Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (3)

Butuh kesabaran
Jalan penempaan diri itu, katanya, juga bukan perkara mudah. Penuh lika-liku dan membutuhkan kesabaran. Karena itu, Allah memberikan apresiasi bagi mereka yang mau bermujahadah.

Golongan yang menghabiskan waktu untuk berolah spiritual dan menguasai dirinya sendiri adalah hamba pilihan Allah.

×Powered By CapricornusBila Sang Khalik tidak memilih dan memberikan cahaya makrifat-Nya, maka rasanya sulit tahapan demi tahapan mujahadah itu akan terlalui dengan baik.

Ibarat perlawanan, ada pertarungan antara dimensi kebaikan dan kejahatan. Basis pertahanan itu berada di hati. Apabila energi positif mampu bercokol, menguasai nafsu, serta menyelamatkan kebersihan hati, maka selamatlah seluruh anggota tubuh dari tindak maksiat.

Demikian sebaliknya. Jika hati telah dikangkangi nafsu angkara murka, maka hati tersebut akan keras, pintu makrifat tertutup. Akibatnya, terbukalah pintu kemaksiatan di hadapannya.

Tahapan puncak olah spiritual, menurut sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas nan majemuk di Khurasan kala itu, ialah makrifat. Ia mengibaratkan dalam perdagangan, makrifat seperti uang pangkal atau modal.

Sedangkan, aktivitas mujahadah disebutnya ialah jual beli itu sendiri. Kemudian, keridaan Allah, ia sebut-sebut sebagai keuntungan. Bila perilaku baik telah terkumpul pada diri seseorang maka ia akan menjadi pribadi yang matang.

Hal ini karena ada tujuh sifat manusiawi manusia, yaitu lupa (ghaflah), ragu (syak), syirik (syirik), keinginan (raghbah), ketakutan (rahbah), syahwat, dan marah (ghadab). Satu per satu, perangai buruk itu akan hilang tatkala hidayah datang dan menghadirkan makrifat. Semakin makrifat bertambah, maka hatinya akan tercerahkan dan terhindar dari ketujuh perangai tersebut.

 

sumber: Republika Online

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (4-habis)

Penempaan Diri
Seperti apakah visualisasi olah spiritual tersebut? Sederhananya, bagaimana gambaran pertempuran antara dimensi kebaikan dan kejahatan dalam diri seorang hamba?

Menurut Al-Hakim yang pernah terusir dari Tirmidz lalu pindah keBalkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial (Khatmul Awliya’ dan ‘Ilal Asy-Syari’at) itu, jika jiwa seseorang telah terbiasa dengan kenikmatan dan syahwat atau bermain-main dengan nafsu, maka ia akan sulit meninggalkannya. Sebelum segalanya terjadi, maka segeralah merapat kepada-Nya.

Lihat saja bagaimana seekor binatang liar dipelihara dan diasuh menjadi hewan peliharaan di rumah. Sebelumnya, hewan itu tumbuh dan berkembang di dunia luar yang tak teratur. Begitu pindah ke rumah, ia mendapat perhatian yang cukup, terurus, dan berubah menjadi penurut. Menuruti apa yang diinginkan oleh majikannya.

Ambil contoh pula dengan balita yang gemar menyusu. Begitu dipaksa berhenti menyusu, ia akan menangis. Lain halnya jika kebiasaan itu dialihkan dengan memberikan alternatif yang lebih baik. Bukan tidak mungkin, ia akan dengan mudah berhenti menyusu dan melupakan air susu ibunya.

Para ahli mujahadah akan menyikapi kenikmatan dan kelezatan duniawi itu secukupnya. Mengambil apa yang ia perlukan, baik dalam hal makan, minum, mencari nafkah, maupun soal pangkat dan jabatan.

Selebihnya, ia berusaha untuk tidak bergelimang dan terjerumus. Inilah esensi takwa batin. Sedangkan ketakwaan dari segi fisik ialah menjaga segenap anggota tubuh dari berbuat maksiat.

Bagaimana kiat sederhana olah spiritual itu? Jalankan shalat tepat waktu, sambangilah makam untuk mengingat kematian, datangi lokasi yang ada api membara, bayangkanlah bahwa kematian, panasnya api neraka ada di depan Anda. “Tak jauh, cuma sejengkal kaki dan sejauh mata anda memandang,” tulis tokoh yang terinspirasi dari sang ayah, Syekh Ali, tersebut.

 

sumber: Republika Onlinekitab-ilustrasi-_120516193921-752

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (2)

Allah menciptakan rasa kasih sayang dan mengondisikan harmonisasi alam, lahirlah manusia yang memiliki anggota tubuh yang saling melengkapi.

Mereka diberikan mata untuk melihat, telinga agar mampu mendengar, lidah untuk berbicara, tangan supaya dapat berkarya, dan kaki agar sanggup berjalan.

Di dalam tubuhnya, Allah memberikannya hati (kalbu). Disebut kalbu, karena gumpalan darah—bila dilihat dari segi fisik disebut fuad—tersebut berada di genggaman Allah yang sangat mudah dibalikkan sesuai kehendak-Nya.

Di bagian lain dari kitabnya tersebut, Al-Hakim yang hidup hingga 320 H itu menggambarkan bagaimana nafsu itu muncul dan menguasai seorang hamba.

Pada dasarnya, nafsu keluar dari energi panas. Energi itu kemungkinan bertemu dengan dua hal, yaitu keindahan dan kesenangan. Pertemuan ini lantas memicu denyut nadi untuk terus memompa jantung dan menguasai hati serta pikiran seseorang.

Pada titik ini, timbullah syahwat dan rasa kepuasan. Bila syahwat telah menguasai hati, maka jadilah ia penguasa seluruh anggota tubuh. Misalnya, hati yang telah terkooptasi oleh nafsu dan syahwat ialah hati para orang yang tidak beriman,

“Tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari (memahami kenyataan) ini.”(QS. Al Mukminuun [23]: 63). Dan titik komando makrifat ada dalam hati, pemahaman ada di jiwa, dan rasionalitas letaknya di akal. Rasa mawaslah yang menjaga setiap elemen berharga itu.

Berdasarkan fakta tersebut, menurut ulama yang belajar hadis diNisaphur pada 285 H itu, manusia dituntut gigih mengelola potensi positif dan negatif yang dimiliki. Proses manajemen diri itu pun bukan perkara mudah, butuh keseriusan (mujahadah). “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj [22]: 78).

 

sumber: Republika Online

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (1)

Satu lagi karya dari seorang ulama yang hidup di abad ke-3 Hijriah, Al-Hakim At Tirmidzi. Jangan salah, dia bukan pakar hadis, Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi.

Lewat karyanya, Riyadhat An-Nafs, Al-Hakim At-Tirmidzi, yang terjun di dunia tasawuf sejak umur 27 tahun, berbagi pengalaman selama mendalami olah spiritual, menempa diri dan jiwa guna meraih keridhaan-Nya.

Dalam kitab ini, ulama bernama lengkap Abu Abdullah Muhammadbin Ali bin Al Husain bin Basyar Al-Hakim At -Tirmidzi itu membuat catatan-catatan penting perihal eksperimennya menaklukkan hati dan jiwa.

Buku ini mengupas tentang tata cara menempa diri dan jiwa menuju ketatatan yang penuh terhadap Sang Pencipta, bagaimana berinteraksi dengan manusia, termasuk mengetuk hati mereka agar berpaling ke jalan-Nya.

Kitab yang terdiri atas 14 bab ini juga memaparkan kebahagiaan sejati seorang Muslim, klasifikasi para ahli tasawuf, dan bagaimana menempatkan secara proporsional logika akal dan bahasa intuisi bagi sufi. Tak lupa, Al-Hakim juga memberikan tips sederhana untuk mendidik jiwa Muslim dan menggiringnya ke arah ketakwaan.

Kitab ini bisa dibilang sederhana. Tidak terdapat catatan pinggir (hawasyi) atau pun aksesori lainnya yang lazim dipakai dalam karya-karya klasik. Tetapi, di balik kesederhanaan itu, didapati ketajaman dan kedalaman analisis.

Hal ini sama seperti karya Al-Hakim lainnya, seperti Al-Manhiyyat, Ilal Al-Ubudiyyah, Syarh As Shalat wa Maqashiduha, Al-Hajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, Khatmul Awliya’.

Makrifat taklukkan hati
Mengawali uraiannya, tokoh yang berasal dari Tirmidz—sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakhstan—itu menegaskan satu hal mendasar mengenai filosofi eksistensi manusia selama hidup di dunia.

Keberadaan mereka sejatinya ialah untuk menghamba kepada Allah. Dan segala apa yang ada di bumi, Allah peruntukkan untuk membantu keberlangsungan hidup anak Adam. “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 13).

 

sumber: Republika Online

Riyadhat an-Nafs, Kebahagiaan Sejati Muslim

Satu lagi karya dari seorang ulama yang hidup pada abad ke-3 Hijriah, al- Hakim at-Tirmidzi. Jangan salah, dia bukan pakar hadis yang terkenal dengan kitab Sunan-nya, yaitu Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi.

Lewat karyanya, Riyadhat an-Nafs, al-Hakim at-Tirmidzi, yang terjun di dunia tasawuf sejak umur 27 tahun, berbagi pengalaman selama mendalami olah spiritual, menempa diri dan jiwa guna meraih keridhaan-Nya.

Dalam kitab ini, ulama bernama lengkap Abu Abdullah Muhammadbin Ali bin al-Husain bin Basyar al-Hakim at-Tirmidzi itu membuat catatan-catatan penting perihal eksperimennya menaklukkan hati dan jiwa. Buku ini mengupas tentang tata cara menempa diri dan jiwa menuju ketaatan yang penuh terhadap Sang Pencipta, bagaimana berinteraksi dengan manusia, termasuk mengetuk hati mereka agar berpaling ke jalan-Nya.

Kitab yang terdiri atas 14 bab ini juga memaparkan kebahagiaan sejati seorang Muslim, klasifikasi para ahli tasawuf, dan bagaimana menempatkan secara proporsional logika akal dan bahasa intuisi bagi sufi. Tak lupa, al- Hakim juga memberikan tips sederhana untuk mendidik jiwa Muslim dan menggiringnya ke arah ketakwaan.

Kitab ini bisa dibilang sederhana. Tidak terdapat catatan pinggir (hawasyi) ataupun aksesori lainnya yang lazim dipakai dalam karya-karya klasik. Tetapi, di balik kesederhanaan itu, didapati ketajaman dan kedalaman analisis. Hal ini sama seperti karya al-Hakim lainnya, yakni al-Manhiyyat, Ilal al-Ubudiyyah, Syarh as-Shalat wa Maqashiduha, alhajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, Khatm al-Awliya’.

 

sumber: Republika Online