Kisah Tentang Rumput

KEMARIN saya berada di aula Fakultas Vokasi Universitas Airlangga untuk menyampaikan kajian keislaman. Merasa asing dengan nama fakultas ini, kan? Saya juga.

Fakultas ini berisikan 20 program studi yang semuanya bersifat terapan. Rupanya, pemerintah membuat pemisahan antara yang teori dan terapan. Di terapan ini, mahasiswanya adalah ikut program D1, D2, D3 dan D4. Belum paham? Search di google.

Sebelum ke fakultas ini saya isi acara di perikanan. Walau di dinas perikanan, temanya adalah tentang rumput. Ada apa dengan rumput? Panjang pula ceritanya. Ijinkan saya sampaikan sebagiannya dulu.

Sering kita dengar: “Rumput di halaman orang lain selalu tampak lebih hijau dari pada rumput di halaman sendiri.” Sepertinya ungkapan ini termasuk ungkapan yang mengabadi untuk menyadarkan kita agar tidak membanding-bandingkan yang kita miliki dengan apa yang dimiliki orang lain. Nikmati saja apa yang dimiliki dan syukuri, maka kepala akan selalu sejuk, tidak panas karena saing-saingan.

Namun saya lebih tertarik dengan ungkapan kakek bijak yang selalu berkata: “Maaf, saya tak punya cukup waktu untuk melihat rumput tetangga. Sempatku hanya melihat rumput sendiri.” Hebat betul kakek ini, tak memiliki kesempatan untuk iri hati dan dengki, adanya adalah bersyukur dan bersyukur.

Sebenarnya saya ingin bicara banyak dengan kakek ini. Sayang, beliau masih sibuk dengan rumput di halamannya yang dibersihkan sambil tersenyum mendengarkan kicau burung yang bertengger di pepohonan rindang depan rumahnya. Kapan-kapan kita sowan bersama ke rumah kakek ya. Salam, AIM

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK