Niat Puasa Syawal 6 Hari

Puasa enam hari Syawal merupakan amalan sunnah yang memiliki keutamaan besar, yaitu pahalanya setara dengan berpuasa setahun penuh. Keutamaan ini hanya diperoleh bagi yang telah berpuasa Ramadhan secara penuh. Nah berikut niat puasa Syawal 6 hari.

Simak penjelasan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarah al-Minhaj, Jilid III, halaman 209;

( و ) صوم ( ستة من شوال ) لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم { من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر } وقوله { صيام رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام السنة } أي كصيامها فرضا وإلا فلا يختص ذلك بصوم رمضان وستة من شوال لأن الحسنة بعشرة أمثالها ، وقضية كلام التنبيه وكثيرين أن من لم يصم رمضان لعذر أو سفر أو صبا أو جنون أو كفر لا يسن له صوم ستة من شوال

Artinya; “Dianjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang sahih: “Siapa yang berpuasa Ramadhan dan kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka (pahala) bagaikan berpuasa setahun penuh.” Dan sabdanya: “Puasa Ramadhan itu (setara) dengan sepuluh bulan, dan puasa enam hari (setara) dengan dua bulan, maka (jumlahnya) menjadi puasa setahun.” Maksudnya, seperti berpuasa setahun penuh secara wajib.

Namun, hal ini tidak hanya khusus untuk puasa Ramadhan dan enam hari di bulan Syawal. Karena setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Berdasarkan penjelasan kitab “At-Tanbih” dan banyak ulama lainnya, bagi orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur, bepergian, masih anak-anak, gila, atau kafir, tidak disunnahkan untuk mereka berpuasa enam hari di bulan Syawal,”.

Selanjutnya, Rasulullah SAW bersabda bahwa pahala orang yang melakukan puasa Ramadhan dan enam hari di bulan Syawal sama dengan pahala puasa sepanjang tahun. Nabi bersabda;

حدثنا أبو معاوية ثنا سعد بن سعيد عن عمر بن ثابت عن أبي أيوب الأنصاري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من صام رمضان ثم اتبعه ستا من شوال فذلك صيام الدهر

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, Telah menceritakan kepada kami Sa’ad bin Sa’id, dari ‘Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub Al-Anshari, ia berkata : Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa puasa ramadhan kemudian dilanjutkan enam hari dibulan Syawwal, terhitung puasa sepanjang masa,”. (HR. Ahmad No. 23580).

Niat Puasa Syawal 6 Hari

Puasa Syawal, termasuk dalam kategori puasa sunnah, memiliki keutamaan yang setara dengan berpuasa selama setahun penuh. Namun, berbeda dengan puasa wajib Ramadhan, niat puasa Syawal tidak harus dilakukan di malam hari atau sebelum terbit fajar.

Sejatinya, niat puasa Syawal dapat dilakukan ketika siang hari, selama matahari belum tergelincir di siang hari. Hal ini memberikan kemudahan bagi umat Islam yang ingin melaksanakan puasa Syawal, karena mereka tidak perlu terburu-buru untuk berniat di malam hari.

Meskipun demikian, dianjurkan untuk melakukan niat puasa Syawal di awal waktu, yaitu sebelum terbit fajar. Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW untuk melakukan segala amalan kebaikan di awal waktu.

Nah, bagi yang ingin menjalankan puasa sunnah Syawal, niat bisa dilafalkan pada malam hari sebelum berpuasa. Berikut lafal niat puasa Syawal untuk malam hari:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala.”

Sementara itu, bagi orang yang baru bisa melaksanakan niat siang hari, berikut lafadznya:

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى



Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ

Artinya; “Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah ta’ala”.

BINCANG SYARIAH

Kapan Waktu yang Tepat untuk Puasa Syawal?

Puasa Syawal adalah puasa sunnah yang dilakukan pada bulan Syawal, yaitu bulan setelah Ramadlan. Lantas kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal?

Tak bisa dipungkiri, puasa Syawal merupakan puasa sunnah yang banyak digemari oleh umat muslim, dikarenakan mereka sudah terbiasa berpuasa di bulan sebelumnya. Hingga menganggap puasa ini sebagai puasa lanjutan dari puasa Ramadlan.

 عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا رواه ابن ماجه والنسائي ولفظه :

Dari Tsauban maula (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melakukan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri, maka, itu menjadi penyempurna puasa satu tahun. [Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya].

Pelaksanaan bisa dimulai dari setelah hari raya Idul Fitri, yaitu 2 Syawal. Dan berakhir pada akhir bulan Syawal. Berdasarkan hadits tersebut, puasa Syawal dilakukan selama enam hari. Enam hari tersebut dilakukan selama bulan Syawal, tidak berlaku pada bulan setelah Syawal.

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhal (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut sehari setelah Idul Fitri.

Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan. Karena seperti itu pun disebut menjalankan puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan.

