Tugas Kita Sebelum Anak Mumayyiz

APA pentingnya masa mumayyiz? Ia sangat menentukan arah perkembangan anak-anak kita saat memasuki ‘aqil baligh, apa mereka akan menjadi pemuda yang memiliki arah hidup nan jelas dan kokoh serta berkomitmen terhadapnya, ataukah menjadi remaja yang mudah terombang-ambing sehingga banyak menyita waktu, tenaga, pikiran dan perhatian orangtua disebabkan kerentanannya terhadap masalah.

Begitu ‘aqil baligh, anak seharusnya menjadi seorang fatan yakni remaja atau pemuda dengan arah hidup yang jelas, berani bersikap, tidak ragu menyuarakan kebenaran serta mempunyai pendirian yang kokoh. Ia memiliki komitmen yang  kuat, tak takut menunjukkan sikapnya meskipun tak ada yang berpihak kepada apa yang diyakininya. Ini merupakan sebaik-baik masa sehingga mereka tampil sebagai sosok asyudda  dimana berbagai kebaikan berada pada puncaknya. Tetapi jika mereka tidak kita siapkan dengan baik,  masa-masa ini justru menjadi cabang kegilaan ketika tindakan ngawur, melanggar hukum, akhlak yang rusak dan berbagai hal menyimpang lainnya justru tampil menonjol dalam diri mereka.

Fatan  juga memiliki kandungan makna mudah menerima kebenaran, cenderung kepada apa yang benar. Ini dekat sekali dengan taqwa. Mudah menerima kebenaran berarti anak memiliki kesiapan untuk menyambutnya. Bukan mudah ikut-ikutan dimana anak mudah terpengaruh oleh kebaikan maupun keburukan.

Lalu apa yang perlu kita lakukan agar masa muda anak-anak kita tidak menjadi masa penuh gejolak, terombang-ambing, berontak, lari dari orangtua dan hal-hal buruk yang semisal itu? Menyiapkannya agar mereka memiliki arah yang jelas, komitmen yang kuat serta identitas diri yang matang. Kapan kita melakukannya? Yang paling penting adalah masa-masa sebelum mumayyiz untuk mempersiapkan mereka agar benar-benar memiliki tamyiz yang kuat dan baik tepat pada waktunya. Agama kita, Islam, menuntut kita agar anak-anak mencapai tamyiz (selambatnya) di usia 7 tahun. Di usia inilah kita mulai dapat memerintahkan anak mengerjakan shalat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah anakmu shalat apabila mereka telah berumur tujuh tahun. Dan jika mereka telah berusia sepuluh tahun, pukullah mereka (jika tidak shalat).” (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ad-Darimi, dll).

Apa konsekuensi perintah ini? Pertama, menyiapkan anak agar sebelum usia 7 tahun telah memiliki kecintaan terhadap apa yang akan diperintahkan, yakni shalat. Cinta itu berbeda dengan kebiasaan. Anak yang terbiasa melakukan setiap hari boleh jadi tidak mencintai sama sekali. Kedua, perintah Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah perintah untuk memerintah. Ini menunjukkan bahwa pada kalimat perintah ada kebaikan. Karena itu kita perlu mengilmui. Ketiga, menyiapkan anak agar memiliki bekal yang cukup sehingga ketika usia 10 tahun tidak mengerjakan shalat, anak memang telah dapat dikenai hukuman. Apa yang menyebabkan seseorang dapat dikenai hukuman? Apabila ia telah memiliki ilmu yang terkait dengannya.

Secara ringkas, berikut ini yang perlu kita lakukan pada anak-anak sebelum mereka mumayyiz. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menolong kita.

Menanamkan Kecintaan terhadap Kebaikan

Apakah cinta itu? Bertemunya tiga hal, yakni meyakini sebagai kebaikan, kemauan yang kuat terhadapnya serta komitmen yang besar. Meyakini sebagai kebaikan akan melahirkan kebanggaan terhadapnya, bukan membanggakan diri sendiri, sehingga orang bersemangat terhadapnya, baik membicarakan maupun melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Inilah yang perlu kita tanamkan pada anak-anak sebelum mumayyiz. Kita tanamkan cinta pada diri mereka terhadap kebaikan, khususnya berkait dengan ibadah. Kita kobarkan cinta mereka dengan membangun keyakinan bahwa syariat ini sempurna dan pasti baik. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad ﷺ. Berbahagialah yang dapat memperoleh petunjuk dari keduanya.

Satu hal yang perlu kita ingat, keyakinan sangat berbeda dengan pengetahuan dan pemahaman, sebagaimana cinta tidak sama dengan terbiasa. Bahkan terbiasa melakukan tidak serta merta membentuk kebiasaan (habit). Betapa banyak anak-anak yang telah terbiasa melakukan praktek ibadah, bahkan sebelum waktunya. Tetapi ketika telah tiba masanya untuk bersemangat, gairah mengerjakannya seolah padam.

Apa yang menumbuhkan kecintaan? Bercermin pada riwayat shahih yang sampai kepada kita, di antara jalan untuk menumbuhkan kecintaan kepada ibadah itu ialah, memberi pengalaman berharga dan mengesankan pada diri anak-anak. Tengoklah, betapa senangnya cucu Rasulullah ﷺ menaiki leher kakeknya tatkala sedang shalat; betapa Umamah binti Zainab digendong oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sembari tetap melaksanakan shalat. Dan dua kisah ini hanyalah sekedar contoh di antara berbagai contoh lainnya.

Sebagian orang tergesa-gesa sehingga menyuruh anak shalat sebelum usia tujuh tahun. Bahkan ada yang melampaui batas, yakni mewajibkan anak shalat Dhuha yang bagi orang dewasa saja sunnah. Alasannya? Menumbuhkan kebiasaan. Padahal kebiasaan tanpa kecintaan akan kering dan mudah pudar.

Tak jarang, orangtua maupun pendidik memaksa anak mengerjakan shalat, termasuk shalat sunnah, sebelum mumayyiz. Padahal pemaksaan itu, baik secara halus maupun kasar, justru dapat menimbulkan karahah (kebencian) yang bentuk ringannya adalah malas, enggan.

Menumbuhkan Tamyiz

Apakah yang dimaksud dengan tamyiz? Banyak penjelasan, tetapi pada pokoknya adalah kemampuan membedakan, dalam hal ini membedakan benar dan salah serta baik dan buruk dengan akalnya. Mampu membedakan sangat berbeda dengan mengetahui perbedaan. Mampu membedakan menunjukkan adanya pengerahan kemampuan berpikir untuk menentukan nilai atau kedudukan sesuatu.

Apa yang kita perlukan untuk berpikir? Sekurang-kurangnya ada dua hal, yakni menggunakan pengetahuan yang telah ada pada dirinya untuk menilai sesuatu serta mendayagunakan akal untuk menemukan prinsip-prinsip.

Rumit? Sebagaimana pengetahuan, kemampuan berpikir juga bertingkat-tingkat. Kemampuan tamyiz seseorang juga demikian. Tetapi jika tidak kita persiapkan maka anak tidak akan memilikinya, kecuali sangat terbatas, meskipun usia sudah 10 tahun dan bahkan lebih. Maka ada orang yang usianya sudah dewasa, tetapi ia termasuk ghair mumayyiz (orang yang tidak memiliki tamyiz).

Jadi, apa yang perlu kita berikan kepada anak? Pertama, keyakinan berlandaskan ilmu tentang kebenaran dan kebaikan. Kedua, kemauan kepada agama, kebaikan dan ilmu. Ketiga, merangsang kemampuan anak untuk berpikir sehingga mampu membedakan benar dan salah serta baik dan buruk dengan akalnya. Ini secara bertahap kita arahkan untuk mulai belajar menilai mana yang penting dan mana yang tidak penting.

Satu hal lagi, disebut tamyiz apabila ia mengenal (‘arafah) kebenaran dan kebaikan. Kata ‘arafah menunjukkan bahwa unsurnya bukan hanya mengetahui, melainkan ada idrak (kesadaran yang menggerakkan kemauan) terhadapnya.

Nah. Inilah yang sangat penting. Inilah tugas kita, para orangtua maupun guru TK untuk menyiapkannya.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku buku parenting

HIDAYATULLAH

14 Dosa Anak Muda di Bulan Ramadhan

Pertama, masih ada yang sering ONANI di malam hari atau ada juga saat siang hari puasa. Ingat, onani itu dosa besar karena bukan menyalurkan syahwat pada tempatnya. Di samping dampak buruk onani itu banyak.

Kedua, habis sahur bablas tidur, tidak shalat Shubuh. Kalau ini sering banget ditemukan. Di antara sebabnya karena makan sahurnya terlalu malam. Kalau makan sahur bisa dekat dengan waktu Shubuh, pasti bisa langsung shalat Shubuh. Ingat meninggalkan shalat itu dosa besar.

Ketiga, masih pacaran. Bahkan ada yang siang hari puasa masih berduaan bareng dengan pacarnya. Puasa bisa jadi sia-sia lantaran ini.

Keempat, lebih mementingkan buka puasa, daripada shalat magrib. Shalat Magrib tidak pernah dipikirkan, yang penting berpikir berbuka dengan berbagai menunya.

Kelima, puasa tetapi tidak shalat. Padahal meninggalkan shalat itu kekafiran. Dikira jika shalat ditinggalkan, tidak berpengaruh pada puasa. Harusnya kita berpuasa, juga harus shalat.

Keenam, gosipin orang dan membicarakan keburukan orang, ini namanya ghibah. Ghibah itu masuk dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut, ghibah adalah membicarakan kejelekan orang lain saat ia tidak ada.

Ketujuh, tidak patuh pada orang tua. Contoh saja, malas di suruh ke warung sama orangtua, karena sibuk main hape.

Kedelapan, habisin waktu untuk mancing, sampai tidak mengerjakan shalat.

Kesembilan, mendengar musik, sama saja halnya dengan musik islami.

Kesepuluh, mengganggu orang lain saat shalat berjamaah seperti saat shalat tarawih. Contoh, main perang sarung dan main petasan saat tarawih.

Kesebelas, merokok sembunyi-sembunyi. Padahal merokok sendiri sudah dihukumi haram. Apalagi saat sedang puasa merokok. Ini termasuk kelakuan tidak jujur saat puasa.

Kedua belas, kesempatan lebih mendekatkan diri dengan pacar/ mantan dengan cara bangunin makan sahur, suruh shalat, dan lain-lain. Inilah bentuk yang disebut pacaran Islami.

Ketiga belas, jalan-jalan Shubuh dan nongkrong bakda Shubuh, sambil memandang wanita yang tidak halal dilihat.

Keempat belas, main futsal pada malam hari, sampai meninggalkan shalat Isya atau shalat Shubuh.

Muhammad Abduh Tuasikal

RemajaIslam

Pentingnya Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

REMAJA. Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita? Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah remaja untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!”

Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; amal shalihnya berpahala, amal salahnya berdosa.

Ismail alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:

Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QS An Nisaa: 9)

Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.

Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting.

Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita?

Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya. Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!” Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.

Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya. Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.” Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita kutuk dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil?

Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”

Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar. Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.

Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu. Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.

Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari dawah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata dawah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati. Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Ismail. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata. Aamiin. [Salim A. Fillah]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2350724/pentingnya-qaulan-sadiidaa-untuk-anak-kita#sthash.U39j8mDD.dpuf