Alquran Bersumpah Atas Nama Dewi Pertiwi?

Oleh: Menachem Ali
, Dosen Philology di Universitas Airlangga

Saya baru saja memberikan tausiyah/ceramah kepada para jamaah berkaitan dengan tema: “Quran terjemah Bahasa Hindi dan Islam di Asia Tenggara.” Hasilnya mengagetkan, pada forum tanya jawab, ternyata banyak jamaah yang punya nama berbau Sanskrit: Indra, Brama, Wisnu, Surya. Mereka Muslim, dan mereka bertanya; apa perlu namanya diganti?

Saya menjawab dengan jawaban yang termaktub dalam Quran saja. Berpedoman pada Quran terjemahan bahasa Hindi (India) dan Quran terjemahan bahasa Benggali (Bangladesh), keduanya terbitan  ‘Negeri Salafi’ Saudi Arabia, saya mengatakan bahwa dalam Quran terjemahan bahasa Hindi dan Benggali, ternyata “petir” disebut “Indra”, “matahari” disebut “Surya”, “bulan” disebut “Candra”, maka ini bukan berarti nama para jamaah bernuansa syirik semua.

Ini juga bukan berarti penyembah dewa Indra (dewa Petir), penyembah dewa Surya (dewa Matahari), dan penyembah dewi Candra (dewi bulan). Istri saya juga bernama Dewi Utami, bukan berarti nama istri saya berbau kesyirikan, meski namanya DEWI. Semua itu sekedar makna generic alias etimologis, bukan bermakna teologis. Makna teologisnya sudah dibuang. Sama halnya, nama Qamarun, Syamsun dan lainnya.

Meskipun itu semua istilah Arab, bukan berarti yang empunya nama itu musyrik, karena hanya sekedar makna etimologis, bukan makna teologis. Bila dimaknai teologis hasilnya sama saja, penyembah dewi Al-Qamar (dewi Bulan), penyembah dewa Al-Syams (dewa Matahari). Misalnya, bukankah ada nama Arab tapi mengandung kesyirikan? Abdus Syams (hamba dewa Matahari). Ini musyrik. Sebaliknya, kalau namanya Syamsul ‘Arifin namanya ngak perlu diganti meskipun ada unsur Syams, tetapi bukan berarti penyembah dewa Al-Syams.

Dalam Quran terjemahan  bahasa Benggali (Bangladesh), Muslim Bangladesh kalau menyebut “bumi” juga menggunakan sebutan/nama “prthiwi.” Apakah mereka menyembah Dewi Prthiwi? Apakah Quran terjemahan Benggali terbitan lembaga kerajaan Saudi Arabia juga mengakui dan berkeyakinan adanya tuhan selain ALLAH yakni Dewi Prthiwi? Sebab والارض ( wal ardh ) diterjemahkan “demi Prthiwi.”

Apakah ulama Saudi mengajarkan kesyirikan karena bersumpah demi dewi Pertiwi? Tentu tidak. Silakan baca teks bahasa Benggali yang saya tunjuk pada gambar tersebut.

Hal ini penting dibahas karena sebelumnya ada wacana yang sudah viral dan membuat umat bingung. Saya memberikan solusi agar mereka tidak bingung dan resah sesuai dalil naqli dan ‘aqli. Ini menyebabkan kegaduhan bagi warga Muhammadiyah pada khususnya, dan umat Islam di Indonesia pada umumnya.

Wacana yang salah dan viral harus diluruskan dengan wacana pembanding dengan saling menyodorkan data yang lebih shahih dan valid. Wacana kalau dibiarkan liar tanpa ada wacana pembanding, pasti hal itu akan menimbulkan berbagi kegaduhan yang berkelanjutan di antara umat Islam. Biarlah kita semakin bijak dalam mewacanakan sesuatu di ruang publik secara ilmiah dan bertanggung jawab.

Silakan Anda baca sendiri teks Quran terjemahan Benggali (Bangladesh) terbitan Saudi Arabia tersebut. Teks sudah saya tunjuk dengan tangan saya sesuai gambar. Itu bukti shahih terhadap sebuah data yang berdalil. Apakah Anda akan mengatakan bahwa semua Muslim di Bangladesh menyembah dewa Surya dan dewi Candra serta dewi Pertiwi karena Quran terjamahan Benggali memakai istilah Surya, Prthiwi dan Candra?

Janganlah Anda fanatik dan kultus individu pada sesuatu tanpa dalil. Saya berhujjah memakai dalil dan data resmi dari teks terbitan lembaga Salafi yang diakui kredibiliasnya oleh para ulama kerajaan Saudi Arabia. Bagaimanapun, upaya pengalihbahasaan sebuah kitab, termasuk penerjemahan kitab suci Quran di Saudi Arabia tentu bukan sebuah pekerjaan perorangan. Hal tersebut merupakan sebuah proyek panjang sebuah tim ahli yang pakar bahasa Arab dan bahasa terjemahan.

Apalagi proses penerjemahan Quran memakai standar “tim ahli Saudi Arabia”. Tim Saudi tidak mungkin bekerja secara serampangan, dan tanpa melibatkan masyarakat pengguna bahasa sasaran, termasuk pengguna bahasa Benggali, dan pengguna bahasa Hindi.

Wacana pembanding yang saya tulis ini sangat urgen untuk meluruskan wacana sebelumnya yang telah viral. Bila wacana yang viral itu dibiarkan tanpa ada upaya kritik, maka dikhawatirkan akan menjadi fatwa/ rujukan umat “zaman now.” Fatwa populis ini berdampak pada upaya untuk “menghakimi” orang lain tanpa dasar, dan hanya berdasarkan pada asumsi tanpa landasan keilmuan yang terverifikasi validitas datanya. Bila fatwa populis itu hanya berkaitan dengan soal fiqh, misalnya sekedar bagaimana meluruskan tangan saat ber-i’tidal maka saya kira ini tidak ada masalah.

Namun, fatwa populis yang lagi viral tersebut menyentuh tataran aqidah, antara Tauhid dan Syirik. Apakah Anda bisa membayangkan, berapa juta orang bernama “SRI”, “PERTIWI”, “CANDRA”, “SUPARNO”, “SURYA”, “INDRA”, MITRA, yang akan dituduh sebagai “berbau” Hindu, dan akan dipersalahkan oleh para pengikut fatwa populis tersebut, terutama akibat “dosa orang tua” mereka dahulu yang telah memberi nama anak-anak mereka dengan nama dewa-dewi Hindu.

Itulah sebabnya, fatwa populis yang viral tersebut harus diluruskan karena sudah menyentuh soal aqidah, bukan sekedar perbedaan persoalan fiqh semata.

Mewacanakan sesuatu itu boleh saja, asal sesuai dengan bukti yang shahih dan berdalil sesuai standard yang jelas. Bagi saya, penerbitan Quran dari “tim Saudi Arabia” adalah kebenaran dalil yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, termasuk para ustadz lulusan Saudi Arabia.

Semoga kita semakin arif dan bijaksana dalam mewacanakan sesuatu yang bernuansa keagamaan.

KHAZANAH REPUBLIKA