Begitupun dengan Syaikh Muhammad bin rasyid Al-Ghafily yang menyebutkan senada dengan keterangan di atas. Beliau menyebutkan bahwa yang lebih utama adalah memulai puasa Syawal sehari setelah Idul Fithri.

Ini demi kesempurnaan dan menggapai keutamaan. Hal ini supaya mendapatkan keutamaan puasa segera mungkin sebagaimana disebutkan dalam dalil sebelumnya. Namun, sah-sah saja puasa Syawal tidak dilakukan di awal-awal bulan Syawal karena menimbang mashalat yang lebih besar.

Allah Ta’ala pun berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Dari berbagai keterangan di atas, para ulama sepakat dan tidak ada perbedaan jika permulaan waktu untuk puasa Syawal adalah pada tanggal 2 Syawal, yaitu hari setelah perayaan Idul Fitri. Tidak harus di tanggal 2 Syawal, melainkan ini merupakan hari pertama diperbolehkannya melaksanakan puasa sunnah Syawal.

Adapun batas akhirnya adalah pada akhir bulan Syawal. Jadi bagi siapa yang belum bisa melakukan lansung dari setelah hari raya Idu Fitri, ia masih ada kesempatan berpuasa hingga akhir bulan Syawal.

Demikian penjelasan kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Puasa Syawal, Peluang ‘Kemenangan Ramadhan’ Kedua

Setelah Allah peluang bulan Ramadhan, umat Islam masih mendapatkan peluang lain untuk meraih kemenangan Ramadhan kedua,  yakni puasa Syawal

puKITA telah selesai dari pendidikan ‘madrasah Ramadhan’  hampir sebulan penuh. Melalui ‘madrasah Ramadhan’ kita telah mendapatkan pendidikan pembinaan hati, jiwa dan ruh, hingga mampu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Dampat dari pendidikan selama sebulan adalah melahirkan hati yang taqwa,  sebuah pakaian orang mukmin untuk menghadapi tantangan 11 bulan ke depan.   Dengan berakhirnya ‘madrasah Ramadhan’ yang berlangsung selama sebulan, pada akhirnya kita akan diuji,  apakah semua amal ibadah dan amal shaleh yang telah dilakukan dapat direalisasikan di bulan Syawal ini?

Mereka yang berhasil ditransformasikan dengan tarbiah Ramadhan adalah orang-orang yang sangat beruntung bisa lolos dari rahmat bulan Ramadhan, sebagaimana doa Malaikat Jibril ‘alaihissalaam yang diaminkan oleh Nabi Muhammad ﷺ

شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan, tetapi sampai Ramadhan berakhir, ia belum juga diampuni.” (HR: Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahih Al-Adabil Mufrod: 501).

Orang yang benar-benar dapat menikmati manis dan gembiranya perayaan Idul Fitri adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Hadits Abu Hurairah di mana Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bisa melewati Ramadhan dengan sempurna akan mendapatkan bonus ampunan dari Allah SWT. Hal ini tergantung sejauh mana kita mampu mengikuti syarat dan ketentuan yang ditetapkan.

Banyak yang tidak menyangka bahwa ujian sesungguhnya ada di bulan Syawal karena penurunan kualitas ibadah kita terjadi begitu tiba-tiba, terutama saat salat Idul Fitri usai.

Masjid dan mushalla kosong

Setelah Ramadhan ini, masjid dan surau mulai ditinggalkan. Al-Qur’an akan disimpan dan kegiatan yang biasa dilakukan sebelum Ramadhan akan kembali terulang lagi.

Mereka yang sudah terbiasa di masjid mulai selama bulan Ramadhan kini sudah menjauh dan telah melipat sajadah. Mereka kembali ke dunia seperti sebelumnya dengan penuh semangat.

Menyadari kenyataan tersebut, Rasulullah ﷺ menyeru kita, untuk rajin dan terus melakukan amalan sunnah meski di penghujung Ramadhan agar kita selalu ingat apa tujuan Allah untuk menghidupkan dan memperpanjang umur kita di muka bumi ini?

Ibadah harus dilanjutkan karena hidup kita selalu terhubung dengan Allah SWT. Puasa tidak akan berakhir sampai akhir hayat. fdfa

Banyak puasa sunnah yang telah dianjurkan, terutama puasa Nabi Daud, ﷺ, yang berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Puasa Asyura, Puasa Muharram, Puasa Senin Kamis dan lainnya.

Nabi ﷺ juga menyeru umat Islam untuk melanjutkan puasa selama enam hari di bulan Syawal dimana Nabi ﷺ  telah mewariskan kepada Sayyidina Ali ra yang artinya: “Wahai Ali, siapa di antara kamu yang melanjutkan puasa Ramadhan dengan enam hari di bulan Syawal.
Syawal buka peluang raih kemenangan kedua

Kemenangan Ramadhan karena umat Islam berhasil melawan nafsu lapar, haus dan menjauhi perbuatan dosa, sekaligus mengisi bulan suci itu dengan amalan sholeh lain, seperti: membaca al-Quran, tarawih, sedekah dll.  Ganjaran dari kemenangan pertama ini, menjadikan umat Islam akan kembali kepada fitri (suci), seperti bayi baharu lahir dengan tiada dosa melekat pada dirinya.

