Jangan Nodai Ibadah Anda Dengan Niat Duniawi

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”2.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”3.

Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan

Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut4.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya5.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”6.

Makna dan perbedaannya dengan riya’

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”7.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”8.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat9.

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shaleh10.

Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain11.

Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain12:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS al-Israa’: 18).

Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya13.

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.

Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)14.

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya15.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia akan murka.

Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya16. Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi budak harta17na’uudzu billahi min dzaalik.

Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab18 rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:

  1. Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.
  2. Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.
  3. Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.
  4. Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:

  • Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
  • Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
  • Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
  • Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain19.

Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya

Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada niat/keinginan dunia padanya20.

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya21.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut22.

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

  1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
  2. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya23.

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut24.

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama25.

B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”26.

C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

  • Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.
  • Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar27.

Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini

Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).

Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar ini.

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)28.

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah Ta’ala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)’ (QS an-Naazi’aat: 40-41).

Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak akan berkumpul (bertemu) keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi) yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan api (tidak mungkin berkumpul selamanya)… Maka jika terbersit dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat buruk ini dengan pisau ‘putus asa’ (dengan balasan duniawi yang ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat) pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap semua itu…Kalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu”29.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan tersebut, beliau berkata: “Adapun (cara untuk) membunuh (sifat) rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satu-satunya”30.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Ta’ala bagi kita untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthony, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/13945-jangan-nodai-ibadah-anda-dengan-niat-duniawi.html

Apakah Termasuk Riya Orang yang Mengunggulkan Pekerjaannya

Apakah Termasuk Riya Orang yang Mengunggulkan Pekerjaannya

Pertanyaan :

بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

Di dalam pekerjaan, seringkali kita terpaksa untuk menunjukkan dan mengunggulkan hasil pekerjaan kita. Demikian juga untuk penulisan Curriculum Vitae. Apakah ini termasuk riya’?

(Disampaikan oleh Admin N06)

 



Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Menyebutkan keutamaan yang ada pada diri kita pada asalnya tercela dan dilarang dalam syari’at.

Allah ﷻ berfirman:

فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

“Jangan engkau menganggap dirimu itu suci, karena Allahlah yang paling tahu siapa yang paling bertaqwa”

(QS. An Najm :32)

Akan tetapi, terkadang diperbolehkan apabila ada kebutuhan.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwasanya menyebutkan kebaikan diri itu terbagi 2

1. Tercela
Apabila seseorang menyebutkan kebaikan dirinya untuk berbangga – bangga, menyombongkan diri dan merendahkan teman – temannya atau yang semisalnya.

2. Disukai
Apabila dengan menyebutkan keutamaan dirinya ada kemaslahatan seperti dalam amar ma’ruf nahi munkar, atau mungkin dia adalah seorang guru, atau semisalnya, dia berniat ketika menyebutkan kelebihan dirinya agar perkataannya diterima oleh orang yang dinasihati.

Kemudian beliau membawakan dalil, seperti perkataan Rasulullah ﷺ :

“Saya adalah penghulu bani Adam”, atau dalam hadits lain:
“Saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa diantara kalian”.

(lihat kitab Al-adzkar: 278 -279)

Dari penjelasan diatas kita bisa pahami boleh bagi seseorang untuk menyebutkan keunggulan dirinya jika ada kebutuhan, dengan syarat tidak boleh untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri.

Wallohu A’lam
Wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله تعالى
Selasa , 02 Ramadhan 1440 H/ 07 Mei 2019

Referensi: https://bimbinganislam.com/apakah-termasuk-riya-orang-yang-mengunggulkan-pekerjaannya/

Riya sebagai Perusak Ikhlas

SESEORANG masih bisa digoda oleh setan dalam beramal soleh. Bila tidak melalui amalannya yang dirusak (ditambah atau dikurangi, menyelesihi sunnah Nabi), setan menggoda seseorang melalui niat saat ia beramal.

Ikhlas untuk Allah adalah sebenar-benar niat seseorang dalam beramal. Tapi setan tidak pernah rela seseorang mendekatkan diri kepada Allah melalui amal shaleh. Segala upaya akan dilakukan setan agar seseorang tidak mendekat kepada Allah, atau agar rusak amal ibadahnya tersebut.

Dari sektor niat, setan akan membisikkan sekaligus membelokkan niat amal ibadah seseorang. Bila niat ikhlas adalah tujuan yang benar, maka setan akan membelokkan niat tersebut dengan membisikkan niat selain ikhlas. Maka orang tersebut menduakan niat karena Allah dan niat karena selain Allah. Otomatis rusaklah ibadahnya. Ia beramal atau beribadah untuk selain Allah pula. Ia telah melakukan riya.

Riya sendiri didefinisikan oleh ulama sebagai melakukan ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia, sehingga orang yang riya mencari pengagungan, pujian, harapan atau rasa takut terhadap orang yang dia berbuat riya karenanya.

Nabi shalallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita tentang bahaya riya. Sabda beliau, “Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari perkara yang aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?”. Rasulullah bersabda, “Riya. Pada hari kiamat, ketika membalas amalan-amalan manusia, Allah subhanahu wataala akan berfirman, “Pergilah kepada orang yang kamu dahulu waktu di dunia berbuat riya kepadanya, dan lihatlah apakah kamu dapatkan balasan (pahala) darinya”.

Maka inilah pentingnya mempelajari niat. Setelah tahu tentang niat, maka hendaknya kita mengetahui tipu daya setan dalam menenggelincirkan kita melalui niat. Semoga Allah menjaga niat ikhlas kita dalam beribadah. [*]

 

INILAH MOZAIK

iya Syirik Terkecil yang Ditakutkan Rasulullah

SYEKH Ibnu Athaillah al Iskandari, wafat 709 H, menuturkan, dari Mahmud ibn Labid diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik yang paling kecil.”

Para sahabat pun bertanya, “Apa syirik terkecil itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.” “Wahai saudaraku, jadikanlah amal ibadahmu sebagai amal yang tulus hanya karena Allah, sehingga engkau bisa mendapatkannya dalam timbangan amal kebaikanmu di akhirat kelak.

Allah berfirman, “Pada hari ketika tiap tiap jiwa mendapatkan segala hasil perbuatan baiknya berada di hadapannya.” (Ali Imran 30).”

“Amal yang ikhlas laksana mutiara-mutiara. Bentuknya kecil, namun mahal nilainya. Orang yang kalbunya senantiasa sibuk bersama Allah lalu ia bisa mengalahkan hawa nafsu dan ujian yg muncul secara tepat, maka orang tersebut lebih baik daripada mareka yang banyak melakukan salat dan puasa sementara kalbunya sakit, dipenuhi keinginan untuk dikenal dan hasrat mendapatkan kesenangan.

Ada yang berpendapat bahwa perhatian seorang zuhud adalah bagaimana memperbanyak amal, sementara perhatian orang arif (mengenal Allah) adalah bagaimana memperbaiki kondisi jiwa dan mengarahkan kalbu hanya kepada Allah semata.” [

 

INILAH MOZAIK

Doa Perlindungan terhadap Perbuatan Riya’

BEBERAPA kiat untuk mengobati riya (Tauhid Muyassar dan beberapa tambahan):

1. Mengingat keutamaan orang-orang yang berbuat ikhlas yang syaithan tidak akan mampu menyesatkan

2. Bersungguh-sungguh dalam mengikhlaskan amal, tidak merasa nyaman ketika di pertengahan amal tertimpa penyakit riya bahkan segera meninggalkan perasaan riya tersebut

3. Mengingat keagungan Allah Taala karena Ia tidak membutuhkan amalan hambaNya

4. Mengingat berbagai dampak negatif dan bahaya riya

5. Mengingat negeri akhirat, kematian, siksa kubur, dan gelapnya kubur serta siksa neraka

6. Meyakini bahwasannya ridha manusia tidak dapat mendatangkan manfaat maupun bahaya baginya

7. Berdoa kepada Allah Taala dengan doa yang dituntunkan, “Allahumma inni auudzubika an usyrika bika syaian wa ana alamu wa astaghfiruka limaa laa aalamu” Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari) (HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” dari Abu Yala, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani). []

 

 

Waspadai Riya

Pada era informasi ini, begitu sulit menghindari riya. Dengan dalih syiar dakwah, warga internet (warganet) mengunggah doa dan ibadah di akun-akun mereka.

Riya diambil dari kata rukyat (melihat). Pokok sikapnya adalah mencari kedudukan di hati orang-orang dengan memperlihatkan berbagai macam perbuatan baik kepada mereka.

Riya disebut dekat dengan syirik. Rasulullah SAW sampai- sampai takut umatnya akan terjatuh dalam kubangan sikap yang diistilahkan dengan syirik kecil itu. Padahal, tiada sesuatu yang berhak untuk dijadikan sandaran perbuatan melainkan Allah SWT.

Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 22).

Dalam menjelaskan ayat ini, sahabat Ibnu Abbas atau Abdullah bin Abbas menjelaskan, yang dimaksud dengan sekutu-sekutu bagi Allah adalah berbuat syirik.

Dia pun menjelaskan, syirik itu merupakan perbuatan dosa yang lebih sulit dikenali ketimbang jejak semut yang merayap di batu hitam di tengah kegelapan malam.

Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddinyang saripatinya diringkas oleh Syeikh Jamaluddin al-Qasimi menjelaskan, riya ada yang samar-samar dan terang- terangan.

Riya terang-terangan adalah riya yang membangkitkan suatu perbuatan dan mengan- tarkan pada suatu perbuatan, wa laupun pada mulanya ia bermaksud untuk mendapatkan pahala. Ini adalah riya yang paling terang-terangan.

Sedikit lebih samar adalah riya yang tidak mengantarkan pada suatu perbuatan tersendiri, tetapi perbuatan yang sudah biasa dilakukan dengan tujuan untuk mengharap keridhaan Allah SWT menjadi ringan.

Contohnya, orang yang shalat tahajud tiap malam dengan perasaan berat. Namun, apabila di rumahnya terdapat tamu ia menjadi giat dan ringan melakukan Tahajud.

Riya yang lebih samar lagi adalah riya yang tidak terpengaruh pada perbuatan dalam hal membuatnya terasa mudah dan tidak pula dalam hal membuatnya terasa ringan.

Riya itu menyusup ke dalam hati. Tanda-tandanya yang paling jelas adalah ia merasa bergembira manakala ada orang yang melihat ketaatannya.

Riya Melanda Pendamba Dunia dan Pendamba Akhirat

IKHLAS sering diartikan sebagai tidak riya dalam beramal. Riya adalah syirik kecil. Dalam tulisan berikut ini, yang dipetik dari kitab al-Thariqah al-Muhammadiyah, Syekh al-Birgawi dengan gamblang menerangkan bagaimana riya bisa melanda baik pendamba dunia maupun pendamba akhirat.

Termasuk penyakit hati yang menyebabkan kekufuran adalah riya. Orang yang riya biasanya berusaha mencari kesuksesan di dunia ini dengan melakukan ibadah, kemudian mengabarkan kesalehannya itu kepada orang lain. Memberitahukan amal kita ke orang lain, tanpa mereka menanyakannya, dan bukan dengan maksud mengajari atau memperbaiki pemahaman keagamaan
mereka, termasuk sikap riya.

Riya adalah salah satu perwujudan sifat nifak (munafik), yaitu berusaha menampilkan suatu sikap yang bertentangan dengan kenyataannya. Lawan riya adalah ikhlas atau ketulusan hati yang merupakan dasar keberagaman.

Ikhlas berarti berbuat dan berperilaku selaras dengan iman. Sikap Ikhlas lahir dari kesungguhan untuk mencari jalan keselamatan dan kedamaian di dunia dan di akhirat serta didorong oleh kehendak yang kuat untuk mendekati diri pada Allah swt.

Orang yang ikhlas akan mendapatkan balasan karunia yang besar dari Allah di dunia ini, berupa kepuasan batin karena selalu merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah swt. Nabi saw bersabda, “Apabila kau tak sanggup melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.Muslim dari Ibn Umar).

Kadang-kadang kemunafikan merasuk ke dalam hari didorong oleh hasrat meraih sukses duniawi. Inilah pangkal kemunafikan dalam lingkup kehidupan dunia. Tetapi, bila keuntungan ukhrawi juga muncul dalam keinginan seseorang, keadaannya menjadi rumit. Muncul persaingan yang hebat antara mementingkan keuntungan duniawi atau keuntungan ukhrawi.

ORANG YANG IKHLAS AKAN BERUSAHA MENJAGA SETIAP TINDAKAN, IBADAH, DAN KESALEHAN LAINNYA AGAR TETAP TAK TAMPAK DAN LUPUT DARI PERHATIAN
MANUSIA. [Chairunnisa Dhiee]

Sumber: buku ” Ikhlas Tanpa Batas”

INILAH MOZAIK

Mengumbar Amal Saleh di Sosmed Membuka Pintu Setan

BAGAIMANA sikap kita terhadap yang suka mengumbar amal lewat sosial media, wajibkah kita langsung menasihatinya, bagaimana metodenya? Fitrah manusia, kalau berbuat dosa tidak ingin orang lain tahu.

Mengunggah di sosial media sedang berbuat maksiat, tidak ada! Yang ada lagi umroh, yang ada sedang hadir kajian ustadz syafiq. Tapi hati-hati tujuan teman kita mengumbar amal itu, apa? Karena Allah jalla jalaluh mengatakan:

Kalau kalian sedekah terang-terangan itu baik, asalkan niatnya ikhlas lillahi taala. Tapi kalau kalian sedekah sembunyi-sembunyi, tidak ada orang lain yang tahu. Itu lebih baik. Kalian kasih kepada fakir miskin tanpa orang tahu itu lebih baik.

Karena ketika kita mengumbar amal saleh kita, kita membuka pintu buat setan, kita buka pintu untuk riya. Tapi kalau kita sembunyikan, setan mau ngerusak dari mana? Tidak bisa.

Kadang kala kita salat malam, sendirian tidak ada yang tahu. Pagi-pagi sahabatnya melihat dan berkomentar kenapa matanya merah.

Kemudian menjawab, “Oh iya saya semalam salat dari jam satu sampai jam tiga.” Masya Allah. Salat malam tidak perlu dibicarakan, tidak perlu.

Ada orang sedekah duitnya habis. Ente kok duitnya habis? Naam kenapa ya habis duit ana. Begitulah orang yang saleh (sambil senyum) Masya Allah!

 

[Ustaz Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA]

INILAH MOZAIK

Doa Kala Kita Dipuji oleh Orang Lain

PARA ulama mengatakan, kalau ada yang memujimu, bacalah doa seperti berikut. Ketika dipuji, Abu Bakr berdoa,

Allahumma anta alamu minni bi nafsiy, wa anaa alamu bi nafsii minhum. Allahummaj alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa yalamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.

[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syuab Al- Iman, 4: 228, no.4876. Lihat Jaami Al-Ahadits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25: 145, Asy-Syamilah)

Sebagaimana disebutkan Al-Baihaqi dalam Syuab Al-Iman, Al-Auzai mengatakan bahwa ketika seseorang dipuji oleh orang lain di hadapan wajahnya, maka hendaklah ia mengucapkan doa di atas.

Disebutkan pula dalam Adabul Mufrod karya Imam Al Bukhari mengenai hadits di atas ketika beliau sebutkan dalam Bab “Apa yang disebutkan oleh seseorang ketika ia disanjung.”

Begitu pula disebutkan dalam kitab Hilyatul Awliya karya Abu Naim Al Asbahaniy bahwa ketika seseorang dipuji di hadapannya, hendaklah ia mengingkari, marah dan tidak menyukainya, ditambah membaca doa di atas.

Semoga bermanfaat. [Referensi: Al-Mawsuah Al-Fiqhiyyah/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Mewaspadai Riya

ALHAMDULILLAH. Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah Swt. Tiada yang patut untuk disembah, selain Allah. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt. berfirman,“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robb-nya.”(QS. Al Kahfi [18] : 110]

Saudaraku, selain kita harus memperbanyak amal kebaikan dan meningkatkan kualitasnya, kita pun harus waspada jangan sampai amal kebaikan yang kita lakukan siang dan malam itu hangus, habis, rontok, atau tidak diterima oleh Allah Swt.

Salah satu hal yang membuat amal kita tidak diterima adalah disebabkan riya, ingin dilihat oleh orang lain. Sehebat apapun amal seseorang, Allah tidak akan menerimanya jikalau hatinya menghadap kepada selain Allah. Yaitu menghadap kepada pujian manusia, penghargaan manusia, sanjungan, kekaguman atau kedudukan dalam pandangan manusia.

Sudah sering kita mendengar hadits nabi Saw. tentang kisah seorang mujahid yang gugur di medan jihad. Dalam pandangan manusia, ia nampak meraih syahid. Tapi, ternyata di pengadilan Allah tidak demikian. Karena rupanya ia berjihad di jalan Allah bukan karena mengharap ridho Allah, melainkan karena mengharap dipandang pemberani di mata manusia.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang tersirat di hati hamba-Nya. Tidak ada rahasia bagi Allah. Serapat apapun manusia merahasiakan sesuatu di dalam hatinya, Allah pasti mengetahuinya. Sebagaimana firman Allah Swt.,“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”(QS. Faathir [35] : 38).

Ternyata apa yang ada di dalam hati sang mujahid tadi bukanlah Allah, melainkan makhluk. Ia berharap dilihat oleh makhluk, kemudian berharap dipuji, dikagumi, disanjung sebagai pemberani, pejuang, pahlawan. Akhirnya, jerih payahnya di medan jihad, bahkan sampai ia terkorban nyawanya sekalipun, menjadi tidak ada artinya di hadapan Allah Swt.

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa betapa kita harus serius dalam urusan keikhlasan. Orang yang ikhlas itu secara sederhananya adalah orang yang putus harapan dari makhluk atas apapun yang dilakukannya. Cukup saja Allah baginya. Cukup saja hanya penilaian Allah baginya.WAllahu alam bishowab.

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

MOZAIK