Cara Mencari Rezeki Pun Harus Halal

Oleh: Erdy Nasrul

Harta yang haram tidak membawa keberkahan.

Konsumsi haram ternyata tidak terbatas pada hilir, tetapi juga menyangkut hulu. Bila proses pencarian harta tersebut menggunakan cara-cara yang haram, apa pun yang dikonsumsi ataupun dipakai dalam kesehariannya bisa dinyatakan haram.

Sebab, menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Ali Mustofa Yaqub, haram itu bukan hanya bersifat internal (lidzhatihi) lantaran mengandung unsur keburukan (khabits), atau terdapat zat berbahaya (dharar), baik membahayakan akidah, kesehatan jasad, jiwa, dan lainnya.

Apabila mengandung najis maka sesuatu bisa menjadi haram. Ada juga haram eksternal atau (lighairihi). Ini berkaitan dengan cara memperolehnya.

Pakar hadis ini menguraikan sejumlah kriteria proses perolehan rezeki yang bisa berakibat fatal, yakni keharaman harta yang diperoleh.

Antara lain, riba, judi, suap, merugikan atau menzalimi orang lain, penipuan (gharar), tidak terdapat unsur maksiat, dan bukan perkara haram. “Jika cara perolehannya tidak mengandung salah satu dari tujuh unsur tadi maka itu halal,” ujarnya.

Pengasuh Pesantren Daarussunah Ciputat, Tangerang Selatan, ini menjelaskan menjaga diri dari yang haram merupakan keharusan.

Ada tiga hikmah yang diperoleh berkaitan dengan larangan mengonsumsi yang haram. Mengonsumsi yang haram mengakibatkan ibadah tertolak.

Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Seorang musafir yang dengan kondisi memprihatinkan berdoa, tetapi doanya tidak terkabul.

Lantaran, kata Rasulullah SAW, pakaian yang dikenakan berdoa hasil dari perbuatan haram. “Jika doa yang inti ibadah saja tidak diterima apalagi lainnya,” kata Ali.

Selain itu, sanksi mengonsumsi perkara haram adalah api neraka. Hal ini seperti ditegaskan hadis riwayat Turmudzi. Rasul menyatakan, setiap kerak daging ditumbuhkan dari makanan haram maka tempatnya pasti neraka.

Analisisnya, daging yang seperti itu bahan bakunya haram.  “Diajak ibadah berat, tetapi bermaksiat gampang,” ujarnya.

Ketua Forum Pemuda Lintas Agama KH Abdul Rojak menyatakan mencari rezeki halal berarti mencari sesuatu yang bermanfaat dan tidak menyalahi aturan saat mendapatkannya.

Sejumlah ayat Alquran dan hadis menyerukan keharusan mencari rezeki yang halal. Seperti, surah al-Baqarah ayat 168. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.”

Sedangkan, hadis Rasul riwayat Muslim dari Ibnu Miqdam menyatakan, tidak ada yang lebih utama dari apa yang dimakan, kecuali bersumber dari hasil kerja kerasnya sendiri.

Menurut Sekretaris Umum MUI Tangsel ini, rezeki yang halal tentu membawa ketenangan bagi yang memanfaatkannya.

Penggunaan rezeki yang halal itu memunculkan rasa tenang, tidak takut, atau waswas. “Ini yang penting,” ujar Wakil Ketua Yayasan ar-Rahmaniyah ini.

Rezeki yang halal tentu akan membawa keberkahan. Berkah itu semakin bertambahnya rezeki. Rojak menyatakan, manfaat rezeki bukan terletak pada besar kecilnya, melainkan kehalalan dan keberkahan.

Rezeki yang tidak halal tidak akan membawa berkah. Harta hasil korupsi misalkan, pasti akan habis ketika diusut aparat penegak hukum.

Rojak menyatakan jika telanjur mengonsumsi yang haram maka harus dilihat keharamannya. Jika yang haram itu memang dari zatnya maka harus dimuntahkan ketika disadari makanan itu haram. Jika telanjur dikonsumsi, harus bertobat.

Jika barang yang dimanfaatkan adalah haram karena cara memperolehnya maka harus mendatangi pemiliknya. Kemudian, meminta maaf kepada pemiliknya. Setelah itu, bertobat. Ini penting karena yang haram ini besar dampaknya.

 

sumber: Republika Online

Melangkah Terus Bersungguh Mencari Rezeki

Oleh Widdi Aswindi

Teh manis dingin, di tengah terik yang lembab khas milik wilayah ekuator, memberikan kesegaran yang pas dan perlu.

Menunggu sahabat untuk berdiskusi berbagai hal, utamanya tentu peluang bisnis apa yang harus dikerjakan. Semua manusia di muka bumi ini memang diwajibkan untuk mencari rezeki dan bersyukur. Tidak terkecuali bagi siapapun.

Indahnya mencari rejeki adalah pengharapan pada ketidakpastian di satu sisi dan kesiapan serta kesungguhan di sisi lain. Singkatnya, berhati-hatilah jika diri kita sudah terjebak pada kenyamanan seakan-akan sesuatu atau diri kita sudah pasti.

Kenyamanan akan kepastian akan membuat tumpul otak dan kreatifitas bahkan memastikan aktifitas sebagian anggota tubuh. Hehehe….

Saya yakin semua teman dan sahabat saat inipun sedang bergelut dengan ketidakpastian seperti saya ini. Walau target ketidakpastian itu beragam, ada yang merasa dan mengusahakan dari mulai ribu bahkan mungkin triliun. Apapun itu semoga semua sahabat di berikan kemudahan dan kelancaran, dan mengakhirinya dengan senantiasa bersyukur.

Indonesia berharap dan selalu membutuhkan, manusia-manusia yang terus bergerak dalam ketidakpastian yang dinamis, menyempurnakan segala hal di berbagai bidang dan levelnya. Hingga pada akhirnya kita sampai pada kesempurnaannya.

Selamat meneruskan pekerjaan dan pencarian ketidakpastian, setelah makan siang yang masuk ke perut kita masing-masing.

 

sumber: Republika Online

Ini Rezeki yang Dijamin

Oleh: Iu Rusliana

 

Hampir setiap manusia menginginkan rezeki melimpah ruah. Kalau perlu, dapat diwariskan untuk tujuh turunan. Sifat tamak, serakah, berfoya-foya dan kikir ikut menyertainya. Padahal, harta hanyalah titipan, alat untuk menjalankan tugas kekhalifahan, memakmurkan bumi, dan beribadah kepada-Nya.

Janganlah mencari harta membuat kita lalai dari kewajiban beribadah. Karena, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan makhluk disertai dengan rezekinya masing-masing. Dalam Alquran surah Hud ayat 6 disebutkan, “Dan tidak ada binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Lauhul Mahfuzh.”

Seperti kisah mashur seorang sufi bernama Abul Hasan al-Mishri yang menjalani hidup zuhud. Pada usia senjanya, meninggalkan jabatan di pemerintahan dengan gaji 50 dinar per bulan. Beliau beruzlah di menara Masjid Jami’ Amr bin al-Ash sampai akhir hayatnya.

Konon, Al-Mishri memilih hidup zuhud karena seekor kucing yang selalu datang ke rumahnya setiap pagi menunggu untuk diberikan makanan. Ketika diberi, kucing itu tidak langsung memakannya, tapi membawanya pergi. Karena penasaran, Al-Mishri membuntuti kucing itu. Ternyata, makanan itu dibawanya ke suatu gubuk. Di sana terdapat kucing lain yang buta. Makanan itu ia letakkan dihadapan kucing yang buta tersebut. Rupanya, dari situlah kucing buta tersebut mendapatkan makanannya sehari-hari.

Al-Mishri terkesima melihat pemandangan yang tak biasa tersebut dan ia bergumam, “Zat yang telah menjadikan kucing ini sebagai pelayan bagi kucing buta yang melarat itu sangat bisa membuatku tidak butuh kepada dunia ini.”

Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa dari kehidupan binatang pun manusia dapat belajar, tersadar dari kelalaiannya kepada Allah SWT. Kita sering kali sombong terhadap apa yang telah dimiliki, lupa bahwa apa yang diperoleh, selain merupakan usaha, juga ada campur tangan Allah sang pemberi rezeki.

Rasulullah SAW menegaskan, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang dengan perut yang penuh.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Hakim dari Umar bin al-Khatthab).

Hanya saja, mesti disadari, sudah menjadi sunnatullah ada yang mendapat kelebihan rezeki, tapi ada pula yang hanya dipenuhi kebutuhan primernya atau disempitkan. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 212, “…Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas.”

Dalam makna yang sama, Allah menyampaikan bahwa akan ada orang-orang yang diberikan rezeki melimpah, sebagaimana tertera dalam surah Ali Imran ayat 27 dan 37. Bahkan, ditegaskan pula, bila Allah SWT menghendaki, mungkin saja ada yang diluaskan rezekinya atau disempitkan. Seperti yang disampaikannya dalam surah ar-Ra’d ayat 26, “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Kepada mereka yang berlebih, hendaknya selalu bersyukur dan membantu yang kekurangan. Sementara, bagi mereka yang kekurangan, hendaknya bersabar, terus berusaha, tetap bersyukur atas karunia yang diberikan oleh-Nya, dan menjaga iman. Karena, kefakiran cenderung mendorong manusia kepada kekafiran.

Keyakinan bahwa rezeki dijamin Allah SWT tidak berarti hidup yang dijalani tidak produktif. Bekerja keraslah sekuat tenaga agar kita tidak meninggalkan keluarga dan keturunan dalam kefakiran.

Menjadi kewajiban kita untuk berusaha sekuat tenaga agar selain mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, juga membantu orang lain. Ingatlah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu’alam.

 

sumber: Republika Online

Mengapa Manusia Sering Galau Soal Rezeki?

Oleh: Tengku Zulkarnain

 

Banyak orang menyangka bahwa rezeki itu merupakan sesuatu yang mesti dicari, padahal rezeki adalah sesuatu yang sudah ditetapkan Allah SWT. Rezeki pasti akan datang baik dicari atau tidak. Lantas, orang akan bertanya mengapa manusia mencari sibuk rezeki kalau dia sudah pasti datang? Jawabnya, karena mencari rezeki itu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Melakukannya berarti menjalankan sebuah ibadah, yang berarti mendapatkan pahala di dalamnya. Rasul bersabda, “Mencari rezeki dengan cara yang halal merupakan perbuatan keramat di sisi Allah SWT.”

Di Medan ada seekor ular hijau yang bertubuh kecil, tetapi sangat berbisa. Ular ini hidup di pohon kayu dan terkenal sangat pemalas, lamban ,dan jarang bergerak. Dia bukan pemakan daun, tetapi pemakan ulat dan hewan kecil lainnya. Kami menyebutnya ular kintamani. Lantas, bagaimana ular yang sangat lamban dan jarang bergerak ini mendapatkan makanannya? Orang mungkin akan berpikir bahwa ular ini akan segera mati kelaparan karena kelemahannya itu. Ternyata, tidak demikian. Ular ini setiap hari mendapatkan jatah makanannya dari beberapa ekor burung kecil. Burung itu di Medan disebut burung perenjak. Setiap hari burung itu membawakan ulat dan menyuapkannya langsung ke mulut sang ular.

Ular kintamani hijau itu akan membukakan mulutnya untuk menerima makanannya dari sang burung berulang-ulang sampai kenyang. Sekalipun ular itu tidak pernah memakan sang burung untuk mengenyangkan perutnya. Padahal, jika ular itu mau, dengan sekali tangkap binasalah sang burung itu. Dan, ular itu pun akan kenyang dengan serta-merta tanpa perlu berulang ulang memakan ulat-ulat kecil yang memakan waktu lama dan melelahkannya.

Suatu hari, Imam Malik bin Dinar berhenti sejenak dalam perjalanan beliau di sebuah padang pasir yang sepi. Beliau mengeluarkan perbekalannya untuk santap siang. Ketika beberapa potong daging dendeng diletakkan di atas suprah makannya, tiba-tiba seekor kucing liar datang menghampiri dan menangkap sepotong daging. Kemudian dengan santainya, sang kucing melenggang pergi sambil membawa daging itu. Imam Malik bin Dinar merasa heran. Tidak biasanya seekor kucing berani mencuri makanan manusia dengan setenang itu. Kejadian langka ini menyebabkan beliau membatalkan makannya.

Sambil membungkus kembali perbekalannya, beliau mengikuti sang kucing. Ajaib, ternyata kucing itu sama sekali tidak memakan daging curiannya, tetapi terus berjalan menuju setumpukan batu. Kemudian sang kucing menjatuhkan daging itu ke dalam sebuah lubang di tumbukan batu. Sejenak sang kucing memandang ke dalam lubang, kemudian beranjak pergi meninggalkan lubang tersebut.

Imam Malik segera menghampiri lubang itu untuk mengambil tahu. Apa yang dilihat beliau di dalam lubang tersebut membuatnya tercengang. Ternyata di dalam lubang itu hidup seekor ular berbisa yang buta. Dapat dipastikan sang ular akan mati kelaparan tanpa bantuan si kucing. Kisah ini semestinya membuat kita yakin bahwa rezeki sudah dijamin Allah. Benarlah Allah yang berfirman dalam Alquran, “Dan apa-apa yang melata di muka bumi melainkan telah dijamin Allah rezekinya.” Dalam ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa Dia kehendaki tanpa perhitungan banyaknya.”

Jika demikian, mengapa kita manusia sering galau dengan rezeki sehingga rela menempuh jalan hina yang tercela untuk mendapatkannya? Sungguh tak pantas jika keyakinan manusia yang telah dilantik Allah sebagai khalifah di bumi kalah dengan seekor ular. Wallahu a’lam bish shawab.

 

sumber: Republika Online

Kenapa Besaran Rezeki Kita Berbeda?

Oleh Nashih Nashrullah

Rezeki yang diterima oleh manusia, tak pernah sama. Ada yang seharian memeras keringat, rupiah yang diperoleh tak setimpal, bahkan nihil. Sementara di sisi lain, sebagian anak Adam begitu mendapat rezeki begitu mudah, hingga melimpah ruah. Kenapa perbedaan itu terjadi?

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi mengungkapkan rahasia di balik perbedaan pembagian rezeki tersebut melalui kitabnya yang berjudulTilka Hiya al-Arzaq.
Risalah sederhana Menteri Urusan Wakaf dan Al-Azhar Republik Arab  Mesir pada 1976-1978 itu berusaha menguak hikmah di balik sejumlah fenomena menarik soal pencarian rezeki.

Tokoh kelahiran Daqadus, sebuah desa di Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir, mengatakan perbedaan tersebut dimaksudkan agar rezeki dapat mengalir ke individu dengan cara yang berbeda-beda. Jika terjadi perbedaan rezeki, Allah akan memberikan haknya dalam bentuk yang lain. Hal ini karena—sekali lagi—rezeki bukan hanya uang semata, tetapi rezeki adalah segala sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia.

Karenanya, bentuk rezeki yang diberikan Allah tidak terbatas. “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212). Dalam ketentuan dan hitungan matematis besaran output akan ditentukan oleh besaran input.

Tetapi, tidak dalam konteks rezeki yang Allah berikan, Allah tidak memberikan batas. Bahkan, tak jarang Allah memberikan rezeki di luar batas usaha yang telah ditempuh oleh seorang hamba, apa yang diperoleh bisa lebih banyak dari yang dikira dan telah diusahakan.

Sebagian Muslim lalu bersikap sinis dan terheran dengan rezeki lebih yang diterima oleh orang kafir. Tetapi, mengapa kaum Muslim itu tidak mencoba menghitung betapa besarnya nilai kebajikan yang Allah berikan kepada mereka.

Belum lagi rezeki berupa rasa nyaman yang dirasakan oleh hati. Terlebih jika mereka mengetahui bahwa hari pembalasan pasti akan tiba. Allah akan memberikan balasan sesuai dengan keyakinan dan amal yang telah diperbuat selama di dunia (QS an-Nahl [16]: 96-97).

Menurut Syekh, di sinilah umat Islam perlu bersikap qanaah, menerima bagian yang telah diterima. Hidup akan tambah bermakna dengan sikap qanaah terhadap rezeki yang halal. “Hendaknya menjaga etika jika melihat orang lain telah diberikan rezeki lebih.”

Tidak ada yang tahu apa hikmah di balik pemberian yang berlimpah itu. Tetapi, kata dia, perlu diperhatikan bahwa rezeki adalah ujian. Rezeki yang dianugerahkan tak boleh digunakan sebagai sarana untuk saling menyanjung ataupun menghina satu sama lain. Kemuliaan bukan terdapat pada bertambahnya rezeki. “Kemuliaan itu terletak pada sejauh manakah ia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya dalam pendayagunaan rezeki itu,”ujar Syekh Sya’rawi.

Minimnya rezeki yang diperoleh bukan berarti rendah dan hina. “Maka, tenanglah wahai mereka kaum miskin dhuafa. Allah tak akan menelantarkan hamba-Nya tanpa rezeki sedikit pun. Dan, bersikaplah mawas bagi mereka yang berkecukupan dan lebih rezekinya. Apa yang mereka peroleh adalah ajang ujian untuk mereka,” tuturnya mengingatkan.

Simaklah surah al-Fajr [89]: 14-15. “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya Mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.”

 

sumber: Republika Online

Krisis Ekonomi: Mengurangi Jatah Rizki Anda?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Jutaan mata dengan khusyu mempelototi grafik pergerakan kurs rupiah terhadap dollar. Semua menaruh harap-harap cemas. Nasib rupiah… nasib rupiah. Rasanya tidak lelah perhatian kita tertuju pada rupiah.

Kita sepakat, keresahan itu lumrah. Karena kita semua memiliki kepentingan dengan rupiah. Hanya saja, tidak kalah penting untuk kita perhatikan, jangan sampai keresahan ini menggeser aqidah dan keyakinan kita tentang rizqi.

Diantaranya, yang saya maksud, keyakinan sebagian orang, krisis moneter, krisis ekonomi, mengurangi jatah rizki kita.

Konsep Rizki dalam al-Quran

Salah satu keterangan ulama tentang konsep rizqi dalam al-Quran adalah ucapan Hasan al-Bashri. Beliau mengatakan,

قرأت في تسعين موضعا من القرآن أن الله قدر الأرزاق وضمنها لخلقه ، و قرأت في موضع واحد : الشيطان يعدكم الفقر؛ فشككنا في قول الصادق في تسعين موضعاً و صدقنا قول الكاذب في موضع واحد

Aku membaca ada 90 ayat dalam al-Quran yang mengajarkan bahwa Allah yang mentadirkan rizqi, dan Dia yang menanggung rizki semua makhluk-Nya. Sementara aku membaca satu ayat mengatakan, “Setan menjanjikan kefakiran untuk kalian.”

Akan tetapi, kita ragu dengan firman Allah yang Maha Benar di 90 ayat, dan kita membenarkan satu ucapan pendusta di satu ayat.

Dalam Allah banyak menjelaskan, bahwa Dialah yang menjamin rizqi semua makhluk-Nya.

Kita lihat diantaranya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Tidak ada suatu yang hidup-pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam makhluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Hud: 6)

Allah juga berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ

Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. (QS. Thaha: 132)

Allah juga menyatakan,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)

Ibnu Katsir mengatakan,

أي: ولكن يرزقهم من الرزق ما يختاره مما فيه صلاحهم، وهو أعلم بذلك فيغني من يستحق الغنى، ويفقر من يستحق الفقر.

“Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang mengandung maslahat bagi mereka. Dan Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah memberikan kekayaan kepada orang yang layak untuk kaya, dan Allah menjadikan miskin sebagian orang yang layak untuk miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7/206)

Dan masih banyak ayat yang mengajarkan hal serupa dengannya, seperti yang disebutkan Hasan al-Bashri.

Dari ayat-ayat ini, kita memiliki kesimpulan, bahwa kondisi krisis ekonomi apapun yang terjadi, baik skala mikro maupun makro, sejatinya mempengaruhi jatah rizki yang telah Allah tetapkan untuk makhluk-Nya.

Rizki yang kita terima tidak selalu datar. Terkadang mengalami kenaikan dan penurunan. Hanya saja kita tidak tahu kapan rizqi itu turun, dan kapan dia naik. Namun semua itu tidak mengurangi jatah rizqi kita.

Prinsip inilah yang ditanamkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, ketika terjadi kenaikan harga.

Anas bin Malik menceritakan,

Pernah terjadi kenaikan harga barang di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat-pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan masalahnya.

Mereka mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَلاَ السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا

“Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”

Mendengar aduhan ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ إِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad 12591, Abu Daud 3451, Turmudzi 1314, Ibnu Majah 2200, dan dishahihkan Al-Albani).

Kita bisa perhatikan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat laporan tentang kenaikan harga, yang beliau lakukan bukan menekan harga barang, namun beliau ingatkan para sahabat tentang konsep rizqi dalam islam, bahwa Allahlah yang menetapkan harga itu, Dia menyempitkan dan melapangkan rizqi manusia.

Bukan karena Allah mengurangi jatah rizqi mereka. Dengan demikian, mereka akan menerima kenyataan dengan yakin dan tidak terlalu bingung dalam menghadapi kenaikan harga, apalagi harus stres atau bahkan bunuh diri.

Mereka tidak Peduli dengan Kenaikan Harga

Manusia memiliki tugas yang Allah perintahkan. Manusia juga mendapat jaminan rizqi dari Allah, selama mereka hidup di dunia.

Karena itu, seringkali, Allah gandengkan perintah ibadah dengan penjelasan jaminan Allah akan memberi rizqi.

Diantarannya, Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ . مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ . إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi dari mereka, dan Aku tidak meminta mereka untuk memberi makan diri-Ku. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Pemberi rizki, Yang memiliki kekuatan, nan kokoh. (QS. ad-Dzariyat: 56 – 58)

Demikian pula firman Allah tentang menjaga shalat,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Perintahkahlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam menjaga shalat. Aku tidak meminta rizki darimu, Aku yang akan memberikan rizki kepadamu. Akibat baik untuk orang yang bertaqwa.” (QS. Thaha: 132)

Di masa silam, terjadi kenaikan harga pangan sangat tinggi. Merekapun mengadukan kondisi ini kepada salah seorang ulama di masa itu.

Kita lihat, bagaimana komentar beliau,

والله لا أبالي ولو أصبحت حبة الشعير بدينار! عليَّ أن أعبده كما أمرني، وعليه أن يرزقني كما وعدني

“Demi Allah, saya tidak peduli dengan kenaikan harga ini, sekalipun 1 biji gandum seharga 1 dinar! Kewajibanku adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang Dia perintahkan kepadaku, dan Dia akan menanggung rizkiku, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepadaku.”

Ini karena beliau memahami, kondisi krisis, tidak akan mengurangi jatah rizqinya. Selama dia masih ditaqdirkan hidup, Allah pasti akan memberikan jaminan rizqi untuknya.

Allahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)