Mengenang 37 Tahun Tragedi Kamp Palestina Sabra dan Shatila

Dari kejauhan terlihat kibaran bendera yang sudah sangat saya hapal. Hitam-putih-hijau-merah. Bendera Palestine! Allahu akbar!

Driver Abu Ismail menunjuk sebelah kiri, ia mengatakan kalau itu adalah kamp pengungsi Palestine. Rumah-rumah yang sudah terlihat tua, centang perentang. Ah, hati kembali basah.

Saya teringat buku yang ditulis Dr Ang Swee Chai “From Beirut to Jerusalem” tentang pembantaian di Kamp Sabra-Shatila.

Tiba-tiba tercetus tanya, “Where’s Sabra-Shatila Camp?”

“Sabra-Shatila is in Libanon, Mam,” wajah Abu Ismail berubah sendu.

Ah, tentu saja saya tahu kalau Kamp Sabra-Shatila ada di Libanon. Tapi entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja, ketika mendengarnya mengatakan bangunan yang ada di kiri jalan adalah kamp pengungsi Palestine.

Mungkin karena ini pertama kali saya melihat langsung kamp pengungsi yang sudah ratusan kali saya baca di buku maupun tonton di tayangan berita tentang Palestine.

Hari ini, mungkin tak banyak yang masih mengingat peristiwa memilukan yang terjadi mulai 16 September selama beberapa hari, 37 tahun lalu. Tragedi berdarah di kamp pengungsi Palestine yang bernama Sabra dan Shatila di Libanon.

Sebenarnya, Sabra adalah nama pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk pengungsi Palestine pada 1949.

Interaksi selama bertahun-tahun membuat penduduk kedua wilayah itu menjadi biasa menggunakan istilah kamp Sabra dan Shatila.

Pembantaian penduduk sipil di kamp pengungsi itu terjadi sewaktu zionis Israel menduduki Beirut. Mereka menggunakan tangan-tangan milisi Maronit yang dipimpin Elie Hobeika.

Selama beberapa hari kamp pengungsian itu berubah menjadi neraka. Ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak dibantai di tepi jalan. Tak kurang 500 orang syahid atau dinyatakan hilang.

Seorang saksi hidup bernama Magida mengatakan, “Tetangga kami ikut bersembunyi. Gaunnya berlumuran darah. Ia mengatakan orang-orang dibantai di jalanan. Awalnya kami tidak percaya, tapi setelah mendengar jeritan di sana-sini kami baru sadar apa yang terjadi.”

Pejabat yang dituding paling bertanggung jawab atas tragedi itu adalah Menteri Pertahanan Ariel Sharon. Dunia murka, hingga ia dipaksa meletakkan jabatannya.

Meski begitu, ia melenggang bebas tanpa pernah diadili. Belakangan, ia bahkan sempat menjabat menjadi Perdana Menteri Israel.

Kematian Sharon setelah koma selama 8 tahun disyukuri warga Sabra dan Shatila. Dirayakan dengan membagikan permen dan makanan manis. Beberapa menyanyi dan menabuh gendang.

Hari ini, mari sejenak kita mengingat para syuhada dan kirimkan doa untuk mereka. “Allahummaghfir lahum, warhamhum, wa’afihi wa’fu ‘anhum, waj’alil jannata matswahum”.

Duka untuk Sabra dan Shatila…

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

IHRAM