Radio Cawang dan Sholawat Asyghil yang Pernah menjadi Corong Persatuan Umat Islam di Betawi

Cawang dijadikan menjadi nama sebuah stasiun.  Bahkan Radio Tjawang, yang digagas Alm. Drs. H. Thayeb Mohammad Gobel didasari semangat nasionalisme untuk menciptakan integrasi bangsa di awal kemerdekaan

WARGA Jakarta pada umumnya mengenal nama Cawang sebagai salah satu kawasan yang kini secara administratif berada di wilayah Jakarta Timur yang letaknya berada dekat dengan Kampung Melayu.

Namanya pun lebih melekat sejak Cawang dijadikan menjadi nama sebuah stasiun. Para pengguna kereta api yang hilir mudik berpergian turun dan naik dari arah stasiun yang berbeda terbiasa dengan menyebut nama Cawang Atas dan Cawang Bawah.

Nama Cawang juga dikenal orang –khususnya warga Jakarta– sejak di sepanjang jalan itu bermunculan para penjual kompor dan berbagai alat memasak lainnya berbahan logam yang ditempa. Orang-orang pun menyebutnya dengan sebutan Cawang Kompor.

Konon nama Cawang diambil dari nama seorang Letnan Melayu yang bekerja pada seorang Belanda pada Abad 18. Orang-orang dimasa itu memanggilnya Encik Awang yang berarti paman Awang, istilah penyebutan kaum lelaki dalam kekerabatan bangsa Melayu terutama di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia.

Encik Awang bersama Kapiten Wan Abdul Bagus, atasanya yang bekerja pada Belanda itu disebut-sebut pula sebagai pendiri kampung Melayu yang sekarang masuk dalam kecamatan Jatinegara.

Salah satunya yang terkenal di kawasan itu adalah keberadaan Terminal Kampung Melayu, tempat hilir mudiknya angkutan umum yang beroperasi melintasi banyak ruas jalan di Kota Jakarta.

Dari sumber lainnya ada pula yang menyebutkan, nama Cawang berasal dari nama seorang pedagang Tionghoa, Cai Wang Hui yang lolos dari tragedi Geger Pecinan dan mendirikan sebuah kediamannya di sana dan kelak di kemudian hari dikenal orang sebagai daerah Cawang saat ini.

Di masa yang silam, selain ada Wan Kadir yang bernama asli Sayyid Abdul Kadir bin Muhammad Al-Hadad yang terkenal “jago” sebagai ahli “maen pukulan” dan selalu tampil heroik dalam membasmi berbagai bentuk kedzaliman, di masa yang sama pada abad ke-20 di Cawang pernah bermukim Bang Sairin salah seorang pesilat beraliran kebathinan yang kesohor.

Bang Sairin atau ada yang memanggilnya dengan Bapak Cungak, dituduh oleh pemerintah kumpeni Belanda sebagai dalang kerusuhan di daerah Tanggerang pada tahun 1924. Ia juga dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet yang berlangsung sekitar tahun 1916.

Nama Cawang menjadi semakin terkenal ke hampir seluruh pelosok seantaro negeri bahkan sampai ke negara jiran sekalipun, sejak mulai diproduksinya radio transistor nasional pertama di Tanah Air.

Meski terkesan dibuat-dibuat, alat komunikasi yang dinamakan dengan Radio Tjawang yang keberadaan perusahaannya itu memang letak pabriknya berada di daerah Cawang, konon kata Tjawang itu sendiri adalah kependekan dari kata “Tjari Wang”.

Radio Tjawang yang mulai di produksi pada tahun 1950-an ini dapat dikatakan sebagai radio transistor tekhnologi pertama di Indonesia untuk menggantikan radio lama, yang sebelumnya masih menggunakan tabung hampa dan lampu sebagai penanda radio tabung itu akan dinyalakan, orang-orang pada masa itu menyebutnya dengan istilah lampu mata kucing.

Radio Tjawang yang diproduksi sebagai penanda kebangkitan produk radio transistor modern nasional ini menurut pelopornya, Alm. Drs. H. Thayeb Mohammad Gobel didasari oleh semangat nasionalisme-nya yang menginginkan adanya alat komunikasi baru untuk menciptakan integrasi bangsa di awal kemerdekaan.

Bagi warga Jakarta, Keberadaan radio transistor yang dioperasikan menggunakan batu baterai tersebut telah membawa corak baru pada perubahan gaya hidup di masanya. 

Demikian pula dengan siaran Radio As-Syafi’iyah yang mengudara berkat sosok kharismatik Allahyarham KH Abdullah Syafei ulama Betawi sebagai pendirinya pada tahun 1967, melalui radio transistor Tjawang itu pula telah ikut mengudarakan siaran dakwahnya keseluruh pelosok  Jakarta dan sekitarnya, bahkan hingga ke luar daerah, menyiarkan program-program dakwah dan ceramah agama sebagai pedoman bagi umat Islam pada masa itu. 

Sholawat Asyghil atau dikenal luas pula sebagai “Sholawat Betawi”, lantunan pembacan tarhim menjelang beduk megerib, hingga “Mars Panggilan Jihad” yang diciptakan oleh Allahyarham Buya Hamka dan dipopulerkan oleh Allahyarham KH Abdullah Syafei dalam siaran radionya tersebut, semua itu menjadi kenangan indah dan syahdu yang tiada terlukiskan oleh warga Jakarta bersama Radio Tjawang.

“Shalawat Asyghil” yang dahulu amat akrab di telinga kaum muslimin karena sering terdengar dari masjid-masjid dan mushola-mushola menjelang maghrib yang juga pernah menggema dan menjadi trade mark muslimin di Betawi yang berkumandang sepaniang senja lewat Radio Tjawang.

Shalawat hasil gubahan ulama Nusantara ini kembali diperdengarkan dengan memukau di hadapan ribuan pasang mata yang menangis mendengarnya lewat suara syahdu Azam Nur Mukzizat, anak yang lahir tanpa kelopak mata, bersama Majda, Sayyed Hasan Syauqi Alaydrus dan Yasmin Najma dengan iringan komponis Adi MS, saat tampil dalam perhelatan akbar bertajuk 1 Abad NU di Gelora Delta Sidoarjo, Surabaya Jawa Timur.*/Abdullah Abubakar Batarfie, Ketua Pusat Dokumentasi Al-Irsyad Bogor

HIDAYATULLAH