Setelah itu, Allah memberi peluang kepada umat Islam agar mendapatkan kemenangan kedua,  dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, yang pahalanya seperti berpuasa setahun penuh.

Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR: Muslim).

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « يَقُولُ اللَّهُ إِذَا أَرَادَ عَبْدِى أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِى فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ »

“Dari Abu Hurairah,  Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Jika hamba-Ku bertekad melakukan kejelekan, janganlah dicatat hingga ia melakukannya. Jika ia melakukan kejelekan tersebut, maka catatlah satu kejelekan yang semisal. Jika ia meninggalkan kejelekan tersebut karena-Ku, maka catatlah satu kebaikan untuknya. Jika ia bertekad melakukan satu kebaikan, maka catatlah untuknya satu kebaikan. Jika ia melakukan kebaikan tersebut, maka catatlah baginya sepuluh kebaikan yang semisal  hingga 700 kali lipat.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Jadi, pahala orang berpuasa Ramadhan kemudian diteruskan dengan enam hari Syawal menyamai pahala orang berpuasa setahun, adalah anugerah besar kepada umat Islam.   Oleh karena itu, sifat syukur perlu sentiasa disemai dalam hati umat Islam, karena rahmat Allah sangat berlimpah diberikan kepada kita.

Ringkasnya, mereka yang berpuasa enam hari Syawal adalah tanda kesuksesan atas puasa di bulan Ramadhan.  Sebagai pesan kepada penulis dan pembaca, marilah kita lanjutkan momentum Ramadhan dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membuktikan bahwa Ramadhan kita berhasil.

Pertama,  puasa sunnah. Jika kita berhasil menjalankan ibadah puasa selama satu bulan Ramadhan maka kita dapat melanjutkan rutinitas dengan berpuasa sunnah lain, misalnya; puasa Senin dan Kamis.

Sabda Nabi ﷺ

Kedua, shalat witir. Ketika Ramadhan tiba kita akan melaksanakan shalat sunat tawarih dan dilanjutkan dengan shalat sunah witir sebagai penutup.

Sholat witir ini tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan tetapi juga bisa dilakukan di luar bulan Ramadhan. Sabda Nabi ﷺ.

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat witir, maka shalat witirlah kalian antara waktu shalat ‘Isya’ hingga shalat Subuh.’” (HR: Ahmad).

Untuk membuktikan bahwa kita telah berhasil melanjutkan momentum Ramadhan, kita perlu terus melaksanakan istiqamah shalat sunat witir setiap hari. Jika dirasa berat, kita hanya bisa mengerjakannya dengan satu rakaat saja karena jumlah rakaat shalat witir ganjil.

Kita bisa mengerjakan satu rakaat atau tiga rakaat sesuai dengan kemampuan kita. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukannya.

Terakhir, membaca Al-Qur’an. Penulis yakin dan percaya, banyak yang berlomba-lomba untuk menyelesaikan Al-Quran selama bulan Ramadhan. Ada juga yang menyelesaikan dua hingga tiga kali dalam sebulan, namun ketika masuk bulan Syawal,  untuk menyelesaikan satu juz saja rasanya sudah berat.

Inilah hal yang perlu kita jaga,  agar kita terus membiasakan bisa membaca seperti layaknya di bulan Ramadhan. Setidaknya kita berusaha membaca satu halaman setiap hari agar tidak putus dengan Al-Quran.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ : تَعَلَّمُوا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُونَ بِتِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ ، أَمَا إِنِّى لاَ أَقُولُ بِ الم وَلَكِنْ بِأَلِفٍ وَلاَمٍ وَمِيمٍ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ.

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah Al-Quran ini, karena sesungguhnya kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10 kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم , akan tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya sepuluh kebaikan.” (Ad Darimy dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah).

Kesimpulannya, ibadah tidak hanya diperlukan selama bulan Ramadhan. Ibadah harus dilakukan setiap bulan karena itu adalah tanggung jawab kita sebagai hamba Allah.

Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surah al-Zariyat: 56.

وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡاِنۡسَ اِلَّا لِيَعۡبُدُوۡنِ

“Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali mereka untuk beribadah dan mengabdi kepada-Ku.“ (QS: Az-Zariyat: 56).*

HIDAYATULLAH

Fatwa Ulama: Benarkah Puasa Syawal Hukumnya Makruh?

Pertanyaan:

Apa pendapat Anda tentang puasa enam hari setelah bulan Ramadan di bulan Syawal? Di dalam kitab Muwaththa’ Imam Malik rahimahullah, beliau berkata tentang puasa enam hari setelah Idulfitri, “Bahwa tidak ada seorang pun dari ulama dan ahli fikih yang menganjurkan untuk berpuasa pada saat itu. Tidak juga riwayat dari (ulama) salaf sampai kepadaku. Para ulama memakruhkan hal itu. Mereka bahkan khawatir ini termasuk bid’ah, dan termasuk menyambung puasa Ramadan dengan puasa lain yang bukan darinya.” Pernyataan beliau ada di dalam Al-Muwaththa’ no. 228, juz yang pertama.[1]

Jawaban:

Telah sahih dari Abu Ayyuub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستًا من شوال فذاك صيام الدهر

Barangsiapa yang berpuasa Ramadan, lalu mengikutinya dengan enam hari puasa di Syawal, maka (seakan-akan) itu puasa satu tahun (setahun).” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi)[2]

Hadis sahih ini menunjukkan bahwa puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunah. Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan jama’ah (banyak) para imam dari ulama telah mengamalkan hadis ini. Tidaklah benar untuk mempertentangkan hadis ini dengan apa yang menjadi pendapat sebagian ulama, yaitu makruh untuk berpuasa dikarenakan takut dianggap oleh orang yang jahil bahwa ini termasuk dari Ramadan, atau khawatir anggapan wajibnya hal tersebut, atau bahwa tidak sampai (riwayat) kepadanya seorang pun dari ahli ilmu yang mendahuluinya berpuasa. Sesungguhnya itu termasuk dari zhan (prasangka) dan tidak bisa melangkahi As-Sunnah yang sahih.

Dan orang yang memiliki ilmu, menjadi hujjah bagi yang tidak memiliki ilmu.

Sumber: http://iswy.co/e1394t

Penulis: Muhammad Fadhli, S.T.

Artikel: www.muslim.or.id

[1]Dalam kitab Al-Muwaththa’, Bab Jami’ Ash-Shiyam, hal. 330. Diriwayatkan dari Abu Mush’ab Az-Zuhri,

857 – وقال مَالِك: فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ: إِنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا، وَلَمْ يَبْلُغْه ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ، وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ، وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ، وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ أهل الْجَفَاءِ وَأَهْلُ الْجَهَالَةِ، مَا لَيْسَ فيهُ لَوْ رَأَوْا فِي ذَلِكَ رُخْصَةً من أَهْلِ الْعِلْمِ، وَرَأَوْهُمْ يَعْمَلُونَ ذَلِكَ.

Imam Malik Rahimahullah berkata, “Mengenai puasa enam hari setelah berbuka dari bulan Ramadan, maka sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalangan Ahli Ilmu dan Ahli Fikih yang berpandangan untuk berpuasa (enam hari tersebut) dan tidak juga sampai (riwayat puasa syawal) dari seorang salaf pun. Para ulama memakruhkan hal tersebut dan khawatir akan status bid’ah-nya, akan (anggapan) tersambungnya (termasuk) Ramadan, oleh ahlul jafa’ (orang yang meremehkan) dan orang-orang bodoh, dengan sesuatu yang tidak ada, seandainya ada dari ulama yang berpendapat di dalamnya ada rukhshah (keringanan), dan mereka melihat para ulama mengerjakan ibadah puasa tersebut.”

[2]Dalam kitab Shahih Wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi karya Syekh Al-Albani. Syekh Al-Albani menilai hadis ini hasan sahih.

Sumber: https://muslim.or.id/75189-fatwa-ulama-benarkah-puasa-syawal-hukumnya-makruh.html

Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal

Menggabungkan puasa qada Ramadan dengan puasa 6 hari Syawal disebut dengan “tadakhulul ibadaat” atau “tasyrikun fiin niyah“. Yaitu, satu amalan ibadah yang diniatkan untuk melakukan dua ibadah atau lebih sekaligus.

Apakah bisa menggabungkan niat puasa qada Ramadan dengan puasa Syawal? Pendapat terkuat yang kami pegang adalah TIDAK bisa digabung karena dua alasan:

Pertama: Puasa Syawal adalah “mutabi’ah” (mengiringi) puasa Ramadan.

Kedua: Puasa Syawal adalah ibadah “maqshudah binafsiha“‘ yaitu ibadah yang menjadi tujuan yang berdiri sendiri.

Ada pendapat lain juga, yaitu bisa digabungkan. Hal ini karena jika seseorang melakukan puasa qada 6 hari selama bulan Syawal berarti secara zahir dia sudah termasuk puasa 6 hari di bulan Syawal. Akan tetapi, tidak mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh karena zahir hadis juga menunjukkan bahwa pahala setahun penuh apabila telah tuntas puasa Ramadan, lalu diikuti puasa Syawal. Jadi, yang terpenting tetap saja motivasinya harus qada atau menuntaskan puasa Ramadan dahulu baru puasa Syawal.

Berikut pembahasan poin di atas:

Pertama: Puasa Syawal adalah “mutabi’ah” (mengiringi) puasa Ramadan

Contoh ibadah mutabi’ah adalah salat sunah rawatib, yaitu salat qabliyah (sebelum salat wajib) dan ba’diyah (setelah salat wajib). Apakah bisa digabung niat ibadah salat rawatib sekalius salat wajib? Tentu tidak bisa. Oleh karena itu, pada ulama membuat kaidah fikih yang berbunyi,

إذا كانت العبادة تبعاً لعبادة أخرى فإنه لا تداخل بينهما

“Apabila ibadah tersebut ‘mengiringi’ (mutabi’ah) dengan ibadah lainnya, maka tidak bisa ‘tadaakhul’ (digabungkan niat) di antara keduanya”

Kedua: Puasa Syawal adalah ibadah “maqshudah binafsiha” yaitu ibadah yang menjadi tujuan yang berdiri sendiri

Para ulama membagi dua jenis ibadah yaitu ibadah “maqashudah binafsiha” dan ibadah “laisat maqshudah binafsiha“. Ibadah “maqshudah binafsiha” adalah ibadah yang menjadi tujuan dan berdiri sendiri seperti ibadah salat wajib, puasa wajib, zakat, dan lain-lainnya. Adapun ibadah “laisat maqshudah binafsiha” adalah ibadah yang bukan menjadi tujuan utama. Artinya, ibadah tersebut yang penting dilakukan sesuai dengan alasan yang menjadi ibadah tersebut diperintahkan, meskipun ibadah itu dilakukan dengan ibadah lainnya

Contohnya adalah salat tahiyatul masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يركع ركعتين

“Jika seseorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan salat dua rakaat.” (HR. Muslim)

Jika seseorang masuk masjid, yang penting adalah dia salat dua rakaat sebelum duduk dengan jenis ibadah salat apa pun. Misalnya, salat qabliyah dua rakaat atau salat sunah wudu dua rakaat. Jadi dalam hal ini, niat ibadahnya bisa digabungkan dalam satu salat (dua rakaat) antara salat tahiyatul masjid dengan salat qabliyah atau salat sunah wudu.

Adapun ibadah yang kedua-duanya adalah “maqshudah binafsiha“, maka tidak dimungkinkan penggabungan niat ibadah. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan kaidahnya,

إذا كانت العبادة مقصودة بنفسها ، أو متابعة لغيرها ، فهذا لا يمكن أن تتداخل العبادات فيه

Apabila ibadah tersebut adalah maqshudah binafsiha atau mutabi’ah (mengiringi) ibadah lainnya, maka tidak mungkin dilakukan tadakhul ibadah.” (Liqa’ al-Bab Al-Maftuh, 15: 51)

Apabila puasa qada Ramadan digabungkan dengan puasa sunah Syawal, maka tidak mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh. Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjelaskan,

وأما أن تصوم الست بنية القضاء والست فلا يظهر لنا أنه يحصل لها بذلك أجر الست، فالست تحتاج إلى نية خاصة في أيام مخصوصة. نعم

“Apabila Engkau puada enam hari Syawal dengan sekaligus niat puasa qada, maka tidak mendapatkan pahala puasa setahun. Puasa enam hari Syawal membutuhkan niat khusus (niat sendiri) pada hari-hari yang khusus.” [Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/12597]

Apabila menghendaki qada Ramadan sekaligus ibadah yang lain (tadakhul), bisa dilakukan ketika puasa puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh (puasa pada tanggal 13,14, dan 15 setiap bulan Hijriyah), atau puasa 3 hari setiap bulan (pada hari apa saja setiap bulan hijriyah). Demikian semoga bermanfaat

***

@Lombok, pulau seribu masjid

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/75210-hukum-menggabungkan-puasa-qadha-ramadhan-dengan-puasa-syawal.html

Tata Cara Puasa Syawal

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.
Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 2 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/17782-tata-cara-puasa-syawal.html

Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal, padahal dia masih memiliki kewajiban qadha’ (membayar hutang puasa Ramadan)?

Jawaban:

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadan, kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim no. 1164)

Jika seseorang masih memiliki kewajiban qadha’ puasa Ramadan, kemudian dia berpuasa enam hari di bulan Syawal, apakah dia berpuasa Syawal sebelum atau sesudah puasa Ramadan?

Misalnya, seseorang berpuasa bulan Ramadan selama dua puluh empat hari, dan dia masih memiliki hutang enam hari. Jika dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum membayar hutang puasa Ramadan, maka tidak bisa dikatakan, “Sesungguhnya dia telah berpuasa di bulan Ramadan, kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal.” Karena tidaklah dikatakan “berpuasa di bulan Ramadan” kecuali bagi orang yang telah menyempurnakannya (berpuasa sebulan penuh dan tidak memiliki hutang puasa, pent.). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan ini, maka bagi orang yang berpuasa Syawal sedangkan dia masih memiliki hutang puasa Ramadan, orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Masalah ini bukanlah termasuk dalam perselisihan pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama tentang apakah diperbolehkan seseorang berpuasa sunah sedangkan dia masih memiliki kewajiban qadha’ Ramadan? Karena perselisihan pendapat ini berkaitan dengan selain puasa sunah Syawal. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ini mengikuti puasa Ramadan. Dan tidak mungkin mendapatkan keutamaan pahalanya kecuali bagi mereka yang telah menyempurnakan puasa Ramadan.

