Masalah Kebersihan Jadi Perhatian Rasulullah

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menaruh perhatian akan pentingnya kebersihan. 

Mengutip buku Kesehatan Dalam Persepektif Alquraan karya Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI Tahun 2009, bahwa Allah SWT telah perintahkan Rasulullah agar menyucikan pakaiannya terlebih dahulu karena pakaian sebagai tampilan pertama dalam pergaulan, sebagaimana diperintahkan dalam Surah al-Muddassir ayat 4. “Dan pakaianmu bersihkanlah.”

Banyak penafsiran yang dikemukakan ulama tentang perintah menyucikan baju ini. Ada yang menyebutkan bersih dari syirik, kemaksiatan, dan kebersihan hati. Tetapi Ibnu Jarir at-Tabari setuju dengan pendapat Ibnu Sirin, yaitu suci dari kotoran, sebagaimana dikutip Ibnu Kasir: Berkata Muhammad bin Sirin.”Dan sucikanlah pakaianmu.” Artinya, “Basuhlah dengan air’ karena sebagaimana dikatakan Ibnu Zaid, orang-orang musyrik itu tidak bersuci, maka Allah memerintahkan agar bersuci dan menyucikan pakaiannya.”

Pendapat ini yang diambil Ibnu Jarir at-Tabari, sebagaimana dikutip Ibnu Kasir. Az-Zuhaili, memaknai potongan ayat fatahhir, “Sucikan pakaianmu dari berbagai macam najis karena kesucian itu wajib dalam salat (dan disukai di luar salat), yaitu dengan cara membasuh pakaian atau menjaganya agar tidak kena najis atau memaknainya dengan “Sucikan dirimu dari perbuatan-perbuatan dan perilaku buruk.”

Kemudian beliau melanjutkan pengertian ayat ini dengan ungkapan, “Sucikan pakaianmu dari najis ainiyah (najis yang kongkrit) dan najis hukmiyyah (najis secara hukum), dan bersihkan dirimu dari dosa-dosa yang akan membawa kepada siksa, serta hiasilah dirimu dengan akhlak mulia.”

Prof Quraish Shihab secara panjang lebar mengelaborasi ayat ini dengan melihat aspek pengertian ayat secara hakiki, yakni baju, yang tidak diartikan lain, dan tahhir yang artinya. “Menyucinya dari kotoran, termasuk najis; walaupun banyak ulama yang mengartikan makna majazi (kiasan) seperti dikemukakan di atas.”

Menurut Prof Quraish Shihab siyab mungkin saja dimaknai majazi, seperti hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti, keluarga dan istri,walaupun untuk kata istri, Al-Qur΄an menggunakan kata libas (pakaian) bukan siyab (baju). 

Selain itu, kata tahhir dimaknai sebagai membersihkan dari kotoran, dan secara majazi, kata tahhir berarti menyucikan diri dari dosa atau pelanggaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terdapat empat kelompok ulama yang memiliki penafsiran berbeda, yaitu: 

Pertama, ulama yang memahami kedua kosakata itu dalam arti  majazi. 

Kedua, dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dari segala kotoran dan tidak mengenakannya kecuali dalam keadaan bersih, sehingga nyaman dan enak dipandang.

Ketiga, mengartikan siyab dalam arti majazi dan tahhir dalam arti hakiki, sehingga ayat itu diartikan, ‘‘Bersihkan jiwa (hatimu) dari kotoran-kotoran”. 

Keempat, siyab dalam arti hakiki dan tahhir dalam arti majazi, yakni perintah untuk mencuci pakaian dan memakainya secara halal, menutup aurat setelah memperolehnya dengan cara yang halal pula”. Selanjutnya, ia menyatakan.

“Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut dalam arti hakiki.” 

IHRAM

Sederhana dalam Beribadah yang Diajarkan Rasulullah

Pernahkah kita dengar apa yang dimaksud sederhana dalam beribadah? Sebelum menjawab itu, saya ingin menyampaikan bahwa beribadah adalah pokok utama kehidupan seorang muslim. Bahkan, ulama mengatakan ibadah diperuntukkan bagi kalangan jin dan manusia yang menginginkan kebahgaiaan, dan kemaksiatan diperuntukkan bagi mereka yang ditakdirkan untuk mengemban kesengsaraan. Hal tersebut setidaknya yang disampaikan oleh Al-Baghawy saat menafsirkan ayat berisi perintah ibadah pada surat al-Dzariyat ayat 56.

Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa beribadah berarti merendahkan diri di hadapan sang pencipta. Setiap makhluk tunduk kepada keputusan Allah Swt, pasrah atas segala kehendaknya tanpa punya otoritas untuk keluar dari suratan-Nya. Ulama lain menjelaskan bahwa beribadah berarti mengesakan Allah Swt, orang beriman adalah mereka yang mengesakan Allah baik pada masa susah dan senang, sedangkan kafir adalah mereka yang mengesakan Allah pada masa sulit dan melupakan-Nya pada masa senang.

Ibadah yang kita tunaikan kadang proporsional, namun dalam beberapa hal terkadang berlebihan. Dalam beberapa kasus, seorang muslim bertindak berlebihan dalam beribadah. Hal ini biasanya terjadi lantaran tidak didampingi dengan ilmu pengetahuan. Beribadah harus menggunakan ilmu, agar kuat pijakannya.

Sebagai contoh adalah yang terjadi di Lembah Bamiyan, Afghanistan. Sebagaimana diungkapkan oleh Agustinus Wibowo dalam catatan perjalanannya mengelilingi Afghanistan, ia berkisah dalam bukunya Selimut Debu bahwa di Lembah Bamiyan terdapat segolongan umat Islam yang mempercayai bahwa dengan menceburkan diri ke dalam danau (danau Band e-Amir) di daerah tersebut maka akan disembuhkan penyakitnya dan mendapat banyak rahmat. Padahal, danau yang dimaksud memiliki air yang sangat dingin dan menyiksa badan, bahkan bisa berujung kepada kematian. Namun mereka kerap melakukan hal tersebut. Ritual yang mereka laksanakan semata-mata didasari oleh mitos yang menyebar di kalangan mereka (Agustinus, 2011:431-434)

Contoh lain adalah orang yang berlebihan beribadah adalah ia memaksakan diri demi menunaikan suatu ibadah, dan mengabaikan dispensasi yang berhak baginya. Seperti seorang yang diberikan keleluasaan untuk berbuka puasa dalam perjalanan. Karena ingin mendapatkan keutamaan, ia memaksa untuk berpuasa, padahal dirinya sudah sangat kelelahan. Akhirnya, keesokannya ia sakit dan tidak mampu menunaikan kewajiban-kewajiban lain dengan maksimal.

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani menjelaskan bahwa Anjuran agar tidak berlebihan dalam beribadah bukan bermaksud mencegah kita untuk memaksimalkan ibadah kita, hal tersebut malah mulia. Yang dimaksud dari larangan  memaksa diri berlebihan dalam beribadah adalah mencegah kita dri hal yang berlebihan sehingga bisa mengantarkan kepada keletihan atau kebosanan

Jamal Ahmed Badi, dalam syarahnya atas kitab Arbain al-Nawawi berjudul Commentary of Forty hadiths Of An-Nawawi, saat menjelaskan makna hadis nomor 3 dalam kitab tersebut  mengatakan bahwa beribadah haruslah dipandu oleh syarat-syarat, rukun-rukun serta adab-adab yang sudah diatur oleh syariat. Hal ini penting karena amalan tanpa dasar syariat akan tertolak.

Rasulullah Saw bersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu perkata baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari Muslim)

Perlunya Sederhana dan Proporsional dalam Beribadah

Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam al-Nawawi membuat sebuah bab khusus berjudul Al-Iqtishad fi al-Ibadah, sederhana dalam beribadah. Melalui ayat-ayat dan hadis-hadis yang disitirnya, Imam al-Nawawi secara eksplisit menegaskan bahwa dalam beribadah seorang muslim dianjurkan untuk sederhana dan proporsional, bekerja sesuai ritme, sehingga ibadah yang dilaksanakan mampu berlangsung maksimal dan khidmat.

Terdapat 2 ayat dan 11 hadis yang dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam bab tersebut yang diambil dari berbagai kitab induk hadis.

Dua ayat yang dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam bab ini adalah surat Thaha ayat 1 dan surat surat al-Baqoroh ayat 185, masing-masing memiliki terjemahan sebagai berikut,

مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ

 “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.”

يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Melalui dua ayat tersebut, Imam al-Nawawi hendak menegaskan bahwa beragama perlu dilaksanakan dengan maksimal, namun ia tidak mesti menjadikan susah orang yang melaksanakannya.

Melengkapi maksud ayat di atas, dicantumkan berikutnya hadis-hadis yang bersinggungan dengan tema terkait. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw,

Suatu Ketika datang sekelompok orang menuju rumah isteri-isteri Nabi, mereka menanyakan perihal ibadah Nabi Saw. Tatakla mereka diberitahukan soal ibadah Nabi, mereka menilai hal tersebut sebagai sedikit. Dan seorang dari mereka berkata, “Di mana posisi kita dibanding Nabi Saw? Sedangkan beliau adalah sosok yang telah diampuni dosa yang telah lampau dan yang akan datang!

Kemudian berkata salah seorang dari mereka, “Saya akan shalat sepanjang malam penuh tanpa jeda!” yang lain berkata, “Saya akan puasa selama setahun penuh tanpa berbuka!” yang lain berkata, “Saya akan menjahui perempuan dan tidak akan menikah selamanya!” Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata kepada mereka, “Kalian yang ngomong seperti tadi? Demi Allah Adapun saya adalah orang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt dan saya adalah yang paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Barangsiapa yang benci akan sunnahku maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Bukhari).

Segenap sahabat yang menginginkan ibadah tanpa henti tersebut ditegur oleh Rasulullah Saw langsung agar tetap stabil dalam beribadah, tidak memaksa diri sehingga melalaikan yang lain. Hal ini tentu merupakan salah satu upaya Nabi menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan, dan bahwa koridor tersebut telah disesuaikan dengan kadar kemampuan kita sebagai manusia yang memiliki berbagai kesibukan kehidupan, sehingga ia tidak memberatkan. Bayangkan jika Rasulullah membenarkan seseorang tersebut untuk berpuasa selama setahun tanpa berbuka sedangkan badannya perlu diasup makanan, untuk shalat sepanjang malam tanpa tidur sedangkan besoknya ia berkewajiban mencari nafkah, untuk tidak menikah selamanya sedangkan pengadaan keturunan manusia harus terus berlanjut?

Mustafa Said al-Khan dalam Nuzhat al-Muttaqien Syarh Riyadh al-Shalihin memetik pelajaran dari hadis tersebut perihal perlunya moderat dan sederhana dalam beribadah dan agar senantiasa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw dalam memahami hakikat beribadah kepada Allah Swt (1987:167)

Hadis lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu juhayfah Wahb ibn Abdullah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Saw mempersaudarakan Salman al-Farisi dengan Abu al-Darda’. Suatu ketika Salman mengunjungi Abu al-Darda’, ia mendapati bahwa Umm al-Darda’ berpakaian ala kadarnya (tidak bersolek). Kemudian ia berkata, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu al-Darda’ tidak ada minat terhadap dunia.”

Kemudian datang Abu al-Darda’, membuatkan untuk Salman seporsi makanan, kemudian ia berkata, “Makanlah, wahai Salman, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sampai kamu juga ikut makan,” maka kemudian ia ikut makan. Tatkala tiba malam, Abu al-Darda’ bangun (hendak melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata, “Tidurlah” Kemudian ia tidur. Kemudian Abu al-Darda’ hendak bangun lagi (dengan niat yang sama, yakni melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata padanya, “Tidurlah”

Kemudian, tatkala tiba akhir malam, Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sekarang bangunlah,” maka keduanya menunaikan shalat malam bersama. Kemudian Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliku hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, maka tunaikanlah setiap hak tersebut pada tempatnya” Kemudian datang Rasulullah Saw dan ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi, Nabi bersabda, “Telah benar Salman.”

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas menjelaskan posisi Nabi yang membenarkan Salman melarang saudaran Abu al-Darda’ untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, jika dengan hal tersebut malah akan memudaratkannya. Hal ini sebagaimana disimpulkan oleh Mustafa Said al-Khan dari hadis tersebut perihal kebolehan pelarangan pelaksanaan ibadah-ibadah mustahabb (yang dianjurkan, sunnah) jika hal tersebut berdampak pada penghilangan hak-hak yang seharusnya ditunaikan.

Ibadah yang kita lakukan seyogyanya dilaksanakan dengan khidmat dan sesuai dengan kadar kondisi dan kemampuan kita. Selain dituntut mengerjakan hal-hal yang wajib, kita juga sangat dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai pelengkap ibadah wajib kita. Kendati demikian, kita tetap perlu menakar diri agar ibadah yang kita lakukan tidak membuat kita bosan, kita perlu menjaga ritme ibadah kita agar senantiasa terasa khidmat, dan kita perlu berhati-hati agar tidak menjadi golongan yang berlebihan dalam beribadah.

Rasulullah Saw bersabda,

“هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim (berlebihan)!” Beliau mengucapkannya tiga kali.” (Hadis Riwayat Muslim)

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Nawawi, makna berlebihan dalam hadis di atas adalah melebihkan sesuatu (ibadah) bukan pada tempatnya. Semoga kita semua tergolong sebagai umat Rasulullah Saw yang mampu mengikuti sunnah-sunnahnya dengan khidmat dan maksimal.

BINCANG SYARIAH

Rasulullah saw. Memang Manusia, Tetapi Tidak seperti Manusia Biasa

Rasulullah saw. memang manusia, tetapi tidak seperti manusia pada umumnya. Beliau laksana yakut, sedang manusia yang lain seperti batu-batu pada biasanya. Pendapat ini diabadikan secara indah dalam kasidah yang sangat menawan dan disenandungkan dengan merdu oleh Mayada: “Muhammadun basyarun wa laisa kal basyari. Bal huwa yaqutuhu wa an-nasu kal hajari.”

Makanya, tidak heran apabila Rasulullah saw. memiliki keunggulan rohani dan jasmani daripada manusia pada umumnya, baik sebelum dilahirkan (berupa nur Muhammad) maupun hendak dilahirkan dan setelah dilahirkan ke muka bumi. Menurut ahli hadis (muhaddits) dan sufi terkemuka Imam ‘Abdurrahman ad-Diba‘i, pada suatu malam Allah memerintahkan malaikat Jibril (yang merupakan pemimpin para malaikat) agar memberikan kabar gembira kepada seluruh makhluk di alam semesta (Mawlid ad-Diba‘i, hlm. 19 dalam Majmu‘ah al-Mawalid wa Ad‘iyyah, penerbit al-‘Aidrus Jakarta).

Kabar gembira tersebut adalah nur Muhammad yang merupakan rahasia tersembunyi yang senantiasa dijaga oleh Allah dan diciptakan sebelum segala sesuatu diciptakan akan dipindahkan ke rahim ibunya, Sayyidah Aminah as., pada malam itu dengan penuh gembira. Mengingat Allah akan memenuhi alam semesta dengan pancaran cahaya melalui nur Muhammad. Kelak, nur Muhammad yang mewujud manusia bernama Muhammad itu akan lahir dalam keadaan yatim. Namun demikian, Allah menyucikan Muhammad dan keluarganya (hlm. 19-20).

Dalam hal ini, Allah secara tegas berfirman: “sesungguhnya Allah bermaksud hendak Menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait (keluarga Rasulullah saw.) dan Membersihkan kamu sebersih-bersihnya (al-Ahzab (33): 33). Salah satu keluarga (ahlul bait) Rasulullah saw. adalah Imam ‘Ali al-Murtadha as., Sayyidah Fatimah az-Zahra’ as., Imam Hasan as., Imam Husein as., dan para keturunannya yang sampai sekarang tersebar di berbagai penjuru dunia.

Sebuah hadis menyebutkan bahwa semua nasab akan terputus di hari kiamat kelak, kecuali nasab Rasulullah saw. (Syekh Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Majmu‘ Arba‘inat fi Fadha’il Rasulillah, 2009: 30). Menurut Imam ad-Diba‘i, ahlul bait Rasulullah saw. adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah. Mereka adalah pengaman dunia, sehingga patut dihormati dan dikenang (Mawlid ad-Diba‘i, hlm. 4).

Di Indonesia sendiri banyak ahlul bait (keturunan) Rasulullah saw. yang berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam yang ramah dan moderat ke pelosok negeri. Mereka tidak hanya menjadi pengaman bagi perkembangan ajaran Islam yang ramah dan keharmonisan hidup masyarakat Muslim Nusantara, tetapi juga menjadi pengaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang multi etnis, agama, suku, dan budaya.

Selain itu, Imam ad-Diba‘i menyebutkan beberapa ahlul bait Rasulullah saw. yang menjadi panutan dalam sepanjang sejarah, seperti Imam ‘Ali al-Murtadha as., Imam Hasan as., Imam Husein as., Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin as., Imam Muhammad al-Baqir as., dan Imam Ja‘far ash-Shadiq, dan Imam ‘Ali ar-Ridha as. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk dan beruntung serta bahagia karena mendapatkan keutamaan dari Allah. Tujuan mereka dalam menjalani peliknya hidup hanyalah Allah dan senantiasa berpedoman kepada al-Qur’an dalam sepanjang masa (hlm. 3-4).

Memang, Rasulullah saw. adalah manusia, tetapi tidak seperti manusia pada umumnya. Beliau memiliki keagungan dan keistimewaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti pendengaran dan penglihatannya yang sangat tajam. Sehingga beliau bisa mendengar gorerasan “pena langit” yang mencatat segala sesuatu dan bisa melihat tujuh lapis langit dan bumi. Pepohonan mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. dan bebatuan pernah berbicara kepadanya (hlm. 8-9).

Dalam kesempatan lain, Sayyidah ‘Aisyah ra. pernah menjahit sesuatu pada waktu sahur (dini hari). Tiba-tiba jarum jahitnya terjatuh dan damarnya mati. Tidak lama kemudian, Rasulullah saw. datang, sehingga rumah Sayyidah ‘Aisyah ra. yang sedang gelap gulita itu menjadi terang benderang karena pancaran cahaya Rasulullah saw. Oleh karena itu, Sayyidah ‘Aisyah ra. bisa menemukan jarum jahit yang terjatuh tersebut (Habib Zein bin Smith, al-Fawa’id al-Mukhtarah, 2008: 218).

Lalu, Sayyidah ‘Aisyah ra. berkata: “sungguh terang wajahmu, ya Rasulallah!” Rasulullah saw. menjawab: “celaka bagi orang yang tidak melihatku.” Ketika ditanya siapa orang yang tidak melihat Rasulullah saw. itu, maka Nabi saw. menjawab: “yaitu orang yang pelit.” Ketika ditanya siapa orang yang pelit itu, maka Nabi saw. menjawab: “yaitu orang yang tidak membaca salawat ketika mendengar namaku” (hlm. 218). Wa Allah wa A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)

Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu“Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).

Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])

Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??

Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya

Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

  1. Golongan yang berlebih-lebihan.
  2. Golongan yang meremehkan.
  3. Golongan tengah.

Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:

a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).

b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).

e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)

f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.

g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])

h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).

Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.

Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).

Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.

Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!

Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…

Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,

dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”

(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).

La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.

Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.

Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:

  1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
  2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-‘Ibad (I/439).
  3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
  4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
  5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
  6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
  7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
  8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
  9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
  10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.

Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.

Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

  1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
  2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
  3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
  4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
  5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
  6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
  7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
  8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
  9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.

Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.

Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).

Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).

Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?

Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

***

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Usai Hijrah, Rasulullah Bangun Perekonomian Umat

Rasulullah membangun ekonomi umat usai berhijrah.

Imam Masjid New York Shamsi Ali meningatkan umat Islam bahwa perintah mendasar Syariah Islam yang turun di priode Makkah hanya satu, sholat. Perintah melaksanakan sholat itu turun sekitar dua tahun sebelum Hijrahnya Rasul melalui peristiwa Isra Mi’raj.

“Dua tahun setelah Rasul hijrah ke Madinah turunlah perintah berzakat. Yaitu kewajiban umat Islam untuk mengeluarkan hartanya sebesar 2,5 persen sekali dalam setahun (haul), jika telah memenuhi jumlah tertentu (nishob),”ujar dia dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (1/9).

Perintah zakat itu sendiri, sebagaimana syahadat dan sholat, menjadi salah satu pilar atau rukun Islam.  Jika sholat menitik beratkan kepada relasi vertikal seorang muslim dengan Tuhannya, zakat menekankan relasi horizontal seorang muslim kepada sesama. Kedua aspek relasi inilah yang menjadi dasar ubudiyah dalam Islam. Atau lebih dikenal bahasa Al-qurannya hablun minallah wa hablun minan naas.

Perintah sholat diturunkan di Makkah karena memang periode Makkah lebih menekankan aspek hablun minallah atau relasi vertikal keagamaan. Sementara Zakat yang relevansinya sangat dominan secara sosial turun di Madinah. Kerena periode Madinah memang dipahami sebagai awal pembentukan kehidupan Umat secara jama’i. Yang tentunya juga karena prioritas risalah di Madinah adalah penguatan (empowerment) umat pada sisi komunalnya (jamaah).

Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasul tidak saja memahaminya sebagai sekadar perintah untuk mengeluarkan harta. Sebaliknya justru dipahami sebagai perintah untuk memperkuat basis perekonomian umat.

Dengan kata lain, Rasulullah memahami perintah Zakat tidak sekadar memberikan 2,5 persen harta. Tapi dipahami secara pro aktif dan dengan visi yang lebih besar. Bahwa ada perintah memberi maka di balik perintah itu ada perintah lainnya. Dan perintah itu adalah economic empowerment atau membangun kekuatan ekonomi bagi Umat.

Untuk mengimplementasikan pemahaman itu, beliau melakukan beberapa hal, di antaranya:

Pertama, membeli sebuah sumur. Perlu diingat air ketika itu bagaimana minyak di masa kita. Bayangkan jika kota New York misalnya kehabisan minyak (sebelum solar energy ditemukan).

“Saya yakin kehidupan menjadi lumpuh. Sumut Madinah menjadi fondasi hidup itu sendiri. Dan Karenanya atas anjuran Rasulullah SAW, Sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman Ibnu Affan,”ujar dia.

Kedua, membeli pasar dari masyarakat Yahudi. Sejak masa itu juga sebenarnya umat Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Bahkan Rasulullah SAW sendiri sebagai pribadi pernah meminjam uang dari masyarakat Yahudi.

Di Madinah ada sebuah pasar yang sangat terkenal dan strategis dalam perekonomian masyarakat. Kebetulan saja pasar itu dimiliki oleh komunitas Yahudi.

Sebagai tindak lanjut dari perintah zakat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat yang kira-kira punya modal, dan juga dikenal memiliki kemampuan bisnis, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kepada mereka disampaikan urgensi umat Islam memiliki pasar sebagai pusat penguatan perekonomian umat.

Mereka setuju dan memberikan investasi terbaik mereka untuk membeli pasar tersebut. Melalui pasar ini umat kemudian melakukan aktifitas ekonomi dan membangun basis perekonomian mereka. Dan pada akhirnya tidak lagi bergantung kepada Komunitas lain.

Dari peristiwa ini dipahami bahwa  pemberdayaan ekonomi umat menjadi krusial dalam pembentukan peradaban manusia. Ketika umat lemah secara ekonomi maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan. Dan sudah pasti klaim peradaban dengan ketergantungan kepada orang lain adalah paradoks yang nyata.

Jika hal ini dikembalikan kepada situasi kolektif umat masa kini, kita akan dapati bahwa dari sekian banyak kebutuhan dasar umat adalah perbaikan ekonominya. Umat ini sungguh beruntung menempati sisi-sisi bumi yang kaya. Jika tidak rindang dan hijau dengan hutan, atau dengan kekayaan bahari (laut), Allah memberinya dengan kekayaan minyak dan pertambangan.

Lalu kenapa umat masih tertinggal secara ekonomi?  

Jawabannya karena umat perlu berzakat. Yaitu Zakat (bersuci) dari ketamakan dan kekikiran. Ketamakanlah di dunia Islam itulah yang menjadikan kekayaan alam kita diselewengkan sedemikian rupa. Akibatnya terjadi berbagai kerusakan dalam berbagai manifestasinya.

Kalaulah saja perintah Zakat dipahami secara benar, secara pro aktif dan inovatif, serta dikelolah secara profesional dan jujur, Umat akan terkuatkan secara ekonomi.

“Sekaligus saya yakin bahwa permasalahan kemiskinan yang masih mengungkung Umat ini dapat terselesaikan,”pungkasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa Minta Rezeki dan Ilmu dari Rasulullah

KITA mungkin pernah mendengar pepatah dari politikus terkenal yang juga mantan perdana menteri Inggris, Winston Churchill, berikut: success always demands a great effort (sukses selalu meminta usaha yang lebih kuat). Namun, sebagai muslim, ada hal lain yang akan menguatkan usaha kita dalam mencapai kesuksesan, yaitu doa.

Sebagai muslim yang taat sudah sepatutnya kita meyakini kekuatan sebuah doa. Doa adalah wujud pengharapan kita sebagai hamba kepada Sang Pencipta dan Sang Pemilik Kehidupan. Termasuk dalam usaha kita meraih kesuksesan, rezeki, kecerdasan, atau lainnya.

Rasulullah Shalallahualaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita semua berbagai macam doa. Pun diriwayatkan dalam sebuah hadis sebuah doa yang indah untuk kita dalam memohon rezeki dan ilmu yang lurus.

“Allahumma inni asaluka ilman naafian wa rizqan thayyiban wa amalan
mutaqabbalan.”

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik,
dan amalan yang diterima.” (HR Ahmad & Ibnu Majah)

Beliau menganjurkan agar kita membacanya pagi hari setelah melakukan salat
Subuh. Sungguh doa yang tidak hanya indah tapi juga begitu penting untuk
dilantunkan. Karena kehidupan akan semakin bermakna dengan memiliki ilmu yang bermanfaat, rezeki yang berkah, serta amalan-amalan yang kita lakukan pun diterima. Allahualam bi shawwab. [An Nisaa Gettar]

INILAH MOZAIK

Sebelum Wafat Rasulullah Menginfakkan Seluruh Hartanya

Sebelum wafat Rasulullah juga memerdekakan budak.

Pada Ahad, sehari sebelum Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam wafat, beliau memerdekakan budak-budaknya dan menginfakkan seluruh hartanya.

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Ustadz Firanda Andirja, dalam hadits riwayat Ahmad disebutkan, “Rasulullah berkata ketika sakit yang akhirnya beliau meninggal, “Wahai Aisyah, bagaimana kondisi emas?” (Dalam riwayat lain: Aisyah berkata هِىيَ عِنْدِي “Ada padaku emasnya”).

Lalu Aisyah menghadirkan emas tersebut, sekitar lima keping hingga tujuh atau delapan atau sembilan keping. Maka, Nabi pun mebolak-balikkan kepingan emas tersebut dengan tangannya dan beliau berkata, “Apa persangkaan Muhammad terhadap Allah Azza wa Jalla jika bertemu dengan Allah, sementara emas-emas ini masih ada padanya? Wahai Aisyah, sedekahkanlah emas ini!”

Aisyah radhiyallahu anha berkata,

مَا تَرَكَ رَ سُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا، وَلَا دِرْهَمًا، وَلَا شَاةً، وَلَا بَعِيرًا، وَلَا أَوْصَى بِشَيْءٍ

“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (tatkala wafat) tidak meninggalkan sekeping dinar pun, tidak juga sekeping dirham pun, tidak juga seekor kambing pun dan unta, dan tidak berwasiat dengan wasiat apa pun,” hadits riwayat Muslim.

Amr bin al-Haarits (saudaranya Juwairiyah bint al-Haarits) berkata:

“Tatkala Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam wafat beliau tidak meninggalkan sekeping dirham pun juga sekeping dinar, tidak juga seorang budak lelaki dan budak wanita. Beliau tidak meninggalkan apa pun kecuali begolnya putih dan senjata beliau, serta sebidang tanah, seluruhnya Nabi sedekahkan (diwakafkan)”, hadits riwayat Al-bukhari.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bukti Rasul Cinta Umatnya: Mendoakan di Waktu Pagi

“Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu paginya. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Marilah kita memperhatikan doa Nabi untuk umatnya, bahwa beliau mendoakan keberkahan bagi umatnya, di pagi harinya.

Waktu pagi adalah waktu yang penuh dengan berkah, terlebih jika dimanfaatkan untuk hal-hal dan aktivitas yang bermanfaat.

Tentunya bagi orang-orang yang melaksanakan salat subuh berjemaah dan tidak tidur lagi dia akan mendapatkan keberkahan dari Allah Taala. Karena didoakan oleh Rasulullah.

Namun tidak sedikit di antara manusia yang melalui waktu paginya dengan tidur terlelap, tidak bangun dari tidurnya kecuali setelah matahari meninggi.

Atau ada juga yang menghabiskan waktu paginya dengan bermalas-malasan, sehingga diapun jatuh dalam pelukan selimut dan guling, yang pada akhirnya dia terseret ke dunia lain dalam mimpi dan khayalan.

Sebaiknya kita isi waktu pagi dengan aktifitas yang bernilai ibadah dengan mengharapkan pahala di sisi Allah Taala, dengan itu kitapun mendapatkan doa Rasulullah berupa keberkahan di waktu pagi.

Ya Allah berkahilah kehidupan kami di dunia ini. Aamiin. [Ust. Fuad Hamzah Baraba LC]

INILAH MOZAIK

10 Cara Rasulullah SAW Menjemput Rahmat Allah SWT

Suatu hari Baginda Nabi Muhammad SAW didatangi Jibril, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang berada di tengah-tengah lautan. Di situ Allah SWT mengeluarkan sumber air tawar yang sangat segar sebesar satu jari, di situ juga Allah SWT menumbuhkan satu pohon delima, setiap malam delima itu berbuah satu delima.

Setiap harinya, hamba Allah tersebut mandi dan berwudhu pada mata air tersebut. Lalu ia memetik buah delima untuk dimakannya, kemudian berdiri untuk mengerjakan shalat dan dalam shalatnya ia berkata: “Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan bersujud dan supaya badanku tidak tersentuh oleh bumi dan lainnya, sampai aku dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud”.

Maka Allah SWT menerima doa hambanya tersebut. Aku (Jibril) mendapatkan petunjuk dari Allah SWT bahwa hamba Allah itu akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud. Maka Allah SWT menyuruh: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”. Untuk yang ketiga kalinya Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut pun berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah SWT tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah SWT berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu. (HR Sulaiman Bin Harom, dari Muhammad Bin Al-Mankadir, dari Jabir RA).

Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga karena rahmat Allah SWT, bukan karena banyaknya amal ibadah. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal ibadah yang kita lakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, puasa, dan amalan-amalan lainnya tidak ada arti? Jangan salah persepsi. Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia, amal ibadah adalah sebuah proses atau alat untuk menjemput rahmat Allah SWT. Karena rahmat Allah tidak diobral begitu saja kepada manusia. Akan tetapi, harus diundang dan dijemput.

Rasulullah SAW mengajarkan kepala umatnya beberapa cara agar rahmat Allah itu bisa diraih. Pertama, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah SWT dengan menyempurnakan ibadah kepada-Nya dan merasa diperhatikan (diawasi) oleh Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Kedua, bertakwa kepada-Nya dan menaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (QS al-A’raf [7]: 156-157). Ketiga, kasih sayang kepada makhluk-Nya, baik manusia, binatang. maupun tumbuhan.

Keempat, beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah (QS al-Baqarah [2]: 218). Kelima, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Rasulullah SAW (QS an-Nur [24]: 56). Keenam, berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkannya dengan bertawasul dengan nama-nama-Nya yang Mahapengasih (ar-Rahman) lagi Mahapenyayang (ar-Rahim). Firman Allah SWT, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS al-Kahfi [18]: 10).

Ketujuh, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran (QS al-An’am [6]: 155). Kedelapan, menaati Allah SWT dan Rasul-Nya (QS Ali Imran [6]: 132). Kesembilan, mendengar dan memperhatikan dengan tenang ketika dibacakan Alquran (QS al-A’raf [7]: 204). Kesepuluh, memperbanyak istigfar, memohon ampunan dari Allah SWT. Firmannya, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS an-Naml [27]: 46).

Oleh Suprianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Aku Ingin Semulia Bahagia Rasulullah

BAGI semua orang Islam yang beriman, pastilah Rasulullah Muhammad diyakininya sebagai manusia teladan dalam segala hal. Pertanyaannya adalah apakah semua kita berkeinginan untuk meledani beliau? Semua orang Islam yang beriman berkeyakinan bahwa Rasulullah Muhammad adalah tuan dari semua nabi dan utusan, dan karenanya maka Nabi Muhammad adalah manusia paling mulia dan bahagia dari semua makhluk. Beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Peranyaannya, jika kita ingin bersama beliau dan mulia bahagia mengikuti beliau, inginkah kita mengikuti gaya hidup beliau?

Mari kita timbang-timbang posisi gaya hidup kita dengan posisi gaya hidup beliau. Satu hal saja sebagai ukuran paling mudah, yakni hubungan kita dengan harta duniawi. Gunung Uhud menawarkan diri untuk menjadi emas agar bisa dimiliki dan digunakan Rasulullah. Rasulullah menolaknya. Bagaimanakah dengan seandainya batu atau kerikil yang ada di sekitar kita menawarkan diri kepada kita untuk menjadi emas. Apakah kita akan menolak? Ataukah memang keajaiban seperti itu yang kita inginkan?

Banyak yang bertanya mengapa Rasulullah menolak? Ada beberapa jawaban yang bisa dikemukakan yang saya sarikan dari berbagai kitab bacaan saya selama ini. Jawaban pertama dan utama adalah untuk menunjukkan kepada umat manusia semuanya bahwa kepemilikan harta benda itu TIDAK MENJADI UKURAN MULIA BAHAGIA SESEORANG.

Benar bahwa Nabi Sulaiman itu kaya dan mulia, namuan Fir’aun juga kaya jaya namun menjadi manusia yang dilaknat Allah. Benar bahwa Sayyidina Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan Urwah bin Zubair itu kaya mulia dan bahagia, namun Qarun juga kaya tapi tidak mulia bahagia. Kalau kita setuju, berhentilah memandang mulia seseorang karena kepelikan hartanya. Tanyakan dari mana hartanya dan untuk apa hartanya itu. Inilah ukuran mulia bahagia.

Kedua adalah bahwa ujian orang yang memiliki kekayaan harta jauh lebih tinggi atau lebih berat dibandingkan dengan ujian orang tidak memiliki kekayaan harta dunia. Buktinya mudah saja saja, lihatlah betapa yang punya harta banyak itu tidak ada yang menjamin lebih santai dan lebih nyenyak tidur serta tidak stress.

Yang punya potensi kehilangan sesuatu adalah yang memiliki sesuatu. Yang tidak memiliki apapun maka tak akan pernah kehilangan apapun. Yang kehilangan mobil adalah yang punya mobil, yang kehilangan jabatan adalah yang punya jabatan. Demikian juga kepemilikian yang lain. Yang berbagaia adalah yang menyatakan: “SEMUA INI ADALAH MILIK ALLAH YANG SEDANG DITITIPKAN KEPADA SAYA.”

Alasan lainnya mengapa Rasulullah menolak gunung UHud menjadi emas adalah karena khawatir umatnya nanti memiliki pekerjaan utama sebagai pencari harta duniawi. Tidak diberikan contoh berburu dunia saja kita bisa lihat betapa banyak manusia yang mengejar harta sampai melupakan teladan Rasulullah yang penting diaplikasikan dalam hidup ini. Termasuk saya, barangkali. Ya Allah bimbing kami menuju ridlaMu.

Masih banyak alasan yang lain yang “nonjok” banget pada gaya hidup kita sebagai umatnya. Lalu, apa yang harus kita lakukan dan bagaimanakah gaya hidup terbaik yang harus kita tampilkan dalam hubungannya dengan harta ini. Apa plus minus kepemilikan harta dan mana yang lebih baik antara menjadi kaya, menjadi miskin dan menjadi sedang-sedang saja. Pertanyaan ini perlu dibahas dalam forum pengajian yang berdurasi panjang. Semoga ada kesempatan. Salam, AIM

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK