Saat Bertamu Lebaran, Bagaimana Hukum Membatalkan Puasa Syawal?

Puasa sunah di bulan syawal merupakan puasa sunah yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. atau disebut juga sebagai sunah muakkad (yang dikukuhkan kesunahannya). Puasa ini dilaksanakan sebanyak 6 hari dan sebaiknya dilaksanakan sejak tanggal 2 hingga 7 syawal agar berjarak tidak terlalu jauh dengan puasa Ramadhan sehingga fisik kita khususnya perut bisa beradaptasi dengan baik. Bagaimana hukum membatalkan puasa syawal saat kita bertamu di awal-awal bulan Syawal yang masih momen lebaran?

Permasalahannya adalah, di awal-awal bulan syawal, biasanya banyak diagendakan acara bertamu pada keluarga, sahabat maupun kolega. Baik dalam rangka saling bermaafan ataupun demi mempererat tali silaturrahim. Bertamu atau silaturrahim ini tentu merupakan kegiatan yang sangat baik menurut pandangan syariat Islam dan bahkan bisa memberikan keberkahan bagi kedua belah pihak.

Pada momen bertamu tersebut biasanya tuan rumah akan mensuguhkan hidangan kepada kita dalam rangka ikram al-dlaif (penghormatan terhadap tamu). Disinilah terjadi dilema. Hendak dimakan maka batallah puasa, tak dimakan khawatir menyakiti hati sang tuan rumah.

Syekh Zainudin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in memberikan solusi atas permasalahan ini dengan pernyataan beliau:

يندب الأكل في صوم نفل ولو مؤكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى

Artinya: “Disunahkan makan (saat bertamu) ketika sedang berpuasa sunah meskipun sunah muakkad untuk menyenangkan pemilik makanan, bila mempertahankan puasa memberatkan bagi tuan rumah, meskipun sudah berada di akhir waktu siang karena adanya perintah untuk berbuka. Ia akan diberi pahala atas puasa yang telah lewat dan sunah menggantinya di hari yang lain. Namun bila mempertahankan berpuasa tidak memberatkan bagi tuan rumah maka tidak disunahkan berbuka, bahkan lebih utama mempertahankannya.”

Dari pernyataan Syekh Zainudin diatas kita bisa memahami bahwa apabila kita tidak memakan hidangan akan membuat tuan rumah bersusah hati, maka hukum membatalkan puasa syawal itu disunnahkan. Misalkan ketika tuan rumah sudah susah payah memasakkan atau membuatkan makanan untuk kita, dimana apabila kita tidak memakannya akan berpotensi membuat tuan rumah kecewa, maka dalam hal ini sebaiknya kita batalkan saja puasa kita.

Hal ini berlaku pada setiap jenis puasa sunah termasuk puasa sunah muakkad seperti puasa syawal. Tidak perlu juga khawatir bahwa pahala kita akan hilang, karena dalam lanjutan keterangannya, Syekh Zainudin berkata bahwa Allah tetap akan memberikan pahala terhadap orang tersebut. Semisal ia batal di jam 2 siang karena makan hidangan suguhan, maka Allah tetap akan memberinya pahala puasa sejak subuh hingga jam 2 tersebut.

Berikutnya, apabila kita membatalkan puasa, kita disunahkan untuk mengganti puasa tersebut di hari yang lain. Semisal di tanggal 2 kita sudah niat puasa syawal namun batal, maka kita disunahkan untuk menggantinya di tanggal 8.

Sebaliknya, apabila dirasa bahwa tuan rumah tidak akan bersusah hati jika kita tidak makan, maka sebaiknya kita tidak usah membatalkan puasa kita dan sampaikan dengan bahasa yang baik kepada tuan rumah bahwa kita sedang berpuasa.

Pernyataan serupa juga bisa kita temukan dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

فإن كان هناك عذر كمساعدة ضيف في الأكل إذا عز عليه امتناع مضيفه منه، أو عكسه فلا يكره الخروج منه، بل يستحب..أما إذا لم يعز على أحدهما امتناع الآخر من ذلك، فالأفضل عدم خروجه منه، كما في المجموع

Artinya: Jika (dalkam membatalkan puasa tersebut) ada udzur, seperti menemani tamu makan jika ia tersinggung bila tuan rumahnya tidak makan atau sebaliknya, maka tidak makruh bahkan dianjurkan membatalkan puasa. Adapun jika tidak tersinggung bila salah satunya menolak untuk makan, maka lebih utama tidak membatalkan puasa sunnah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH