Riba dalam Pandangan Al-Quran

Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki, dan dengan rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang  Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi menjelaskan kandungan al-Qur’an.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu memiliki watak yang merugikan banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli, calo, perjudian dan riba, pasti akan ditolak.

Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dan RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Artinya : “Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 270).

Barang-barang haram yang tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas bersama kumpulan manusia lainnya namun tiada sanggup melakukannya akibat maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya : “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata:

“Orang yang memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi tercekik”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/40).

Imam Qatadah juga berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.” (Lihat Al-Kaba’ir, Imam Adz-Dzahabi, hal. 53).

Dalam Shahih Al-Bukhari dikisahkan, bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bermimpi didatangi dua orang laki-laki yang membawanya pergi sampai menjumpai sebuah sungai penuh darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki dan di pinggir sungai tersebut ada seseorang yang di tangannya banyak bebatuan sambil menghadap kepada orang yang berada di dalam sungai tadi. Apabila orang yang berada di dalam sungai hendak keluar, maka mulutnya diisi batu oleh orang tersebut sehingga menjadikan dia kembali ke tempatnya semula di dalam sungai. Akhirnya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bertanya kepada dua orang yang membawanya pergi, maka dikatakan kepada beliau: “Orang yang engkau saksikan di dalam sungai tadi adalah orang yang memakan harta riba.” (Fathul Bari, 3/321-322).

Inilah siksa yang Allah berikan kepada orang-orang yang suka makan riba, bahkan dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir Radhiallaahu anhu mengatakan, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (HR. Muslim, no. 1598).

Semaraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram.

 Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukumNya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

مَا ظَهَرَ فِيْ قَوْمٍ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلاَّ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ.

Artinya : “Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.” (Lihat Majma’Az-Zawaid, Imam Al-Haitsami, 4/131).

Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan Umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.

Dalam firman-Nya Allah Subhannahu wa Ta’ala menegaskan:

وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدْ نُهُوا۟ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Artinya : “Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa’: 161).

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan riba merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalan-Nya yang lurus.

ISLAM KAFFAH

Praktek Riba dalam Transaksi Online

Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Ta’ala, kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276).

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’” (HR. Muslim no. 2995).

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina’” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89).

Begitu pun dalil-dalil yang lainnya yang sangat jelas menunjukkan keharaman riba dan besarnya dosa riba. Maka sudah semestinya kita menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari riba dan tidak terlibat sama sekali dalam transaksi riba.

Definisi riba

Syekh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (hal. 272) menjelaskan, “Riba secara bahasa artinya: tambahan. Secara istilah syar’i, riba adalah adanya tambahan dalam pertukaran dua barang tertentu (yaitu komoditas ribawi).”

Sebagaimana hadis dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الذَّهبُ بالذَّهبِ . والفضَّةُ بالفِضَّةِ . والبُرُّ بالبُرِّ . والشعِيرُ بالشعِيرِ . والتمْرُ بالتمْرِ . والمِلحُ بالمِلحِ . مِثْلًا بِمِثْلٍ . سوَاءً بِسَواءٍ . يدًا بِيَدٍ . فإذَا اخْتَلَفَت هذهِ الأصْنَافُ ، فبيعوا كيفَ شئْتُمْ ، إذَا كانَ يدًا بِيَدٍ

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafaz Muslim).

Dalam riwayat lain,

الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبَى

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba” (HR. Muslim, no. 1584).

Tidak semua barang dapat terkena hukum riba. Hanya barang-barang tertentu saja yang disebut sebagai al amwal ar ribawiyah (komoditas ribawi); yakni enam komoditas yang disebutkan dalam hadis di atas. Barang tersebut diantaranya emas, perak, burr (gandum kering), sya’ir (gandum basah), garam dan kurma, serta semua barang yang di-qiyas-kan kepada enam komoditas ini.

Dengan menggunakan qiyas, para ulama mengelompokkan komoditas ribawi terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Semua yang termasuk ats-tsamaniyah (alat tukar), di-qiyas-kan kepada emas dan perak. Sehingga uang dengan secara bentukmya (kertas, logam, fiat, digital, dst.) termasuk dalam komoditas ribawi.

2. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al kayli (makanan yang ditakar ukurannya), di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga beras yang diukur dengan ukuran liter, ini termasuk komoditas ribawi.

3. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al wazni (makanan yang ditimbang beratnya), yang juga di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga tepung, jagung, gula ini termasuk komoditas ribawi.

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Kaidah riba dalam hutang-piutang

Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah,

كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا

“setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat atau tambahan (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba.”

Kaidah ini bukanlah sebuah hadis yang sahih dari Nabi. Namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan para ulama. Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Hadis ini lemah menurut para ulama, tidak sahih. Namun maknanya benar menurut mereka. Bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat, maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 463).

Misalnya jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat atau tambahan yang datang dari transaksi hutang-piutang. Sehingga transaksi ini disebut riba sebagaimana kaidah di atas.

Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan di atas, “Emas dengan emas, perak dengan perak … siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.” Sedangkan uang di-qiyas-kan kepada emas dan perak, sehingga pertukaran uang dengan uang dalam hutang-piutang tidak boleh ada tambahan. Jika ada tambahan maka termasuk riba.

Hadiah pun termasuk riba

Hadiah yang diberikan penghutang kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, juga termasuk riba. Karena ini termasuk tambahan dalam hutang piutang. Sebagaimana hadis,

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Dari Abu Burdah, ia berkata: Suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba. Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak, jangan Anda mengambilnya, karena itu riba” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan rincian hukum terkait hadiah dari penghutang,

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ

“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).

Beberapa bentuk riba dalam transaksi online

1. Kartu kredit

Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman hutang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari. Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu. Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit. Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang mana di dalamnya menjelaskan, “Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%. Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang.”

2. Pinjaman online (pinjol)

Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP. Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,

أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5/28).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan, “Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

3. Diskon karena simpan saldo

Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 – 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang. Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan. Bukan akad wadi’ah (penitipan). Karena dalam akad wadi’ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.

Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya. Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata, “suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam rRadhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba’” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, “Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” Artinya, diskon Gopay adalah riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).

Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah , dan semisalnya. Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba. Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).

4. Jual-beli emas secara online

Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana “Emas dengan emas, perak dengan perak … kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)” (HR. Muslim, no. 1584). Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi’ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,

هذا العقد لا يجوز أيضا؛ لتأخر قبض العوضين عنه، الثمن والمثمن، وهما معا من الذهب أو أحدهما من الذهب والآخر من الفضة، أو ما يقوم مقامهما من الورق النقدي، وذلك يسمى بربا النسأ، وهو محرم، وإنما يستأنف البيع عند حضور الثمن بما يتفقان عليه من الثمن وقت العقد يدا بيد‏.‏

“Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi’ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13/475).

Wallahu ta’ala a’lam, demikian beberapa contoh praktek riba dalam transaksi online. Hendaknya jauhkan diri kita dari model-model transaksi demikian. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71668-praktek-riba-dalam-transaksi-online.html

Syubhat Pelaku Riba “Daripada Miskin Lebih Baik Melakukan Riba”

Mereka berdalil dengan sebuah hadis masyhur yang berbunyi,

كادَ الفقرُ أن يَكونَ كُفرًا وَكادَ الحسَدُ أن يغلبَ القدرَ

“Terkadang kefakiran akan membawa kepada kekufuran. Terkadang hasad dapat mendahului takdir.”

Derajat hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (3: 53) juga oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2: 486/1), dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Riwayat ini dha’if karena dalam sanadnya terdapat Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi. Ibnul Jauzi mengatakan, “Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi dikatakan oleh Imam Ahmad, ‘Ia tidak ditulis hadisnya dan hadisnya munkar.’” Yahya bin Ma’in mengatakan, “Ia lelaki yang salih, namun hadisnya tidak bernilai sama sekali.” An-Nasa’i mengatakan, “Ia matrukul hadits.” Ad-Daruquthni mengatakan, “Ia dha’if.” Ibnu Hibban mengatakan, “Ia dahulu adalah orang pilihan dalam masalah ibadah, sering menangis (karena takut kepada Allah), namun ia lalai dalam menghafal hadis saking sibuknya dengan ibadah.” (Adh-Dhu’afa wal Matrukin, karya Ibnul Jauzi)

Terdapat riwayat dari jalan lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul Ausath, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dengan lafaz,

كادَ الحسدُ أن يسبِقَ القدرَ وَكادتِ الحاجةُ أن تَكونَ كُفرًا

“Terkadang hasad dapat mendahului takdir. Terkadang hajat (kemiskinan) dapat menyebabkan kekufuran.”

Riwayat ini juga dha’if karena terdapat perawi yang bernama Utsman bin Qais Al-Kullabi. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid mengatakan, “Ia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, padahal ia adalah perawi yang matruk.” Sehingga riwayat ini tidak bisa menguatkan riwayat sebelumnya.

Terdapat jalan lain yang diriwayatkan oleh Afif bin Muhammad Al-Khathib dalam kitab Al-Manzhum wal Mantsur (2: 188) dari Anas bin Malik, dengan lafaz,

كادت النميمة أن تكون سحرا، و كاد الفقر أن يكون كفرا

“Terkadang namimah menjadi sihir. Terkadang kefakiran membawa kepada kekufuran.”

Namun, riwayat ini maudhu’ (palsu), karena terdapat perawi yang bernama Muhammad bin Yunus Al-Kadimi yang merupakan pemalsu hadis. Sehingga, riwayat ini juga tidak bisa menjadi penguat.

Kesimpulannya, hadis ini dha’if (lemah), dan tidak bisa menjadi dalil. Hadis ini didha’ifkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiah (2: 805), As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah (368), Az-Zarqani dalam Mukhtashar Al-Maqashid Al-Hasanah (731), dan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (1905) [1].

Apakah Miskin = Kufur?

Andaikan hadis ini sahih pun, tidak benar diambil pemahaman bahwa miskin sama dengan kufur, sehingga lebih baik makan riba daripada miskin. Dengan alasan, karena kufur lebih fatal dari maksiat. Sama sekali tidak ada makna demikian.

Adapun jika dimaknai bahwa kemiskinan terkadang akan menyeret seseorang untuk melakukan kekufuran, maka ini makna yang benar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ketika menjelaskan hadis ini.

Al-‘Aini rahimahullah menjelaskan makna hadis ini,

وذلك لأن الفقر ربما يحمل صاحبه على مباشرة ما لا يليق بأهل الدين والمروءة، ويهجم على أي حرام كان ولا يبالي، وربما يحمله على التلفظ  بكلمات تؤديه إلى الكفر

Dan itu dikarenakan kefakiran terkadang membawa pelakunya untuk melakukan hal-hal yang tidak layak dilakukan oleh orang salih dan berwibawa. Dan akan membawa pelakunya untuk menerjang keharaman dan dia tidak peduli (dengan hal itu). Dan terkadang sampai membawa pelakunya untuk mengucapkan kata-kata kufur.” (‘Umdatul Qari)

Namun, tetap saja hadis ini tidak melegalkan riba, karena:

Pertama, tidak ada orang yang miskin karena enggan melakukan riba

Karena bumi Allah itu luas, pekerjaan bermacam-macam, cara menjemput rezeki yang halal ada jutaan cara. Hampir tidak mungkin terjadi pada seseorang, suatu keadaan di mana satu-satunya cara untuk bisa makan adalah dengan riba.

Dan semua yang dilarang oleh syariat justru untuk kemaslahatan manusia. Tidak mungkin syariat melarang sesuatu yang sangat urgen dibutuhkan manusia sehingga membuat manusia menjadi miskin papa jika ditinggalkan. Para ulama menyebutkan sebuah kaidah fiqhiyyah,

الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

Islam tidak memerintahkan sesuatu, kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikannya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan.”

Kedua, menggapai tujuan tidaklah menghalalkan segala cara

Memang benar, kita disyariatkan untuk bekerja dan menghindari kemiskinan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita doa,

اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِن فِتْنَةِ النَّارِ وعَذابِ النَّارِ، وفِتْنَةِ القَبْرِ وعَذابِ القَبْرِ، وشَرِّ فِتْنَةِ الغِنَى وشَرِّ فِتْنَةِ الفَقْرِ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari fitnah api neraka dan azab neraka, dari fitnah kubur dan azab kubur, kemiskinan dan azab kubur, dari keburukan ujian kekayaan, dan dari keburukan ujian kemiskinan.” (HR. Bukhari no. 6377)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

“Sesungguhnya Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan tercukupi, lebih baik daripada Engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang akan membuat mereka meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Bukhari no. 1295 dan Muslim no. 1628)

Maka, berusaha menghindarkan diri dari kemiskinan itu boleh saja. Namun, menggapai tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Menghindari kemiskinan tidak boleh dengan cara-cara haram. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَأْتي علَى النَّاسِ زَمانٌ، لا يُبالِي المَرْءُ ما أخَذَ منه، أمِنَ الحَلالِ أمْ مِنَ الحَرامِ

“Akan datang suatu zaman yang ketika itu manusia tidak lagi peduli dengan harta yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?” (HR. Bukhari no. 2059)

Dan bagaimana mungkin seseorang menghindarkan diri dari kemiskinan dengan dalih hadis “Terkadang kefakiran akan membawa kepada kekufuran”, sedangkan ia melakukan riba yang juga dilarang oleh hadis-hadis Nabi. Ini namanya paradoks!

Ketiga, tidak semua orang yang diuji dengan kemiskinan menjadi kufur

Andaikan hadis di atas sahih, juga tidak menunjukkan bahwa orang yang diuji dengan kemiskinan pasti akan kufur. Bahkan, banyak dalil yang menunjukkan bahwa orang yang miskin punya kesempatan besar untuk masuk surga. Dari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلا أُخْبِرُكُمْ بأَهْلِ الجَنَّةِ؟ قالوا: بَلَى، قالَ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ، لو أقْسَمَ علَى اللهِ لأَبَرَّهُ

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang ahli surga?” Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Orang-orang yang lemah dan diremehkan. Andaikan orang ini bersumpah atas nama Allah dalam doanya, pasti Allah kabulkan.” (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853)

Dari Imran bin Al-Hushain radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اطَّلَعْتُ في الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أكْثَرَ أهْلِها الفُقَراءَ

“Aku pernah melihat surga, dan aku lihat kebanyakan penduduknya adalah orang miskin.” (HR. Bukhari no. 5198 dan Muslim no. 2737)

Tentunya orang miskin yang masuk surga adalah orang miskin yang sabar dengan ujian kemiskinannya dan dia tetap bertakwa kepada Allah sehingga terjaga dari kekufuran.

Adapun orang yang diuji dengan kemiskinan, kemudian ia menjadi lalai dari ketaatan dan terbawa bisikan setan, maka ini tentu adalah kesalahan dirinya dan tidak layak menjadikan kemiskinan menjadi apologi. Karena ini berarti ia terpengaruh oleh bisikan setan yang selalu menakuti-nakuti manusia terhadap kemiskinan. Allah Ta’ala berfirman,

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir). Sedangkan Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 268)

Keempat, riba adalah dosa besar, yang juga bisa membawa kepada kekufuran

Kita semua sudah ketahui bahwa riba adalah dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Berbuat syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, dan menuduh wanita baik-baik berzina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Dan para ulama mengatakan:

المعاصي بريد الكفر

Maksiat adalah sarana menuju kekufuran.”

Maka, jika pelaku riba tidak segera bertaubat, bukan tidak mungkin akan terus membawanya lebih jauh sampai pada kekufuran.

Terlebih lagi jika sampai menganggap riba itu halal. Orang seperti ini, maka ulama sepakat tentang kufurnya. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

ومن اعتقد حل شيء أجمع على تحريمه وظهر حكمه بين المسلمين وزالت الشبهة فيه للنصوص الواردة فيه كلحم الخنزير والزنى وأشباه ذلك مما لا خلاف فيه كَفَر

Siapa yang meyakini halalnya suatu perkara yang disepakati keharamannya oleh para ulama, telah tersebut di tengah kaum muslimin tentang haramnya hal tersebut, dan tidak ada syubhat lagi terhadap nash-nash yang membahas hal tersebut, seperti haramnya daging babi, haramnya zina, dan semisalnya, maka tidak ada khilaf tentang kekufurannya.” (Al-Mughni, 12: 176).

Maka, silakan saja berusaha menghindarkan diri dari kemiskinan. Namun, jangan dengan cara-cara riba. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69762-syubhat-daripada-miskin-lebih-baik-riba.html

Hutang Riba, Tapi Nutupi Dengan Hutang Riba Lagi, Apa Solusinya?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hutang riba, tapi nutupi dengan hutang riba lagi, apa solusinya?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bagaimana jika kita terperosok di hutang riba. Mau dibayarkan belum punya dana. Terpaksa masih utang riba untuk tutup utang riba lainnya. Sebenarnya sudah tidak mau dan benar-benar bertobat. Tapi cari pinjaman tanpa bunga sekarang susah. Bagaimana solusinya ?

(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari grup Hijrah Diaries Putri)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Bismillah walhamdu lillah wash shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi waman waalaah.

Solusinya adalah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesungguh-sungguhnya. Bermuhasabahlah, perhatikan tingkat keimanan dan ketakwaan Anda.
Apakah Anda sudah sebenar-benarnya beribadah dan menghambakan diri kepada Allah Ta’ala?
atau masih banyak perintah yang Anda abaikan dan kemaksiatan yang Anda kerjakan?

Yakinlah akan janji Allah Ta’ala,

 وَمَن یَتَّقِ ٱللَّهَ یَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجࣰا • وَیَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُۚ وَمَن یَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَیۡءࣲ قَدۡرࣰا 

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.
[Surat Ath-Thalaq, Ayat 2-3]

Yakinlah akan firman-Nya,

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan”.
[Surat Al-Insyirah, Ayat 5]

Jangan lupa untuk berdoa!

di antara doa yang bisa kita panjatkan adalah;

اللهمَّ اكفِني بحلالِكَ عن حرامِكَ، وأغنِني بفضلِكَ عمَّنْ سِواكَ.

‘Ya Allah, cukupkanlah diriku dengan rezeki-Mu yang halal dari rezeki-Mu yang haram, dan cukupkanlah diriku dengan keutamaan-Mu dari selain-Mu.’
(HR. Tirmidzi no. 3563, Ahmad no. 1318. Lihat al-Silsilah ash-Shahihah no. 266).

Dan disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita membaca doa berikut setiap hendak tidur,

اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ مُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ أَنْتَ الْأَوَّلُ لَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ لَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ لَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ لَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ.

‘Wahai Allah Penguasa Langit, Penguasa ‘Arsy yang agung, dan Penguasa Segalanya. Wahai Dzat Yang Menurunkan Taurat, Injil dan Alquran. Wahai Dzat Yang Membelah Biji dan Benih (menjadi tanaman). Tiada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Engkau.
Aku berlindung kepada-Mu dari setiap kejahatan manusia yang jahat, sebab Engkau-lah yang menguasai ubun-ubunnya. Engkaulah yang pertama, yang tiada apa pun sebelum-Mu; dan Engkau-lah yang terakhir, yang tiada apa pun setelah-Mu. Engkau-lah yang dhahir, yang tiada apa pun di atas-Mu; dan Engkau-lah yang batin, yang tiada apa pun yang menghalangi-Mu. Lunasilah utang kami dan entaskan kami dari kefakiran.’
(HR. Muslim No. 2713)

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ.

‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan hutang.’
(HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589)

Sampai kapan Anda akan melakukan hal itu? gali lubang tutup lubang. Hal itu tidak menyelesaikan masalah, tapi hanya menundanya dan bahkan dapat menjerumuskan Anda pada hal-hal yang lebih buruk.

Rantai keburukan tersebut haruslah secepatnya diputus. Anda bisa menjual aset-aset yang Anda miliki, kalaupun mau berhutang lagi maka Anda tidak boleh berhutang dengan cara riba.
Insya Allah akan ada jalan keluar.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah adalah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan”.
[Surat Al-A’raf, Ayat 56]

Semoga bermanfaat.
Wallahu Tabaaraka wa Ta’ala A’lam.
Wa Akhiru da’waanaa anil hamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Dijawab oleh:
Ustadz Fajar Basuki, Lc. حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

7 Hadits Sebagai Dalil Sunnah Paling Jelas Tentang Bahaya Riba

Yakinlah bahwa segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala Yang Maha Tahu, pasti mengandung mudharat dan keburukan di dalamnya, oleh karenanya mesti dijauhi karena terkandung maksud kebaikan di baliknya. Diantara banyaknya perkara yang dilarang, amalan riba menjadi salah satunya.

Praktek ribawi merupakan dosa besar yang merusak, akibat yang ditimbulkan adalah merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan muamalah di antara manusia. Namun sayang sekali, praktek riba telah menjamur di masyarakat, bahkan ada anggapan mustahil bagi kita untuk menuntaskan praktek ribawi secara tuntas.

Praktek Riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.

Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.”
(Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/130)

Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.”
(Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah, 3/131).

Cukuplah bagi kita tuntunan Dari Allah Yang Maha Tahu Lagi Maha Bijaksana, dalam firmanNya;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. al-Baqarah: 275)

Imam Nawawi rahimahullah pernah berkata (yang artinya), “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabair (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”.
(lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391)

Dari sudut pandang yang lain, riba adalah satu bentuk kezhaliman, sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman.

Jika ada yang berkata, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ribawi ini?”

Maka di antara jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya, bukan malahan meminta imbalan lebih, bahkan memakai syarat-syarat yang menyusahakan bagi yang berhutang. Petunjuk ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 280).

2. Jika terdapat tambahan dalam transaksi hutang tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan syariat, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah Yang Maha Mulia. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.

3. jika diteliti lebih lanjut dengan penuh kejujuran, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi ribawi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal sehat tentunya tidak akan ridha hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh, apatah lagi dia yang meminjam sedang dalam kesusahan saat itu.
(lihat penjelasannya dalam Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10, juga dalam kitab Taudhihul Ahkam 4/367).

Berikut ini kami pilihkan hadits-hadits tentang bahaya riba, dan ngerinya dosa yang akan di pikul pelaku riba;

Pertama, Riba Termasuk dalam 7 dosa yang membinasakan

7 dosa yang amat besar dikhususkan nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah itu?”
Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”.

(HR. al-Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)

Kedua, Pelaku Riba terlaknat

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”,
dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mereka itu sama.”
(HR. Muslim, no. 4177).

Ketiga, Pelaku riba di antara indikasi bahwa pelakunya berhak mendapatkan azab di dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi).

Keempat, Dosa riba yang paling ringan seperti menzinai ibu kandung sendiri

Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.”
(HR. Ibnu Majah, no. 2274. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kelima, Keberkahan harta hilang, walau riba terus bertambah banyak

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Riba membuat sesuatu jadi bertambah banyak. Namun ujungnya riba makin membuat sedikit (sedikit jumlah, maupun sedikit berkah, -pen.).”
(HR. Ibnu Majah, no. 2279; Al-Hakim, 2/37. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Keenam, Pelaku riba dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِيَّايَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”, ثُمَّ قَرَأَ: “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ”

Dari sahabat ‘Auf bin Malik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat.

Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
(lihat al-Baqarah:275). (HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir, no. 14537; al-Khatib dalam at-Tarikh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 3313).

Ketujuh, Pelaku riba di neraka dengan hukuman berenang di sungai darah sambil diganjal mulutnya dengan batu

Dari sahabat mulia Samurah bin Jundub radhiallahu ’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan keadaan pelaku riba di neraka,

فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ

“Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu, sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, “Apa yang sedang mereka lakukan berdua?”
Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka kami pun berangkat.”

Dalam lanjutan hadits disebutkan,

وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا

“Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.”
(HR. Bukhari, no. 7047).

Demikianlah apa yang bisa kami himpun dari hadits-hadits shahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan bahaya riba, dan dosa mengerikan yang akan dipikul kelak bagi para pelakunya. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum muslimin.
Semoga Allah ‘Azza Wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba dan beralih kepada bentuk-bentuk muamalah yang sesuai dengan syariat. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 29 Muharram 1442 H / 17 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Ekonomi Sulit, Bolehkah Meminjam Uang di Bank?

Para pembaca Bimbinganislamcom yang baik hati berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang saat kesulitan ekonomi, bolehkah meminjam uang di bank?
Silahkan membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga,

Afwan kami ingin bertanya.. Mohon penjelasannya Ustadz..
Bagaimana solusinya jika kita sedang dalam kesulitan keuangan, untuk membayar anak sekolah kita terpaksa  pinjam di bank. Kita sudah berusaha jual tanah tapi belum laku-laku, pinjam di saudara sudah malah belum bisa mengembalikan, sedangkan untuk anak sekolah tanggal sekian harus sudah dibayar.
Mohon pencerahan dan solusinya Ustadz.

Syukron wa jazaakallahu khairan

(Disampaikan oleh Fulanah, Sahabat BiAS T09-029)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Ayyuhal  Ikhwan wal Akhwat baarakallah fiikum Ajma’in.

Ingatlah, tujuan itu tidak membenarkan segala cara, kecuali yang halal saja dan dibolehkan syariat. Dalam hal meminjam uang di bank, maka terlarang karena sudah jelas diketahui adanya riba dalam hal tersebut.
Bertaqwalah kepada Allah Ta’ala, niscaya Dia Yang Maha Pemurah akan memberikan jalan keluar, memberikan rizki dari arah yang tidak diduga, tempuhlah jalan-jalan yang halal, semoga jalan keluar sedang menunggu anda.
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثٌ لاَ يَحْتَسِبُ

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Alloh, niscaya Alloh menjadikan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq : 2).

Seandainya seorang mukmin mengetahui hal ini, tentu dalam segala permasalahan yang menimpanya, dia akan senantiasa kembali kepada Allah Yang Maha Mengatur segala urusan. Dia akan mengoreksi dirinya terlebih dahulu apakah dia telah bertakwa kepada Allah Ta’ala ataukah belum.

Permasalahan ini mencakup segala permasalahan. Baik permasalahan yang berkaitan dengan duniawi, ataupun ukhrawi. Semuanya bertumpu kepada ketakwaan. Maksudnya, baik tidaknya kehidupan duniawi maupun ukhrawi manusia, semuanya tergantung kepada ketakwaan kepada Allah Maha Raja di atas segala raja.

Tidak heran, karena Allah Ta’ala lah yang menguasai dua alam tersebut, dunia dan akhirat. Sehingga kebaikan hanya bisa tercapai dengan menaati Allah Yang Maha menguasai dua alam tersebut.

Adapun tentang rizki, maka kita dapati –dengan sangat disayangkan– banyak di antara kaum muslimin yang tidak memahami hal ini. Sehingga di antara mereka ada yang mencari rizki dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Allah Yang Maha Pemberi rizki. Dengan maksiat dan melanggar ketentuan-ketentuan syariat.  Wallahul Musta’an.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan (artinya),

“Sesungguhnya ruhul qudus (Jibril) menyampaikan wahyu ke dalam hatiku, bahwa jiwa tidak akan mengalami kematian sehingga dia menyempurnakan rizkinya.
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah (rizki) dengan cara yang baik. Jangan sampai anggapan lambat datangnya rizki membawa kalian untuk mencarinya dengan berbuat maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah, tidak akan bisa digapai segala apa yang di sisi-Nya kecuali dengan menaatinya.”
(Lihat Kitab ash-Shahihah, no. 2866).

Biaya Sekolah Mahal

“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”. Jika Anda memang tidak mampu membayar biaya sekolah anak Anda di sekolah sekarang, dengan biaya yang mahal misalkan, yang dengannya diharapkan dapat membekali anak-anak dengan pemahaman yang baik tentang Islam dan membimbingnya menjadi anak shalih; maka minta keringanan atau penangguhan pembayaran dari sekolah, kemukakan alasan dan uzur syar’i anda (bukan dibuat-buat), jika tetap tidak bisa maka dipastikan ini termasuk kesalahan dalam memilih sekolah, silahkan mengajukan ‘undur diri’ untuk anak anda sebagai peserta didik, karena sekolahnya saja dari segi sosial tidak mendidik.

Maka pilihlah sekolah dengan biaya yang terjangkau, tidak mengapa menyekolahkan anak anda di sekolah umum asalkan anak-anak tetap dikontrol pergaulannya dan diberi bekal ilmu agama di luar sekolah, dengan memasukkan ke madrasah diniyah atau kajian-kajian ilmiah atau home scholing di rumah; dan tidak dicukupkan hanya belajar agama di sekolah umum yang sangat minim pembelajaran agama.

Anda juga bisa mengusahakan agar anak anda mendapat beasiswa, silakan dicari lebih dahulu lembaga-lembaga yang dapat memberi beasiswa bagi anak kurang mampu. Ini lebih aman daripada menyekolahkan anak-anak di sekolah umum, yang anda sebagai orang tua juga tidak mampu membekali secara bersamaan pendidikan agamanya di rumah sendiri.

Tugas Dan Kewajiban Orang

Orang tua juga tetap harus belajar agama dengan baik sebagai bekal Individu seorang hamba dihadapan Sang Pencipta Maha Kuasa. Minimal hal yang wajib diketahui oleh seorang muslim, dimana dia tidak boleh tidak tahu tentang hal tersebut, dan akan bermanfaat pada situasi-situasi seperti ini, menjadi sekolah bagi anak-anaknya Di rumah sendiri,

jikalau keadaannya mengharuskan demikian alias Pendidikan Informal, yaitu sekolah bersama orang tua melalui jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal ini juga diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan atau lebih dikenal dengan ujian kesetaraan (paket).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Jumat, 06 Jumadal Akhirah 1441 H/ 31 Januari 2019 M

BIMBINGAN ISLAM

Hati-hati, Riba dalam Koperasi Simpan Pinjam

Dalam koperasi simpan pinjam, kita mengenal istilah SHU (Sisa Hasil Usaha). Apakah SHU dari koperasi seperti itu halal dimanfaatkan?

Apa itu SHU?

SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.

Adapun perlakuan terhadap SHU adalah sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan rapat anggota.

SHU dari Simpan Pinjam

Yang kita kritisi adalah sisa hasil usaha dari simpan pinjam.

Jika anggota atau pihak lain yang mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai tambahan dari utang tersebut, ini hakekatnya adalah riba. Karena kaedah yang perlu kita ingat, setiap utang piutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba. Dan riba dihukumi haram.

Dalam hadits disebutkan,

كل قرض جر منفعة فهو حرام

Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam Dho’iful Jami’ no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,

“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.

Jadi walaupun dinamakan sisa hasil usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka hukumnya jelas haram.

Perhatikan Hakekat

Seorang muslim harus cerdas melihat hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya melihat istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i kadang menipu. Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata itu adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual beli) dan ditarik keuntungan. Itulah riba.

Adapun jika pendapatan koperasi bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam, maka pendapat seperti itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan dengan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota secara pribadi. Tentu saja SHU seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin bertakwa pada Allah dengan meninggalkan yang haram.

Ancaman Bagi Para Rentenir

Jika koperasi menarik keuntungan dari simpan pinjam, maka hakekatnya koperasi hanyalah sebagai rentenir, namun berkedok usaha resmi. Rentenir ini terkena ancaman laknat dalam hadits,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kenapa Bunga Pinjaman Haram, Sedang Jual Beli Kredit Boleh?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang kenapa bunga pinjaman haram, sedang jual beli kredit boleh?
selamat membaca.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Apakah perbedaan antara bunga bank yang diperoleh dari pembiayaan ribawi yang merupakan urat nadi jasa bank konvensional dan laba yang diperoleh dari hasil jual beli kredit yang ia merupakan urat nadi bank syariah?
Kenapa yang satu diharamkan dan yang lain diperbolehkan?

Dari tampak luar kedua transaksi ini seakan tidak ada bedanya antara bank yang memberikan pinjaman 100 juta kemudian debitur membayarnya sebanyak 110 juta sampai akhir pelunasan dan orang yang membeli barang jika secara tunai dengan harga 100 juta, namun jika membelinya tidak tunai/kredit dengan total harga 110 juta.

Seakan dalam dua transaksi tersebut sama-sama ada tambahan nominal sebanyak 10 jt.
jawabannya, antara dua transaksi di atas tidak sama dan terdapat beberapa perbedaan, diantaranya :

Perbedaan Riba dan Jual Beli Kredit

1. Bunga/riba pinjaman berasal dari pembiayaan keuangan, yakni : uang ditukar dengan uang. Sedangkan laba penjualan kredit berasal dari pembiayaan barang, yakni: barang ditukar dengan uang.

2. Pinjaman berbunga dalam transaksi ribawi tidak terdapat di dalamnya perputaran harta, karena uang melahirkan uang.
Sedangkan dalam transaksi jual beli kredit terjadi perputaran harta, dari uang menjadi barang, kemudian kembali menjadi uang, hal ini membuat roda perekonomian berputar dan harta tidak dimonopoli oleh sekelompok kecil orang para pemilik modal.

3. Transaksi pinjam meminjam dengan sistem riba merupakan sebab utama terjadinya problem ekonomi yang meresahkan masyarakat dewasa ini dalam bentuk inflasi, karena pertambahan jumlah uang beredar tidak diikuti dengan pertambahan barang dan jasa.
Berbeda dengan penjualan kredit, dimana jumlah uang yang dikucurkan diiringi dengan pertambahan barang & jasa secara riil.

Beberapa Syarat Sah Jual Beli Kredit

Beberapa syarat sah jual beli kredit :

1. Obyek akad bukan emas, perak dan alat tukar lainnya, tidak boleh menjual emas dengan cara kredit, karena menukar uang dengan emas disyaratkan harus tunai.

2. Barang yang dijual adalah milik penjual saat berlangsungnya akad, maka tidak diperbolehkan melangsungkan akad jual beli kemudian setelah itu baru si penjual membeli barang dan menyerahkannya pada si pembeli.

3. Barang yang dijual pada pembeli telah diterima oleh penjual, tidak boleh bagi penjual menjual barang yang sudah ia beli namun belum diterima.

4. Penjual tidak boleh memberikan syarat pada pembeli bahwa jumlah angsurannya akan bertambah jika terlambat membayar pada waktu yang telah ditentukan, karena hal ini termasuk riba, seperti umpamanya penjual berkata :
“Setiap keterlambatan pembayaran angsuran anda akan dikenakan denda keterlambatan pelunasan angsuran sekian persen.”

5. Tidak diperbolehkan menyita obyek akad jual beli ketika pembeli macet dalam pembayaran angsuran kredit, kenapa?
Karena barang tersebut sejatinya sudah berpindah kepemilikan kepada pembeli, sudah bukan hak bagi penjual lagi, sehingga tidak boleh terjadi penyitaan.

NB: Jika salah satu dari syarat itu dilanggar, maka jual beli kredit menjadi terlarang menurut tinjauan syariat.

Penjual kredit boleh memberikan persyaratan pada pembeli beberapa syarat berikut, untuk melindungi dirinya dari kemungkinan dirugikan, diantaranya :

1. Memberikan syarat pada pembeli untuk menyertakan penjamin (guarantor) yang bersedia membayar angsuran jika yang dijamin tak mampu untuk membayar.

2. Memberikan persyaratan agar pembeli menyertakan barang agunan dan memberikan kuasa kepada penjual untuk menjualnya dan melunasi kewajibannya. Andai pembeli terlambat melunasi angsuran pada penjual, penjual berhak menjualnya serta menutupi angsuran dari hasil penjualan agunan dan sisanya dikembalikan pada pihak pembeli, jika ada sisa dari hasil penjualan barang agunan tersebut.

3. Memberikan persyaratan : andai pembeli mengulur pelunasan angsuran, maka angsuran selanjutnya menjadi tunai.

Disarikan dari sumber : مقدمة في المعاملات المصرفية ,للدكتور يوسف بن عبد الله الشبيلي, ص 49-48
Wallahu a’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Ketika Islam, Kristen, dan Yahudi Kompak Haramkan Riba

Tiga agama samawi kompak mengharamkan praktik riba.

Sebenarnya, riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam. Berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba.

Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 275 : 

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ  “..padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”.

Sementara itu, agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya. Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.

Namun, Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Hanya saja, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu?

Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. 

KHAZANAH REPUBLIKA