Bersabar dengan Tidak Membeli Rumah Melalui KPR Riba Bank

Siapa yang tidak ingin segera punya rumah sendiri? Langsung merasa tenang karena sudah bukan kontraktor lagi (kontrak sana, kontrak sini). Solusi tercepat adalah mengambil KPR yang mengandung riba di Bank.

Akan tetapi, kita lebih pilih ridha Allah sehingga hidup kita qanaah dan berkah serta bersabar, tidak terjerat dengan cicilan riba dan berhutang dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, ada yang hidup mereka tidak tentang, terhimpit menjerit dengan jeratan riba bank

Kata mereka “zaman sekarang kalau tidak KPR, mana bisa beli rumah sendiri, ambil KPR juga harus agak nekat, kalau takut, ya gak akan bisa punya rumah”

Perkataan ini yang tidak tepat, sudah banyak bukti mereka yang membuktikan bisa tanpa KPR

Dengan cara menabung, bersabar, mencicil dari membeli tanah, membangum perlahan, membangun rumah kecil dahulu kemudian baru ada rezeki bangun rumah lebih besar lagi. Atau, ada beberapa program pembangunan rumah dari para muhsinin yang mau membuat perumahan dan menjual tanpa sistem riba

Untuk menangkan hati kita, kita lihat contoh ulama sekelas syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, tidak mempunyai rumah tetap. Padahal beliau adalah mufti besar kerajaan Arab saudi dan Rektor Universitas Universitas Madinah. [lihat buku akhlak dan keutamaan syaikh Bin Baz, Pustaka Al-Furqan]

Kita harus bersabar mencari dan membangun rumah di zaman ini karena ada beberapa yang perlu kita pertimbangkan matang-matang. Salah satunya adalah menghindari mengambil rumah dengan bantuan KPR bank karena ini termasuk tolong menolong dalam riba. Memang jika mengambil rumah dengan cicilan KPR bank maka kita bisa segera mendapatkan rumah. Tetapi, mungkin kita yang berpendapatan sekitar 1-2 juta perbulan, perlu menabung terlebih dahulu sekitar 10-15 tahun, baru bisa punya rumah. Akan tetapi tentunya kita lebih takut terhadap ancaman Allah dan takut Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kita karena riba.

Berikut beberapa dalil saja mengenai bahaya riba

1.akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَْ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”[Al-Baqarah: 278-279]

2. dilaknat semua yang mendukung riba

dari sahabat Jabir bin Abdillahradhiallahu ‘anhu bahwasannya ia menuturkan,

لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: (هم سواء). رواه مسلم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).

3. termasuk dosa besar yang membinasakan,

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6) melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Kemudian kita juga sebaiknya bersabar mencari lingkungan yang baik,  lingkungan dengan banyak tetangga yang sudah paham agama dengan pemahaman yang benar, para tetangga ahlus sunnah. Atau jika tidak banyak, maka minimal ada satu atau dua orang tetangga kita yang sudah paham agama. Kita harus bersabar karena jumlah Ahlus sunnah yang memahami agama dengan pemahaman yang benar adalah sedikit jumlahnya.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata,

أَفْضَلُ الْمُسْلِمِينَ رَجُلٌ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُمِيتَتْ، فَاصْبِرُوا يَا أَصْحَابَ السُّنَنِ رَحِمَكُمُ اللَّهُ فَإِنَّكُمْ أَقَلُّ النَّاسِ

 “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia).” [Al-Jaami’ li akhlaqir Rawi 1/112, Maktabah Ma’arif, Riyadh, Asy-Syamilah]

Jika kita merenungkan, ternyata kita baru bisa punya rumah setelah 10-15 tahun, sementara orang lain bisa segera punya rumah pribadi karena mengambil KPR “riba” bank. Tentu kita akan sedikit terguncang hatinya. Akan tetapi zaman ini kita harus tetap berpegang teguh dengan agama, menggenggam erat agama sebagaimana menggenggam bara api, memang terasa panas awal-awalnya, akan tetapi jika kita menggenggam langsung dan erat, maka bara langsung padam dan tetap bisa kita genggam bara agama ini dengan erat.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ القَابِضُ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْر

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.”[HR.Tirmidzi. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.8002]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan hadits,

أنه في آخر الزمان يقل الخير وأسبابه، ويكثر الشر وأسبابه، وأنه عند ذلك يكون المتمسك بالدين من الناس أقل القليل. وهذا القليل في حالة شدة ومشقة عظيمة، كحالة القابض على الجمر، من قوة المعارضين، وكثرة الفتن المضلة، فتن الشبهات والشكوك والإلحاد، وفتن الشهوات وانصراف الخلق إلى الدنيا وانهماكهم فيها، ظاهراً وباطناً،

“Pada akhir zaman akan sedikit kebaikan dan sebab-sebabnya, merajalela keburukan dan sebab-sebabnya dan pada saat itu orang yang berpegang teguh dengan agama sangat sedikit jumlahnya. Yang sedikit ini berada dalam keadaan kesusahan [karena banyaknya fitnah] sebagaimana orang yang mengenggam bara api karena banyak yang menentang dan banyak fitnah yang menyesatkan, fitnah syubhat, keraguan, berpaling dari kebenaran, fitnah syahwat dan condongnya makhluk kepada dunia dan tenggelam dengan kemilau dunia baik dzahir dan batin.” [Bahjah Qulubil Abrar hal. 259, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1423 H]

Semoga bermanfaat

 

MUSLIMAFIYAH

Agar Tidak Terjerumus dalam Riba

Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah menimbulkan gaya hidup konsumsif dalam masyarakat kita. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar, gaya hidup konsumtif pun mulai merambah ke pelosok-pelosok desa. Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan cara yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif jadi merasa mudah dalam membeli sesuatu untuk memenuhi hasratnya. Tinggal mengisi formulir pengajuan kredit, menandatanganinya, barang pun akan terbeli. Masalah bagaimana melunasinya urusan belakang. Yang penting menikmati dulu barangnya, menikmati rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Apa manfaat dari barang yang dibeli seringkali justru menjadi pertimbangan kedua. Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang di kemudian hari, yang ternyata jumlahnya membengkak akibat bunga berbunga yang diterapkan.

Intinya, masyarakat di zaman penuh ‘wah’ saat ini, untuk mendapatkan barang mewah mau saja terjun dalam praktek riba. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah). Tentu Allah tidak meridhoi hal ini, bahkan Allah murkai. Lalu bagaimana kiat agar kita tidak mudah terjerumus dalam praktek riba? Beberapa kiat tersebut akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana berikut ini.

Kiat Pertama: Berilmu Dulu Sebelum Membeli

Dalam bertindak, Islam selalu mengajarkan berilmulah terlebih dahulu. Dalam masalah ibadah, Islam mengajarkan hal ini agar amalan seseorang tidak sia-sia. Dalam masalah muamalah pun demikian. Karena jika tidak diindahkan, malah bisa terjerumus dalam sesuatu yang diharamkan. Semisal seorang pedagang, hendaklah ia paham seputar hukum jual beli. Jika ia tidak memahaminya, bisa jadi ia memakan riba atau menikmati rizki dengan cara yang tidak halal. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

Lihatlah pula apa kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Hal di atas bukan hanya berlaku bagi penjual atau si pedagang, namun berlaku juga untuk pembeli. Pembeli pun harus tahu seluk beluk jual beli sebelum bertindak. Sedikit sekali nasabah perkreditan rumah, mobil atau motor yang mengetahui bagaimanakah hakekat sebenarnya jual beli kredit yang mereka lakukan. Awalnya rumah tersebut ditawarkan oleh pihak A, namun urusan pelunasan nantinya di Bank Perkreditan. Ini hakekatnya bisa jadi transaksi riba atau menjual barang yang belum dimiliki secara sempurna. Jika kita menilik transaksi tersebut, pihak perkreditan pada hakekatnya memberikan pinjaman kepada kita yang ingin membeli rumah, lalu mereka meminta kita mengembalikan pinjaman tadi secara berlebih. Padahal para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”. Coba dari awal si nasabah atau si  pembeli tadi mengetahui pengertian riba dan berbagai macam bentuk riba. Dan saat ini perlu sekali setiap orang mendalami hakekat riba karena riba semakin diakal-akali dengan nama yang terlihat syar’i. Minimal, banyaklah bertanya pada para ulama yang lebih berilmu sehingga kita pun selamat dari riba sampai debu-debunya.

Kiat Kedua: Mengetahui Bahaya Riba

Setelah mengetahui definisi riba dan berbagai bentuknya, mengetahui bahaya riba akan semakin membuat seorang muslim menjauhinya transaksi haram tersebut. Karena dengan mengetahui ancaman-ancaman riba, tentu ia enggan terjerumus dalam riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali” (HR. Ahmad 5: 225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1033).

Dalam hadits yang lain disebutkan,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dosa riba bukan hanya berlaku bagi kreditur, pihak perkreditan atau bank, namun si nasabah atau debitur juga mendapatkan dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (karena sama-sama melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).

Kiat Ketiga: Tidak Bermudah-mudahan dalam Berutang

Islam menerangkan agar kita tidak terlalu bermudah-mudahan untuk berutang. Orang yang berutang dan ia enggan melunasinya –padahal ia mampu – sungguh sangat tercela.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Berhutanglah ketika perlu dan yakin mampu melunasinya! Karena kita pun tidak mengetahui kondisi kita nantinya, apakah kita bisa melunasi kreditan kita.

Kiat Keempat: Milikilah Sifat Qona’ah

Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah, itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya biasa, namun karena ingin seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal, mobil mewah dan rumah layak istana, akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh. Dan kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari riba, bahkan termasuk pula yang memakai istilah syar’i sekali pun seperti murabahah. Menggunakan handphone biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau menggunakan motor yang memang lebih pas untuk keadaan jalan di negeri kita yang tidak terlalu lebar, atau hidup di rumah kontrakan, sebenarnya terasa lebih aman dan selamat dari riba untuk saat ini. Cobalah kita belajar untuk memiliki sifat qona’ah, selalu merasa cukup dengan rizki yang Allah anugerahkan, maka tentu kita tidak selalu melihat indahnya rumput di rumah tetangga karena taman di rumah kita pun masih terasa sejuk.

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).

Jika seorang muslim memperhatikan orang di bawahnya dalam hal dunia, itu pun akan membuat ia semakin bersyukur atas rizki Allah dan akan selalu merasa cukup. Berbeda halnya jika yang ia perhatikan selalu orang yang lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963).

Orang yang memiliki sifat qona’ah sungguh terpuji. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya sifat qona’ah (merasa puas) dengan apa yang diberikan kepadanya” (HR. Muslim no. 1054). Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri selalu memohon kepada Allah agar dianugerahkan sifat qona’ah dalam do’anya,

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf –terhindar dari yang haram- dan sifat ghina –selalu merasa cukup-).” (HR. Muslim no. 2721).

Kiat Kelima: Perbanyaklah Do’a

Kiat terakhir yang juga jangan terlupakan adalah memperbanyak do’a. Karena kita bisa terhindar dari yang haram, tentu saja dengan pertolongan Allah termasuk dalam masalah riba. Di antara do’a yang bisa kita panjatkan,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ

Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot” (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran) (HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Juga perbanyaklah do’a agar bisa terbebas dari utang,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom” (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari dosa dan terlilit utang). Dalam lanjutan hadits tersebut disebutkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa beliau banyak meminta perlindungan dari utang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

Seseorang yang terlilit utang biasa akan sering berdusta jika berucap dan ketika berjanji sering diingkari” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).

Ya Allah, berikanlah kepada kami sifat qona’ah, dijauhkan dari yang haram, serta dijauhkan dari riba dan debu-debunya. (*)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/2274-agar-tidak-terjerumus-dalam-riba.html

Seputar Polemik Riba

Baru-baru ini jagad media sosial diramaikan oleh diskusi mengenai lemahnya derajat hadis Nabi SAW yang mengaitkan antara dosa riba dengan dosa zina. Namun sayangnya, ada indikasi bahwa dari diskursus hadis tersebut, muncul penggiringan opini bahwa bunga bank diarahkan menjadi persoalan khilafiyah, yaitu persoalan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Dengan kata lain, apakah bunga bank itu riba atau bukan, itu dianggap sebagai persoalan perbedaan interpretasi. Pada akhirnya kesimpulan tersebut menimbulkan persepsi liar di tengah umat, terutama di antara mereka yang masih belum teredukasi dengan baik mengenai konsep riba dan upaya yang dilakukan untuk keluar dari sistim riba melalui pengembangan sistim keuangan syariah. Apalagi kemudian ditambah dengan viralnya penjelasan salah seorang ustaz pengasuh rubrik fiqh di salah satu website terkemuka, yang kemudian membahas tentang munculnya akad-akad baru yang tidak ditemukan di zaman Nabi SAW, yang memungkinkan akad pada simpanan / tabungan di bank konvensional menjadi “halal”.

Sayangnya, yang baru dibahas oleh sang pengasuh rubrik tersebut adalah bunga pada sisi tabungan saja, sementara pada sisi penyaluran, yaitu adanya suku bunga kredit maupun suku bunga bank sentral (sebagai suku bunga acuan), tidak dibahas sama sekali. Padahal, selisih antara suku bunga kredit dengan suku bunga tabungan, ditambah fee-based income, itulah yang menjadi sumber utama keuntungan pada bank konvensional. Karena itu, merespons diskursus yang muncul, saya melihat ada tiga hal pokok yang perlu disampaikan kepada publik secara jelas.

Pertama, derajat lemahnya satu atau dua hadits terkait riba, terutama yang terkait dengan zina, tidak otomatis mereduksi makna riba sebagai salah satu dosa besar yang harus kita hindari. Hal ini dikarenakan adanya dalil-dalil lain yang menunjukkan haramnya riba dan posisi riba sebagai dosa besar yang harus kita tinggalkan. Sebagai contoh adalah dalil dalam Alquran tentang riba yang diturunkan sebanyak empat tahap, yaitu : (i) tahap 1 (QS 30:39), berupa perbandingan antara riba dengan zakat; (ii) tahap 2 (QS 4 : 160-161), dimana Allah mulai mengancam pelaku dosa riba dengan siksa yang pedih; (iii) tahap 3 (QS 3 : 130), dimana Allah mengharamkan sebagian riba, yaitu riba yang berlipat ganda (adh’aafan mudhoo’afah), yang prosentasenya minimal 100 persen dan ini disebut haromul juz’i (pengharaman sebagian); dan (iv) tahap 4 (QS 2: 275-281), dimana keharaman riba, berapapun prosentasenya bersifat final.

Bahkan di dalam QS 2: 278-279, Allah SWT mengajak berperang pada para pelaku dosa riba, dimana hal yang sama, yaitu ajakan berperang secara eksplisit, tidak kita temukan secara tersurat di dalam Alquran untuk para pelaku dosa yang lain. Ini menunjukkan bahwa dosa riba tidak bisa dianggap enteng. Demikian pula banyak hadis-hadis shahih, seperti riwayat Bukhari dan Muslim, yang menggambarkan larangan riba dan siksa yang akan Allah timpakan kepada para pelaku dosa riba, baik yang memberi riba, menerima riba, mencatat riba, dan menjadi saksi atas transaksi ribawi. Karena itu, kita harus melihat dalil-dalil secara komprehensif sehingga tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

Kedua, bahwa bunga bank adalah riba, itu sudah final dan telah menjadi kesepakatan (ijma) para ulama kontemporer. Hal ini dibuktikan oleh fatwa-fatwa majelis-majelis/dewan ulama di berbagai negara, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia. Fatwa MUI No 1 Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa praktik bunga dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba an-nasiah, sehingga haram hukumnya. Kalaupun ada yang memiliki pandangan berbeda, seperti pendapat Syaikh Muhammad Sayyid Tanthawi rahimahullah, maka sebaiknya kita merujuk pada fatwa majelis ulama.

Khusus mengenai Syaikh Tanthawi rahimahullah, telah banyak artikel yang kemudian mengkritisi pendapat beliau. Ghani (2009) misalnya, menyatakan bahwa pendapat Syaikh Tanthawi mengandung sejumlah kelemahan. Sebagai contoh, Syaikh Tanthawi menyatakan bahwa riba itu hanya terkait dengan al-qurudh al-istihlakiyyah, yaitu pinjaman pada barang/komoditas yang mudah rusak, seperti makanan dan minuman. Pendapat ini kurang tepat karena pada saat ayat-ayat tentang riba diturunkan, maka itu terkait riba yang dilaksanakan paman Nabi, yaitu Abbas bin Abdul Muthallib ra.

Abbas ra mengembangkan riba istitsmar yaitu riba yang terkait dengan barang-barang investasi, yang kemudian diperdagangkan di wilayah Syam yang saat itu memerlukan waktu 2-3 bulan perjalanan dari Madinah. Dalam keterangan lain dinyatakan, dari Atho dan Ikrimah keduanya mengatakan bahwa ayat-ayat tentang riba ini diturunkan pada Abbas dan juga Utsman bin Affan. Setelah turun ayat-ayat ini, maka kedua sahabat radiyallaahu ‘anhuma itu kemudian hanya mengambil modalnya saja dan tidak mengambil ribanya.

Contoh kedua, Syaikh Tanthawi rahimullah menyatakan bahwa hubungan bank dan nasabah adalah hubungan principal-agent yang didasarkan pada akad wakalah. Nasabah (muwakkil) mewakilkan kepada bank konvensional (wakil) untuk mengelola dananya. Namun demikian, pendapat ini kurang tepat karena faktanya, praktik wakalah tidak terjadi. Tidak ada kontrak/perjanjian yang menunjukkan adanya akad wakalah (Ghani, 2009).

Misalnya, ujrah atau fee yang diterima wakil harus disebutkan secara jelas dalam kontrak. Kenyataannya, pada praktik konvensional, fee ini tidak disebutkan. Yang ada justru bank konvensional di awal menjanjikanreturn/bunga yang bersifat tetap dengan prosentase tertentu dari jumlah uang yang ditabungkan/disimpan nasabah. Padahal dalam wakalah, mestinya keuntungan dan kerugian itu menjadi domain muwakkil, dan wakil hanya menerima fee berdasarkan prosentase atau jumlah tertentu sebagai balas jasa atas pengelolaan dana yang dilakukannya.

Masih ada contoh-contoh kekurangtepatan lainnya. Meski demikian, kita tetap menghormati beliau sebagai salah seorang ulama besar abad ini. Sementara kalau kita lihat dari sisi penyaluran dana, bank konvensional jelas menyalurkan kredit dengan akad pinjaman yang disertai bunga, sebagai keuntungan yang dinikmatinya. Ini jelas riba.

Ketiga, meski bunga adalah riba, dan keharaman riba sudah final, namun dalam praktiknya kita perlu melakukan transformasi sistim ekonomi ribawi ini secara bertahap. Di sinilah indahnya ajaran Islam, dimana pelaksanaan ajaran agama kita ini harus dilakukan dengan bijak, memperhatikan kondisi yang ada, dan dilakukan secara bertahap, sistematis dan terukur. Tidak asal main ubah yang justru berpotensi menciptakan kemadharatan yang lebih besar.

Karena itu, dalam mengembangkan sistim ekonomi dan keuangan, termasuk perbankan yang bebas riba, diperlukan tahapan yang jelas, yang mencakup tiga variabel utama. Yaitu : (i) edukasi masyarakat; (ii) pengembangan kelembagaan ekonomi dan keuangan syariah; dan (iii) penguatan regulasi yang berpihak pada pengembangan sistim ekonomi dan keuangan syariah.

Pada sisi edukasi, kita perlu terus menerus mengkampanyekan peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah masyarakat. Pada sisi kelembagaan, kita perlu dorong kelembagaan ekonomi dan keuangan syariah yang profesional, kompetitif, dan memiliki value proposition yang jelas, sehingga publik bisa merasakan keunikan dan kelebihan sistim berbasis syariah dibandingkan konvensional, sehingga perlahan tapi pasti, institusi ekonomi syariah ini akan menjadi market leader.

Sebagai contoh, para praktisi perbankan syariah harus bisa menampilkan proposisi nilai dan kualitas layanan yang unik dan baik kepada masyarakat, sehingga posisi perbankan syariah yang saat ini menjadi market followerbisa naik kelas menjadi market challenger, sebelum menjadi market leader.Inovasi produk yang bersifat genuine atau orisinal berbasis syariah perlu untuk terus didorong dan dikembangkan.

Sementara dari sisi regulasi, kita perlu terus menerus mendorong keberpihakan negara untuk mengeluarkan beragam kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Insya Allah kalau ini bisa dilakukan dengan baik, maka peran institusi dan instrumen ekonomi dan keuangan syariah, akan semakin signifikan di Tanah Air. Semoga. Waallaahu a’lam.

Oleh: Irfan Syauqi Beik, Direktur CIBEST IPB dan Pusat Kajian Strategis Baznas

 

REPUBLIKA

Awas Zina dan Riba Tanda Datangnya Azab Allah

DARI Maimunah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‘Tidak henti-hentinya umatku dalam kebaikan selama tidak tersebar kepada mereka anak zina. Jika telah tersebar di kalangan mereka anak zina, maka hampir-hampir Allah meratakan azab ke atas mereka’.” (HR Ahmad)

Dalam riwayat Abu Ya’la, beliau mengatakan, “Umatku senantiasa berpegang dalam kebaikan dan perintah-Nya, selama tidak tampak di kalangan mereka anak zina.” Lalu dalam riwayat lain disebutkan, “Jika zina telah merajalela, maka merebaklah kekafiran dan kemiskinan.” (HR Al-Bazzar)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Jika zina dan riba telah muncul di suatu kampung, sungguh mereka telah menghalalkan dirinya untuk ditimpa azab Allah.” (HR Al-Hakim)

INILAH MOZAK

Cara Melunasi Hutang Riba (Kisah Inspiratif)

Tobat dari Riba, Hutangpun Sirna!!

Dalam sebuah milis yang dikelola oleh PengusahaMuslim.com ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh member sebagai berikut:

Assalaamu’alaikum warahmatullah.

Ustadz yang saya hormati,
Akhir-akhir ini saya beserta istri sedang galau. Ceritanya begini. Saya seorang pegawai yang bekerja di instansi pemerintah yang alhamdulillah telah beristri (Insya Allah) salehah dan Allah mengaruniakan kami 5 orang anak.

3 tahun yang lalu kami meneken akad kredit pada salah satu bank pemerintah dengan nominal lumayan besar untuk mendaftar haji 2 orang (saya dan istri) dengan perhitungan ketika tahun pemberangkatan haji, hutang kami telah lunas.

Setelah kami banyak membaca dan belajar hukum Islam, kami meyakini bahwa kami telah menanggung dosa riba (astaghfirullah). Kami kemudian berusaha keluar dari belitan dosa riba, diantaranya dengan keluar dari Koperasi (KPRI) dan sekarang mencoba keluar dari kubangan riba yang lain, yakni hutang kami ke bank tersebut, dengan cara kami berencana menjual barang-barang yang kami miliki, namun menurut hitung-hitungan saya tidak akan mencukupi untuk melunasi hutang tersebut, sedangkan apabila mencari pinjaman kepada Saudara tidak mungkin mengingat semua keluarga kami dalam kondisi ekonomi yang alhamdulillah pas-pasan.

Apakah saya harus menjual sebidang tanah yang saya miliki agar dapat melunasi hutang kami? (Saya memiliki sebidang tanah yang apabila dijual mungkin hampir dapat melunasi hutang).
Demikian, mohon solusinya. Terima kasih.

Wassalaam,
Hamba Allah-Purbalingga, Jawa Tengah.

Tanggapan dari ikhwan member milis PM-Fatwa:

Bismillah ,sekedar berbagi pengalaman tentang terjerat riba.  Pengalaman bapak pernah saya alami sebelumnya dan saya selain hutang riba juga terjerat kartu kredit sampai 11 kartu. Setelah saya mengikuti pengajian sana sini dan membaca buku akhirnya saya bertobat dari riba. Karena riba membuat hidup kita merasa hina dikejar kejar hutang dan debitur.

Walaupun orang lain melihat kehidupan kita punya mobil ,rumah besar dll. tapi semua itu hasil riba. Dan itu semua tidak akan membawa berkah dan ketenangan bagi hidup kami. Maka akhirnya saya sekeluarga bertobat untuk menghindari riba dan kartu kredit.

Akhirnya saya jual semuanya yang saya miliki mobil, trayek jemputan, rumah, motor dan semua yang saya miliki dari hasil riba saya jual guna menutupi hutang-hutang riba. Saya mulai dari kehidupan dasar lagi dengan mengontrak rumah kecil di area pesantren karena anak-anak kami sekolah di pesantren .

Dengan keikhlasan kita dan benar-benar taubat, maka Allah mengabulkan permintaan saya sekeluarga. Dan saat itu pula setelah saya jual semua yang saya punyai dari hasil riba, saya dapat panggilan kerja ke Saudi arabia di sebuah perusahaan perminyakan. Dan akhirnya saya sekeluarga hijrah ke Saudi Arabia sampai sekarang. Dan Alhamdulilah, Allah kembalikan harta kami dengan segala kelebihannya dan saya sekeluarga bisa pergi haji bersama setelah tinggal satu tahun di Saudi. Alhamdulillah, semuanya dimudahkan segala urusan saya sekeluarga serta bisa melunasi semua hutang-hutang riba dan kartu kredit. Dan yang membuat saya sangat bahagia adalah tempat kerja sekarang dekat dengan Mekkah dan Madinah, sehingga tiap bulan kami bisa umroh .

Inilah kisah pengalaman saya yang terjerat riba semoga Bapak sekeluarga tidak usah ragu untuk menutup hutang riba, pertolongan Allah sangat cepat

Wassalamualaikum

Dari Bpk Edi di Saudi Arabia

 

PENGUSAHA MUSLIM

Kisah Imam Malik dan Riba

Di zaman Imam Malik, ada orang yang melihat kejadian aneh hingga membuat dia mengucapkan sumpah untuk menceraikan istrinya. Orang ini melihat ada orang minum khamr sampai mabuk. Lalu dia menyiramkan khamr itu di kepalanya. Dia ingin menggapai bulan.

Orang ini merasa, betapa buruknya khamr, sampai bisa membuat orang jadi hilang akal, gila beneran. Seketika itu dia langsung bersumpah,

امرأتي طالق إن كان يدخل جوف ابن آدم أشد من الخمر

Istriku tertalak, jika ada benda yang masuk ke perut manusia, yang lebih jelek dari pada khamr.

Lelaki ini menganggap, khamr adalah barang haram terjelek yang masuk ke perut manusia.

Selesai mengucapkan ini, diapun konsultasi kepada Imam Malik. Dia bingung, apakah sumpahnya terlaksana atau batal. Jika ada benda haram yang lebih jelek dari pada khamr, maka sumpahnya terlaksana.

Untuk kedatangan yang pertama, Imam Malik meminta waktu untuk mempelajarinya,

ارجع حتى أنظر في مسألتك

Pulanglah, saya akan pelajari dulu masalahmu.

Bagi Imam Malik, ini masalah besar. Butuh belajar dan perenungan.

Keesokan harinya, orang ini datang lagi. Begitu ketemu, Imam Malik  mengatakan,

امرأتك طالق، إني تصفحت كتاب الله، وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم، فلم أر شيئاً أشد من الربا؛ لأن الله أذن فيه بالحرب

Istrimu tertalak. Saya membuka-buka al-Quran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tidak menjumpai ada barang haram yang lebih buruk dari pada riba. Karena Allah mengumumkan perang menentang riba. (Tafsir al-Qurthubi, 3/364).

Allahu a’lam

PENGUSAHA MUSLIM

Akal-akalan dalam Riba

Selalu saja ada akal-akalan untuk bisa melegalkan yang haram. Kadang dengan pengaburan istilah. Kadang pula dengan melakukan trik-trik yang tetap haram. Trik-trik untuk bisa melegalkan yang haram salah satunya dapat kita lihat dalam transaksi riba.

Memahami Riba

Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). Di antara definisi riba yang bisa mewakili definisi yang ada telah dikemukakan oleh Muhammad Asy Syarbiniy. Riba adalah,

عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا

Suatu akad/ transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya” (Mughnil Muhtaj, 6: 309). Sudah diketahui pula bahwa riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kata sepakat) para ulama (Lihat Al Mughni, 7: 492).

Di antara dalil Al Qur’an yang mengharamkan bentuk riba adalah firman Allah Ta’ala,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Begitu pula dalam berbagai hadits ditunjukkan bagaimanakah dosa memakan riba yang dianggap sebagai dosa besar. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6) melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat para rentenir (pemakan riba), yang mencari pinjaman dari riba, bahkan setiap orang yang ikut menolong dalam mu’amalah ribawi juga ikut terlaknat. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).

Jual Beli ‘Inah, Trik Transaksi Riba

Di antara trik transaksi riba yang sudah diwanti-wanti sejak masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang disebut dengan jual beli ‘inah.

Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.

Semisal, pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”.  Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”

Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.

Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:

Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.

Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga;lh kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242)

Trik Riba dalam Jual Beli Kredit

Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit  harus melihat beberapa kriteria.  Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.

Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.

Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)

Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar berkata,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang.

Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.

Semoga dengan mengetahui beberapa trik ini dapat semakin membuat kita waspada. Jangan tertipu dengan slogan syar’i semata. Kita perlu belajar dan terus mendalami berbagai hukum Islam sehingga bisa terhindar dari trik riba yang ada. Moga Allah berkahi kita dengan ilmu yang bermanfaat dan menghindarkan kita dari riba serta berbagai macam triknya.

Sumber : RUMAYSHO

Ini Cara Membeli Rumah atau Kendaraan Tanpa Riba

ISLAM adalah agama solusi, bukan agama penghambat. Tidak ada masalah di dalam kehidupan ini yang tidak bisa diselesaikan dengan cantik dalam syariah Islam. Kebutuhan anda untuk dapat pinjaman tentu sangat dipahami oleh syariah Islam. Dan justru Islam selalu memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan ekonomi manusia. Kalau pun Islam mengharamkan bunga, bukan berarti Islam ingin membuat hidup manusia semakin sulit, juga bukan ingin ekonomi kita semakin sempit. Sebaliknya, ketika mengharakan riba, Islam menginginkan keadilan, kemudahan, kepercayaan dan juga persaudaraan.

Namun karena sistem ekonomi kita sejak awal sudah terkontaminasi dengan praktek ribawi, maka ada semacam kesan di dalam alam bawah sadar bahwa riba itu seolah sulit dihapus, mustahil dihindari dan juga tidak mungkin dielakkan. Sayangnya, tidak sedikit dari umat Islam yang secara tidak sadar terbawa arus pemikiran ini. Padahal, setiap orang tahu bahwa riba adalah sesuatu yang merugikan, bahkan termasuk biang keladi dari kehancuran ekonomi bangsa.

Suatu hal yang sering luput dari perhatian kita adalah masalah akad muamalat. Sering kali kita terjebak dengan tujuan, tapi lupa dengan halal haram pada akadnya. Meski tujuannya baik, tetapi kalau akadnya akad yang telah ditetapkan keharamannya, maka seharusnya kita cari bentuk akad-akad lainnya. Toh, yang penting tujuannya tercapai. yaitu memiliki rumah. Maka mengapa tidak diupayakan akadnya saja yang disesuaikan. Dan di dalam syariah Islam ada banyak pilihan akad yang halal tapi tetap memberi solusi.

Misalnya akad murabahah, mudharabah, bai’ bits-tsaman ajil, bahkan sampai kepada rahn (gadai). Semuanya bisa dimainkan dan jadi solusi, demi terhindar dari akad ribawi. Untuk mendapatkan rumah, anda bisa menggunakan akad kredit yang sesuai syariah. Di mana harga rumah itu dibayarkan oleh pihak ketiga. Lalu anda membeli dari pihak ketiga secara mengangsur dengan nilai harga yang telah dimark-up. Cara ini halal 100% selama harga mark-up itu sudah disepakati kedua belah pihak dan tidak diubah lagi.

Cara lainnya adalah dengan menggunakan sistem pinjaman dengan jaminan (rahn). Di mana anda meminjam uang tanpa bunga namun anda harus mengagunkan harta lain dan dititipkan kepada pihak yang memberi pinjaman. Pihak yang memberi pinjaman uang kepada anda tidak boleh memungut bunga dari anda, tetapi boleh memungut biaya penitipan harta anda. Dari situlah dia mendapat keuntungan. Sistem ini 100% halal dan dibenarkan dalam syariat Islam, dikenal dengan transaksi gadai (rahn). Dan masih banyak lagi model yang belum kami sebutkan, namun hukumnya halal dan bisa jadi solusi cerdas.

Seandainya setiap muslim mau sedikit belajar tentang ilmu syariah, khususnya fiqih muamalah, mungkin kita akan terhindar dari transaksi haram. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan kepada kita untuk menjalankan roda kehidupan ini dengan cara-cara yang dibenarkan-Nya. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Cegah Riba, Ini Cara Mengelola Dana Haji

Dana haji harusnya ditempatkan di bank syariah. Pasalnya dana tersebut adalah dana ibadah sehingga bila ditempatkan di bank konvensional dikhawatirkan bertentangan dengan syariah yang mengharamkan riba.

Pengamat Ekonomi Syariah, Agustianto mengatakan riba memberikan dampak merugikan. “Terbukti riba dapat menghancurkan perekonomian secara global dan Indonesia pun merasakannya,” ujar Agustianto.

Masyarakat, kata Agustianto,  kesadaran masyarakat terhadap bank syariah masih lemah. Menurutnya harus ada kebijakan yang jelas dan konkret untuk mengalihkan setoran calon haji ke bank syariah.

“Imbauan saja tidak cukup, perlu kebijakan mengalihkan setoran ke bank syariah,” katanya.

Pengamat Perbankan Syariah Yusuf Wibisono, mengatakan dana haji harus mendapat pengawasan ketat mengingat jumlahnya yang tidak sedikit. Dia pun mendukung bila dana tersebut dikelola perbankan syariah. “Pengelolaan dana di bank syariah untuk menjaga kekhawatiran spekulasi pasar uang,” ujarnya.

Yusuf menyebut perbankan syariah menyalurkan dananya ke sektor riil dan tidak menempatkan dananya di pasar uang. Hal inilah yang diyakininya bisa membantu peningkatan penyaluran dana ke usaha kecil dan menengah (UKM) serta sektor riil.

 

REPUBLIKA