Baca Juga:

***

@Rumah Kasongan, 27 Ramadan 1443/ 29 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75036-puasa-syawal-ketika-masih-memiliki-hutang-ramadan.html

Hukum Menggabung Puasa Qadha Ramadhan dan Puasa Sunah Syawal

Puasa Ramadhan hukumnya wajib. Bila tak dikerjakan, maka wajib diganti atau membayar fidyah. Sedangkan puasa Syawal hukumnya sunah. Muncul persoalan, bagaimana hukum menggabung puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah Syawal?

Puasa enam hari di Syawal hukumnya adalah sunah. Dalam hadis Nabi terdapat pelbagai penjelasan terkait keutamaan puasa Syawal. Salah satunya hadis riwayat Imam Muslim. Nabi bersabda;

عن أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya; Dari Sahabat Nabi, Musa al Anshari Semoga Allah senantiasa meridhainya, Rasullulah SAW bersabda; “barang siapa saja yang berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti pahala berpuasa selama satu tahun” (HR. Muslim).

Ada pun persoalan terkait menggabung puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah Syawal keterangannya sebagai berikut. Menurut Syekh Dr. Ali Jumah boleh hukumnya menggabung niat puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah syawal. Lebih lanjut, orang yang meniatkan puasa qadha digabungkan dengan puasa sunah, maka akan mendapat dua pahala, yakni atas puasa qadha Ramadhan dan sunah syawal.

Syekh Ali Jumah menjelaskan;

أما عن الجمع بين نية صوم هذه الأيام الستة أو بعضها مع أيام القضاء في شهر شوال، فيجوز للمسلم أن ينوي نية صوم النافلة مع نية صوم الفرض، فيحصل المسلم بذلك على الأجرين

Artinya; ada pun menggabungkan niat puasa sunah enam Syawal—seluruhnya atau sebagiannya— dengan puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan di Bulan Ramadhan, maka boleh hukumnya bagi setiap muslim bahwa ia berniat puasa sunah berserta puasa fardu. Maka siapa yang mengamalkan demikian mendapatkan dua pahala.

Lebih lanjut, menurut Syekh Ali Jumah, perempuan yang berhalangan puasa pada saat Ramadhan, sebab haid, nifas, dan sebagainya, maka ia boleh menggantinya di bulan Syawal. Perempuan tersebut akan mendapatkan pahala Syawal. Pasalnya, puasa itu dikerjakan di bulan Syawal. Ia berkata;

 فيجوز للمرأة المسلمة أن تقضي ما فاتها من صوم رمضان في شهر شوال، وتكتفي به عن صيام الست من شوال، ويحصل لها ثوابها؛ لكون هذا الصيام قد وقع في شهر شوال

Artinya; maka boleh bagi wanita muslimah mengganti puasa yang tertinggal dari bulan ramadhan di bulan syawal, maka memadai dengan puasa qadha itu dari puasa sunah enam syawal, dan ia akan memperoleh pahala syawal, karena puasa itu dikerjakan pada pada bulan Syawal.

Penjelasan serupa terdapat dalam kitab al Asbahu wa al Nazhair, karya Imam Jalaluddin as Suyuthi. Imam Suyuthi mengatakan barang siapa yang melaksanakan puasa pada hari A’rafah, misalnya puasa wajib qadha, nazar, atau kafarat (sebab bersetubuh di bulan Ramadhan), kemudian ia meniatkan besertanya puasa sunah A’rafah, maka puasa tersebut sah dan mendapatkan pahala.

ولو صام في يوم عرفة مثلًا قضاء أو نذرًا أو كفارة ونوى معه الصوم عن عرفة، فأفتى البارزي بالصحة والحصول عنهما. قال: كذا إن أطلق. فألحقه بمسألة التحية

Artinya; Jikalau seorang puasa pada hari Arafah seumpamanya— ia melaksanakan puasa—, qadha, nazar, atau kafarat, kemudian ia berniat besertanya puasa Arafah, maka memfatwakan Al Barizi tentang sah dan memperoleh pahala ia dari dua puasa tersebut. Ia berkata; demikian jika secara mutlak. Al Barizi mendasarkan pendapatnya dengan masalah bolehnya menggabung shalat tahiyat masjid.

Meski boleh menggabung puasa sunah dan puasa wajib, maka menurut Syekh Ali Jumah lebih utama dikerjakan dulu qadha puasa Ramadhan, kemudian baru dikerjakan puasa enam Syawal. Artinya, tidak digabung, tetapi dipisah pengerjaannya. Itu akan memperoleh pahala puasa yang sempurna. Sedangkan puasa dengan menggabung qadha dan puasa sunah Syawal membuat pahala puasa tersebut tak sempurna atau berkurang.

أن الأكمل والأفضل أن يصوم المسلم أو المسلمة القضاء أولًا ثم الست من شوال، أو الست من شوال أولًا، ثم القضاء؛ لأن حصول الثواب بالجمع لا يعني حصول كامل الثواب

Artinya; sesungguhnya yang sempurna dan utama adalah bahwa seorang muslim atau muslimah melaksanakan puasa qadha terlebih dahulu, kemudian baru melaksanakan puasa sunah enam Syawal. Atau bisa juga puasa Syawal terlebih dahulu, baru kemudian dikerjakan qadha (artinya; dipisah antara qadha dan sunah). Pasalnya, pahala mengerjakan puasa dengan digabung antara qadha dan sunah Syawal tidak memperoleh pahala yang sempurna.

Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat untuk kita semua.

BINCANG SYARIAH

Membayar Qadha Puasa Ramadhan Dulu atau Puasa Syawal Dulu?

Mayoritas muslimah pasti memiliki hutang puasa Ramadhan, sebab perempuan mengalami haid yang merupakan siklus bulanan yang alami terjadi pada tubuh perempuan. Pertanyaannya, membayar qadha puasa Ramadhan dulu atau puasa Syawal dulu?

Dalam sebuah hadis yang diriyawatkan dari Abi Ayyub al Anshari ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian diiringi enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan ia melaksanakan puasa satu tahun.” (HR. Imam Muslim).

Hadis ini mengindikasikan bahwa syarat mendapatkan ganjaran seperti puasa satu tahun adalah pertama berpuasa selama bulan Ramadhan penuh dan kedua puasa enam hari di bulan Syawwal.

Syarat yang pertama ini menyisakan tanya bagi orang yang memiliki hutang puasa, apakah boleh seseorang yang berhutang puasa Ramadhan melakukan puasa sunnah syawal ? Ataukah ia harus mengqadha’ hutang puasa Ramdhan dulu setelah itu puasa syawal ?

Di dalam kitab al-Syarqawi ala at-Tahrīr karya Imam as-Syarqawi disebutkan bahwa jika seseorang itu memiliki hutang puasa ketika Ramadhan karena adanya udzur dan ingin puasa syawwal maka boleh, tetapi ia tidak mendapatkan pahala sebagaimana hadis nabi saw. di atas, yakni disyaratkannya puasa syawal setelah melakukan puasa Ramadhan.

Tetapi jika ia memiliki hutang puasanya tidak karena udzur syar’i (yakni karena adanya pelanggaran yang ia lakukan), maka ia haram berpuasa sunnah tersebut. Karena ia mengakhirkan qadha’ yang seharusnya dilaksanakan segera.

Oleh karena itu tidak sah jika dilakukan sebelum menqadha’ puasa Ramadhan. Maka seharusnya ia mengqadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dan mengakhirkan puasa sunnah enam hari setelah mengqadha’. Sehingga ia akan mendapatkan pahala yang sempurna, yakni menyempurnakan hutang puasa Ramadhannya dan pahala puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal.

Sedangkan Imam Abdurrahman Ba’lawi dalam Bughyatul Mustarsyidin mensunnahkan secara mutlak puasa sunnah enam hari di bulan Syawal meskipun ia memiliki hutang puasa Ramadhan.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, imam Abu Makhramah justru menganggap tidak sahnya puasa enam hari di bulan Syawwal bagi orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan.

Berkenaan dengan masalah orang yang memiliki hutang puasa dan ingin melaksanakan puasa sunnah syawwal, maka ulama’-ulama’ fiqh telah memiliki solusinya. Yakni ia boleh meniatkan puasa qadha’/membayar hutang puasa Ramadhan disertai dengan niat puasa syawwal sekaligus.

Hal ini dianggap sah oleh ulama’ fiqh sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’inHasyiyatu al-Bajuri (syarh fathul qarib), dan al-Asybah wa an-Nazhair.

Bahkan Imam as-Syarqawi dalam kitab as-Syarqawi ‘ala at-Tahrir mengatakan bahwa orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan (puasa qadha’), ia dapat melaksanakan puasa sunnat enam hari di bulan syawwal ini dengan niat puasa qadha’, puasa nadzar atau puasa sunnah lainnya.

Maka ia berarti telah mendapatkan balasan puasa enam hari di bulan syawal, meskipun orang yang melaksanakan tersebut tidak meniatkan puasa enam hari di bulan syawal. Karena tujuannya adalah adanya puasa enam hari di bulan syawal telah tercapai.

Dengan demikian, solusi bagi orang yang sangat ingin mendapatkan pahala puasa sunnah enam hari di bulan syawwal, tetapi masih memiliki tanggungan hutang puasa Ramadhan adalah ia boleh meniatkan puasa qadha’ Ramadhan dan puasa syawwal sekaligus, karena diperbolehkannya menggabungkan niat puasa wajib dengan puasa sunnah. Atau ia meniatkan puasa qadha’ saja tanpa niat puasa syawal, dan ini hanyalah suatu kemudahan.

