I’tikaf Bagi Wanita

Wanita dianjurkan untuk meningkatkan intensitas ibadah pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan untuk mencari kebaikan dan meraih keutamaan lailatul qadr, sama seperti laki-laki. Bahkan, pada 10 malam terakhir ini, laki-laki dianjurkan membangunkan istrinya untuk melaksanakan shalat malam. ‘Aisyah radhiyallahu ’anhaberkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Jika masuk 10 hari terakhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengencangkan kainnya, menghidupkan malam, dan membangunkan istri (keluarga)nya.” (HR. Al-Bukhari No. 2024, Muslim No. 1174) Tujuannya untuk meraih keutamaan malam lailatul qadr, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تحِرُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadr pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari No. 2017, Muslim No. 1169)

مَنْ قَامَ لَيْلَة الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمّ مِنْ ذَنْبِكَ

Barangsiapa yang shalat malam pada malam lailatul qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari No. 2014, Muslim No. 760)

Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita

Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan bahwa ketika Rasulullah menyampaikan akan ber-i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, ia segera meminta izin kepada beliau untuk ber-i’tikaf dan Rasulullah shallaallahu ’alahi wa sallam mengizinkannya. (HR. Al-Bukhari no. 2045 dan Muslim no. 1172)

Dalam riwayat lain, ‘Aisyah berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu ber-i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, istri-istri beliaupun melakukan i’tikaf.” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)

Berikut ini penjelasan tentang beberapa hukum yang berkaitan dengan i’tikaf bagi wanita :

  1. Harus dengan izin suami

Wanita tidak boleh ber-i’tikaf, kecuali setelah mendapat izin dari suaminya. Dalam riwayat di atas dijelaskan bahwa ‘Aisyah, Hafshah, dan Zainab meminta izin kepada Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam untuk melakukan i’tikaf.

  1. Ketika suami meminta istri membatalkan i’tikaf-nya

Apabila i’tikaf yang dilakukan istrinya adalah i’tikaf sunnah, maka suaminya boleh memintanya membatalkan i’tikaf, tetapi jika yang dikerjakan adalah i’tikaf wajib, seperti i’tikafnazar yang dinazarkan dilakukan secara berturut-turut (i’tikaf pada 10 hari terakhir), dan sebelumnya mendapat izin suami maka suaminya tidak dapat membatalkan i’tikaf-nya. Namun, jika tidak disyaratkan berturut-turut maka suami dapat membatalkan i’tikaf-nya, kemudian menyempurnakan nazarnya dengan ber-i’tikaf di kesempatan yang lain.

  1. I’tikaf hanya boleh dilakukan di dalam masjid

Allah Ta’ala berfirman,

وَأًنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِيْ الْمَسَاجِدِ

Sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf di dalam masjid. Seorang wanita tidak boleh ber-i’tikaf di ruang shalat yang ada di rumahnya (Al-Mughala, 5/193) dan tidak diharuskan mengikuti shalat berjamaah di dalam masjid karena hukum shalat berjamaah tidak wajib baginya (Al-Mughni 3/189).

  1. Wanita yang ber-i’tikaf di masjid harus dalam ruang tertutup

Ketika istri-istri Rasulullah hendak ber-i’tikaf, mereka menyuruh dibuatkan semacam kemah khusus untuknya di dalam masjid. Selain itu, masjid merupakan tempat umum yang selalu didatangi oleh kaum laki-laki dan sebaiknya mereka tidak saling melihat. Jika hendak membuat ruang khusus tersebut maka jangan mengambil tempat shalat kaum laki-laki karena akan memutus shaf dan mempersempit tempat shalat mereka (Al-Mughni 3/191).

  1. Sibuk dengan ketaatan

Selama i’tikaf, dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan berbagai macam ketaatan kepada Allah Ta’ala, seperti shalat, membaca Alquran, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istigfar (memohon ampun), membaca shalawat (yang dicontohkan), berdoa, dan bentuk ketaatan lainnya.

Selama i’tikaf dimakruhkan menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang tidak bermanfaat, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Juga dimakruhkan menahan diri dari berbicara (puasa bicara) dengan anggapan perbuatan ini adalah ibadah yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala (Fiqhus Sunnah 1/404).

  1. Boleh keluar jika mendesak

‘Amrah menceritakan, “Ketika ber-i’tikaf, ‘Aisyah radhiyallahu ’anha pergi ke rumah jika ada keperluan, lalu mengunjungi orang sakit sejenak untuk bertanya tentang keadaannya. Hal ini ia lakukan sambil berlalu tanpa menghentikan langkahnya.” (Mushannaf Abdurrazzaq (no. 8055) dengan sanad yang shahih).

Akan tetapi, jika ia meninggalkan tempat i’tikaf tanpa keperluan yang jelas maka i’tikaf-nya batal.

  1. Berhubungan badan membatalkan i’tikaf

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأًنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِيْ الْمَسَاجِدِ

Dan janganlah mencampuri mereka, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)

Seluruh ulama sepakat, bahwa orang yang sedang ber-i’tikaf tidak boleh bercumbu dengan istrinya, meskipun hanya menciumnya atau selainnya.

  1. Boleh menyentuh suami

Dibolehkan menyentuh suami tanpa disertai syahwat, seperti membasuh kepala, menyisir rambut, atau memberi sesuatu padanya.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memiringkan kepalanya kepadaku ketika beliau sedang tinggal di dalam masjid (i’tikaf), lalu aku menyisir rambutnya, sedangkan aku sendiri ketika itu sedang haid. (HR. Al-Bukhari no. 2029)

  1. Istihadah, boleh i’tikaf

Wanita yang mengalami istihadah boleh ber-i’tikaf jika ia dapat menjaga kebersihan masjid. ‘Aisyah radhiyallahu ’anha meriwayatkan, “Seorang istri Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang sedang istihadah ikut ber-i’tikaf bersama beliau. Ia dapat melihat warna merah dan kuning yang keluar darinya sehingga terkadang kami meletakkan wadah di bawahnya ketika ia sedang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 2037 dan Muslim no. 2476)

  1. Boleh temui suami di tempat i’tikaf

Berdasarkan hadits Shafiyyah, istri Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ia pernah menemui Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau tinggal di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Ia bercakap-cakap beberapa saat dengan beliau lalu beranjak pulang. Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam pun bangkit untuk mengantarnya, hingga ketika sampai di pintu masjid yang berdekatan dengan pintu rumah Ummu Salamah (HR. Al-Bukhari no. 2053 dan Muslim no. 2175)

  1. Tetap boleh dilamar atau dinikahi

Wanita yang sedang melaksanakan i’tikaf boleh dilamar maupun dinikahi, yang terlarang adalah berhubungan badan.

 

Disarikan dari Fiqh Sunnah Wanita hlm. 318-320, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10263-wanita-itikaf-bagaimana-seharusnya.html

20 Ramadhan: Awal Kehancuran Berhala-Berhala Bangsa Arab

Sebagaimana telah diketahui, terjadi persitiwa besar pada tanggal 20 Ramadhan. Peristiwa dibebaskannya Kota Mekah dari syirik dan ahlinya. Tentang hal ini telah kami muat pada artikel 20 Ramadhan: Pembebasan Kota Mekah. Pada tulisan ini, kami akan memuat tentang hancurnya kesyirikan dan simbol-simbolnya di kota suci Mekah.

Setelah Mekah menjadi wilayah Islam pada 20 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membersihkan Ka’bah dari kotoran kesyirikan. Berhala-berhala dibuang dan dihancurkan. Beliau sendiri turun tangan dalam peristiwa ini. Saat menghancurkan berhala-berhala itu beliau membaca ayat:

قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ

Katakanlah: “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi”. [Quran Saba’: 49]

dan ayat:

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. [Quran Al-Isra: 81].

Jumlah berhala yang berada di Ka’bah kala itu adalah 360 berhala. Saat itu, di Ka’bah terdapat gambar Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ishaq dalam keadaan sedang mengundi nasib dengan anak panah. Gambar-gambar itu diwarnai dengan za’faron. Nabi Muhammad tidak mau masuk ke dalam Ka’abah sebelum gambar-gambar itu dikeluarkan. Beliau bersabda, “Semoga Allah memerangi mereka. Ibrahim tidak pernah mengundi nasibnya dengan anak panah.” (HR. al-Bukhari: al-Fath (16/126, hadits No. 4288), dll).

Dalam riwayat lain disebutkan juga terdapat gambar Maryam. Dan juga ditemukan patung merpati yang terbuat dari kayu, beliau pun membuangnya keluar Ka’bah. Setelah Ka’bah dibersihkan, beliau shalat dua rakaat di dalamnya.

Setelah pembersihan Ka’bah, Rasulullah mengirim utusan ke wilayah sekitar Mekah untuk menghancurkan berhala-berhala terbesar milik bangsa Arab. Rasulullah mengirim Khalid bin al-Walid bersama tiga puluh orang lainnya menuju Bathni Nakhlah yang terdapat di Tsaqif. Mereka diamanahi untuk menghancurkan berhala al-Uzza.

Uzza adalah beberapa pohon di daerah Bathni Nakhlah. Sebuah wilayah antara Mekah dan Thaif. Pohon-pohon ini dikelilingi bangunan dan ditutupi kelambu. Dijaga oleh juru kunci. Dan terdapat setan-setan yang berbicara dengan manusia. Orang-orang penggemar kesyirikan menyangka pohon keramat inilah yang berbicara sendiri. Dan Uzza adalah berhala penduduk Mekah dan sekitarnya. Yakni milik bani Mudhar, Quraisy, dan Kinanah. Uzza dihancurkan saat bulan Ramadhan tinggal tersisa lima hari lagi. Khalid menebang pohon hingga rata dengan tanah. Dan membunuh jin wanita yang berbicara dengan manusia, yang menyesatkan itu.

Rasulullah juga mengutus Saad bin Zaid al-Asyhali bersama dua puluh orang lainnya untuk menghancurkan Manah di al-Musyallal. Sebuah tempat dekat Qudaid. Manah adalah sebuah batu besar yang terletak di sebuah wilayah antara Mekah dan Madinah. Berhala ini milik orang-orang Aus, Khazraj, dan Khuza’ah. Penghancuran ini terjadi enam hari sebelum berakhirnya Ramadhan.

Berhala besar lainnya adalah al-Lata (Arab: اللَاتَ). Ia adalah sebuah berhala besar yang berada di ath-Thaif. Berwujud patung yang memiliki relief. Yang dibangun rumah untuknya. Dan ditutupi dengan kelambu. Agar mirip dengan Ka’bah. Di sekeliling al-Lata terdapat teras dan dijaga oleh juru kunci. Untuk menghancurkan berhala ini, Rasulullah mengutus Abu Sufyan bin Harb dan al-Mughirah bin Syu’bah.

Menurut pendapat yang lainnya nama Lata dibaca dengan al-Latta (Arab: اللَاتَّ). Sebuah kata yang berasal dari kata kerja latta – yaluttu (Arab: لَتَّ – يَلُتُّ) yang artinya menumbuk gandum. Sedangkan al-Latta sendiri artinya orang yang menumbuk gandum. Al-Latta adalah seorang laki-laki shaleh yang menumbuk gandum, memasaknya, kemudian menghindangkannya untuk jamaah haji. Saat ia wafat, dibangunlah rumah di atas makamnya. Dibentangkan kelambu pada makam tersebut. Kemudian menjadi sesembahan selain Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Amr bin al-Ash untuk menghancurkan Suwa’. Sebuah berhala milik Hudzail. Berhala-berhala inilah yang Allah sebut dalam firman-Nya,

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ (20)

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” [Quran An-Najm: 19-20].

Dari sini kita mengetahui bahwasanya sesembahan orang-orang musryik jahiliyah itu beragam. Ada yang batu, pohon, kuburan orang shaleh, para nabi, dll. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara penyembah pohon dengan penyembah kuburan orang shaleh. Antara penyembah batu dengan penyembah nabi. Semua dihukumi musyrik oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau perangi mereka dalam Fathu Mekah. Dan beliau hancurkan sesembahan-sesembahan mereka.

Pelajaran lainnya adalah gaya pengagungan orang-orang musyrik jahiliyah dengan yang ada pada zaman ini mirip. Kuburan atau batu atau pohon diberi bangunan dan diberi tirai atau kelambu. Sebagai bentuk sakral dan pengagungan.

Daftar Pustaka:
– Fauzan, Shaleh bin Abdullah. 2006. Syarah al-Qawaid al-Arba’. Kairo: Dar al-Imam Ahmad.
– Ahmad, Mahdi Rizqullah. 2012. as-Sirah an-Nabawiyah fi Dhaui al-Mashadir al-Asliyah, Terj. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Perisai Qur’an.

Read more https://kisahmuslim.com/5954-20-ramadhan-awal-kehancuran-berhala-berhala-bangsa-arab.html

Ramadhan, Bulan untuk Memperbanyak Doa

Ramadhan adalah bulan doa di mana saat ini doa begitu diperkenankan. Jadi perbanyaklah doa memohon setiap hajat kita, baik hajat dunia maupun akhirat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Ibnu Katsir menerangkan bahwa masalah ini disebutkan di sela-sela penyebutan hukum puasa. Ini menunjukkan akan anjuran memperbanyak doa ketika bulan itu sempurna, bahkan diperintahkan memperbanyak doa tersebut di setiap kali berbuka puasa. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 66).

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah salah waktu terkabulnya doa. Namun doa itu mudah diijabahi jika seseorang punya keimanan yang benar.

Ibnu Taimiyah berkata, “Terkabulnya doa itu dikarenakan benarnya i’tiqod, kesempurnaan ketaatan karena di akhir ayat disebutkan, ” dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Majmu’ Al Fatawa, 14: 33-34).

Ramadhan adalah waktu terkabulnya doa dikuatkan lagi dengan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10: 14) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jaami’ul Ahadits, 9: 224)

Tiga waktu yang bisa digunakan untuk memperbanyak doa:

1- Waktu sahur

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758). Imam Nawawi berkata, “Pada waktu itu adalah waktu tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga nikmat semakin sempurna kala itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahur adalah  diijabahi (dikabulkan).” (Fathul Bari, 3: 32).

2- Saat berpuasa

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Kata Imam Nawawi, “Disunnahkan orang yang berpuasa berdoa saat berpuasa dalam urusan akhirat dan dunianya, juga doa yang ia sukai, begitu pula doa kebaikan untuk kaum muslimin.”(Al Majmu’, 6: 273)

3- Ketika berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16: 396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena saat itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194)

Semoga bermanfaat. Semoga Allah memperkenankan doa-doa kita di bulan Ramadhan.

Disusun di Panggang, Gunungkidul @ Pesantren Darush Sholihin, 1 Ramadhan 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/21966-kajian-ramadhan-28-ramadhan-bulan-untuk-memperbanyak-doa.html

Salah Paham Mengenai Bau Mulut Orang yang Berpuasa

Ada sebagian kaum muslimin yang salah paham mengenai hadits “bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada bau misk”.

Mereka beranggapan bahwa bau mulut orang yang berpuasa harus dibiarkan secara total, tidak boleh dinetralkan baunya atau diubah baunya, karena nantinya akan lebih harum daripada minyak wangi misk di sisi Allah. Akibat dari salah paham ini, mereka sengaja membiarkan mulut bau, mereka tidak mau berkumur-kumur, tidak mau gosok gigi bahkan sebagian meyakini semakin bau mulut mereka karena puasa, maka semakin harum di sisi Allah.

 

Pemahaman ini tidak tepat, karena:

  1. Bau mulut orang yang berpuasa bersumber dari uap lambung akibat lambung yang kosong dari makanan, bukan berasal dari mulut secara total
  2. Boleh menggosok gigi atau memakai siwak untuk meminimalkan bau mulut karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup sering melakukan siwak dalam keadaan berpuasa

Berikut penjelasannya lebih rinci:

1. Bau mulut orang yang berpuasa bersumber dari uap lambung akibat lambung yang kosong dari makanan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[HR. Muslim no. 1151]

Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan bahwa bau mulut berasal dari uap lambung yang baik ke mulut. Beliau berkata,

خلوف الفم: رائحة ما يتصاعد منه من الأبخرة لخلو المعدة من الطعام بالصيام، وهي رائحة مستكرهة في مشام الناس في الدنيا لكنها طيبة عند الله حيث كانت ناشئة عن طاعته وابتغاء مرضاته، كما أن دم الشهيد يجيء يوم القيامة يثغب دماً لونه لون الدم وريحه ريح المسك

“Bau yang naik berupa uap karena kekosongan lambung dari makanan ketika puasa. Bau yang tidak disukai oleh penciuman manusia di dunia, akan tetapi baik di sisi Allah karena muncul dari ketaatan dan mencari keridhaan Allah. Sebagaimana darah orang yang syahid akan datang pada hari kiamat, warnanya warna darah tetapi baunya bau misk.” [Al-Lathaif Al-Ma’arif hal 161]

 

2. Boleh menggosok gigi atau memakai siwak untuk meminimalkan bau mulut

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sering melakukan siwak ketika berpuasa. Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat menjaga kebersihan mulut.

Salah serorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.”[HR Tirmidzi & Ahmad]

Bersiwak selain membersihkan mulut juga bisa mendatangkan ridha Allah. Beliau juga bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Bersiwak bisa membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Allah.” [HR. Nasa’i dan dishahihkan al-Albani]

 

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46728-salah-paham-mengenai-bau-mulut-orang-yang-berpuasa.html

Setiap Malam Ramadhan Ada Pembebasan dari Api Neraka

Saudaraku
Berdoalah dan berharaplah dengan sungguh-sungguh 
Di bulan Ramadhan ini 
Agar kita termasuk orang-orang
Yang setiap malam ditulis dan ditetapkan
Terbebas dari api neraka

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

ﻭَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋُﺘَﻘَﺎﺀُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَ ﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ

“Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi, Hasan, lihat Al-Misykat no. 1960)

Manfaatkan bulan mulia ini
Ikhlas kembali kepada Allah
Memperbaiki diri dan memperbaiki niat
Sangat berharap di Ramadhan ini
Nama kita yang Allah tetapkan
terbebas dari api neraka
dan masuk surga Allah tertinggi

Perbanyak doa ini
Karena mustajabnya doa
Kapan pun siang dan malam

Diriwayatkan Bazzar (Kasyf, no. 962), dari hadits Abu Said, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ﺇﻥ ﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﺘﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ _ ﻳﻌﻨﻲ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ _ , ﻭﺇﻥ ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻋﻮﺓ ﻣﺴﺘﺠﺎﺑﺔ 

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kebebasan dari siksa neraka pada setiap malam –yakni di bulan Ramadan- dan sesungguhnya setiap muslim pada waktu siang dan malam memiliki doa yang terkabul ( mustajabah)”.

Terutama doa ketika akan berbuka puasa

Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋِﻨْﺪَ ﻛُﻞِّ ﻓِﻄْﺮٍ ﻋُﺘَﻘَﺎﺀَ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ

“Sesungguhnya Allah memiliki pada setiap berbuka orang-orang yang dimerdekakan (dari api neraka) dan itu di setiap malam.” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah, 2/59)

Catatan:
Doa ketika sebelum atau setelah berbuka puasa itu mustajab, yang lebih utama adalah doa sebelum berbuka puasa, oleh karena itu hendaknya kita tidak ngobrol-ngobrol terus sampai adzan menjelang berbuka sehingga lupa berdoa sebelum berbuka.
Silahkan baca pembahasannya di sini!

 

MUSLIMAFIYAH

Seputar Puasa Ayyamul Bidh

Pertama, puasa ayyamul bidh tidak harus tanggal 13,14,15 hijriah setiap bulannya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

يصوم المؤمن الثلاثة في أي وقت من الشهر، الرسول -صلى الله عليه وسلم- أوصى بصيام ثلاثة أيام من كل شهر، سواء كان في أوله، أو في وسطه، أو آخره، الأمر واسع بحمد الله، وإن تيسر صيام البيض الثالث والرابع عشر والخامس عشر متوالية فهو أفضل، وإلا فالأمر واسع، يصوم الإنسان البيض في أي وقت من الشهر مفرقة، أو متوالية

“Seorang mukmin hendaknya puasa 3 hari dalam satu bulan di hari apa saja. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mewasiatkan untuk puasa 3 hari dalam setiap bulan, baik di awal, di tengah, maupun di akhir. Perkaranya longgar walhamdulillah. Jika bisa untuk puasa ayyamul bidh tanggal 13, 14, 15 secara berurutan, ini lebih utama. Jika tidak demikian, maka perkaranya longgar. Boleh seseorang puasa ayyamul bidh dalam hari yang terpisah-pisah dalam satu bulan, boleh juga berurutan.”

Kedua, hitungan bulan itu dilihat dengan rukyatul hilal di awal bulan. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فأيام البيض إذا هي الثالث عشر والرابع عشر والخامس عشر من كل شهر هجري، وتعرف هذه الأيام بمعرفة بداية الشهر الهجري، ويثبت الشهر برؤية الهلال أو بإكمال الشهر السابق له ثلاثين يوما، وعن اختلاف البلدان في الرؤية

“Puasa ayyamul bidh itu pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya. Ini diketahui dengan menghitung dari awal bulan Hijriyah. Dan bulan Hijriyah itu ditetapkan dengan ru’yatul hilal atau dengan menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari, dan setiap negeri memiliki perbedaan ru’yah.”

Ketiga, jika pemerintah tidak melakukan ru’yatul hilal maka boleh dengan melihat kalender, kecuali ramadhan dan dzulhijjah. Ditanyakan kepada Syaikh Khalid Al Musyaiqih, “Jika penduduk negeri tidak melihat hilal kecuali hanya bulan ramadhan lalu bulan yang lain mereka berpegang pada hisab falaki secara mutlak, apakah puasa Asyura, puasa ayyamul bidh mengikuti kalender yang ada di negeri kita?”

Beliau menjawab, “Ya, mereka berpuasa Asyura dan ayyamul bidh mengikuti penduduk negeri mereka. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah dan hadits Aisyah:

الصوم يوم يصوم الناس والفطر يوم يفطر الناس

‘Hari puasa itu ketika orang-orang berpuasa, dan berbuka itu ketika orang-orang berbuka‘”.

Silakan ikuti kalender yang digunakan mayoritas kaum muslimin, yaitu kalender yang ditetapkan pemerintah. Jika sulit, maka pilih salah satu penanggalan yang dianggap paling banyak digunakan di Indonesia.

Dan andaikan salah dalam mengira-ngira tanggal, pun ini tidak masalah karena puasa ayyamul bidh tidak harus tanggal 13,14,15 hijriah saja sebagaimana kami sudah jelaskan.

Wallahu a’lam

Penulis: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11104-seputar-puasa-ayyamul-bidh.html

Berbuka Puasa di Pesawat Terbang

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan 1:

Di bulan Ramadhan, take off sebagaian penerbangan itu di waktu adzan maghrib, sehingga kami (bisa) berbuka puasa ketika masih di bandara. Setelah pesawat take off dan posisi pesawat semakin tinggi dari permukaan bumi, kami menyaksikan bulatan matahari dengan jelas. Apakah kami menahan diri dari makan dan minum, atau kami menyempurnakan buka puasa kami di pesawat terbang?

Jawaban:

Jangan menahan diri dari makan dan minum (artinya, teruskan buka puasa di pesawat, pen.), karena Engkau telah berbuka puasa sesuai dengan tuntutan dalil syariat, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Jika malam telah datang dari sisi sebelah sini (beliau berisyarat ke arah timur), dan ketika siang telah pergi dari sisi sebelah sini (beliau berisyarat ke arah barat), dan matahari telah tenggelam, maka telah masuk waktu berbuka bagi orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1954)

Pertanyaan 2:

Di bulan Ramadhan, kami melakukan safar. Di tengah-tengah perjalanan, kami menjumpai waktu malam. Kami masih berada di pesawat di udara. Apakah kami berbuka puasa ketika bulatan matahari tidak terlihat di hadapan kami atau apakah kami berbuka sesuai dengan waktu di negeri (daerah) yang kami berada di atasnya?

Jawaban:

Engkau berbuka puasa ketika melihat matahari sudah tenggelam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا، وَجَاءَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika matahari tenggelam dari sisi sebelah sini [1], dan malam datang dari sisi sebelah sini [2], maka telah masuk waktu berbuka bagi orang yang berpuasa” (HR. Muslim no. 1101).

Pertanyaan 3:

Jika ada mendung, dan kami berpuasa, lalu bagaimana kami berbuka ketika di pesawat?

Jawaban:

Jika menurut sangkaan kuatmu bahwa matahari sudah tenggelam, maka berbukalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berbuka puasa pada suatu hari di kota Madinah, dan ketika itu ada mendung. Kemudian ternyata masih terlihat matahari setelah mereka berbuka puasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum, dan tidak memerintahkan mereka untuk mengganti puasa di hari itu (artinya, puasa di hari itu tetap sah, pen.) (HR. Bukhari no. 1959, diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu Ta’ala  ‘anha). [3]

[Selesai]

***

Diselesaikan di pagi hari yang cerah, Bornsesteeg NL, 25 Sya’ban 1439/ 12 Mei 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 

Catatan kaki:

[1]     Yaitu di arah barat.

[2]    Yaitu di arah timur.

[3]    Diterjemahkan dari: I’laamul Musaafiriin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 77-78 (pertanyaan nomor 103, 104 dan 105).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39640-berbuka-puasa-di-pesawat-terbang.html

Bolehkah Memakai Pasta Gigi Ketika Berpuasa?

Sebagian kaum muslimin menyangka bahwa orang yang berpuasa harus menjauhi memakai pasta gigi ketika berpuasa. Ada yang berkeyakinan bahwa memakai pasta gigi hukumnya makruh dan bahkan juga yang berkeyakinan bahwa memakai pasta gigi akan membatalkan puasa.

Pendapat yang terkuat bahwa penggunaan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa dan hukumnya boleh saja dipakai. Dianjurkan tidak berlebihan menggunakan pasta gigi. Berikut fatwa dari dewan fatwa Al-Lajmah Ad-Daimah terkait hal ini:

لا حرج في استعمال المعجون مع السواك؛ لأنه ليس من جنس الطعام والشراب، ولكن لا يبالغ في استعماله خشية من دخول شيء منه إلى الجوف

“Tidak mengapa (mubah)menggunakan pasta gigi bersama siwak karena bukan termasuk (perbuatan) makan dan minum, akan tetapi hendaknya tidak berlebihan dalam menggunakannya karena dikhawatirkan ada sedikit yang masuk ke kerongkongannya.” [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 25/25]

Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baz terkait penggunaan pasta gigi di bulam Ramadhan. Beliau menjelaskan,

نعم له غسله بالفرشاة والمعجون، لكن يحذر أن يذهب إلى جوفه شيء، يجتهد في بصق ما في فمه من ذلك، حتى لا يبتلع شيئًا. نعم

“Iya, boleh menggosok gigi menggunakan pasta gigi, akan tetapi hendaknya berhati-hati agar tidak masuk ke kerongkongannya sedikitpun dan bersungguh-sungguh mengeluarkan apa yang ada di mulutnya (kumur-kumur dan keluarkan) sehingga tidak tertelan sedikitpun.” [https://binbaz.org.sa/fatwas/15020]

Fakta menjelaskan bahwa sangat jarang sekali sisa pasta gigi itu masuk ke kerongkongan, karena orang yang sikat gigi pasti paham bahwa ketika mengosok gigi, sisa pasta gigi dan busanya dibuang dan kumur-kumur sampai bersih.

