Tiga Kesalahpahaman tentang Ruqyah (02)

Pada asalnya, semua masjid itu setara keutamaannya kecuali 3 masjid yaitu masjid Nabawi, masjid Al Haram dan masjid Al Aqsha. Karena 3 masjid ini disebutkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram” (HR. Muslim no. 1394)

Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram. SHalat di masjid Al Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di tempat lain” (HR. Ibnu Majah no.1406, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsha” (HR. Bukhari no. 1115 dan Muslim no. 1397)

Namun untuk masjid selain 3 masjid ini, para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai masjid yang lebih afdhal untuk kita datangi sebagai tempat kita menunaikan ibadah shalat.

Masjid Yang Lebih Dekat

Para ulama menganjurkan untuk mengutamakan masjid yang lebih dekat dengan rumah kita sebagai tempat kita menunaikan ibadah shalat.  Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

يُصَلِّ الرجلُ في المسجِدِ الذي يلِيه ، ولا يَتَّبِعُ المساجِدَ

Hendaknya seseorang shalat di masjid yang dekat dengannya, dan jangan mencari-cari masjid lain” (HR. Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 2/178)

Diantara alasannya adalah, untuk tercapainya berbagai maslahah antara orang-orang yang saling bertetangga atau sesama kerabatnya. Karena yang shalat di masjid terdekat tentu adalah orang-orang yang rumahnya saling berdekatan atau bahkan sesama kerabat yang masih ada hubungan keluarga. Dengan berkumpulnya mereka di masjid yang sama akan mempererat hubungan, terbuka kesempatan untuk menunaikan hak tetangga dan hak kerabat, terbuka kesempatan untuk berbagi empati, saling membantu, saling menasehati dan maslahah lainnya.

Al Hasan Al Bashri ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang sering shalat di masjid lain yang jauh, beliau berkata:

كانوا يحبون أن يكثر الرجل قومه بنفسه

“Mereka (para salaf) menyukai untuk sering-sering berada di tengah-tengah kaumnya”

Masjid Yang Lebih Lama

Sebagian ulama menganjurkan untuk mengutamakan masjid yang usianya lebih lama atau lebih awal dibangunnya. Dalam kitab As Shalah, Abu Nu’aim Al Fadhl bin Dukain meriwayatkan kisah Ibnu Sirin tentang sahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu. Ibnu Sirin berkata:

كنت أقبل مع أنس بن مالك من الزاوية, فإذا مر بمسجد قال: أمحدث هذا؟ فإن قلت: نعم مضى, وإن قلت:عتيق صلى

“Aku pernah bertemu Anas bin Malik di Az Zawiyah. Jika ia melewati masjid, beliau bertanya: ‘Ini masjid baru?’ Kalau saya jawab: ‘ya’, maka beliau melewatinya, namun jika saya jawab: ‘ini masjid lama’ maka beliau shalat”

Sebagian mereka berdalil dengan ayat:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. At Taubah: 108)

Di dalamnya ada isyarat untuk memilih masjid yang lebih lama.

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, maksud Anas bin Malik memilih masjid yang lebih lama kemungkinan untuk mencegah keinginan orang-orang untuk membangun masjid baru tanpa kebutuhan. Karena hal ini bisa memecah-belah kaum muslimin dan membuka pintu perpecahan. Sehingga bisa jadi ketika ada orang yang tidak suka dengan si Fulan, ia pun membuat masjid sendiri sehingga ia tidak perlu shalat semasjid dengan si Fulan. Dan sudah maklum, bahwa terkumpulnya umat Islam dalam satu masjid itu lebih baik, karena dapat saling berkenalan, saling berakrab, saling menghapus kebencian, saling mengetahui keadaan satu sama lain ketika ada yang kena musibah, sakit, atau butuh pertolongan dan hal-hal lain yang sejalan dengan maqashid syar’iyyah dan sunnah fithriyyah.

Masjid Yang Lebih Sesuai Sunnah

Para ulama juga menganjurkan untuk memilih masjid yang di dalamnya ditegakkan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan benar, jauh dari perkara yang mungkar, perkara bid’ah apalagi perkara kesyirikan. Dalam rangka menjaga keistiqamahan diri menempuh jalan yang benar dalam beragama dengan senantiasa berhias dengan amalan yang sesuai sunnah. Namun seseorang hendaknya shalat di masjid kaumnya yang terdekat dengan rumahnya walaupun ada beberapa kemungkaran atau kebid’ahan di dalamnya dan di sana ia senantiasa berusaha untuk menasehati dan memperbaiki. Sehingga selain tercapai maslahah-maslahah dengan shalat di masjid terdekat, sekaligus tercapai juga maslahah dakwah. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta menyatakan:

فإذا كان الإمام يسدل في صلاته ويديم القنوت في صلاة الصبح على ما ذكر في السؤال نصحه أهل العلم وأرشدوه إلى العمل بالسنة ، فإن استجاب فالحمد لله ، وإن أبى وسهلت صلاة الجماعة وراء غيره صُلِّيَ خلف غيره محافظةً على السنة ، وإن لم يسهل ذلك صُلِّيَ وراءه حرصاً على الجماعة ، والصلاةُ صحيحةٌ على كل حال .

“Jika imam melakukan sadl atau merutinkan membaca doa qunut ketika shalat shubuh, sebagaimana yang anda tanyakan, katakan kepadanya bahwa para ulama menasehatkan dirinya untuk beramal dengan yang sesuai sunnah. Jika ia setuju, alhamdulillah. Jika ia menolak, maka bila anda dapat dengan mudah mencari masjid lain, shalatlah di sana. Dalam rangka menjaga diri agar senantiasa mengamalkan yang sunnah. Jika sulit untuk mencari masjid lain, maka anda tetap shalat menjadi makmum imam tersebut, dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat berjama’ah” (Fatawa Lajnah Ad Daimah, 7/366)

Semoga bermanfaat.

Referensi:

  • Sifatu Shalatin Nabi, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
  • Fatawa Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/13474-masjid-mana-yang-lebih-utama-untuk-shalat.html

Meruqyah dengan Menggunakan Api, Bolehkah?

Fatwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdullah Al-Imam

Pertanyaan:

Bolehkah membakar jin (baca: meruqyah) dengan menggunakan api?

Jawaban:

Telah diketahui bahwa Allah Ta’ala mengutus api untuk menghukum jin (setan), sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

“Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 10)

وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ ؛ إِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ

“Dan kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS. Al-Hijr [15]: 17-18)

Maka Allah Ta’ala mengadzab jin dengan menggunakan semburan api.

Terdapat hadits-hadits yang menyatakan bahwa tidak boleh menghukum dengan menggunakan api kecuali Rabb pemilik api (yaitu Allah Ta’ala, pen.), sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari (3017), Abu Dawud (4351), At-Tirmidzi (1458), Al-Hakim (3/539) dan yang lainnya, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau diberitahu bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu menghukum dengan menggunakan api orang-orang zindiq dari kalangan Saba’iyyin (yaitu khawarij) (maksudnya, dengan membakar mereka, pen.), lalu beliau berkata,

“Seandainya aku (yang menghukum), aku tidak akan menghukum dengan api, karena larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ

“Jangan menghukum dengan hukuman yang Allah Ta’ala gunakan.”

Dan aku akan membunuh mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu (Bukhari no. 3016), beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami dalam pengiriman pasukan kemudian berkata,

إِنْ وَجَدْتُمْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا فَأَحْرِقُوهُمَا بِالنَّارِ

“Jika engkau menemukan si fulan dan si fulan, maka bakarlah keduanya dengan api.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika hendak keluar,

إِنِّي أَمَرْتُكُمْ أَنْ تُحْرِقُوا فُلاَنًا وَفُلاَنًا، وَإِنَّ النَّارَ لاَ يُعَذِّبُ بِهَا إِلَّا اللَّهُ، فَإِنْ وَجَدْتُمُوهُمَا فَاقْتُلُوهُمَا

“Sesungguhnya aku telah perintahkan kalian untuk membakar si fulan dan si fulan. Sesungguhnya tidak boleh menghukum dengan menggunakan api kecuali Allah. Jika kalian menemukan mereka berdua, bunuhlah keduanya.”

Yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah bahwa tidak boleh menghukum (menyiksa) dengan api kecuali Rabb Pemilik api (yaitu Allah). Dari sini, maka tidak boleh bagi peruqyah untuk membakar jin (setan) dengan api, baik hal itu dengan menggunakan alat elektrik atau selainnya.

Termasuk alasan yang membuat kami berpendapat terlarangnya hal itu adalah bahwa jin terkadang bisa bersembunyi dengan cepat, sehingga rasa sakit karena api itu akan mengenai manusia yang terkena gangguan jin itu sendiri. Hal ini bisa menyebabkan kecacatan pada diri orang yang kesurupan, menjadi lumpuh, atau yang lainnya. Namun boleh bagi peruqyah untuk mengancam dengan api saja.

Adapun menggunakan peralatan kecil yang hanya menimbulkan getaran, maka itu boleh, karena tidak ada api yang menyala.

***

Diselesaikan ba’da tarawih, Sint-Jobskade NL, 7 Ramadhan 1439/ 23 Mei 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:

[1]Diterjemahkan dari: Ahkaam At-Ta’aamul ma’a Al-Jinn wa Adaabu Ar-Ruqa Asy-Syar’iyyah hal. 106, karya Syaikh Abu Nashr Muhammad bin ‘Abdullah Al-Imam, penerbit Maktabah Al-Imam Al-Wadi’i, Shan’a (Yaman), cetakan pertama tahun 1434.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42215-meruqyah-dengan-menggunakan-api-bolehkah.html

Meruqyah Perempuan yang Sedang Haidh

Fatwa Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan untuk membacakan Al-Qur’an dan ruqyah syar’iyyah kepada perempuan yang terkena gangguan jin, gangguan ‘ain dan sejenisnya dan (perempuan tersebut) sedang dalam kondisi haidh? Dan juga kepada laki-laki yang terkena gangguan yang sama dan sedang dalam kondisi junub?

Jawaban:

Disyaratkan bagi orang yang meruqyah (membaca Al-Qur’an) agar suci dari hadats besar, yaitu kondisi hadats yang mewajibkan mandi (wajib), seperti junub dan haidh.

Adapun si pasien (yang diruqyah), lebih utama jika dalam kondisi suci juga. Akan tetapi, jika perempuan yang sakit tersebut sedang haidh, perempuan tersebut boleh diruqyah ketika dalam kondisi haidh, karena adanya kebutuhan (al-hajah), baik sakitnya tersebut karena gangguan jin, sihir atau gangguan ‘ain.

***

Sint-Jobskade 718 NL, 23 Dzulhijjah 1439/ 4 September 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Al-‘Ulamaa’ fii ‘Ilaaji As-Sihr wa Al-Mass wa Al-‘Ain wa Al-Jaan, hal. 325-326; melalui perantaraan kitab Ahkaam At-Ta’aamul ma’a Al-Jinn wa Adaabu Ar-Ruqa Asy-Syar’iyyah hal. 166-167, karya Syaikh Abu Nashr Muhammad bin ‘Abdullah Al-Imam, penerbit Maktabah Al-Imam Al-Wadi’i, Shan’a (Yaman), cetakan pertama tahun 1434.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/43580-meruqyah-perempuan-yang-sedang-haidh.html

Bentuk-Bentuk Ruqyah dengan Menggunakan Air

Dalam melakukan praktek pengobatan dengan ruqyah, hendaknya seseorang senantiasa berpegang kepada petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dapat terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi, dan bahkan terdapat unsur penyerupaan (tasyabbuh) dengan dunia klenik dan perdukunan.

Dalam tulisan kali ini, kami akan membahas beberapa praktek kaum muslimin dalam meruqyah dengan menggunakan (media) air dan rincian hukumnya masing-masing.

Membacakan ayat Al-Qur’an ke air, kemudian diminum

Caranya, kita membaca ayat-ayat ruqyah dengan mendekatkan segelas air bersih ke mulut. Selesai membaca ayat ruqyah, air tersebut diminum. Perbuatan semacam ini diperbolehkan karena adanya dalil yang menunjukkannya.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Tsabit bin Qais ketika sedang sakit. Kemudian beliau berdoa,

اكْشِفِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ

“Iksyifil ba’sa Rabban naas ‘an Tsabit bin Qais bin Syammas.” [Hilangkanlah penyakit dari Tsabit bin Qais bin Syammas, wahai Rabb seluruh manusia.]

Kemudian beliau mengambil debu tanah dari Baththan dan memasukkannya ke dalam gelas, kemudian beliau menyemburkan air ke dalamnya, lalu menuangkan kepadanya.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu dawud (no. 3885); An-Nasa’i dalam ‘Amalul yaumi wal lailah (no. 1017); Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 1323) dan Ibnu Hibban dalam Al-Mawaarid (no. 1418), dari jalur Yusuf bin Muhammad bin Tsabit bin Qais, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’ (bersambung sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.). Ibnu Hajar berkata tentang Yusuf bin Muhammad di dalam At-Taqriib, “Maqbuul” (diterima). Yaitu, ketika riwayat yang disampaikan terdapat mutaba’ah-nya.

Dan hadits ini memiliki syawahid yang menguatkannya, di antaranya hadits ruqyah dengan menggunakan air dan garam [1] dan juga hadits tentang ruqyah dengan tanah dan air ludah [2].

Adanya manfaat dari air yang sudah dibacakan ruqyah kepada orang sakit adalah sesuatu yang telah diketahui, pengaruhnya pun bisa dilihat, karena air memiliki karakteristik tersendiri. Jika digabungkan dengan ruqyah, maka terkumpullah dua sebab sekaligus, yaitu sebab konkret dan sebab abstrak. Di antaranya, manfaat bagi orang yang terkena sihir jika sihir tersebut dikirimkan melalui sesuatu yang diminumkan.

Dalil lain yang menunjukkan disyariatkannya membacakan ruqyah ke air adalah hadits-hadits tentang tata cara mengobati orang yang terkena ‘ain. Yaitu, orang penyebab ‘ain mandi, lalu airnya dituangkan kepada orang yang terkena ‘ain [3]. Jika semata-mata mandi saja bisa bermanfaat untuk orang yang terkena ‘ain, padahal air tersebut tidak dibacakan ayat ruqyah, maka bagaimana lagi jika air tersebut dibacakan ruqyah lalu ditiup dengan sedikit bercampur air ludah? Padahal dalam ruqyah tersebut terdapat kalamullah, yang semuanya mengandung keberkahan dan mengandung kebaikan bagi seluruh manusia.

Maka adanya manfaat dari air yang dibacakan ruqyah itu lebih jelas daripada sekedar air (bekas) mandi orang yang menyebabkan gangguan ‘ain. Lebih-lebih lagi jika yang membaca doa ruqyah tersebut ikhlas kepada Allah Ta’ala.

Menggunakan air ruqyah untuk mandi

Diperbolehkan menggunakan air yang sudah dibacakan ruqyah untuk mandi orang yang terkena sihir atau terkena gangguan ‘ain. Karena air tersebut di dalamnya tidak terdapat ayat Al-Qur’an sama sekali, sehingga tidak terdapat unsur perendahan atau penghinaan terhadap Al-Qur’an. Adapun yang terkait dengan air tersebut hanyalah berupa tiupan yang sedikit bercampur dengan air ludah saja. Sedangkan ayat Al-Qur’an yang dibacakan peruqyah itu berupa doa dan pujian kepada Allah Ta’ala, berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang masuk ke dalam air.

Sebagian orang menyangka bahwa hal ini tidak diperbolehkan. Anggapan ini tidaklah dibenarkan. Karena, sekali lagi, tidak terdapat unsur penghinaan dan perendahan terhadap ayat Al-Qur’an dalam perbuatan tersebut. Selain itu, jika meminum air yang sudah dibacakan ruqyah itu diperbolehkan, maka menggunakannya untuk mandi tentu lebih layak lagi untuk diperbolehkan. Wallahu Ta’ala a’lam.

Menggunakan air kembang untuk ruqyah

Tidak terdapat keutamaan air kembang ketika digunakan untuk ruqyah. Oleh karena itu, kepada para peruqyah dinasihatkan untuk tidak menganjurkan orang yang akan diruqyah (pasien) agar menyediakan air kembang. Bahkan kita katakan, air biasa itulah yang lebih baik. Hal ini karena para dukun memerintahkan kliennya untuk menyediakan air kembang. Sehingga dalam perbuatan tersebut terdapat unsur tasyabbuh (penyerupaan) dengan perbuatan para dukun.

Mencelupkan kertas bertuliskan ayat Al-Qur’an ke dalam air, lalu air tersebut diminum atau dipakai untuk mandi

Terdapat praktek kaum muslimin yang mencelupkan kertas bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam air, dengan maksud untuk meruqyah orang yang terkena gangguan jin, terkena sihir atau terkena penyakit ‘ain dengan air tersebut. Air tersebut kemudian diminumkan dengan maksud untuk berobat dengan menggunakan ayat Al-Qur’an.

Perbuatan semacam ini bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diamalkan pula oleh para ulama salaf. Orang-orang yang membolehkan praktek ruqyah semacam ini hanyalah bersandar kepada kisah-kisah israiliyat yang sangat tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Demikian pula, dalam perbuatan tersebut terdapat berbagai mafsadah (sisi negatif atau kerusakan) yang mirip dengan mafsadah menggantungkan ayat-ayat Al-Qur’an (dijadikan jimat), misalnya terhinakannya ayat Al-Qur’an tersebut.

Perbuatan yang tidak jauh berbeda adalah mencelupkan kertas bertuliskan ayat Al-Qur’an ke dalam air, lalu air tersebut dipakai untuk mandi. Perbuatan ini tidak berdalil, baik dari Al-Qur’an, sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan riwayat-riwayat dari ulama salaf tentang hal ini pun tidak shahih.

Mencelupkan kertas bertuliskan ayat Al-Qur’an ke dalam air itu pada asalnya tidak diperbolehkan. Perbuatan ini bukanlah metode yang benar dalam berobat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga semua pemanfaatan air semacam itu, baik diminum atau dipakai mandi, hukumnya pun mengikuti perbuatan asalnya, yaitu sama-sama tidak diperbolehkan. [4]

***

Sint-Jobskade 718 NL, 20 Dzulhijjah 1439/ 1 September 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/44001-bentuk-bentuk-ruqyah-dengan-menggunakan-air.html

Ruqyah dengan Madu, Habbatus Sauda dan Minyak Zaitun

Dalam pengobatan dengan metode rukyah, terkadang kita jumpai praktek-praktek yang menggabungkannya dengan metode thibbun nabawi lainnya. Misalnya, rukyah dengan memanfaatkan madu atau minyak zaitun. Oleh karena itu, berikut bahasan singkat tentang praktik tersebut. Semoga bermanfaat.

Rukyah dengan Memanfaatkan Madu

Madu merupakan salah satu obat yang bermanfaat. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ؛ ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang berfikir.” (QS. An-Nahl [16]: 68-69)

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mendorong umatnya untuk berobat dengan madu. Akan tetapi, kesembuhan orang yang terkena sihir tidaklah bergantung kesembuhannya dengan madu, bahkan mayoritas mereka tidaklah membutuhkannya.

Adapun yang banyak dinukil tentang pemanfaatan madu pada orang yang terkena gangguan sihir adalah jika sihir tersebut dikirimkan melalui sesuatu yang diminumkan (kepada korban), maka korban tersebut diberikan minuman yang dicampur sedikit madu. Kalaupun tidak diberikan madu, itu pun sudah mencukupi.

Oleh karena itu, jika seorang perukyah menjadikan madu ini sebagai media pokok, maka bisa jadi karena dua sebab.

Pertama, ketidaktahuannya tentang metode penyembuhan (rukyah) orang yang terkena sihir.

Kedua, bisa jadi karena didorong oleh maksud duniawi, yaitu ingin menjadikannya sebagai bisnis sampingan dan mengambil harta orang lain (korban) secara batil. Hal ini tampak lebih jelas jika perukyah tersebut juga berjualan madu.

Oleh karena itu, barangsiapa yang membuka pintu ini, berarti dia bermaksud mengambil harta manusia dengan jalan dan metode tersebut. Jika itu yang terjadi, hendaknya kaum muslimin meninggalkannya.

Rukyah dengan Memanfaatkan Habbatus Sauda

Habbatus sauda termasuk bahan obat yang banyak digunakan. Disebut juga dengan habbatul barakah atau syuuniz (dalam bahasa Persia).

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ مِنَ السَّامِ . قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

“Sungguh dalam habbatus sauda itu terdapat penyembuh segala penyakit kecuali as-saam.” Aku (‘Aisyah) bertanya, “Apakah as-saam itu?” Beliau menjawab, “Kematian.” (HR. Bukhari no. 5687)

Para ulama telah menjelaskan kandungan hadis tersebut dalam tulisan-tulisan (kitab) mereka. Serta memotivasi kaum muslimin untuk memanfaatkannya sebagai bahan makanan dan minuman. Dan jika seseorang tertimpa suatu penyakit fisik, hendaklah meminta keterangan dari dokter terpercaya ketika hendak berobat dengannya.

Adapun jika seseorang terkena gangguan jin dan sihir, maka habbatus sauda tersebut tidaklah dibutuhkan. Karena penyembuhan dari gangguan-gangguan tersebut hanyalah dengan rukyah melalui ayat-ayat Alquran atau doa yang terdapat dalam As-Sunnah, disertai menghadapkan hati sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.

Jika menjadikan habbatus sauda atau minyaknya sebagai bahan obat yang bersifat umum, maka tidak ada masalah. Yang tidak tepat adalah menjadikan habbatus sauda sebagai bahan (obat) pokok untuk menyembuhkan gangguan sihir dan gangguan jin.

Rukyah dengan Memanfaatkan Minyak Zaitun

Minyak zaitun banyak digunakan untuk memasak dan juga sebagai minyak. Allah Ta’ala berfirman,

وَشَجَرَةً تَخْرُجُ مِنْ طُورِ سَيْنَاءَ تَنْبُتُ بِالدُّهْنِ وَصِبْغٍ لِلْآكِلِينَ

“Dan pohon kayu keluar dari Thursina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan makanan bagi orang-orang yang makan.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 20)

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Makanlah zaitun, dan gunakanlah minyaknya. Karena zaitun itu berasal dari pohon yang mengandung keberkahan.” (HR. Tirmidzi no. 1851 dan Ibnu Majah no. 3319, shahih)

Karena zaitun itu bisa digunakan sebagai minyak, maka perukyah bisa saja memanfaatkan minyak zaitun ketika merukyah dalam bentuk berikut ini:

Pertama, jika pasien yang terkena gangguan jin tersebut mengalami rasa sakit pada bagian tubuh tertentu, sehingga minyak zaitun tersebut dapat meringankan rasa sakitnya.

Ke dua, jika jin tersebut diketahui terdapat di anggota tubuh tertentu, misalnya punggung, paha, leher, atau tangan, maka bagian tubuh tersebut dapat diolesi minyak zaitun pada malam hari.

Adapun jika jin tersebut menyebabkan gangguan pada akalnya, minyak zaitun tersebut tidaklah dibutuhkan. Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi peruqyah untuk menyarankan penggunaan minya zaitun kepada semua orang yang terkena gangguan jin, sihir atau ‘ain, tanpa melihat terlebih dahulu kondisi orang tersebut.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah dan taufik.

***

Sint-Jobskade 718 NL, 20 Dzulhijjah 1439/ 1 September 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/44586-rukyah-dengan-madu-habbatus-sauda-dan-minyak-zaitun.html