

Semoga Allah memudahkan kita untuk beramal di bulan Ramadhan.

dianjurkan untuk memperbanyak dan menyebarluaskan e-
book ini *dengan atau tanpa izin redaksi selama bukan untuk tujuan komersil*.

Tidak diperkenankan mengurangi, menambah atau
menghapus bagian e-book.

Artikel dalam e-book akan kami posting secara berkala di website muslimah.or.id

MUSLIMAH

Doa Menjelang Bulan Ramadhan

Ada doa masyhur menjelang bertemu bulan Ramadhan.

 Tak terasa, bulan suci Ramadhan tinggal menghitung hari. Dalam menyambut Ramadhan, ada baiknya umat Islam memperbanyak ibadah-ibadah sunnah. Ada doa masyhur menjelang bertemu bulan Ramadhan. Doa ini sering dibaca oleh masyarakat Indonesia yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra dari Nabi Muhammad saw:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Allahumma bariklana fi Rajaba wa Sya’bana wa ballighna Ramadhan. “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada Ramadhan.”

Saiyid Mahadhir menjelaskan dalam bukunya berjudul Menyambut Ramadhan, hadits tersebut dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Syu’ab al-Iman, Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah, dan ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Ausath. Namun, beberapa ulama menilai hadits tersebut dhaif karena ada illah pada perawinya, yaitu Zaidah bin Abi ar-Raqqad dan Ziyad an-Numairi. Keduanya dianggap bermasalah oleh para ulama sehingga hadits yang diriwayatkan oleh mereka rata-rata dianggap bermasalah.

Ini berarti doa tersebut tidak kuat disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, perkara apakah hadits dhaif itu boleh atau tidak dipakai dalam berdoa adalah hal lain. Imam an-Nawawi dalam madzhab Sayfi’I dalam al-Majmu mengatakan “Telah kami sampaikan di beberapa tempat (di kitab ini) bahwa semua ahli sepakat untuk mengamalkan hadits dhaif pada selain penetapan hukum dan ushul akidah.”

Jadi, tidak ada kesalahan dalam mengamalkan doa yang diambil dari hadits dhaif. Yang tidak boleh dilakukan adalah meyakini dengan sepenuhnya bahwa doa itu adalah doa persis benar-benar dulunya diucapkan oleh Rasulullah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Puasa Sehat Ala Nabi Muhammad SAW

Nabi SAW menjadikan puasa Ramadhan sebagai amalan ibadah yang menyehatkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menjadikan puasa sebagai salah satu cara menjaga kesehatan tubuh. KH Didin Hafidhuddin menyebutkan Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan momentum puasa Ramadhan sebagai amalan ibadah yang menyehatkan.

“Rasulullah dan para sahabat itu kalau puasa, ritme hidupnya teratur sekali. Ya makanannya, aktivitasnya, ibadahnya, itu teratur,” kata KH Didin saat dihubungi Republika.co.id.

Rasulullah SAW menjaga betul gaya hidupnya ketika berpuasa. Misalnya, saat berbuka puasa, Rasulullah terbiasa memakan dua sampai tujuh buah kurma. Setelah itu, Rasulullah melanjutkan aktivitas ibadah.

Kalau pun makan, beliau menjelaskan Rasulullah SAW beserta para sahabat selalu memakan makanan dengan porsi seadanya. Namun demikian, asupan gizi yang ada dalam sepiring makanan Rasulullah SAW selalu diperhatikan.

“Beda dengan kebanyakan dari kita, begitu buka puasa, semuanya dimakan. Rasul tidak begitu,” ujarnya.

Umat Islam Indonesia dinilai kerap menghabiskan momentum Ramadhan dengan hal-hal yang kurang berguna. Seperti menghabiskan waktu dengan kemubaziran makan dan minum, tidak menyibukkan diri di 10 malam terakhir Ramadhan, serta kurang menjaga ritme ibadah dan kesehatan.

Padahal jika mengacu pada teladan Rasulullah SAW, beliau tidak tergesa-gesa dalam beribadah dan melakukan amalan secara teratur dan disiplin. Menurut Kiai Didin, kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat beraktivitas dan berpuasa dari rumah bisa dijadikan momentum penguatan fisik dan rohani.

“Salah satu hikmah adanya Covid-19 ini, kita (seperti) disuruh mempersiapkan doa. Rohani serta jasmani kita terisi dengan seimbang,” ujarnya.

Kiai Didin mengatakan apabila seseorang melakukan puasa dengan baik dan teratur sebagaimana yang dicontohkan Nabi, puasa justru dapat menjadi penguat tubuh, kesehatan jasmani dan rohani.

“Rasulullah bilang, shumu tashihu (puasa itu menyehatkan),” ujarnya.

(Artikel ini merupakan posting ulang dari artikel Republika.co.id yang diunggah pada 13 Mei 2020)

KHAZANAH REPUBLIKA

Belum Qadha Puasa tapi Ramadhan Sudah Datang Lagi

Ulama menjelaskan soal qadha puasa Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Ramadhan juga bulan suci umat Islam di mana semua amal kebajikan yang dilakukan di bulan ini akan berlipat-lipat ganda pahalanya.

Pada bulan Ramadhan, umat Islam diperintahkan untuk menjalankan ibadah puasa. Yakni tidak makan dan minum sepanjang hari, hingga tiba waktu berbuka puasa pada waktu maghrib.

Bagaimana jika seseorang tidak dapat melakukan puasa ketika Ramadhan, maka ia diwajibkan mengqadha puasanya. Kewajiban qadha ini diperintahkan Allah dalam Alquran:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, (kemudian tidak puasa), maka wajib menggantinya pada hari-hari yang lain,” (QS. Al-Baqarah ayat 184)

Pertanyaannya adalah sampai kapan batas waktu qadha tersebut. Apakah boleh menunda qada puasa sampai kapan pun ataukah ada batasnya. Dilansir dari buku Belum Qada Puasa Sudah Masuk Ramadhan Berikutnya karya Muhammad Aqil Haidar, masalah qadha puasa ulama telah berbeda pendapat mengenai batasan waktu qadha puasa. Ada yang mengatakan sampai kapan saja, ada pula yang membatasi tidak boleh lebih dari Ramadhan berikutnya.

A. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ menyebutkan, apabila seseorang menunda qadha sampai masuk ramadhan berikutnya maka tidak wajib fidyah baginya.

Sedangkan Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir juga menyebutkan, ketika menunda qadha puasa sampai masuk bulan Ramadhan berikutnya maka diwajibkan berpuasa Ramadhan yang kedua. Setelah selesai Ramadhan, maka diperbolehkan untuk mengqadha puasa Ramadhan yang telah lewat tersebut, bahkan juga dibolehkan untuk melakukan puasa sunnah lebih dahulu.

B. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan, jika seseorang mempunyai kewajiban puasa Ramadhan kemudian tidak puasa dan mengakhirkan qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya sedangkan ia mampu untuk menqadhanya (sebelum datang Ramadhan kedua), maka jika dia tidak puasa pada Ramadhan tersebut wajib baginya menqadha hari-hari yang ditinggalkanya dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan satu mud dengan ukuran mud Nabi SAW.

C. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin – Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan, ketika seseorang menunda qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya tanpa udzur maka ia berdosa. Dan wajib baginya berpuasa untuk Ramadhan yang kedua, dan setelah itu baru menqadha untuk Ramadhan yang telah lalu. Serta wajib juga baginya membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadhan kedua. Yaitu satu mud makanan beserta dengan qadha.

Dasar kewajiban fidyah ini adalah atsar sahabat, yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah. Sebagaimana disebutan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab.

Dalilnya adalah riwayat dari Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah bahwasanya mereka menghukumi orang yang memiliki hutang puasa kemudian tidak mengqadhanya sampai datang Ramadhan berikutnya wajib memberi makan (fidyah) untuk puasa ramadhan yang pertama.

D. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan, ketika seseorang mengakhirkan qadha, bukan karena udzur, sampai melewati dua Ramadhan atau lebih, maka tidak wajib baginya kecuali qadha dan fidyah.

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan, tidak diperbolehkan menunda qadha puasa Ramadhan sampai Ramadhan beikutnya. Dan ini yang di nashkan dan tidak ada perbedaan di sini. Dan ketika ia melakukanya maka wajib baginya qadha dan memberi makan orang miskin. Untuk setiap harinya satu mud.

KHAZANAH REPUBLIKA

Panduan Puasa Ramadhan

Hukumnya

Alloh Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183)

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama. Barang siapa yang mengingkari kewajiban puasa Romadhon maka dia kafir, keluar dari Islam.

Keutamaannya

“Orang yang berpuasa di bulan Romadhon karena iman dan mengharap pahala dari Alloh maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadits Qudsi, “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau misk/kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya dan ketika bertemu Alloh mereka bergembira karena puasanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kewajiban Berpuasa Romadhon Dengan Melihat Hilal

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah karena melihat hilal Romadhon, berhari raya-lah karena melihat hilal Syawwal. Jika hilal tertutupi mendung maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafazh Muslim)

Dengan Apa Bulan Romadhon Ditetapkan ?

Bulan Romadhon ditetapkan dengan melihat hilal meskipun dari satu orang yang sholih atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu berkata, “Banyak orang berusaha melihat hilal. Kemudian aku mengabarkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa aku sungguh-sungguh melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (Shohih. Al Irwa’)

Jika hilal tidak dapat dilihat karena mendung atau sejenisnya maka bulan Romadhon ditetapkan dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Untuk awal bulan Syawwal tidak boleh ditetapkan kecuali dengan persaksian dua orang. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada 2 orang muslim bersaksi, maka berpuasalah dan berhari raya-lah kalian.” (Shohih. Shahih Ibnu Majah)

Catatan:

Barang siapa yang melihat hilal seorang diri maka tidak boleh berpuasa sampai masyarakat berpuasa, dan tidak boleh berhari raya sampai masyarakat berhari raya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Berhari raya adalah hari di mana kalian semua berhari raya. Dan berkurban adalah hari di mana kalian semua berkurban.” (Shohih. Shahih Al-Jami’ Ash-Shoghir. At Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maknanya bahwa puasa dan hari raya adalah bersama jama’ah [pemerintah kaum muslimin, pent] dan mayoritas manusia [masyarakat, pent].’”)

Siapa yang Diwajibkan Berpuasa ?

Ulama bersepakat bahwa puasa diwajibkan atas orang Islam, berakal, sudah baligh, sehat dan tidak sedang bepergian. Bagi wanita harus tidak dalam keadaan haid dan nifas. (Fiqh Sunnah). Jika ada orang sakit dan musafir tetap berpuasa, maka puasanya sah. Karena bolehnya berbuka bagi keduanya adalah keringanan/rukhshoh, maka jika keduanya tidak mengambil rukhsokh-nya maka itu juga hal yang baik.

Mana yang Lebih Utama, Berbuka atau Berpuasa ?

Jika orang sakit dan musafir tidak menemukan kesulitan untuk berpuasa, maka berpuasa lebih utama. Namun jika keduanya menemukan kesulitan untuk berpuasa, maka berbuka lebih utama.

Abu Sa’id Al-Khudzri rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami dulu berperang bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di bulan Romadhon. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak memarahi orang yang tidak berpuasa begitu pula sebaliknya. Kami berpendapat bahwa barang siapa yang merasa mampu kemudian berpuasa maka hal itu baik. Dan kami juga berpendapat bahwa barang siapa yang merasa lemah kemudian tidak berpuasa maka hal itu juga baik.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)

Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa bagi wanita yang sedang haid dan nifas adalah karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah jika wanita sedang haid tidak boleh sholat dan berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhori)

Jika wanita yang sedang haid dan nifas berpuasa, maka puasanya tidak sah. Karena suci dari haid dan nifas termasuk salah satu syarat puasa sehingga wajib bagi keduanya untuk meng-qodho’ puasanya. ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Dulu kami mengalami haid di masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka kami diperintahkan untuk meng-qodho’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qodho’ sholat.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)

Kewajiban Bagi Laki-Laki dan Wanita yang Sudah Tua Serta Orang Sakit yang Tidak Dapat Diharapkan Lagi Kesembuhannya

Bagi yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua atau sejenisnya maka boleh untuk berbuka dengan memberi makan bagi orang miskin setiap hari yang dia tidak berpuasa karena firman Alloh Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqoroh: 184)

Wanita Hamil dan Menyusui

Jika wanita hamil dan menyusui tidak mampu berpuasa atau khawatir terhadap anaknya jika berpuasa, maka boleh bagi keduanya untuk berbuka. Dan wajib bagi keduanya untuk membayar fidyah namun tidak ada kewajiban qodho’ bagi keduanya.

Ukuran Makanan yang Wajib Diberikan

Dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu“Sesungguhnya dia tidak mampu untuk berpuasa Ramadhan pada suatu tahun. Kemudian dia membuat roti dalam satu piring besar dan memanggil 30 orang miskin dan membuat mereka semua kenyang.” (Sanadnya Shohih. Al Irwa’)

Rukun-Rukun Puasa

Pertama, Niat. Karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Niat harus dilakukan setiap malam sebelum terbit fajar karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit maka puasanya tidak sah’.” (Shohih, Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir)

Kedua, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Alloh Ta’ala berfirman,

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Alloh untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Hal-Hal yang Membatalkan Puasa Ada Enam Perkara

Pertama dan Kedua, makan dan minum dengan sengaja. Jika seseorang makan atau minum dalam keadaan lupa maka tidak ada qodho’ baginya dan juga tidak membayar kaffaroh/denda.

Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika muntah dengan tidak sengaja maka tidak ada kewajiban qodho’ dan tidak perlu membayar kafaroh.

Keempat dan Kelima, haid dan nifas meskipun menjelang berbuka puasa mengingat adanya kesepakatan ulama tentang hal tersebut.

Keenam, hubungan suami istri. Orang yang melakukannya wajib untuk membayar kaffaroh: Memerdekakan budak jika punya, jika tidak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin. (Muttafaqun ‘alaih)

Adab-Adab Puasa

Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk memperhatikan adab-adab berikut ini:

Pertama, makan sahur. Dianjurkan pula untuk mengakhirkan makan sahur.

Dari Anas rodhiallohu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami makan sahur bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian melaksanakan sholat.” Aku (Anas) berkata, “Berapa lama antara iqomah dan makan sahur?” Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Jangka waktu untuk membaca Al Quran 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Jika azan terdengar sedangkan makanan dan minuman masih berada di tangan, maka boleh untuk meneruskan makan dan minum.

Kedua, menahan diri dari kata-kata sia-sia dan kotor/menjijikkan dan sejenisnya yang bertentangan dengan puasa.

Ketiga, dermawan dan mempelajari Al Quran.

Keempat, menyegerakan berbuka puasa.

Kelima, berbuka puasa secara sederhana dengan hal-hal yang disebutkan dalam hadits berikut.

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma basah sebelum sholat. Jika tidak ada kurma basah maka beliau berbuka dengan kurma kering. Jika tidak ada kurma kering maka beliau minum beberapa teguk air.” (Hasan Shohih. HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Keenam, berdoa pada saat berbuka sesuai dengan hadits berikut.

“Apabila Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka beliau berdoa yang artinya, ‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, pahala telah ditetapkan, Insyaa Alloh.’” (Hasan. Shohih Sunan Abu Daud)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Ketika Berpuasa

Pertama, mandi untuk menyegarkan badan.

Kedua, berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung namun tidak berlebihan.

Ketiga, berbekam. Hukumnya berubah menjadi makruh jika khawatir dirinya menjadi lemah. Yang dihukumi sama dengan bekam adalah donor darah. Jika orang yang ingin mendonorkan darahnya merasa khawatir menjadi lemas maka tidak boleh mendonorkan darah ketika siang hari kecuali sangat dibutuhkan.

Keempat, mencium dan bercumbu dengan istri bagi yang mampu menahan dirinya.

Kelima, dalam keadaan junub ketika sudah terbit fajar.

Keenam, menyatukan sahur dan berbuka.

Ketujuh, menggosok gigi, memakai minyak wangi, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata dan suntik.

Dasar dibolehkannya perkara-perkara tersebut adalah kaidah baroo’ah ashliyyah (seseorang terbebas dari suatu hukum sampai ada dalil, pent) Seandainya perkara-perkara itu termasuk perkara yang diharamkan ketika berpuasa niscaya Alloh dan Rosul-Nya akan menjelaskannya.

Alloh berfirman,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً

“Dan tidaklah Robb kalian itu lupa.” (QS. Maryam: 64)

I’tikaf

I’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk mencari kebaikan dan mencari malam Lailatul Qodar.

‘Aisyah berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Romadhon. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Carilah malam Lailatul Qodar di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.’” (HR. Bukhori). ‘Aisyah juga berkata, “Carilah malam Lailatul Qodar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.” (Muttafaq ‘alaih)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga mendorong dan memotivasi umatnya untuk mencarinya. Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melaksanakan sholat pada malam Qodar karena keimanan dan mengharap pahala dari Alloh, maka dosanya yang telah lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih)

I’tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di dalam masjid karena firman Alloh Ta’ala,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, pada saat kamu ber-i’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Dan juga karena masjid adalah tempat Nabi bert-i’tikaf.

Dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan amal ketaatan kepada Alloh seperti sholat; membaca Al Quran; berzikir, sholawat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam; dan sebagainya.

Dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Sebagaimana dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara karena menyangka bahwa hal tersebut mendekatkan diri kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. (Fiqh Sunnah).

Dan diperbolehkan untuk keluar dari tempat beri’tikaf karena ada kebutuhan yang harus dilaksanakan. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk menyisir rambut, mencukur rambut kepala, memotong kuku dan membersihkan badan. I’tikaf batal apabila seseorang keluar tanpa ada keperluan atau berhubungan suami istri. Alhamdulillaahilladzii bi ni’matihi tatimmush shoolihaat.

(Diringkas dari kitab Al Wajiiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitaabil ‘Aziiz Kitab Shiyaam, karya Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi Al Kholafi hafizhohullohu)

***

Penulis: Abu Ibrahim Muhammad Saifuddin Hakim (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Artikel muslim.or.id

Bagi Anda yang ingin berzakat untuk membersihkan penghasilan setiap bulannya, silakan klik di sini!

Puasa Asyura tapi Punya Utang Ramadhan, Bagaimana Hukumnya?

Bagaimana hukum puasa Asyura tapi masih punya utang puasa Ramadhan.

Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Puasa asyura dilakukan setiap datang tanggal 10 Muharram.

Lalu bagaimana jika kita belum membayar hutang puasa Ramadhan dan ingin melakukan puasa sunnah Asyura. Terkait hal ini, ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang melarang.

Dikutip dari buku Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi karya Ahmad Zarkasih, menurut madzhab al-Hanafiyah dan al-Syafi’iiyah, puasa asyura boleh dilakukan meskipun orang tersebut masih memiliki utang puasa Ramadhan yang belum dibayar.

Pendapat ini didasarkan bahwa qadha’ Ramadhan hukumnya adalah wajib, akan tetapi kewajiban qadha’ Ramadhan itu sifatnya ‘ala al-tarakhi yang artinya boleh menunda. Karena waktu qadha’ Ramadhan itu panjang, yaitu sejak masuk bulan syawal sampai berakhirnya bulan sya’ban di tahun selanjutnya.

Artinya kewajiban qadha’ Ramadhan itu bukan kewajiban yang sifatnya ‘ala al-Faur (bersegera), akan tetapi boleh menunda. Dalam ilmu ushul Fiqh, disebut dengan istilah wajib Muwassa’ yaitu kewajiban yang waktunya panjang. Dalam syariah, wajib muwassa’ ini adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya, seperti shalat lima waktu.

Shalat zuhur misalnya, waktu mulai wajib shalat zuhur itu (kebiasaan di Indonesia) sekitar pukul 12.00 WIB sampai 15.30 WIB. Karena waktu shalat zuhur yang cukup panjang, yaitu sekitar tiga jam setengah sehingga seorang muslim boleh meninggalkan sholat zuhur di jam 12.00 wib, dan dia tidak berdosa dengan syarat dia harus berazam mengerjakannya di waktu selanjutnya, misalnya pukul 13.00 wib.

Begitu juga Qadha puasa Ramadhan, yang memang waktunya panjang hingga sebelum masuk Ramadhan tahun berikutnya. Artinya ada 11 bulan yang disiapkan Allah swt untuk membayar hutang Ramadhan tersebut.

Sedangkan menurut Madzhab al-Malikiyah, puasa sunnah bagi yang belum membayar hutang Ramadhan maka hukumnya makruh. Artinya masih tetap boleh melakukan, dan sah puasanya, hanya saja akan jauh lebih baik dan lebih berpahala baginya jika ia mengerjakan membayar qadha’ Ramadhan terlebih dahulu.

Kemakruhan tersebut ada karena memang ia menunda-nunda kewajiban yang memang sudah dibebankan kepadanya serta tidak menyegerakannya. Padahal sejatinya kewajiban itu harus disegerakan.

Terakhir, menurut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal puasa sunnah hanya boleh dikerjakan oleh mereka yang sudah membayar hutang puasa Ramadhan. Sehingga mereka yang masih punya hutang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, justru itu menjadi keharaman.

Artinya orang yang berpuasa sunnah, baik itu syawal ataupun yang lainnya sedangkan ia masih punya hutang kewajiban Ramadhan, ia berdosa dan tidak sah puasa sunnahnya tersebut. Hal ini berdasarkan hadits :

“Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa terserbut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa ramadhannya,” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Namun hadits ini sendiri berstatus Matruk, yaitu salah satu bagian dari hadits dhaif. Karena itu tidak bisa berargumen dengan hadits ini karena kedhaifannya. Dan ini (dhaifnya hadits) diakui oleh para ulama madzhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Qudamah (al-Mughnu 3/154), dan juga Imam al-Buhuti (Kasyaful-Qina’ 2/334).

KHAZANAH REPUBLIKA

Menelan Sisa Makanan Sahur di Sela Gigi saat Puasa

KETIKA seseorang bangun tidur waktu pagi dan dia sedang berpuasa, didapati di mulutnya sisa (makan) sahur. Bagaimana kiranya hukumnya kalau (sisa makanan tersebut) ditelannya?

Tidak diragukan lagi bahwa makan adalah salah satu pembatal puasa. Allah Taala berfirman: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah: 187).

Sebagaimana diketahui oleh umat Islam, bahwa puasa adalah menahan dari makan, minum dan berhubungan badan dan seluruh pembatal (puasa). (Majmu Fatawa Syaikhul Islam, 25/219)

Pengertian makan adalah sampainya sesuatu yang keras (makanan dan semisalnya) ke lambung lewat mulut. (Silahkan lihat Hasyiyah Ibnu Qasim Ala Raudhil Al-Murbi, 3/389)

Tidak disyaratkan dalam makanan ini, harus bermanfaat atau banyak. Kalau sekiranya menelan sesuatu yang tidak bermanfaat (seperti permata) atau menelan sedikit sekali (dari sisa makanan), maka dia telah berbuka dan puasanya rusak.

Menelan sisa makanan yang ada di sela-sela gigi termasuk makan, maka ia dapat merusak puasa. Hal ini kalau orang yang berpuasa menelannya dengan sengaja, yang sekiranya masih memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, namun sengaja dia ditelan.

Adapun, jika tiba-tiba masuk ke tenggorokan dan tertelan, dan tidak memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, maka hal ini tidak mengapa dan puasanya sah. Karena semua pembatal puasa disyaratkan bahwa orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja.

Kalau dilakukan dengan terpaksa tanpa keinginannya maka puasanya sah dan tidak ada apa-apa sedikitpun baginya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mugni, 3/260:

“Barangsiapa yang di waktu paginya mendapatkan makanan di antara giginya, maka tidak akan lepas dari dua kondisi, salah satunya adalah jika sedikit, tidak mungkin diludahkan lalu tertelan, maka hal itu tidak membatalkan (puasa). Karena dia tidak mungkin mencegahnya, seperti air liur. Ibnu Munzir berkata: Para Ahli Ilmu telah sepakat (ijma) dalam masalah ini.

Kedua, jika makanannya banyak dan memungkinkan untuk diludahkan, maka kalau diludahkan tidak membatalkan puasanya. Kalau dia telan dengan sengaja, maka puasanya rusak menurut pendapat mayoritas ulama.

Karena dia telah menelan makanan yang masih memungkin untuk diludahkan berdasarkan pilihannya dan dalam keadaan sadar bahwa dia sedang berpuasa, maka dengan demikian dia dianggap berbuka. Sebagaimana halnya kalau dia memulai makan.”

Kesimpulannya adalah kalau memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya dari mulut, namun dia tidak melakukannya dan justru menelannya, maka puasanya rusak. Kalau tertelan tanpa keinginannya, maka puasanya sah dan tidak ada apa-apa baginya. Wallahualam. []

INILAH MOZAIK

Puasa Tetap Wajib Saat Pandemi

Ada yang beragumen untuk meniadakan puasa Ramadhan agar sistem imunitas tubuh kita tetap terjaga.

Padahal, puasa justru akan meningkatkan kondisi tubuh seseorang semakin sehat. Sudah banyak penelitian yang memaparkan manfaat puasa bagi kesehatan tubuh. Secara keseluruhan, orang dapat dikatakan sehat ketika memiliki saluran pencernaan yang bersih. Berpuasa, jadi salah satu jalan mewujudkan kondisi tubuh yang fit. Dengan berpuasa, jalur pencernaan diberi kesempatan untuk beristirahat dan membersihkan diri selama tidak mengolah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita.

Akan tetapi, orang bisa menuai manfaat puasa jika pola makannya pun baik. Artinya, mengonsumsi makanan yang sehat saat sahur maupun berbuka, serta memenuhi zat gizi yang diperlukan tubuh. Biasanya, sebagian orang justru mengabaikan sahur dan memilih mengonsumsi makanan seadanya. Nah, saat berbuka seluruh jenis makanan ia konsumsi sebagai ajang balas dendam karena seharian ia menahan haus dan lapar. Pola makan yang buruk seperti ini yang justru menyebabkan puasa seseorang tidak membawa manfaat bagi kesehatannya.

Agar sistem imun kita tetap kuat selama Ramadhan, perlu sekali kita perhatikan asupan gizi bagi tubuh, kita juga harus menjaga pola istirahat dan kebutuhan cairan selama berpuasa. Silakan taati anjuran ahli gizi yang informasinya bisa mudah ditemukan di internet. Hal yang paling penting dilakukan adalah meminta pertolongan kepada Allah agar menjaga diri kita, keluarga, dan lingkungan kita bebas dari penyakit.

Syarat wajib puasa

Yang jelas, puasa masih tetap wajib bagi:

  1. Seorang muslim.
  2. Baligh [1]
  3. Berakal [2]
  4. Suci dari haidh dan nifas.
  5. Mampu berpuasa.

Mengenai perihal mampu dalam berpuasa

Ada beberapa keadaan dalam hal ini:

Pertama: Jika ada yang tidak mampu berpuasa, ia tidak wajib berpuasa. Contohnya adalah orang tua renta yang tidak mampu dan ada kesulitan ketika berpuasa, termasuk juga orang yang sakit dan tak kunjung sembuh. Karena puasa itu wajib bagi yang mampu. Pengganti puasa untuk orang seperti ini adalah menunaikan fidyah.

Dalam ayat disebutkan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).

Kedua: Jika seseorang tidak mampu berpuasa karena penyakit yang ia khawatirkan akan bertambah parah, namun penyakit ini masih bisa diharapkan sembuhnya, dalam kondisi ia tidak berpuasa dan ia harus mengqadha puasa yang tidak dilakukan ketika ia sudah sembuh. Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Cukup yang sakit merasa sulit berpuasa, ia boleh tidak berpuasa.

Ketiga: Jika pada pagi hari dalam keadaan berpuasa dan dalam keadaan sehat, kemudian ia sakit, ia boleh membatalkan puasa karena ia dibolehkan membatalkan dengan alasan darurat. Darurat pada saat ini ada, maka boleh membatalkan puasa.

Keempat: Ada juga keadaan orang yang jika berpuasa saat sakit, malah mendatangkan kematian, ia wajib tidak berpuasa dan kewajibannya adalah qadha’.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Catatan: Orang yang sakit ringan, tidak ada kesulitan untuk berpuasa, tidak boleh baginya membatalkan puasa.

Penjelasan di atas disarikan dari penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:167-171.

Keadaan orang sakit saat pandemi corona sama dengan perincian di atas, yakni:

  1. Jika sudah terkena virus corona dan dilarang puasa, bahkan jika puasa menyebabkan kematian, berarti tidak boleh puasa. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  2. Jika paginya sehat, siangnya sakit, berarti boleh tidak berpuasa karena darurat. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  3. Jika khawatir penyakitnya tambah parah, boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah qadha’ bakda Ramadhan.
  4. Jika tidak mampu berpuasa sama sekali karena sudah tua renta atau penyakitnya tak kunjung sembuh, penggantinya adalah bayar fidyah.

Kesimpulannya, kita yang hanya diam di rumah saja dalam keadaan sehat dan kuat, tak ada yang menghalangi untuk berpuasa, maka tetap wajib puasa.

[1] Anak kecil tetap diajak berpuasa setelah berumur tujuh tahun jika ia mampu berpuasa untuk membiasakan dirinya. Kalau ia meninggalkan puasa pada usia sepuluh tahun, boleh dipukul. Hal ini dianalogikan dengan perkara shalat. Jika anak ini baligh dan ketika kecil pernah tidak puasa, tidak ada kewajiban qadha’. Karena masa kecil bukanlah masa seseorang dibebani syariat. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily, 1:167-168.

[2] Yang keluar dari kewajiban puasa adalah orang gila, juga anak kecil yang belum tamyiz.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24125-puasa-tetap-wajib-saat-pandemi-corona.html

Bolehkah Petugas Medis Covid19 yang Memakai APD Tidak Berpuasa Ramadhan?

Di masa pandemi corona atau COVID 19 ini tentu peran para petugas medis menjadi sangat vital sebagai garda depan dalam pananggulangan wabah ini. Lalu di bulan Ramadhan ini apakah mereka para petugas medis COVID 19  yang memakai Alat Perlindungan Diri (APD) boleh tidak berpuasa Ramdahan?

Boleh Tidak Puasa Ramadhan?

Jawabnya: Ia boleh tidak berpuasa Ramadhan setelah mencoba berpuasa dahulu. Apabila tidak sanggup melanjutkan puasa karena merasakan sangat haus dan lelah setelah memakai APD (alat pelindung diri), sedangkan pada hari itu masih tersisa beberapa jam lagi waktu berbuka puasa dan ia berprasangka kuat khawatir kondisi kesehatan akan menurun, maka ia boleh berbuka puasa (membatalkan puasa) pada hari  itu kemudian mengqadha pada hari yang lain. Hal ini berbeda-beda setiap orang ada yang kuat ada yang tidak kuat, apabila tidak kuat, ia boleh berbuka puasa.

Berikut Pembahasannya

Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa dalam menjelaskan suatu hukum, perlu “tashawwur” atau gambaran kasus yang benar. Apabila “tashawwur” atau gambaran kasusnya yang didapat oleh ustadz atau ulama itu tidak tepat, maka penjelasan hukum (fatwanya) juga tidak tepat. Sebagaimana dalam kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

  1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
  2. tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Demikian juga dengan fatwa mengenai “Shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid ketika musim wabah”. Ustadz atau ulama harus mendapatkan gambaran kasus (tashawwur) yang tepat dari ahli medis sebelum memberikan penjelasan hukumnya.