Namun jika ia ingin mendapatkan pahala yang sempurna maka afdhalnya adalah ia melaksanakan qadha’ puasa terlebih dahulu, lalu ia melanjutkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Wallahu A’lam bis Showab.

BINCANG SYARIAH

Saat Bertamu Lebaran, Bagaimana Hukum Membatalkan Puasa Syawal?

Puasa sunah di bulan syawal merupakan puasa sunah yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. atau disebut juga sebagai sunah muakkad (yang dikukuhkan kesunahannya). Puasa ini dilaksanakan sebanyak 6 hari dan sebaiknya dilaksanakan sejak tanggal 2 hingga 7 syawal agar berjarak tidak terlalu jauh dengan puasa Ramadhan sehingga fisik kita khususnya perut bisa beradaptasi dengan baik. Bagaimana hukum membatalkan puasa syawal saat kita bertamu di awal-awal bulan Syawal yang masih momen lebaran?

Permasalahannya adalah, di awal-awal bulan syawal, biasanya banyak diagendakan acara bertamu pada keluarga, sahabat maupun kolega. Baik dalam rangka saling bermaafan ataupun demi mempererat tali silaturrahim. Bertamu atau silaturrahim ini tentu merupakan kegiatan yang sangat baik menurut pandangan syariat Islam dan bahkan bisa memberikan keberkahan bagi kedua belah pihak.

Pada momen bertamu tersebut biasanya tuan rumah akan mensuguhkan hidangan kepada kita dalam rangka ikram al-dlaif (penghormatan terhadap tamu). Disinilah terjadi dilema. Hendak dimakan maka batallah puasa, tak dimakan khawatir menyakiti hati sang tuan rumah.

Syekh Zainudin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in memberikan solusi atas permasalahan ini dengan pernyataan beliau:

يندب الأكل في صوم نفل ولو مؤكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى

Artinya: “Disunahkan makan (saat bertamu) ketika sedang berpuasa sunah meskipun sunah muakkad untuk menyenangkan pemilik makanan, bila mempertahankan puasa memberatkan bagi tuan rumah, meskipun sudah berada di akhir waktu siang karena adanya perintah untuk berbuka. Ia akan diberi pahala atas puasa yang telah lewat dan sunah menggantinya di hari yang lain. Namun bila mempertahankan berpuasa tidak memberatkan bagi tuan rumah maka tidak disunahkan berbuka, bahkan lebih utama mempertahankannya.”

Dari pernyataan Syekh Zainudin diatas kita bisa memahami bahwa apabila kita tidak memakan hidangan akan membuat tuan rumah bersusah hati, maka hukum membatalkan puasa syawal itu disunnahkan. Misalkan ketika tuan rumah sudah susah payah memasakkan atau membuatkan makanan untuk kita, dimana apabila kita tidak memakannya akan berpotensi membuat tuan rumah kecewa, maka dalam hal ini sebaiknya kita batalkan saja puasa kita.

Hal ini berlaku pada setiap jenis puasa sunah termasuk puasa sunah muakkad seperti puasa syawal. Tidak perlu juga khawatir bahwa pahala kita akan hilang, karena dalam lanjutan keterangannya, Syekh Zainudin berkata bahwa Allah tetap akan memberikan pahala terhadap orang tersebut. Semisal ia batal di jam 2 siang karena makan hidangan suguhan, maka Allah tetap akan memberinya pahala puasa sejak subuh hingga jam 2 tersebut.

Berikutnya, apabila kita membatalkan puasa, kita disunahkan untuk mengganti puasa tersebut di hari yang lain. Semisal di tanggal 2 kita sudah niat puasa syawal namun batal, maka kita disunahkan untuk menggantinya di tanggal 8.

Sebaliknya, apabila dirasa bahwa tuan rumah tidak akan bersusah hati jika kita tidak makan, maka sebaiknya kita tidak usah membatalkan puasa kita dan sampaikan dengan bahasa yang baik kepada tuan rumah bahwa kita sedang berpuasa.

Pernyataan serupa juga bisa kita temukan dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

فإن كان هناك عذر كمساعدة ضيف في الأكل إذا عز عليه امتناع مضيفه منه، أو عكسه فلا يكره الخروج منه، بل يستحب..أما إذا لم يعز على أحدهما امتناع الآخر من ذلك، فالأفضل عدم خروجه منه، كما في المجموع

Artinya: Jika (dalkam membatalkan puasa tersebut) ada udzur, seperti menemani tamu makan jika ia tersinggung bila tuan rumahnya tidak makan atau sebaliknya, maka tidak makruh bahkan dianjurkan membatalkan puasa. Adapun jika tidak tersinggung bila salah satunya menolak untuk makan, maka lebih utama tidak membatalkan puasa sunnah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH