Perbedaan Pamer, Riya, Ujub, dan Sombong

Pertanyaan:

Apa perbedaan antara pamer, riya’, ujub dan sombong?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Ini adalah pertanyaan yang bagus, karena banyak sekali orang yang salah kaprah dalam memahami istilah-istilah di atas dan salah dalam menggunakannya.

  1. Pamer

Pamer dalam istilah syar’i disebut dengan al fakhr. Dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith, al fakhr didefinisikan:

تباهى بمالَهُ وْما لقومه من محاسنَ

“Berbangga dengan hartanya dan kelebihan yang dimiliki kaumnya”.

Pamer atau al fakhr itu biasanya dalam perkara duniawi. Seperti memamerkan harta, rumah yang bagus, pakaian yang bagus, mobil yang mewah, pamer makan di restoran mewah, dan semisalnya dalam rangka untuk berbangga. 

Sifat suka pamer adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala berfirman:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ، كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS. At Takatsur 1-3).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap hamba yang sombong lagi fakhur (suka berbangga)” (QS. Luqman: 18).

Sifat suka pamer juga bertentangan dengan sifat tawadhu’ (rendah hati). Padahal kita diperintahkan untuk tawadhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Allah akan menambahkan kewibawaan seseorang hamba yang pemaaf. Tidaklah seorang hamba itu bersikap tawadhu’ kecuali Allah akan tinggikan ia” (HR. Muslim, no.2588).

Dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sungguh Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu’ (rendah hati) agar tidak ada seorang pun yang saling fakhr (berbangga diri) pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain” (HR. Muslim no. 2865).

  1. Riya’

Adapun riya’, adalah melakukan ibadah atau amalan shalih dengan maksud untuk mendapatkan pujian dari manusia. Para ulama mendefinisikan riya’,

أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم

Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain” (Lihat Al Muwafaqat karya Asy Syatibi [2/353], Ar Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55]).

Perbedaan riya’ dengan al fakhr (pamer) adalah riya‘ terjadi pada amalan shalih atau ibadah, sedangkan al fakhr (pamer) terjadi pada amalan duniawi. 

Orang yang pamer harta, pakaian bagus, makanan enak dan semisalnya tidak disebut melakukan riya’. Namun orang yang menampakkan sedekahnya agar dipuji, menampakkan shalat malamnya agar dipuji, memperbagus shalatnya agar dianggap ahli ibadah, inilah contoh-contoh orang yang melakukan riya’.

Riya’ dapat membatalkan pahala amalan shalih. Allah ta’ala berfirman:

قالَ اللهُ تعالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264).

Allah dan Rasul-Nya mencela pelaku riya’ dan mengabarkan bahwa riya’ termasuk kesyirikan. Karena orang yang melakukan riya’ membuat tandingan bagi Allah ta’ala dalam niat ibadah. Allah ta’ala berfirman:

اِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa: 142).

Dari Mahmud bin Labid Al Anshari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ أخوَفَ ما أخافُ عليكُمُ الشِّركُ الأصغرُ: الرِّياءُ، يقولُ اللهُ يومَ القيامةِ إذا جَزَى النَّاسَ بأعمالِهم: اذهَبوا إلى الذينَ كنتم تُراؤونَ في الدُّنيا، فانظُروا هل تَجِدونَ عِندَهم جزاءٍ.

“Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik ashghar, yaitu riya’. Allah akan berkata di hari Kiamat ketika memberikan balasan kepada manusia atas amalan mereka: “Pergilah kalian kepada pihak-pihak yang kalian jadikan tujuan riya’ di dunia. Lihatlah apakah mereka bisa memberikan ganjaran kepada kalian hari ini?”” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 32).

  1.  Merasa Senang Setelah Beribadah 

Yang sering disalah-pahami dengan riya’ adalah jika seseorang merasa senang ketika dapat melaksanakan suatu ibadah. Jika seseorang berkata dalam hatinya, “Alhamdulillah saya bisa melaksanakan shalat tahajud”, “Alhamdulillah Allah beri saya taufik untuk sedekah”, “Alhamdulillah bisa hadir di majelis ilmu” dan semacamnya, tanpa bermaksud mencari pujian dari orang lain, maka ini perbuatan yang terpuji. Riya’ adalah jika ia menampakkan hal itu kepada orang-orang dan berharap mendapatkan pujian dari orang-orang.

Adapun merasa senang dengan ibadah, ini adalah hal yang dipuji oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (58)

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus: 58).

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن سرَّتهُ حسنتُهُ وساءتْهُ سَيِّئتُهُ فذلِكم المؤمنُ

“Siapa yang merasa senang dengan kebaikan yang dilakukannya dan merasa gelisah dengan keburukan yang dilakukannya, maka itu tanda ia seorang Mukmin” (HR. At-Tirmidzi no. 2156, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Ujub 

Berbeda lagi dengan ujub. Ujub adalah merasa tinggi dan agung atas kelebihan yang dimiliki, dan menisbatkan itu semua kepada dirinya sendiri bukan kepada Allah. Al Ghazali rahimahullah mendefinisikan ujub:

العُجْب: هو استعظام النعمة، والركون إليها، مع نسيان إضافتها إلى المنعم

“Ujub adalah merasa agung ketika memiliki suatu nikmat dan bersandar kepadanya, namun lupa menisbatkannya kepada pemberinya (yaitu Allah)” (Ihya’ Ulumiddin, 3/371).

Orang yang ujub merasa bahwa nikmat dan kelebihan yang ia miliki itu karena dirinya sendiri dan atas usahanya. Ia lupa bahwa ia mendapatkan itu semua semata-mata karena kemurahan Allah ta’ala kepadanya. Maka ujub adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala sebutkan bahwa salah satu sebab kalahnya kaum Mukminin adalah karena ujub:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ 

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang” (QS. At-Taubah: 25).

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sifat ujub akan mendatangkan azab Allah dan juga besar dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

وبينا رجلٌ يَمشي في حُلَّةٍ قد أعجبَتْه نفسُه خسَف اللهُ به فهو يتجَلجَلُ فيها إلى يومِ القيامةِ

“Di antara kita ada lelaki yang berjalan menggunakan pakaian yang bagus, yang membuat ia ujub kepada dirinya. Lalu Allah tenggelamkan ia ke dalam bumi dan ia tergoncang-goncang di dalamnya sampai hari kiamat” (HR. Bukhari no.5789, Muslim no.2088).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لو لم تُذنِبوا لخشيتُ عليكم ما هو أكبرُ منه العُجبَ

“Andaikan kalian tidak berbuat dosa, aku khawatir kalian terjerumus dalam perkara yang lebih besar dari dosa yaitu ujub” (HR. Al Bazzar no.6936, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.2921).

Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu juga mengatakan:

قال عمر رضي الله عنه: (أخوف ما أخاف عليكم أن تهلكوا فيه ثلاث خلال: شحٌّ مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه)

“Yang paling aku takutkan dari perkara yang bisa membinasakan kalian adalah tiga perkara: sifat pelit yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti dan ujub kepada diri sendiri” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 1/568).

Perbedaan ujub dengan merasa senang dengan ibadah adalah, orang yang ujub menisbatkan kenikmatan dan kelebihan yang ia miliki kepada dirinya. Ini adalah akhlak yang tercela. Adapun orang yang merasa senang ketika bisa menyelesaikan ibadah, ia menisbatkan keutamaan tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa karena taufik dari Allah lah, ia bisa menyelesaikan ibadah. Sehingga ini adalah akhlak terpuji sebagaimana telah dijelaskan.

  1. Sombong

Adapun sombong, telah didefinisikan maknanya oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri. Dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِن كِبْرٍ قالَ رَجُلٌ: إنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أنْ يَكونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا ونَعْلُهُ حَسَنَةً، قالَ: إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ، وغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi”. Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, jika seseorang menyukai untuk menggunakan pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu kesombongan?”. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Allah ta’ala mencintai keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain (HR. Muslim no.91).

Kesombongan adalah akhlak tercela. Allah ta’ala kabarkan bahwa kesombongan adalah perilaku iblis. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ 

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34).

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa orang yang sombong diancam tidak akan masuk Surga. Dalam hadits yang lain, dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

((ألا أخبركم بأهل الجنَّة؟ كل ضعيف متضاعف؛ لو أقسم على الله لأبرَّه، ألا أخبركم بأهل النَّار؟ كل عتلٍّ، جواظٍ مستكبرٍ)) 

“Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Yaitu orang-orang yang lemah dan dianggap lemah. Namun jika mereka meminta kepada Allah dengan bersumpah, Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni neraka? Yaitu orang-orang yang keras, kasar dan sombong” (HR. Bukhari no.4918, Muslim no.2853).

Maka kesombongan adalah akhlak yang tercela yang harus disingkirkan dari diri-diri kita. Wajib bagi kita untuk menerima kebenaran dan tidak menolaknya, serta wajib untuk tidak merendahkan orang lain. 

Namun apa bedanya ujub dengan sombong? Disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (15/395) :

قال أبو وهب المروزي: سألت ابن المبارك: ما الكبر؟ قال: «أنْ تزدري الناس». فسألته عن العجب؟ قال: «أنْ ترى أنَّ عندك شيئًا ليس عند غيرك، لا أعلم في المصلين شيئًا شرًا من العجب»

“Abu Wahab Al Marwazi bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Apa itu sombong?” Ibnul Mubarak menjawab, “Sombong adalah merendahkan orang lain.”.

Al Marwazi berkata, “Lalu aku bertanya kepadanya tentang ujub.” Ibnul Mubarak menjawab, “Ujub adalah engkau merasa bahwa engkau memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Dan aku tidak mengetahui ada keburukan yang terjadi pada orang yang shalat, yang lebih bahaya dari ujub“.

Sebagian ulama mengatakan, ujub itu rukunnya dua: dirinya dan sesuatu yang dibanggakannya. Sedangkan sombong itu rukunnya tiga: dirinya, yang dibanggakannya, orang lain yang menjadi objek sombongnya. 

Maka seseorang bisa terjerumus dalam ujub dalam kesendirian, tidak harus ada orang lain. Sedangkan ketika seseorang ujub dan menampakkan kepada orang lain, itulah kesombongan.

Wallahu a’lamWalhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41003-perbedaan-pamer-riya-ujub-dan-sombong.html

Riya’: Ujian bagi Orang-Orang Saleh

Cara setan menggoda seorang hamba sangatlah beragam. Beda jenis dan beda bidang, beda pula cara menggoda dan menghasutnya. Hamba yang berprofesi sebagai pedagang, maka dihasut untuk memakan harta riba. Kaum hawa digoda agar mengenakan perhiasan yang diharamkan. Begitu pula dengan hamba yang saleh, maka setan akan menggoda mereka melalui pintu riya’.

Imam At-Tayyibi rahimahullah mengatakan tentang riya’,

”Ia merupakan tipuan hawa nafsu dan intrik kejahatan yang paling berbahaya, ujian bagi para ulama, ahli ibadah dan mereka yang antusias bersemangat meniti jalan akhirat.”

Sungguh riya’ merupakan jebakan paling tersembunyi, namun sangat membahayakan seorang hamba. Disebutkan di dalam kitab Taysiir Al-Aziiz Al-Hamid (hal. 354),

الرِّيَاءُ أَخْوَفُ عَلَى الصَّالِحِين مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّال

“Riya’ lebih menakutkan bagi orang-orang saleh daripada fitnah dajjal.”

Bahkan, Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam khawatir bila riya’ ini akan menimpa para sahabatnya. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ؟، قَالَ: قُلْنَا: بَلَى، فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

“Maukah kalian kuberitahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al-Masih Ad-Dajjal?” (Abu Said) berkata, “Para sahabat berkata, ‘Tentu saja.’” Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang berdiri mengerjakan salat, kemudian dia memperbagus salatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 3408. Dihasankan oleh Syekh Albani)

Orang saleh, jika melakukan sebuah ibadah karena riya’, di akhirat nanti ia akan diadili sebelum orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Qur`an hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al-Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca Al-Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.

Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim no. 1905)

Renungkanlah hadis di atas wahai saudaraku.

Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili di akhirat nanti adalah Mujahid (orang-orang yang gugur syahid di medan perang), penuntut ilmu dan orang yang rajin bersedekah. Jika niat mereka telah rusak, mereka semuanya akan diseret di atas mukanya ke dalam api neraka, padahal amalan yang mereka lakukan termasuk amalan-amalan yang paling agung di sisi Allah Ta’ala. Naudzubillahi min dzalik.

Yang bukan termasuk dari riya

Bukan termasuk dari riya’ apabila seorang mukmin melakukan amal saleh, kemudian Allah Ta’ala jadikan kaum mukminin lainnya memujinya dengan pujian yang baik sedang ia sama sekali tidak menduganya, lalu timbullah kebahagiaan di hatinya karena keutamaan Allah Ta’ala yang ia dapatkan ini.

Hal semacam ini tidak akan membahayakannya dan bukan termasuk dari riya’. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam perihal seseorang yang melakukan sebuah amal kebaikan lalu manusia mulai memujinya karena amalannya tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,

تِلكَ عَاجِلُ بُشْرَى المُؤْمِنِ

“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang Mukmin.” (HR. Muslim no. 2642)

Adapun jika seseorang yang sedari awal memperbagus amalnya agar dipuji manusia, maka inilah yang disebut riya’.

Hukuman orang riya

Hilang sudah impian-impian orang yang beribadah karena riya’, sia-sia usaha yang telah ia lakukan, bahkan oleh Allah Ta’ala ia diperlakukan dengan kebalikan yang ia inginkan. Mereka akan diberi dua hukuman: hukuman di dunia dan hukuman di akhirat.

Hukumannya di dunia, Allah Ta’ala akan membuka dan menyingkap kedok serta rahasianya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن يُسَمِّعْ يُسَمِّعِ اللَّهُ به، ومَن يُرائِي يُرائِي اللَّهُ بهِ

“Barangsiapa yang memperdengarkan, maka Allah akan memperdengarkan tentangnya. Dan barangsiapa yang memperlihatkan (riya’), maka Allah akan memperlihatkan tentang dia.” (HR. Muslim no. 2987)

Al-Khotthobi rahimahullah berkata,

“Maknanya adalah barang siapa yang mengamalkan sebuah amalan tanpa ikhlas, akan tetapi karena ingin dilihat oleh masyarakat dan disebut-sebut oleh mereka, maka ia akan dibalas atas perbuatannya tersebut. Yaitu Allah akan membongkarnya dan menampakan apa yang dulu disembunyikannya.” (Fathul Baari, 11: 344-345)

Sampai pun itu rahasia-rahasia dan hal-hal yang disembunyikan orang yang riya’ di dalam hatinya, maka Allah Ta’ala akan menyingkapnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ كَلابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ

“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari no. 5219 dan Muslim no. 2130)

Adapun di akhirat nanti, maka hukumannya adalah neraka jahanam. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ ، اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat, kecuali neraka. Dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Hal ini senada dengan yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hadis yang telah lalu, di mana beliau mengatakan,

“Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah … ”

Lalu beliau menyebutkan,

“Orang yang meninggal karena peperangan, orang yang mempelajari dan membaca Al-Qur’an dan orang yang rajin bersedekah.”

Mereka adalah orang-orang yang beramal namun tujuannya bukanlah Allah Ta’ala, maka dikatakan kepada mereka,

“Engkau beramal agar dikatakan ini dan ini.”

Kemudian mereka diseret ke neraka dalam keadaan wajahnya tertelungkup.

Sungguh, orang-orang yang mengerjakan amal saleh karena ingin riya’ dan dipuji, di dunia ini oleh Allah Ta’ala akan disingkap kedok dan rahasianya dan di akhirat nanti terancam dengan azab yang pedih.

Semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua dari syirik tersembunyi ini dan senantiasa memberikan keistikamahan di dalam menjaga niat kita dalam beribadah, yaitu niat yang ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

 ***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/80334-riya-ujian-bagi-orang-orang-saleh.html

Imam Al-Ghazali Ungkap Enam Tempat Pemicu Riya

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, mencoba menjelaskan gambaran seputar riya’. Pamer atau riya merupakan salah satu perilaku yang tidak disukai Allah SWT. Untuk menghindari hal ini, utamanya dalam hal beribadah, bukanlah hal yang gampang.

Abu Hamid al-Ghazali dalam Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102, menyebut “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya”. Dalam kitab yang sama di halaman 100-101, Imam al-Ghazali menerangkan secara lengkap enam tempat yang berpotensi menumbuhkan rasa riya’.

1. Badan dan raut muka

Imam al-Ghazali menyampaikan beberapa contoh yang berkaitan dengan hal ini. Salah satunya, menampakkan badan yang kurus dan lemah, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan lainnya.

Memperlihatkan raut muka sedih juga termasuk dalam perilaku pamer, dengan tujuan agar terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia.

2. Penampilan

Contoh dari hal ini adalah mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona, sehingga banyak orang terpukau. Contoh lainnya adalah menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secara elegan, dengan harapan tampak lebih berwibawa.

Atau, seseorang bisa saja menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya.

3. Cara berpakaian

Orang yang ingin pamer biasanya terlihat mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, dengan alasan agar terlihat lebih keren.

Atau kebalikannya, sengaja menggunakan baju yang lusuh dengan beberapa tambalan, tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.

 4. Riya’ dalam hal ucapan

Jebakan ini kerapkali menjebak para dai. Karena itu, lebih baik bagi seseorang untuk berhati-hati dengan ucapannya, karena orang alim sekalipun tidak terlepas dari penyakit ini.

Maka, wajar jika Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).

5. Pamer dalam perbuatan

Beberapa bentuk dari poin ini adalah memperlama durasi rukuk dan sujud, atau menampilkan kepada khalayak saat bersedekah, puasa, atau haji.

Semua contoh itu sangat potensial dalam memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh ketika melenceng dari niat luhur, kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.

6. Banyaknya murid atau guru yang dipamerkan

Perilaku riya bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, maupun guru yang bisa dipamerkan. Orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, membuat ia memiliki gambaran atau branding diri yang baik di mata umat.

Sekilas membaca penjelasan Imam al-Ghazali tentang enam potensi yang menyebabkan riya’, seolah membuat gambaran untuk beramal shaleh menjadi susah. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah.

Hal ini semata bukan karena Allah SWT mempersulit aksesnya, tetapi karena hati manusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme dan mabuk dunia. Yang demikian membuat seseorang menjadi sulit dalam menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya.

“Sebagai hamba Allah SWT, tentu orang tidak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya,” tulis Ust Ahmad Dirgahayu. 

Terakhir, ia menyebut kunci dari beribadah adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. 

IHRAM

Apa Hukum Sedekah Sambil Buat Konten Youtube?

Konten sedekah di Youtube menjadi fenomena.

Di era digital dan media sosial ini banyak terjadi pergeseran budaya dan kebiasaan masyarakat. Salah satunya fenomena sedekah sambil membuat konten media sosial seperti Youtube.

Muncul pertanyaan, sedekah sambil membuat konten media sosial apakah termasuk sikap riya atau bukan? Ulama memandang bahwa orang yang sedekah sambil membuat konten media sosial tidak bisa dihukumi karena hanya Allah yang tahu niatnya, isi hatinya dan pikirannya.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Mahbub Maafi, mengatakan, sedekah wajib seperti membayar zakat sebaiknya dipublikasikan agar orang lain tahu. Sementara, sedekah sunnah sebaiknya dilakukan secara diam-diam.

“Tapi memang di era sekarang, orang bersedekah sambil membuat konten (untuk media sosial), kita tidak tahu maksud orang membuat konten itu apa,” kata Kiai Mahbub kepada Republika, Selasa (16/11).

Ia mengatakan, kalau berpikir positif, bisa jadi konten tersebut menjadi bagian dari edukasi. Agar orang-orang yang menontonnya bisa meniru perbuatan baik dalam konten tersebut.

Menurutnya, manusia tidak boleh berprasangka buruk kepada orang yang bersedekah sambil membuat konten. Mungkin saja konten yang dibuatnya dimaksudkan untuk dakwah agar orang-orang mau berbagi.

Kiai Mahbub menerangkan, memang kadang ada sedekah dibuat konten sehingga menjadi kurang etis. Tapi itu bukan berarti tidak boleh sedekah. Karena mungkin tujuan orang yang sedekah sambil membuat konten itu untuk edukasi dan dakwah.

“Sepanjang itu konten yang baik dan punya dampak yang baik terhadap masyarakat, itu yang penting menurut saya. Sebab ada konten yang baik tapi memiliki dampak yang tidak baik itu jadi tidak baik. Menurut saya itu acuannya,” ujarnya.

Namun menurut Kiai Mahbub, sedekah sambil membuat konten dengan tujuan untuk mendapatkan penonton dan uang sama saja melakukan kapitalisasi terhadap sedekah, perbuatan itu tidak baik. Tapi kalau tujuan membuat kontennya baik dan memiliki dampak baik, itu perbuatan yang baik.  

“Sebab kita tidak bisa tahu isi hati dan niat seseorang jadi kita tidak bisa menghukuminya, maka kita harus bijak melihat, kalau ada orang buat konten diniatkan yang benar, bukan untuk mencari sensasi dan viewer,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, sedekah merupakan amalan mulia yang dianjurkan agama Islam dan selalu dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Tapi belakangan, amalan ini dibuat oleh beberapa konten kreator sebagai tontonan di video miliknya dan disebarkan melalu berbagai platform.

Dalam pandangan, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, sedekah dalam berbagai bentuk bisa dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah Ayat 274.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah: 274)

Menurut Buya Amirsyah, dua cara itu boleh dilakukan dengan syarat ikhlas memberi karena Allah SWT. Jadi ada dua cara sedekah, pertama dengan terang terangan, kedua dengan sembunyi-sembunyi atau sirran wa ‘ala niyyah. Jadi yang penting adalah ikhlasnya.

Buya Amirsyah juga menjelaskan, yang perlu diperhatikan dalam bersedekah adalah proses penyaluran dan proses mendapatkan dana sedekah tersebut. Sedekah baik dalam bentuk zakat, infak atau wakaf harus benar dalam proses distribusinya.

Sekretaris Jenderal MUI ini juga menyoroti soal pundi-pundi uang yang diterima konten kreator dari platform-platform media sosial. Menurutnya, uang yang didapat haruslah berasal dari yang baik dan tidak melanggar syariat.

Ia mengatakan, sebaiknya kreator tidak mengambil uang dari iklan-iklan yang diharamkan seperti iklan minuman keras atau judi. “Jadi (harta sedekah) halal dalam arti administrasi dan goiru dzat, di luar dzat itu termasuk perilakunya, pengelolaannya, penyalurannya, supaya dana yang kita peroleh itu berkah,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Riya adalah Penyakit Hati yang Harus Dihindari, Ini Ciri-cirinya

Riya adalah penyakit hati yang harus dihindari karena dapat merusak amal kebaikan. Dalam Al Quran disebutkan bahwa orang yang berbuat riya termasuk golongan orang yang celaka.

Riya termasuk salah satu sifat orang munafik. Sifat ini bertentangan dengan sifat orang beriman yang senantiasa ikhlas dalam melakukan segala sesuatu. Orang yang berbuat riya tidak akan mendapat apapun atas kebaikan yang mereka kerjakan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 264 berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ – ٢٦٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264)




Berikut pengertian, ciri-ciri, dan cara menghindari riya,


A. Pengertian riya

Riya berasal dari bahasa Arab ra’a-yara-ruyan-wa ru’yatan yang artinya melihat. Menurut istilah riya adalah memperlihatkan diri kepada orang lain agar keberadaannya baik ucapan, tulisan, sikap, maupun amal perbuatannya diketahui.

Riya juga dapat diartikan sebagai sikap ingin dipuji atau disanjung orang lain atas perbuatan yang telah dilakukan. Orang yang berbuat riya termasuk golongan orang yang celaka. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maun:

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ – ١ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ – ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ – ٣ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – ٥ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ – ٦ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ – ٧

Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al Maun: 1-7)


B. Ciri-ciri orang riya

Menurut Ali bin Abi Thalib, ciri-ciri orang riya terdapat dalam jiwa seseorang. Di antara ciri-ciri orang riya adalah malas jika seorang diri, giat jika di tengah-tengah orang banyak, tambah semangat beramal jika mendapatkan pujian, dan berkurang frekuensi amalannya jika mendapat celaan.

Dikutip dari buku Akidah Akhlak untuk Madrasah Aliyah Kelas X oleh Aminudin dan Harjan Syuhada, ada enam jenis riya di dunia ini. Antara lain riya dengan perkataan, riya dengan amal perbuatan, riya dengan badan, riya dengan tingkah laku dan pakaian, riya dengan kepandaian, dan riya dengan banyak teman dan pergaulan.

C. Cara menghindari riya

Perbuatan riya sebagai salah satu penyakit hati dapat dihindari dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau muraqabah. Dalam buku Quran Hadits yang ditulis oleh Muhaemin dikatakan bahwa mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat nama-Nya setiap saat akan menjadikan hati menjadi bersih.

Riya juga dapat dihindari dengan meluruskan niat melakukan segala sesuatu karena Allah SWT. Selain itu, berbuat sewajarnya dan tidak membicarakan perbuatan yang telah dilakukan juga dapat menjadi cara untuk menghindari munculnya penyakit hati ini.

Perbuatan riya dilarang dalam Islam. Bahkan, riya disebut termasuk dosa dari jenis syirik. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari perbuatan riya dan penyakit hati lainnya. Aamiin ya rabbal alamin.

DETIKHIKMAH

3 Tanda Orang Riya dan Bodoh

Diantara sifat buruk yang harus dijauhi oleh seorang Muslim adalah riya yaitu memperlihatkan suatu amal dengan tujuan memperoleh pujian dari manusia lainnya. Itu sebabnya orang yang diselimuti sifat riya akan mudah kecewa ketika orang-orang tidak memberikan pujian atau perhatian atas perbuatannya. Ia tidak ikhlas dalam beramal, atau dalan arti lain tidak menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam beramal. Selain sifat riya, seorang Muslim juga harus menjauhi kebodohan dalam beragama.

Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang tiga tanda orang riya dan orang bodoh dalam beragama. Sebagaimana Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dalam kitab Wasiyatul Mustofa. Kitab ini disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syaran.

Tanda orang riya

يَا عَلِيُّ، وَلِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ مَعَ النَّاسِ وَيَنْقُصُهُ إِذَا صَلَّى وَحْدَهُ وَيَنْشِطُ لِلْمَرْءِ الَّذِيْ يُثْنِيْ عَلَيْهِ وَيَذْكُرُ اللهَ فِي الْخَلَا وَالْمَلَا

Wahai Ali, bagi orang yang riya itu tiga tanda. Yaitu, dia sempurnakan ruku dan sujudnya ketika bersama orang banyak, dan dia menguranginya ketika dia sholat sendirian. Dia bersemangat kepada orang yang memuji muji dia. Dan dia mau berdzikir kepada Allah ketika banyak orang sedang tidak dalam keadaan sepi.

Tanda orang bodoh dalam agama

يَا عَلِيُّ، وَلِلْأَحْمَاقِ ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ اَلتَّهَاوُنُ فِيْ فَرَائِضِ اللهِ وَكَثْرَةُ الْكَلَامِ فِيْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَالطَّعْنُ فِي الدِّيْنِ

Wahai Ali, bagi orang bodoh itu ada tiga tanda meremehkan tentang perkara yang wajib, dan banyak bicara selain berzikir, dan mencela Agama.

IHRAM

Merasa Senang karena Orang Lain Tahu Amal Baik Kita, Apakah Termasuk Riya?

Bismillahirrahmanirrahim..

Anda sudah berusaha menyembunyikan amal shalih, namun Allah buka sehingga orang lain tahu. Lalu, hati Anda bahagia dengan kenyataan tersebut. Apakah seperti ini termasuk riya’?

Termasuk atau tidaknya, tergantung pada motivasi bahagianya. Jika bahagia karena kemampuan dirinya yang bisa melakukan amal-amal kebaikan yang diketahui orang-orang, maka ini berbahaya. Karena bisa terjatuh ke dalam dosa ujub yang berdampak pada gugurnya pahala. Jika bahagianya karena kuasa dan rahmat Allah yang telah menampakkan kebaikan dan menutupi aib-aibnya, maka ini bukan ujub dan bukan riya’. Bahkan ini adalah nikmat dari Allah ‘azza wa jalla dan membuahkan pahala karena ada unsur syukur di dalamnya. Di antara bentuk syukur adalah bahagia atas nikmat yang telah Allah berikan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَعْمَلُ الْعَمَلَ فَيُطَّلَعُ عَلَيْهِ فَيُعْجِبُنِي

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukan suatu amalan, lantas amalan tersebut diperlihatkan kepadaku hingga saya kagum.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَكَ أَجْرَانِ أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

“Kamu mendapatkan dua pahala, pahala amalan yang dilakukan saat tak seorang pun yang melihat dan ketika ditampakkan.” (HR. Ibnu Majah)

Di dalam hadis yang lain, riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu,

يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير ويحمده الناس عليه؟

“Ya Rasulullah, seorang telah melakukan amal baik, lalu orang-orang memujinya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.”

Di dalam kitab Mukhtasar Minhaj Al-Qosidin (hal. 213 – 214), Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن السرور ينقسم إلى محمود ومذموم، فالمحمود: أن يكون قصده إخفاء الطاعة، والإخلاص لله، ولكن لما اطلع عليه الخلق، علم أن الله أطلعهم، وأظهر الجميل من أحواله، فيُسَرُّ بحسن صنع الله، ونظره له، ولطفه به، حيث كان يستر الطاعة والمعصية, فأظهر الله عليه الطاعة، وستر عليه المعصية، ولا لطف أعظم من ستر القبيح، وإظهار الجميل، فيكون فرحه بذلك، لا بحمد الناس وقيام المنزلة في قلوبهم، أو يستدل بإظهار الله الجميل، وستر القبيح في الدنيا، أنه كذلك يفعل به في الآخرة. فَأَمَّا إن كان فرحه باطلاع الناس عليه؛ لقيام منزلته عندهم حتى يمدحوه، ويعظموه، ويقضوا حوائجه، فهذا مكروه مذموم

“Bahagia karena amalan dilihat orang, hukumnya terbagi menjadi dua:

1. Terpuji

2. Tercela

Terpuji, jika tujuan awalnya menyembunyikan amal dan niatnya ikhlas. Akan tetapi, ketika kebaikannya itu dilihat orang lain, dia menyadari bahwa Allah yang telah menampakkan amal baiknya, Allah yang menampakkan keindahannya.

Dia pun bahagia atas kebaikan Allah, perhatian, dan kelembutan-Nya kepada dirinya. Dia berusaha menutupi amalan baik dan dosa, namun Allah tampakkan amalan baiknya dan Allah tutup dosa-dosanya. Tak ada kelembutan yang lebih berkesan dari kelembutan berupa ditutupi semua aib, kemudian ditampakkan keindahan.

Sehingga bahagianya karena itu, bukan karena pujian manusia atau kedudukan yang dia dapatkan di hati mereka.

Atau ia bahagia karena di saat Allah menampakkan kebaikannya di dunia dan Allah tutupi dosa-dosanya, itu isyarat bahwa Allah akan bersikap demikian pula di akhirat kelak.

Adapun jika bahagianya semata karena orang-orang tahu amal shalihnya, penghormatan orang-orang kepadanya sampai mereka menyanjung kebaikannya, memuliakan dan menuju kebutuhan-kebutuhannya, maka bahagia yang seperti ini dibenci Allah dan tercela.”

Wallahul Muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/69238-merasa-senang-karena-orang-lain-tahu-amal-baik-kita-apakah-termasuk-riya.html

Waspada Sikap Riya yang Muncul Saat Haji dan Umroh

 Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan impian setiap Muslim. Namun, salah satu dari rukun Islam itu hanya diwajibkan bagi hamba Allah yang memiliki kemampuan saja. Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 97:

 فِيهِ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ مَّقَامُ إِبْرَٰهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Fīhi āyātum bayyinātum maqāmu ibrāhīm, wa man dakhalahụ kāna āminā, wa lillāhi ‘alan-nāsi ḥijjul-baiti manistaṭā’a ilaihi sabīlā, wa mang kafara fa innallāha ganiyyun ‘anil-‘ālamīn

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Namun, Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu’atul Aadaab Islamiyah mengingatkan tentang perlunya meluruskan niat semata-mata karena Allah saat ibadah haji maupun umroh. Menurut Syekh Sayyid Nada, seseorang tidaklah mendapatkan balasan dari amal yang dikerjakannya,  kecuali sesuai dengan yang diniatkan.

Allah sendiri telah mewajibkan haji semata-mata untuk meraih keridhaan-Nya. ‘’Maka dari itu, hendaknya niat seseorang menunaikan haji atau umrah semata-mata karena Allah dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah,’’ tutur ulama terkemuka itu.

Ia mengingatkan janganlah naik haji karena riya supaya dianggap hebat atau hanya ingin mendapatkan gelar haji saja. Menurut Syekh Sayyid Nada, melakukan amal karena manusia  termasuk perbuatan syirik. Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 2, ‘’Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.’’

IHRAM

Hati-hati terhadap Ujub dan Riya’

“KEBAJIKAN apa pun yang kamu peroleh adalah dari Sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu itu dari kesalahan dirimu sendiri.” (QS. an-Nissa [4]: 79)

Jadi, pada suatu waktu, saya ditakdirkan berdakwah ke Singapura. Di sana disuguhi sejumlah makanan. Tapi hampir semua makanan itu merupakan pantangan. Yang tersisa hanya cumi-cumi kecil. Maka disantap lah terus cumi-cumi itu.Tanpa terasa sudah tidak bersisa. Tidak lama kemudian efeknya mulai terasa, dan ternyata asam urat.

Begitulah, saudaraku. Kalau kita tidak hati-hati, nafsu bisa mengendalikan. Seperti menghabiskan suguhan cumi-cumi sampai ke sisa-sisanya. Padahal, tanpa cumi-cumi itu saya bisa hidup seperti biasa. Tapi nafsu membuatnya hanya enak di lidah. Sedangkan sebagian anggota badan tidak bisa bergerak, sehingga harus diobati dokter.

Kemudian, saya berangkat menuju teman-teman marinir di Cilandak. Membicarakan tentang acara tabligh yang akan diadakan di sana. Setelah pembicaraan selesai, lalu teman-teman di sana mengajak, “Aa’, itu akan ada perlombaan menembak, ayo ikut!” Karena dulu memang pernah latihan menembak di sana, dan tembakannya dianggap jitu.Tapi anggapan jitu ini pula yang membuat lupa, sehingga ingin memperlihatkan. Meskipun dokter sudah berpesan agar hati-hati menjaga sakit yang baru mulai sembuh.

Dan benar. “Duar! Duar! Duar!”Tidak ada yang mengenai sasaran. Di samping menahan malu karena biasanya kena menjadi tidak kena, juga rasa sakit yang kambuh lagi. Mengganti baju tidak bisa, memegang sarung dan sikat gigi pun tidak memungkinkan. Itu hanya, maaf, disebabkan ingin memperlihatkan jitu yang dulu. Ternyata oleh Allah dibuat pelurunya ke mana-mana. Na’udzubillah.

Tapi yang pasti kena adalah hati,”Ya Allah, Mahasuci Engkau. Engkau Mahatahu niat yang tersembunyi. Engkau mengetahui hamba ini ada ujubnya, dan ingin pamer kemampuan. Tidak cocok dengan ceramah. Ampunilah hamba-Mu ini.”

Nah, hati-hatilah kalau ingin kemampuan kita diketahui orang lain, ujub dan riya’. Seperti menembak tadi. seandai mengenai sasaran pun tidak mengubah apa-apa. Karena saya juga bukan tentara.

Memang terkadang kita lupa dan ingin memperlihatkan siapa diri ini. Beruntunglah ketika itu diberi peringatan oleh Allah dengan tidak satu pun peluru yang mengenai sasaran.

Saudaraku. Mari kita ikhtiar bersama-sama menjaga hati. Mungkin di suatu waktu kita terlanjur ujub atau riya’. Tapi ketika sadar, harus langsung bertafakur tentang apa yang telah diperbuat. Tentang apa sebetulnya tujuan yang asli di hati kita? Misalnya yang menjadi imam salat Isya di masjid sebelum pengajian. Selesai mengimami bertanyalah pada hati, ‘Mengapa dan apa tujuan saya tadi membaca ayat ini? Apa karena ingin memamerkan hafalan serta kelembutan suara?” Atau, yang azan, “Mengapa tadi saya bersikeras ingin azan? Apa karena sedang ada mertua?’

Harus kita periksa supaya bisa bertemu kesalahannya. Lalu, bertobat. Dengan begitu nantinya kita bisa semakin peka. Ketika melakukan kesalahan serupa. maka bisa langsung ingat dan lebih berhati-hati. Jangan sampai sesudah kejadian kita malah merasa biasa saja. Jika tidak mengevaluasi diri dan tidak bertobat. maka ujub dan riya’ tidak akan berkurang.

Dengan hati yang semakin bersih dan peka nanti akan ada semacam ‘radar’ yang berbunyi di sekitar amal perbuatan kita. Kalau hati makin bersih nurani atau suara hati yang selalu jujur bisa berbisik “Hush riya’, ujub!” Yang menutupi suara hati adalah nafsu kita sendiri.Tapi kalau bisa menahan nafsu dan semakin hati menjadi bersih, nurani pun bisa semakin nyaring dan kuat pengaruhnya dalam diri ini.

Nah, mudah-mudahan seperti itu. Yang penting bagaimana hati ini bisa bersih. Kalau mau hati bersih, kita harus benar-benar serius mengupayakannya. Seperti cerita menembak yang tidak kena tadi, saya harapkan dapat menjadi bahan ulasan tema tulisan ini. Tetapi, bercerita begitu, secara halus bisa saja ada ujub dan riya’ nya. Karenanya, mari masing-masing lebih sering memeriksa hati kita dan bertafakur! [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Antara Ikhlas dan Riya’

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Ada seseorang yang melakukan amal shalih, dia bersemangat untuk menyembunyikannya dari manusia karena takut terjatuh dalam riya’. Akan tetapi, dia dapati bahwa dirinya menjadi gembira dan senang ketika ada orang lain yang mengetahui amalnya tanpa dia sengaja. Apakah hal ini juga termasuk riya’? Lalu, apakah meninggalkan amal shalih di hadapan manusia juga termasuk riya’? 

Jawaban: 

Yang selayaknya dilakukan oleh seorang mukmin adalah dia mengikhlaskan amalnya untuk Allah Ta’ala. Bahkan, hal ini merupakan perkara yang wajib. Dia tidak perlu memperhatikan lintasan pikiran yang muncul dalam hatinya bahwa dia melakukan karena riya’. Hal ini karena jika dia terlalu memperhatikan lintasan pikiran itu, dia akan banyak meninggalkan amal (karena takut riya’). 

Seorang mukmin dan mukhlis (yang ikhlas dalam beramal, pent.) adalah mereka yang terkadang menampakkan amal dan terkadang menyembunyikan amal, sesuai dengan tuntutan maslahat. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menginfakkan harta mereka, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 274)

Jadi, kebaikan itu terkadang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan terkadang dilakukan secara terang-terangan. 

Maka Engkau, wahai saudaraku sesama muslim, lihatlah manakah yang lebih afdhal (lebih utama), kemudian kerjakanlah. Berhentilah dari riya’ dan jauhilah riya’. Dan janganlah Engkau membiasakan jiwamu selamanya untuk senang dilihat orang dan atau keinginan mendapatkan harta mereka karena amal yang Engkau lakukan.

Adapun berkaitan dengan kegembiraan setelah melakukan suatu ibadah dan Engkau telah melakukan ibadah tersebut murni karena Allah Ta’ala, maka perkara ini tidaklah menjadi masalah. Bahkan, hal ini bisa jadi merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana yang Allah Ta’ala beritakan,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ؛ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ؛ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat.” (QS. Yunus [10]: 62-64)

Maka bedakanlah antara: (1) orang yang melakukan suatu amal agar amal tersebut dilihat orang dan mendapatkan pujian dari mereka; dengan (2) orang yang melakukan suatu amal karena Allah Ta’ala, akan tetapi dia gembira ketika manusia melihatnya (tanpa adanya kesengajaan dari pelaku amal). Hal ini karena dia bergembira karena nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya, dan ini tidaklah membahayakan sedikit pun. 

Adapun seseorang terkadang meninggalkan suatu amal karena takut terhadap riya’, maka hal ini juga merupakan waswas yang setan masukkan ke dalam hati manusia. Maka tetap lakukanlah suatu ibadah, meskipun terlintas dalam dirimu bahwa Engkau melakukannya karena riya’. Ucapkanlah,

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ 

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk”;

kemudian mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan kerjakanlah ibadah tersebut.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53541-antara-ikhlas-dan-riya.html