Gambaran Kasus saat Memakai APD

Kembali lagi ke hukum tenaga medis covid19 yang memakai APD, gambaran kasusnya perlu dijelaskan. Saya pribadi merasakan memakai APD karena spesialisasi saya adalah Patologi Klinik dan bekerja di laboratorium yang memeriksa sampel covid19. Gambaran kasus memakai APD:

  1. APD dipakai sekali saja, ketika dipakai tidak boleh dilepas karena keterbatasan APD
  2. Memakai APD bisa jadi 8 jam atau 12 jam sesuai shifnya, di lab bisa 4 jam saja apabila sampel sedikit
  3. Selama memakai APD sulit untuk minum dan buang air kecil, sehingga menjadi “serba salah”, jika minum banyak khawatir nanti akan buang air. Jika minum sedikit nanti mudah haus
  4. Selama memakai APD akan keluar keringat cukup banyak (elektrolit keluar banyak), terlebih ruangan tidak begitu dingin, kacamata bisa berembun sehingga penglihatan sulit dan itu tidak boleh diperbaiki. Demikian juga jika maka terasa gatal, tidak boleh dikucek dan harus ditahan
  5. Setelah memakai APD sebagian dari kita akan merasakan sangat haus, lapar dan lelah

Apabila kita membahas hukumnya. Ini kembali pada pembahasan “hukum tidak berpuasa Ramadhan karena pekerjaan” 

Jawabanya secara umum: hukum asalnya TIDAK BOLEH meninggalkan puasa Ramadhan karena alasan pekerjaan, karena ini rukun Islam.

Saya mendengar fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan (kurang lebih):

لم يرد في التاريخ أن السلف ترك الصيام لأجل عمل

“Tidak ada dalam sejarah Islam bahwa salaf dahulu meninggalkan puasa (Ramadhan karena alasan pekerjaan)

Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, yang menjelaskan orang yang bekerja sebagai pembakar roti dan merasakan haus sekali, ia tetap harus berpuasa.

Pertanyaan:

عن رجل يعمل في مخبز ويواجه عطشاً شديداً وإرهاقاً في العمل هل يجوز له الفطر

“Pertanyaan dari seorang yang bekerja sebagai pembakar roti, ia merasakan sangat haus dan lelah ketika bekerja, apakah ia boleh tidak berpuasa Ramadhan?

Jawaban:

لا يجوز لذلك الرجل أن يفطر ، بل الواجب عليه الصيام ، وكونه يخبز في نهار رمضان ليس عذراً للفطر ، وعليه أن يعمل حسب استطاعته

“Tidak boleh bagi orang tersebut berbuka puasa (tidak berpuasa), bahkan wajib baginya berpuasa. Adapun keadaan ia sebagai pembakar roti pada siang Ramadhan bukanlah udzur syar’i . ia wajib bekerja sesuai kemampuannya.” [Fatwa Al-Lajnah 10/238]

Perhatikan bahwa pembuat roti ini bisa mengatur pekerjaannya, ia bisa bekerja siang hari hanya beberapa jam (tidak full) atau memindahkan pekerjaannya pada malam hari. Gambaran kasus ini berbeda dengan petugas medis covid19 yang memakai APD, mereka tidak bisa mengatur jam kerja karena tugasnya adalah 24 jam dan masing-masing akan mendapatkan shif siang hari.

Alasan “khawatir” yang nyata dan kuat adalah alasan yang boleh (udzur syar’i) untuk tidak berpuasa Ramadhan. Petugas medis covid19 memang ada yang khawatir (berprasangka kuat) kondisi kesehatannya akan menurun apabila melanjutkan puasa. Ini adalah alasan dengan kekhawatiran yang nyata dan bukan dibuat-buat.

Salah satu dalil yang boleh tidak berpuasa Ramadhan karena khawatir adalah ibu hamil yang khawatir akan janinnya apabila ia berpuasa. Sang ibu tidak mengkhwatirkan dirinya, tetapi mengkhwatirkan janinnya, padahal di zaman dahulu belum ada alat untuk mengetahui kondisi janin seperti sekarang. Jadi sang ibu hanya mengandalkan “feeling” dan perasaan bahwa apabila ia berpuasa, maka janinnya akan bahaya.

Dalil akan hal ini, hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengugurkan kewajiban bagi musafir untuk berpuasa dan setengah shalat; dan menggugurkan pula kewajiban puasa bagi wanita hamil atau menyusui”. [HR. Tirmidzi]

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan,

والحامل إذا خافت على ولدها: أفطرت، وكذلك المرضع إذا أضر بلبنها

“Ibu yang hamil apabila khawatir akan janinnya, ia boleh tidak berpuasa (Ramadhan), demikian juga dengan ibu menyusui apabila khawatir akan membahayakan air susunya.” [Al-Umm 2/113]

Kesimpulan

Petugas medis covid19 yang memakai APD boleh tidak berpuasa Ramadhan apabila berprasangka kuat khawatir kondisi tubuhnya menurun, lalu mengqadhanya. Hal ini berbeda-beda setiap orang, ada yang kuat menahan dan melanjutkan pausa Ramadhan dan ada yang tidak kuat

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK (Petugas lab covid19 RS Unram)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56234-petugas-medis-covid19-puasa-ramadhan.html