Refleksi Hari Kemerdekaan; Kewajiban Melawan Islamisme yang Merusak Bangsa

Telah 77 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Selama itu pula negara ini terbebas dari kolonialisme yang menyengsarakan selama kurang lebih 350 tahun.

Setelah menghirup udara merdeka, tidak serta merta Indonesia bebas dari ancaman. Justeru, ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa datang bertubi-tubi serta silih berganti. Betul kata pepatah “Mempertahankan lebih berat dan sulit dari pada mendapatkan”.

Sejarah perjalanan bangsa ini setelah merdeka beberapa kali diwarnai pemberontakan. Di antaranya, PKI dan DI/TII. Entah kenapa kemerdekaan yang telah diperjuangkan bersama oleh semua elemen bangsa harus dikotori pertumpahan darah karena kekecewaan dan ketidakpuasan kelompok.

Ancaman disintegrasi bangsa tidak hanya berbentuk gerakan fisik, bangsa ini juga diancam oleh gerakan non fisik melalui gerakan ideologi, propaganda dan politisasi agama Islam demi libido kekuasaan. Disintegrasi bangsa berupa gerakan non fisik masih berlangsung, bahkan bergerak secara massif. Dan, lebih berbahaya dari ancaman disintegrasi bangsa yang berupa gerakan fisik. Sebab, menggerogoti keutuhan bangsa secara samar, sebagi musuh dalam selimut.

Gerakan ideologi yang paling kentara dan bisa dibilang sangat berbahaya adalah gerakan islam politik atau menjadikan islam sebagai ideologi (islamisme). Islamisme adalah upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol untuk kepentingan meraih kekuasaan politik. Di Indonesia, tanpa disebut pun, mayoritas masyarakat pasti telah paham siapa kelompok-kelompok tersebut.

Islamisme yang memperalat Islam sebagai ideologi dan mempolitisasi ajaran sebagai doktrin untuk meraih kekuasaan adalah salah satu hambatan besar dalam mewujudkan kedamaian. Pertengkaran, kekecauan, makar dan kekerasan kerap diilhami oleh gerakan islamisme. Tentu banyak persoalan kebangsaan lainnya, namun nampaknya islamisme selalu menjadi duri dalam sekam NKRI.

Gerakan ini secara embrio lahir dari ketidakpuasaan terhadap falsafah bangsa Pancasila dan dasar yang dimiliki bangsa ini. Gerakan pun bermunculan di berbagai daerah dalam bentuk pemberontakan. Pada fase berikutnya, islamimse mewujud dalam gerakan teror yang mengancam stabilitas bernegara dan berbangsa. Negara yang dibangun atas perjanjian dan kesepakatan seluruh anak bangsa digugat, diganggu dan diancam dengan gerakan mengatasnamakan Islam. Padahal sejatinya mereka adalah fitnah terhadpa Islam.

Terhadap kelompok-kelompok ini, Islam sendiri melalui pesan al Qur’an telah menyatakan perang.

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al Anfal: 15-16)

Secara sosio-historis atau sebab penuzulannya mempertegas, membela harga diri dan kedaulatan negara merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Bahkan, kalau mundur dari arena perang bukan karena strategi dan siasat perang, diancam dengan neraka jahannam.

Siapa saja; kelompok kafir atau kelompok atas nama Islam, kemudian menyerang negara, maka kewajiban kita adalah mempertahankan negara. Maka, dalam konteks ancaman disintegrasi bangsa berupa ideologi atau Islam politik, kita berkewajiban melawan mereka dengan melakukan counter strategi yang masif dari seluruh elemen bangsa untuk menghadang laju ruang gerak mereka.

Pada tataran realitas di lapangan, atau pun gerakan propaganda di media, harus dilakukan upaya perlawanan yang serius dan sungguh menghalau laju ruang gerak mereka.

Inilah yang menjadi tugas bangsa Indonesia saat ini. Jihad melawan gerakan Islam politik. Karena pada sisi yang lain, gerakan Islam politik juga merupakan gerakan makar menentang pemimpin yang sah.

Al Qur’an tegas memerintahkan untuk taat kepada pemimpin. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu”. (QS. Al Nisa: 59)

Dengan demikian, sudah jelas bahwa melawan gerakan Islam politik atau ideologi radikal yang merentankan terjadinya disintegrasi bangsa adalah kewajiban seluruh masyarakat Indonesia sebagai bentuk kecintaan terhadap tanah air. Dalam banyak hadits Nabi pun memberikan penegasan kewajiban untuk mencintai dan membela tanah air. Kemudian, diistilahkan dengan “Hubbul Wathan Minal Iman”. Cinta tanah air bagian dari iman.

ISLAM KAFFAH