Di Rumah Kita Tarawih

 INILAH ‘ibadah yang pada awalnya tidak secara terus menerus dilaksanakan secara berjama’ah di masjid. Pada mulanya Rasulullah ﷺ shalat di Masjid Nabawi yang berbatasan dengan rumah beliau, lalu banyak yang mengikuti beliau dengan bermakmum di belakangnya. Jumlahnya kian bertambah, hingga pada hari ketiga atau keempat jama’ah semakin banyak, tetapi Rasulullah ﷺ sengaja tidak keluar dari rumahnya untuk memimpin shalat tarawih di masjid.

Marilah sejenak kita ingat hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Dari ‘Aisyah Ummil Mukminin radhiyaLlahu ‘anha, sesungguhnya RasuluLlah ﷺ  pada suatu malam (bulan Ramadhan) shalat di masjid. Lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jama’ah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah ﷺ justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, “Sunguh aku melihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” ‘Aisyah berkata, “Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada keutamaan di dalamnya, tetapi beliau takut kalau-kalau shalat tarawih diwajibkan. Ada kemuliaan yang besar pada ‘ibadah tarawih di bulan Ramadhan, tetapi beliau mengharuskannya setiap malam, tidak pula senantiasa berjama’ah bersama beliau.

Pada riwayat lain, kita mendapati pelajaran penting. Inilah penuturan dari Nu’man bin Basyir radhiyaLlahu anhu. Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah ﷺ pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separo malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. An-Nasa’i, Ahmad dan Al-Hakim).

Apakah para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum tidak melaksanakan qiyamul lail –dalam hal ini tarawih—tatkala tidak berjama’ah dengan Rasulullah  ﷺ ? Sesungguhnya para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum adalah orang yang paling besar kesungguhannya dalam melaksanakan berbagai keutamaan, paling bersemangat pula dalam ‘ibadah. Sedangkan berkenaan dengan qiyamul lail di bulan Ramadhan, RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan qiyam (tarawih atau qiyalmulail) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka diampuni baginya dosa yang telah lampau,” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Di antara para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum juga ada yang melaksanakan shalat tarawih sendiri, atau menjadi makmum di belakang yang lain. Tsa’labah bin Abi Malik Al-Qurazhi radhiyaLlahu ‘anhu berkata:

Suatu malam, di malam Ramadhan, RasuluLlah ﷺ keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang di sebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, “Apa yang sedang mereka lakukan?”

Seseorang menjawab, “Ya RasulaLlah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak ahli membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat dengan shalatnya Ubay (menjadi makmum).”

Beliau lalu bersabda:

قَدْ أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا

“Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.”

Beliau tidak membencinya. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).

Di masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyaLlahu ‘anhu, setelah RasuluLlah ﷺ wafat, para sahabat melaksanakan shalat tarawih secara awza’an. Seperti apakah awza’an itu? Seseorang berdiri menjadi imam shalat tarawih, makmumnya ketika itu 5 – 6 orang, dan di tempat lain di dalam satu masjid juga terdapat satu jama’ah tarawih lainnya. Makmumnya bisa lebih sedikit dari itu, bisa juga lebih banyak. Satu rombongan jama’ah tarawih tidak sampai menyebabkan jama’ah tarawih lainnya terganggu bacaannya, meskipun di masjid yang sama.

Ini berlangsung sampai awal kepemimpinan ‘Umar bin Khaththab radhiyaLlahu ‘anhu, hingga suatu saat di bulan Ramadhan beliau mengumpulkan orang-orang yang shalat tarawih sendiri-sendiri maupun berjama’ah terpencar-pencar dalam beberapa rombongan, menjadi satu jama’ah tarawih.

Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, ia berkata: Aku keluar bersama ‘Umar bin Khattab radhiyaLlahu ‘anhu ke masjid di bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid) orang melaksanakan shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjama’ah. Lalu ‘Umar berkata, “Aku mempunyai pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah satu imam, niscaya itu lebih bagus.”

Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih berjama’ah di belakang satu imam. ‘Umar berkata:

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Senikmat-nikmat (sebaik-baik) bid’ah adalah ini (shalat tarawih berjama’ah).” (HR Bukhari).

Sejak itulah muslimin melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah hingga masa kita sekarang. Dan ini merupakan sesuatu yang baik, sebagaimana para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum juga shalat tarawih berjama’ah di belakang Rasulullah ﷺ pada beberapa malam bulan Ramadhan. Kita juga mendapati riwayat bahwa di antara para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum berjama’ah tarawih di belakang Ubay bin Ka’ab radhiyaLlahu ‘anhu dan tindakan tersebut dibenarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih sendiri.

Jika memperhatikan kembali shalat tarawih di masa Rasulullah ﷺ, maka kita dapati bahwa hanya pada beberapa malam saja selama bulan Ramadhan beliau shalat tarawih di masjid yang kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum di belakangnya. Tetapi shalat tarawih sendirian di rumah secara istiqamah, berpanjang-panjang dalam ruku’ dan sujud, memang lebih berat dibandingkan shalat tarawih berjama’ah. Apalagi jika sedikit sekali yang kita hafal dari Al-Qur’an, lemah pula tekad untuk benar-benar menegakkan malam dengan ketaatan. Ini terasa lebih berat lagi jika selama ini memilih tarawih yang cepat seperti kilat dan mengabaikan tadabbur dari ayat yang dibaca.

Ramadhan kali ini, Allah Ta’ala berikan kesempatan kepada kita untuk belajar menegakkan malam dengan shalat tarawih di rumah imanan wahtisaban (karena iman dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala). Lebih berat memang.

Semoga Allah Ta’ala panjangkan umur kita dan berikan kesempatan kepada kita untuk bertemu bulan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya, mampu menunaikan dengan sepenuh iman serta menegakkan qiyamul lail (tarawih) berjama’ah dengan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Semoga pula Ramadhan kali ini Allah Ta’ala karuniakan kita iman yang kokoh dan melalui Ramadhan dengan ketaatan yang lebih baik. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

HIDAYATULLAH

Panduan Shalat Tarawih di Rumah Saat Wabah Corona

Berikut ini artikel penuh manfaat–insya-Allah–, yaitu panduan shalat tarawih di rumah saat wabah corona.

Shalat tarawih adalah jihad di malam hari

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin melakukan dua jihad pada bulan Ramadhan. Jihad pertama adalah jihad pada diri sendiri di siang hari dengan berpuasa. Sedangkan jihad kedua adalah jihad di malam hari dengan shalat malam. Siapa yang melakukan dua jihad dan menunaikan hak-hak berkaitan dengan keduanya, lalu terus bersabar melakukannya, maka ia akan diberi ganjaran di sisi Allah dengan pahala tanpa batas (tak terhingga).” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 306)

Keutamaan shalat tarawih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 37 dan Muslim, no. 759).

Hukum shalat tarawih

Dalam Matan Abu Syuja diterangkan bahwa shalat sunnah muakkad (selain rawatib yang mengiringi shalat wajib) ada tiga, yakni shalat malam, shalat Dhuha, dan shalat tarawih. Lihat Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar fii Syarh Ghayah Al-Ikhtishar, 1:112.

Kesimpulan, shalat tarawih berarti shalat sunnah muakkad (yang ditekankan).

Shalat tarawih itu bisa berjamaah, bisa sendirian

Imam Nawawi Asy-Syafii dalam Al-Majmu’ (3:363) menyatakan, “Shalat tarawih itu dihukumi sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Shalat tarawih itu dua puluh rakaat dalam madzhab kami. Shalat tersebut bisa dilukan sendirian (munfarid) atau berjamaah.”

Menurut madzhab Syafii, shalat tarawih itu lebih afdal berjamaah. Inilah pendapat yang sahih (ash-shahih). Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa shalat tarawih itu lebih afdal seorang diri (munfarid). Lihat Al-Majmu’ (3:363).

Dalil yang menunjukkan bahwa shalat tarawih masih bisa munfarid adalah hadits berikut.

Dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat ruangan kecil di masjid dari tikar di bulan Ramadhan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di situ beberapa malam hingga orang-orang pun berkumpul kepada beliau. Kemudian pada suatu malam mereka tidak mendengar suara beliau, maka mereka menyangka beliau telah tidur. Sebagian mereka berdehem agar beliau keluar kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا زَالَ بِكُمُ الَّذِى رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ ، حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ ، وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ

Kalian masih melakukan apa yang aku lihat dari sikap kalian. Aku khawatir shalat ini akan diwajibkan bagi kalian. Kalau shalat tarawih diwajibkan, kalian tidak bisa melaksanakan. Hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian karena sesungguhnya shalat seseorang yang terbaik adalah di rumahnya kecuali shalat fardhu.” (HR. Bukhari, no 7290)

Cara mengerjakan shalat tarawih

Menurut ulama Syafiiyah, jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam, dilakukan tiap malam Ramadhan, ada lima kali duduk istirahat. Setiap kali melakukan dua rakaat diniatkan untuk shalat sunnah tarawih atau qiyam Ramadhan.

Seandainya mau dikerjakan empat rakaat salam, empat rakaat salam juga sah. Waktu shalat tarawih adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar Shubuh.

Dalil yang menunjukkan shalat tarawih bisa dengan empat rakaat salam adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat empat rakaat, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang rakaatnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat empat rakaat lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang rakaatnya.” (HR. Bukhari, no. 3569 dan Muslim, no. 73)

Dalil yang menunjukkan shalat malam shalat malam itu dua rakaat salam adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى »

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalat malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk Shubuh, lakukanlah shalat satu rakaat berarti engkau jadikan witir pada shalat yang telah dilakukan.” (HR. Bukhari, no. 990 dan Muslim, no. 749)

Jumlah rakaat shalat tarawih itu tidak dibatasi

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah rakaat tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit rakaat atau dengan rakaat yang banyak.” (At-Tamhid, 21:70)

Shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sebelas rakaat. Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah rakaat dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738)

Yang dipilih menjadi imam

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:413-418), Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily membahas beberapa syarat seseorang jadi imam. Beberapa syarat dari beliau bisa dijadikan ketentuan untuk menjadi imam saat shalat di rumah sebagai berikut:

  1. Shalat imam harus sah dengan memenuhi rukun dan syarat sah shalat.
  2. Imam tidak boleh seorang ummi, sedangkan makmum adalah qari’. Yang dimaksud dengan ummi adalah tidak benar dalam membaca surah Al-Fatihah.
  3. Imam tidak boleh wanita dan makmumnya laki-laki. Yang dibolehkan adalah jika imamnya wanita untuk mengimami jamaah wanita, di mana imam wanita tadi berdiri di tengah jamaah wanita. Imam laki-laki yang bersendirian boleh juga mengimami banyak wnaita atau bersama jamaah laki-laki, posisi jamaah wanita berada di belakang jamaah laki-laki. Ada kisah bahwa Umar pernah mengimami jamaah wanita dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Catatan: Seorang wanita dimakruhkan berdiri di samping laki-laki dalam shalat. Jika itu terjadi, shalat laki-laki dan perempuan itu tidak batal. Begitu pula, seorang laki-laki dimakruhkan shalat dengan wanita non mahram. Makruh di sini adalah makruh tahrim. Namun shalat keduanya tetap sah. Adapun, kalau seorang laki-laki mengimami istri atau wanita yang masih mahram dengannya, tetap sah, tidak makruh.

Sifat mustahab (yang dianjurkan) untuk imam:

  1. Yang didahulukan adalah imam yang fakih (paham hukum shalat) dan yang paling bagus bacaannya.
  2. Jika keduanya sama-sama bagus bacaannya, yang didahulukan adalah yang paling fakih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abu Bakar untuk mengimami shalat, padahal masih ada yang lebih bagus bacaannya dari Abu Bakar dan mereka mengumpulkan Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, dan Abu Zaid.
  3. Hendaklah mendahulukan yang lebih tua. Yang dimaksud dengan lebih tua adalah lebih lama dalam berislam. Jika ada yang lebih tua usia, namun baru masuk Islam; lalu ada yang muda namun berislam sejak lama, yang lebih tua tidak didahulukan. Kecuali kalau keduanya masuk Islamnya bersamaan, yang didahulukan adalah yang lebih tua.

Kesimpulannya, yang dipilih jadi imam di rumah adalah:

  1. Yang betul dalam membaca surah Al-Fatihah.
  2. Imam yang lebih paham hukum shalat lebih didahulukan daripada yang bagus bacaannya. Anggota keluarga yang paham shalat bisa jadi ayahnya atau anaknya yang sekolah di pesantren.

Shalat wanita di rumah

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid mengatakan,

صَلاَةُ المَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي المَسْجِدِ ، سَوَاءٌ الفَرِيْضَةُ أَوْ النَّافِلَةُ ، وَمِنْ ذَلِكَ صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ .

“Shalat wanita di rumahnya lebih afdal daripada di masjid, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, termasuk pula shalat tarawih.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 222751)

Dalam Al-Liqa’ Asy-Syahri, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan,

صَلاَتُهَا التَّراَوِيْحُ فِي البَيْتِ أَفْضَلُ ، لَكِنْ إِذَا كَانَتْ صَلاَتُهَا فِي المَسْجِدِ أَنْشَطُ لَهَا وَأَخْشَعُ لَهَا ، وَتَخْشَى إِنْ صَلَّتْ فِي البَيْتِ أَنْ تُضِيْعَ صَلاَتُهَا ، فَقَدْ يَكُوْنُ المَسْجِدُ هُنَا أَفْضَلُ

“Shalat tarawih di rumah itu lebih afdal bagi muslimah. Namun jika ia shalat di masjid membuatnya lebih semangat dan lebih khusyuk, juga khawatir kalau shalat di rumah akan lalai dari shalat, dalam kondisi ini, shalat di masjid lebih afdal.”

Membaca Al-Qur’an dari mushaf atau dari gawai yang terdapat aplikasi Al-Qur’an saat shalat tarawih

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

إِذَا دَعَتِ الحَاجَةُ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ المُصْحَفِ ؛ لِكَوْنِهِ إِمَامًا ، أَوِ المَرْأَةُ وَهِيَ تَتَهَجَّدُ بِاللَّيْلِ ، أَوْ الرَّجُلُ وَهُوَ لاَ يَحْفَظُ : فَلَا حَرَجَ فِي ذَلِكَ

“Jika memang dibutuhkan membaca Al-Qur’an dengan mushaf (saat shalat) karena ia menjadi imam atau wanita yang sedang shalat tahajud pada malam hari atau ada yang tidak menghafalkan Al-Qur’an, tidaklah masalah ia membaca dari mushaf.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 8:246)

Imam Bukhari membawakan dalam kitab sahihnya,

وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ

“Aisyah pernah diimami oleh budaknya Dzakwan dan ketika itu ia membaca langsung dari mushaf.”

Ibnu Nashr mengeluarkan hadits-hadits tentang masalah qiyamul lail (shalat malam) dan Ibnu Abu Daud dalam Al-Mashahif dari Az-Zuhri rahimahullah, ia berkata ketika ditanya mengenai hukum shalat sambil membaca dari mushaf, “Kaum muslimin terus menerus melakukan seperti itu sejak zaman Islam dahulu.” Dalam perkataan lain disebutkan, “Orang-orang terbaik di antara kami biasa membaca Al-Qur’an dari mushaf saat shalat.”

Imam Ahmad berkata, “Tidak mengapa mengimami jamaah dan melihat mushaf langsung ketika itu.” Beliau ditanya, “Bagaimana dengan shalat wajib?” Jawab beliau, “Aku tidak pernah melihat untuk shalat wajib seperti itu.” Lihat Masail Shalah Al-Lail, hlm. 54-55.

Menutup shalat malam dengan shalat witir

Kita disunnahkan menutup shalat malam dengan shalat witir (rakaat ganjil) sebagaimana disebutkan dalam hadits,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.”  (HR. Bukhari, no. 998 dan Muslim, no. 751)

Jika memilih shalat witir tiga rakaat, bisa dilakukan dengan cara dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam, atau tiga rakaat sekaligus salam.

Dalilnya:

1- Mengerjakan tiga rakaat dengan pola 2 – 1 (dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara rakaat yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6: 83. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2- Mengerjakan tiga rakaat sekaligus lalu salam

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga rakaat sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat terakhir.” (HR. Al Baihaqi 3: 28)

Sudah tarawih, malamnya shalat tahajud lagi

Seorang muslim masih boleh menambah shalat malam setelah tarawih karena jumlah rakaat shalat malam tidak ada batasannya. Yang penting tidak ada dua witir dalam satu malam. Dari Thalq bin ‘Ali, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi, no. 470; Abu Daud, no. 1439, An-Nasa-i, no. 1679. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Masih bolehnya lagi menambah rakaat setelah shalat witir, dalilnya berikut ini.

‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 rakaat (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat delapan rakaat kemudian beliau berwitir (dengan satu rakaat). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua rakaat sambil duduk. Jika ingin melakukan rukuk, beliau berdiri dari rukuknya dan beliau membungkukkan badan untuk rukuk. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Muslim, no. 738)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Dua rakaat setelah witir itu tanda bahwa masih bolehnya dua rakaat setelah witir dan jika seseorang telah mengerjakan shalat witir bukan berarti tidak boleh lagi mengerjakan shalat sunnah sesudahnya. Adapun hadits di atas “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir”, yang dimaksud menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam hanyalah sunnah (bukan wajib). Artinya, dua rakaat sesudah witir masih boleh dikerjakan.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 322-323).

Ada qunut witir

Qunut witir disunnahkan ketika separuh kedua dari bulan Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari sebagian sahabat Muhammad—salah seorang perawi–, Ubay bin Ka’ab mengimami jamaah di bulan Ramadhan dan ia membaca qunut pada separuh akhir dari Ramadhan. (HR. Abu Daud, no. 1428, hadits ini didhaifkan Syaikh Al-Albani).

Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafiiyah dan ada perkataan dari Imam Ahmad mengenai hal ini. Ketika Abu Daud menanyakan pada Imam Ahmad, “Apakah qunut itu sepanjang?” “Jika engkau mau”, jawab Imam Ahmad. Abu Daud bertanya lagi, “Apa pendapat yang engkau pilih?” Jawab Imam Ahmad, “Adapun saya tidaklah berqunut kecuali setelah pertengahan Ramadhan. Namun jika aku bermakmum di belakang imam lain dan ia berqunut, maka aku pun mengikutinya.” (Masail Ahmad li Abi Daud, 66). Mereka pun berdalil tentang riwayat dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih (Al-Mushannaf, 2:98).

Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu

اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“ALLAHUMMAHDIINI FIIMAN HADAIT, WA’AAFINI FIIMAN ‘AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WABAARIK LII FIIMA A’THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA TAQDHI WALAA YUQDHO ‘ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA RABBANA WATA’AALAIT.” (Artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasai, no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Membaca doa setelah witir

Ada dua doa yang bisa diamalkan:

[1] Dari Ubay bin Ka’ab; ia berkata,

فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, beliau mengucapkan, ‘SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS’ sebanyak tiga kali; ketika bacaan yang ketiga, beliau memanjangkan suaranya, lalu beliau mengucapkan, ‘ROBBIL MALAA-IKATI WAR RUUH.’” HR. As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, 3:40 dan Sunan Ad-Daruquthni, 4: 371. Tambahan “Rabbil malaa-ikati war ruuh” adalah tambahan maqbulah yang diterima.

[2]

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BI RIDHOOKA MIN SAKHOTIK WA BI MU’AAFAATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A’UUDZU BIKA MINKA LAA UH-SHII TSANAA-AN ‘ALAIK, ANTA KAMAA ATSNAITA ‘ALAA NAFSIK.” (Dibaca 1 kali)

Artinya: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan untuk diri-Mu sendiri. (HR. Abu Daud, no. 1427; At-Tirmidzi, no. 3566; An-Nasa’i, no. 1748; dan Ibnu Majah, no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Berniat puasa pada malam hari

Niat berarti al-qashdu, keinginan. Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.

Muhammad Al-Khatib berkata,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلاَ تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا وَلاَ يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat.” (Al-Iqna’, 1:404).

Madzhab Syafii menganjurkan untuk melafazhkan niat di lisan bersama dengan niat dalam hati. Niat sudah dianggap sah dengan aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk berpuasa seperti bersahur untuk puasa atau menghalangi dirinya untuk makan, minum, dan jimak khawatir terbit fajar. Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:173.

Dalil niat harus ada pada malam hari adalah hadits dari Hafshah—Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha–, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no. 2454. Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini).

Shalat tarawih cukup di rumah saja saat pandemi corona karena resiko berkumpulnya orang banyak akan mudah terjangkiti virus

Hal ini menimbang kaedah fikih,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”

دَرْأُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ

“Menolak kerusakan didahulukan daripada mencari kemaslahatan.”

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ

“Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.”

Orang yang punya uzur tetap mendapat pahala seperti keadaannya tatkala tidak ada uzur

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Kesimpulannya, kalau kebiasannya adalah shalat tarawih di masjid saat tidak pandemi, pahala tersebut bisa diraih saat ini walau shalat tarawih di rumah saja.

Ringkasan panduan shalat tarawih saat pandemi corona

  1. Hukum shalat tarawih di bulan Ramadhan adalah sunnah muakkad. Shalat yang penuh keutamaan ini jangan sampai ditinggalkan walaupun saat ini melaksanakannya di rumah saja karena adanya mudarat jika kumpul bersama di masjid.
  2. Waktu shalat tarawih adalah antara waktu shalat Isya hingga terbit fajar Shubuh, bisa dilakukan pada awal malam, maupun akhir malam (sepertiga malam terakhir) yaitu menjelang sahur.
  3. Shalat tarawih bisa dilakukan dengan rakaat yang sedikit atau banyak. Yang tepat, jumlah rakaat shalat tarawih tidak dibatasi. Kalau biasa merutinkan sebelas rakaat, baiknya di rumah dijaga dengan sebelas rakaat.
  4. Shalat tarawih dilakukan dengan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Shalat tarawih bisa pula dilakukan dengan empat rakaat salam, empat rakaat salam sebagaimana pendukungnya dalam hadits Aisyah.
  5. Shalat tarawih bisa dilakukan berjamaah bersama keluarga, atau bisa seorang diri di rumah, tergantung mana yang dinilai maslahat.
  6. Yang menjadi imam adalah yang paham hukum shalat dan bagus bacaannya. Yang dipilih wajib adalah yang benar dalam membaca surah Al-Fatihah, walau dengan keterbatasan hafalan surah lainnya. Imam bisa dipilih ayah, kakek, atau anak laki-laki yang sudah pantas jadi imam shalat.
  7. Wanita muslimah tidak disyaratkan untuk berjamaah dalam tarawih, bisa shalat sendirian di dalam kamarnya. Kalau ia merasa kurang semangat, kurang khusyuk, atau lalai dari shalat, ia boleh shalat berjamaah bersama keluarga di rumah.
  8. Seorang imam boleh shalat tarawih sambil memegang mushaf, bisa pula dengan gawainya (gadget-nya) selama gerakannya tidak terlalu banyak dan demi kemaslahatan shalat.
  9. Shalat malam ditutup dengan shalat witir, bisa memilih tiga rakaat. Shalat witir tiga rakaat dapat dilakukan dengan dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam, atau bisa pula tiga rakaat sekaligus salam.
  10. Jika sudah shalat tarawih pada awal malam, bisa juga mengerjakan shalat tahajud setelah bangun tidur, asalkan tidak menjadikan dua witir dalam satu malam.
  11. Ada syariat qunut witir pada rakaat terakhir bakda rukuk. Dalam madzhab Syafii, qunut witir dibaca pada separuh kedua dari bulan Ramadhan. Bacaan qunut witir adalah: ALLAHUMMAHDIINI FIIMAN HADAIT, WA’AAFINI FIIMAN ‘AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WABAARIK LII FIIMA A’THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA TAQDHI WALAA YUQDHO ‘ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA RABBANA WATA’AALAIT. Kalau shalatnya berjamaah, bisa diubah dengan kata ganti jamak, contohnya: ALLAHUMMAHDINAA, dst.
  12. Tidak ada bacaan khusus antara duduk shalat tarawih, juga ketika beralih dari shalat tarawih ke shalat witir. Yang ada tuntunan adalah bacaan setelah shalat witir, yakni: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, ROBBIL MALAA-IKATI WAR RUUH, lalu dilanjutkan bacaan: ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BI RIDHOOKA MIN SAKHOTIK WA BI MU’AAFAATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A’UUDZU BIKA MINKA LAA UH-SHII TSANAA-AN ‘ALAIK, ANTA KAMAA ATSNAITA ‘ALAA NAFSIK.
  13. Yang mau berpuasa esok hari harus berniat pada malam hari sebelum Shubuh. Niat puasa dalam hati sudah teranggap berdasarkan kesepakatan para ulama. Arti niat adalah keinginan puasa. Niat ini harus ada tiap malam dan diniatkan berpuasa wajib Ramadhan.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

  1. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
  2. Hasyiyah Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar (Ibnu Qasim Al-Ghazi). Sa’aduddin bin Muhammad Al-Kubi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  3. Lathaif Al-Ma’arif fiimaa li Mawasim Al-‘Aami min Al-Wazhaif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
  4. Masail Shalah Al-Lail. Cetakan tahun 1432 H. Dr. Muhammad bin Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz Al Furaih. Taqdim: Syaikh Sholeh Al Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. https://islamqa.info/ar/answers/222751/كيف-تصلي-المراة-صلاة-التراويح-في-بيتها
  6. https://islamqa.info/ar/answers/38922/هل-يجوز-ان-يصلي-التراويح-في-البيت
  7. Beberapa tulisan Rumaysho.Com

Diselesaikan pada waktu Maghrib, 21 April 2020, 27 Syakban 1441 H di Darush Sholihin, pada Selasa sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24086-panduan-shalat-tarawih-di-rumah-saat-wabah-corona.html