Hal ini mengingatkan kita mengenai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat sering melakukan siwak ketika berpuasa. Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.” [HR. Tirmidzi no. 725]

Hadits ini yang digunakan ulama untuk menjelaskan hukum terkait pasta gigi, karena siwak juga faktanya mengandung beberapa zat yang akan tersisa di rongga mulut ketika digunakan. Seandainya ada sedikit zat siwak yang masuk, maka dimaafkan (udzur).

Hendaknya kita bersemangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap menjaga kebersihan mulut beliau, meskipun sedang berpuasa. Baik itu menggunakan pasta gigi maupun siwak. ‘Aisyah berkata,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu menyegarkan dan membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Rabb”. [HR. An-Nasa-i]

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46634-boleh-memakai-pasta-gigi-ketika-berpuasa.html

Mendoakan Orang yang Memberi Buka Puasa

Pahala Besar Dibalik Memberi Makan Orang yang Berpuasa

Alhamdulillah di bulan Ramadan ini banyak kaum muslimin berlomba-lomba dalam kebaikan. Salah satu ladang kebaikan itu adalah memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, memberikan sumbangan ke masjid atau tempat di mana orang banyak berbuka puasa secara gratis. Kebaikan-kebaikan seperti Ini tidaklah terasa ringan jika belum mengetahui keutamaan yang sangat besar dalam memberi makan orang yang berbuka puasa, yaitu mendapatkan pahala sebagaimana orang yang berpuasa tersebut.

Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﻓَﻄَّﺮَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﺜْﻞُ ﺃَﺟْﺮِﻩِ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢِ ﺷَﻴْﺌًﺎ

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga .”[1]

Makanan yang Diberikan Tidak Harus Berporsi Besar

Al-Munawi menjelaskan bahwa memberi makan di sini yaitu dengan apa yang bisa digunakan untuk berbuka puasa, tidak harus memberikan “makan besar” atau makanan porsi lengkap. Beliau berkata,

ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻦ ﺗﻔﻄﻴﺮﻩ ﻫﻮ ﺃﺩﻧﻰ ﻣﺎ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﻟﻮ ﺑﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ،

“Yang dimaksud dengan memberi berbuka puasa yaitu apa saja yang bisa dijadikan makanan berbuka puasa walaupun hanya dengan sebutir kurma”. [2]

Doakanlah Orang yang Memberikan Makanan Untuk Berbuka

Bagi kita yang diberi makanan berbuka puasa oleh orang lain hendaknya mendoakan orang yang telah memberi makanan walaupun yang diberikan hanya sebutir kurma atau yang lainnya.

Doa yang bisa dibaca ketika kita mendapatkan makanan/takjil untuk berbuka puasa adalah:

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqaa-nii

“Ya Allah, berilah makanan orang yang memberi aku makan dan berilah minuman orang yang memberi aku minum.“[3]

Atau doa:

اللَّهُمَّ بَارِك لَهُم فِيمَا رَزَقْـــتَهُم وَاغْفِرْ لَهُم وَارحَمْهُم

Allahumma baarik lahum fii maa razaqtahum, waghfir lahum, warhamhum

“Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau anugerahkan kepada mereka, ampuni mereka dan berikanlah rahmat kepada mereka.” [4]

Doakanlah Saudaramu Maka Malaikat Akan Mendoakanmu

Hendaknya kita bersemangat dalam mendoakan saudara kita sendiri yang telah berbuat baik kepada kita, walaupun orang tersebut tidak ada di tempat atau tidak ada di hadapan kita karena terdapat keutamaan yang sangat besar ketika kita mendoakan saudara kita, yaitu doa kita akan  di-amin-kan oleh malaikat dan malaikat akan mendoakan agar kita juga mendapatkan kebaikan yang semisal dari doa yang kita panjatkan.

Dari Abu Ad-Darda’ beliau berkata bawab Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslimpun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”[5]

Dalam riwayat lainnya,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa yang mustajab. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.”

@Banaran, Salatiga

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Catatan kaki:

[1] HR. Tirmidzi & Ibnu Majah, Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[2] Faidul Qadhir, 6/243.
[3] HR. Muslim, No. 2055
[4] HR. Muslim 2042
[5] HR. Muslim no. 4912

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/30342-mendoakan-orang-yang-memberi-buka-puasa.html