Meski Tegas, Hati Seorang Umar Sangatlah Lembut

HADIS, “Akan masuk surga, orang-orang yang hatinya seperti hati burung.” (HR. Muslim)

Di antara penjelasan ulama tentang ‘hati burung’ yang dimaksud dalam hadis di atas adalah hati yang sangat halus dan lembut serta penuh kasih sayang, jauh dari sifat keras dan zalim. Hati, adalah keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia. Hati pula yang sangat menentukan baik buruknya nilai diri kita, sebagaimana telah dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara perkara yang sangat penting untuk kita pelihara dari hati adalah kelembutan dan kepekaannya terhadap perkara yang terjadi di sekeliling kita. Di sini kita tidak berbicara tentang kaedah hukum, hak dan kewajiban, dalil dan argumentasi, atau apalah namanya. Kita berbicara tentang perasaan yang secara fitrah dimiliki semua orang. Namun dalam batasan tertentu, dapat bereaksi lebih cepat dan efektif, ketimbang faktor lainnya.

Kelembutan hati dan rasa kasih sayang seorang ibu membuatnya tidak akan dapat tidur nyenyak meski kantuk berat menggelayuti matanya, manakala dia mendengar rengekan bayinya di malam buta, maka dia bangun dan memeriksa kebutuhan sang bayi. Boleh jadi ketika itu dia tidak berpikir tentang keutamaan atau janji pahala orang tua yang mengasihi anaknya.

Umar bin Khattab yang dikenal berkepribadian tegas, ternyata hatinya begitu lembut ketika melihat seorang nenek memasak batu hanya untuk menenangkan rengekan tangis cucunya yang lapar sementara tidak ada lagi makanan yang dapat dimasaknya, maka tanpa mengindahkan posisinya sebagai kepala Negara, dia mendatangi baitul mal kaum muslimin dan memanggul sendiri bahan makanan yang akan diberikannya kepada sang nenek.

Boleh jadi ketersentuhan hati Umar kala itu mendahului kesadaran akan besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di hadapan Allah Ta’ala. Demikianlah besarnya potensi kelembutan hati menggerakkan seseorang. Kelembutan hati semakin dibutuhkan bagi mereka yang Allah berikan posisi lebih tinggi di dunia ini. Seperti suami kepada istri dan anaknya, pemimpin atau pejabat kepada rakyatnya atau orang kaya terhadap orang miskin. Sebab, betapa indahnya jika kelembutan hati berpadu dengan kewenangan dan kemampuan yang dimiliki.

Karena memiliki kewenangan dan kemampuan, suami berhati lembut misalnya- akan sangat mudah mengekspresikannya kepada istri dan anaknya, bukan hanya terkait dengan kebutuhan materi, tetapi juga bagaimana agar suasana kejiwaan mereka tenang dan bahagia, tidak tersakiti, apalagi terhinakan. Begitu pula halnya bagi pemimpin, pejabat atau orang kaya. Akan tetapi, jika kelembutan itu telah sirna berganti dengan hati yang beku, sungguh yang terjadi adalah pemandangan yang sangat miris dan sulit diterima akal.

Bagaimana dapat seorang suami menelantarkan atau menyakiti istri dan anaknya padahal mereka adalah belahan dan buah hatinya, bagaimana pula ada pemimpin atau pejabat yang berlomba-lomba mereguk kesenangan dan kemewahan dunia di atas penderitaan rakyatnya, padahal mereka dipilih rakyatnya, lalu bagaimana si kaya bisa tega mempertontonkan kekayaannya di hadapan si miskin yang papa tanpa sedikitpun keinginan berbagi, padahal tidak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin.

Sungguh mengerikan! Di zaman ketika materi dan tampilan lahiriah semakin dipuja-puja, sungguh kita semakin banyak membutuhkan manusia berhati burung!

[Ustadz Abdullah Haidir Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Abdullah bin Abbas: Muda Usianya, Luas Ilmunya

“Ya Ghulam, maukah kau mendengar beberapa kalimat yang sangat berguna?” tanya Rasulullah suatu ketika pada seorang pemuda cilik. “Jagalah (ajaran-ajaran) Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya selalu menjagamu. Jagalah (larangan-larangan) Allah maka engkau akan mendapati-Nya selalu dekat di hadapanmu.”

Pemuda cilik itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan konsentrasi pada setiap patah kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia itu. “Kenalilah Allah dalam sukamu, maka Allah akan mengenalimu dalam duka. Bila engkau meminta, mintalah pada-Nya. Jika engkau butuh pertolongan, memohonlah pada-Nya. Semua hal telah selesai ditulis.”

Pemuda cilik yang beruntung itu adalah Abdullah bin Abbas. Ibnu Abbas, begitu ia biasa dipanggil. Dalam sehari itu ia menerima banyak ilmu. Bak pepatah sekali dayung tiga empat pula terlampaui, wejangan Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran aqidah, ilmu, dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan.

Keakrabannya dengan Rasulullah sejak kecil membuat Ibnu Abbas tumbuh menjadi seorang lelaki berkepribadian luar biasa. Hidup bersama dengan Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Sebuah kisah menarik melukiskan bagaimana Ibnu Abbas ingin selalu dekat dengan dan belajar dari Rasulullah.

Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hij-rah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, 13 tahun umurnya. Semasa hidupnya Rasulullah benar-benar akrab dengan mereka yang hampir seusia dengan Abdullah bin Abbas. Ada Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan sahabat-sahabat kecil lainnya.

Kerap kali Rasulullah meluangkan waktu dan bercanda bersama mereka. Tapi tak jarang pula Rasulullah menasehati mereka. Saat Rasulullah wafat, Ibnu Abbas benar-benar merasa kehilangan. Sosok yang sejak mula menjadi panutannya, kini telah tiada. Tapi keadaan seperti itu tak berlama-lama mengharu-biru perasaannya. Ibnu Abbas segera bangkit dari kesedihannya, iman tak boleh dibiarkan terus menjadi layu. Meski Rasulullah telah berpulang, semangat jihad tak boleh berkurang. Maka Ibnu Abbas pun mulai melakukan perburuan ilmu.

Didatanginya sahabat-sahabat senior, ia bertanya tentang apa saja yang mesti ditimbanya. Tak hanya itu, ia juga mengajak sahabat-sahabat lain yang seusianya untuk belajar pula. Tapi sayang, tak banyak yang mengikuti jejak Ibnu Abbas. Sahabat-sahabat Ibnu Abbas merasa tak yakin, apakah sehabat-shabat senior mau memperhatikan mereka yang masih anak-anak ini. Meski demikian, hal ini tak membuat Ibnu Abbas patah semangat. Apa saja yang menurutnya belum dipahami, ia tanyakan pada sahabat-sahabat yang lebih tahu.

Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke satu pintu rumah sahabat-sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan pintu para sahabat, karena mereka sedang istirahat di dalam rumahnya. Tapi betapa terkejutnya mereka tatkala menemui Ibnu Abbas sedang tidur di depan pintu rumahnya.

“Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tak kami saja yang menemui Anda,” kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas tertidur di depan pintu rumahnya beralaskan selembar baju yang ia bawa.

“Tidak, akulah yang mesti mendatangi Anda,” kata Ibnu Abbas tegas. Demikiankan kehidupan Ibnu Abbas, sampai kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Saking tingginya dan tak berimbang
dengan usianya, ada orang yang bertanya tentangnya.

“Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?”

“Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir,” demikian jawabnya.

Karena ketinggian ilmunya itulah ia kerap menjadi kawan dan lawan berdiskusi para sahabat senior lainnya. Umar bin Khattab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar karena keilmuannya. Sampai-sampai Amirul Mukminin kedua itu memberikan julukan kepada Ibnu Abbas sebagai “pemuda tua”.

Pada masa Khalifah Utsman, Ibnu Abbas mendapat tugas untuk pergi berjihad ke Afrika Utara. Bersama pasukan dalam pimpinan Abdullah bin Abi Sarh, ia berangkat sebagai mujahid dan juru dakwah. Di masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, ia pun menawarkan diri sebagai utusan yang akan berdialog dengan kaum khawarij dan berdakwah pada mereka. Sampai-sampai lebih dari 15.000 orang memenuhi seruan Allah untuk kembali pada jalan yang benar.

Di usianya yang ke 71 tahun, Allah memanggilnya. Saat itu umat Islam benar-benar kehilangan seorang dengan kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa. “Hari ini telah wafat ulama umat,” kata Abu Hurairah menggambarkan rasa kehilangannya. Semoga Allah memberikan satu lagi penggantinya. (sa/berbagaisumber)

 

ERA MUSLIM

Tentang Masuk Islamnya Abu Hurairah

ADA yang bertanya, kapan Abu Hurairah masuk Islam? Ia mengaku membaca atau mendengar bahwa beliau masuk Islam sebelum peristiwa hijrah.

Ustaz Ammi Nur Baits, menjawab sbb:

Sebelumnya, kita perlu tahu sekelumit tentang latar belakang Abu Hurairah. Nama asli beliau Abdurrahman bin Shakr menurut pendapat yang paling kuat . Beliau berasal dari suku Daus dari Yaman. (Siyar Alam an-Nubala, 2/578).

Menurut banyak riwayat, orang yang mendakwahkan Islam di suku Daus adalah Thufail bin Amr ad-Dausi Radhiyallahu anhu, yang masuk Islam ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam masih di Mekah. Dan Abu Hurairah termasuk orang yang mengikuti ajakan Thufail.

Siapa Thufail ad-Dausi?

Sebelum menjawab kapan islamnya Abu Hurairah, terlebih dahulu kita buka identitas Thufail bin Amr ad-Dausi. Karena sosok beliau membantu menentukan masa Islamnya Abu Hurairah.

Dalam berbagai referensi sejarah, diantaranya at-Thabaqat al-Kubro karya Ibnu Sad, disebutkan biografi Thufail. Beliau adalah sosok yang terpandang, penyair ulung, sering dikunjungi orang. Beliau tiba di Mekah tahun ke-11 kenabian. Begitu tiba di Mekah, orang musyrikin menyambutnya, dan merekapun langsung mengingatkan beliau agar tidak dekat-dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam,

Hai Thufail, kamu datang ke negeri kami. Di sini ada orang yang telah merepotkan kami, memecah belah persatuan kami, mengacaukan semua urusan kami. Ucapannya seperti sihir, bisa membuat seorang ayah membenci anaknya, seseorang benci saudaranya, dan suami istri bisa bercerai. Kami mengkhawatirkan kamu dan kaummu mengalami seperti apa yang kami alami. Karena itu, jangan sampai engkau mengajaknya bicara dan jangan mendengar apapun darinya.

Mereka terus-menerus mengingatkan Thufail, hingga beliau menyumbat telinganya dengan kapas ketika masuk Masjidil Haram. Ketika beliau masuk Masjidil Haram, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang shalat. Hingga Allah takdirkan, beliau mendengar sebagian bacaan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau semakin penasaran dan akhirnya menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah diajarkan tentang islam dan dibacakan sebagian ayat al-Quran, Thufail terheran-heran, hingga beliau tertarik masuk Islam dan langsung bersyahadat di depan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meminta kepadanya untuk mendakwahkan Islam kepada kaumnya.

Beliau meminta suatu tanda. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendoakan, Ya Allah, berikanlah cahaya untuknya.

Allahpun memberikan tanda di depan dahinya. Namun Thufail khawatir, justru ini dianggap tanda buruk baginya. Kemudian cahaya itu dipindah ke ujung cemetinya. Cahaya ini menjadi penerang baginya di waktu malam yang gelap. (at-Thabaqat al-Kubro 4/237, ar-Rahiq al-Makhtum hlm. 105).

Ada dua pendapat ulama tentang kapan Abu Hurairah masuk Islam.

Pertama, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu masuk Islam di awal tahun 7 Hijriyah. Bertepatan dengan peristiwa perang Khaibar. Dan inilah keterangan yang masyhur dari berbagai ahli sejarah.

Ibnu Abdil Bar mengatakan,

Abu Hurairah dan Imran bin Husain masuk Islam di tahun Khaibar. (al-Istiab, 1/374).

Keterangan lain, dari al-Khithabi,

Abu Hurairah masuk Islam tahun 7 Hijriyah. Beliau datang ke Madinah, sementara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam masih di Khaibar. Sementara Amr dan Khalid bin Walid tahun 6 Hijriyah. (Gharib al-Hadits, 2/485).

Keterangan Ibnul Atsir,

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu masuk Islam di tahun Khaibar, dan beliau ikut peristiwa Khaibar bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian selalu mendampingi Nabi dan selalu bersama beliau, karena keinginan untuk mendapatkan ilmu. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuknya. (Usud al-Ghabah).

Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Hurairah masuk Islam sebelum peristiwa Khaibar. Berikut beberapa keterangan mereka,

Ibnu Hibban,

Abu Hurairah masuk Islam di suku Daus. Kemudian beliau datang ke Madinah, sementara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam teah berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, yang bertanggung jawab terhadap kota Madinah adalah Siba bin Urfuthah al-Ghifari. Ditugaskan untuk menggantikan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Abu Hurairah shalat bersama Siba, kemudian menyusul Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ke Khaibar, dan ikut peristiwa Khaibar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. (Shahih Ibnu Hibban, 11/187).

Kemudian keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar, setelah beliau menceritakan islamnya Thufail,

Di kampung ad-Daus Thufail mendakwahkan kaumnya untuk masuk Islam, hingga ayahnya masuk Islam, namun ibunya menolak. Kemudian Abu Hurairah menerima ajakan beliau sendirian.

Menurut saya (Ibnu Hajar), ini menunjukkan bahwa Islamnya Abu Hurairah itu sejak awal. Bahkan Ibnu Abi Hatim menyebutkan bahwa Thufail datang ke Khaibar bersama Abu Hurairah. Seolah ini adalah kedatangan yang kedua. (Fathul Bari, 8/102)

Diantara ulama kontemporer yang menegaskan Islamnya Abu Hurairah sebelum peristiwa hijrah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah adalah al-Adzami. Dalam catatan kaki untuk Shahih Ibnu Khuzaimah, beliau mengatakan,

Abu Hurairah masuk Islam beberapa tahun sebelum peristiwa hijrah. Namun beliau hijrah di masa peritiwa Khaibar. Anda bisa lihat biografi Thufail bin Amr ad-Dausi di kitab al-Istiab dan kitab al-Ishabah. (Taliq Shahih Ibn Khuzaimah, 1/280).

Keterangan yang lain juga disampaikan Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam kitabnya Abu Hurairah, Rayatul Islam (Abu Hurairah, Bendera Islam),

Bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu masuk Islam dari awal, ketika beliau masih di kampung halamannya, mengikuti ajakan Thufail bin Amr. Dan itu terjadi sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. (Abu Hurairah, Rayatul Islam, hlm 70).

Dari beberapa keterangan dan riwayat di atas, yang lebih mendekati, nampaknya Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, telah masuk islam ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam masih di Mekah. Hanya saja, beliau datang ke Madinah dan selalu menyertai Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika peristiwa perang Khaibar. Allahu alam. [konsultasisyariah]

Inilah.com

Rasulullah Sebut Kesuksesan Abdurrahman Bin Auf Contoh Kebangkitan Muslim

Berkat kedekatannya sebagai sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, Abdurrahman bin Auf menjadi salah seorang laki-laki yang paling awal masuk Islam. Sejarah mencatat, saudagar yang brilian itu merupakan orang kedelapan yang menyatakan diri Muslim kepada Rasulullah SAW pada masa dakwah secara sembunyi-sembunyi.

Begitu mengucapkan dua kalimat syahadat, kecintaannya terhadap Islam melampaui sayangnya terhadap dunia dan segala harta benda.

Seperti dinarasikan kitab al-‘Asyratu al-Mubasysyaruna bi al-Jannati karya Abdullatif Ahmad ‘Aasyur (1988), Abdurrahman telah teguh hatinya berjuang di jalan Allah. Ia mengorbankan harta benda serta jasadnya untuk kejayaan Islam.

Dalam Perang Uhud, misalnya, Abdurrahman mendapatkan 20 luka parah di tubuhnya. Salah satunya bahkan menyebabkan dirinya pincang dan beberapa giginya rontok sehingga mengurangi kemampuannya berbicara lancar.

Abdurrahman dikenal luas sebagai saudagar sukses, sebagaimana sahabatnya, Abu Bakar. Namun, kekayaan itu tidak menghalanginya dari beribadah kepada Allah. Ia merupakan salah satu pilar dakwah Islam yang telah dibina langsung Rasulullah.

Ketika peristiwa hijrah ke Madinah, Abdurrahman meninggalkan seluruh harta dan aset perdagangannya dirampas kaum kafir Quraisy di Makkah. Begitu pula sebelumnya, ketika ia ikut dalam rombongan Muslim hijrah ke negeri Habasyah.

Namun, kepergiannya dari kampung halaman belakangan menunjukkan kepiawaiannya berniaga. Mayoritas penduduk setempat Kota Madinah, yakni kaum Anshar, bekerja sebagai petani. Hal yang berbeda dengan karakteristik orang Makkah yang kebanyakan pedagang.

Ikatan persaudaraan dibentuk Rasulullah dengan tujuan mengasimilasikan dua potensi tersebut. Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu ar-Rabi’ al-Autsari, sosok kaya raya di Madinah.

Saad berkata, Hartaku separuhnya untukmu (Abdurrahman) dan aku akan berusaha menikahkan kamu (dengan perempuan Anshar).

Mendengar itu, Abdurrahman  menjawab, Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu. Tunjukkan saja, di mana tempat pasar perdagangan? Diketahui, Abdurrahman  menikahi seorang perempuan dari kalangan Anshar dengan mahar emas seberat satu butir kurma.

Selama di Madinah, Abdurrahman merintis perniagaan keju dan minyak samin. Tidak membutuhkan waktu lama, laba perdagangan kian meningkat. Oleh Rasulullah SAW, apa yang dilakukan Abdurrahman dijadikan contoh bagaimana seorang Muslim bangkit.

Nabi SAW bersabda ketika ditanya perihal penghasilan apa yang paling baik, Apa yang dihasilkan orang dari pekerjaan tangannya dan semua jual beli mabrur (HR Bukhari dan al-Hakim).

Di Madinah, kaum Muslimin dari kalangan Anshar, terutama Muhajirin, mulai bangkit dari keterpurukan. Tidak ada di antara mereka yang menganggur dari pekerjaan.

Besarnya kafilah dagang Abdurrahman digambarkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas RA. Ketika Aisyah RA sedang di rumahnya, ia mendengar suara gaduh menggema di Kota Madinah. Aisyah bertanya, “Apa itu?” Maka dijawab, “(Itu) kafilah unta milik Abdurrahman yang tiba dari Syam, membawa segala macam barang sebanyak 700 unta.” Aisyah berkata, “Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda, ‘Aku lihat Abdurrahman  memasuki surga dengan merangkak.”

Kesaksian Aisyah itu akhirnya sampai kepada Abdurrahman, yang lantas menyedekahkan muatannya itu untuk berjihad di jalan Allah. Ia tidak ingin harta bendanya memperlambat langkah kakinya kelak memasuki surga. Sebab, setiap orang Muslim akan dimintai pertanggungjawaban mengenai setiap harta benda yang dimilikinya di dunia.

Kecintaan Abdurrahman kepada Rasulullah SAW ditunjukkan dalam beragam cara. Ketika perniagaannya sudah berkembang pesat, Abdurrahman diberi anjuran oleh Nabi SAW, Wahai Abdurrahman, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Pinjamkanlah hartamu kepada Allah agar lancar kedua kakimu, (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak).

 

 

REPUBLIKA

Abdurrahman bin Auf, Sang Kaya nan Dermawan

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan orang yang mula-mula masuk Islam. Ia juga tergolong sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah karena akan masuk surga.

Ia juga termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selama Rasul masih hidup.

Pada masa jahiliyah, ia dikenal dengan nama Abd Amr. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya Abdurrahman bin Auf. Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah dua hari setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq memeluk Islam.

Seperti kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun, ia tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraisy.

Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat diizinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi Al-Anshari.

Sa’ad termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, “Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!”

Sa’ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana. Belum lama menjalankan bisnisnya, ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mahar nikah. Ia pun mendatangi Rasulullah seraya berkata, “Saya ingin menikah, ya Rasulullah,” katanya.

“Apa mahar yang akan kau berikan pada istrimu?” tanya Rasul SAW. “Emas seberat biji kurma,” jawabnya. Rasulullah bersabda, “Laksanakanlah walimah (kenduri), walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu.”

Sejak itulah kehidupan Abdurrahman menjadi makmur. Seandainya ia mendapatkan sebongkah batu, maka di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang diberikan Allah kepadanya sampai ia dijuluki ‘Sahabat Bertangan Emas’.

Pada saat Perang Badar meletus, Abdurrahman bin Auf turut berjihad fi sabilillah. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di antaranya Umar bin Utsman bin Ka’ab At-Taimy. Begitu juga dalam Perang Uhud, dia tetap bertahan di samping Rasulullah ketika tentara Muslimin banyak yang meninggalkan medan perang.

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang dikenal paling kaya dan dermawan. Ia tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah.

Pada waktu Perang Tabuk, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta benda mereka. Dengan patuh Abdurrahman bin Auf memenuhi seruan Nabi SAW. Ia memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas.

Mengetahui hal tersebut, Umar bin Al-Khathab berbisik kepada Rasulullah, “Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya.”

 

Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, “Apakah kau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?” “Ya,” jawabnya. “Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan.” “Berapa?” tanya Rasulullah. “Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah.”

Pasukan Muslimin berangkat ke Tabuk. Dalam kesempatan ini, Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh siapa pun. Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah terlambat datang.

Maka Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam shalat berjamaah. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu shalat di belakangnya dan mengikuti sebagai makmum. Sungguh tak ada yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad SAW.

Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu mulia itu bila mereka bepergian.

Suatu ketika Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada Bani Zuhrah, dan kepada Ummahatul Mukminin. Ketika jatah Aisyah ra disampaikan kepadanya, ia bertanya, “Siapa yang menghadiahkan tanah itu buatku?”

“Abdurrahman bin Auf,” jawab si petugas. Aisyah berkata, “Rasulullah pernah bersabda, ‘Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku kecuali orang-orang yang sabar.”

Begitulah, doa Rasulullah bagi Abdurrahman bin Auf terkabulkan. Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya, sehingga ia menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Bisnisnya terus berkembang dan maju.

Semakin banyak keuntungan yang ia peroleh semakin besar pula kedermawanannya. Hartanya dinafkahkan di jalan Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Walau termasuk konglomerat terbesar pada masanya, namun itu tidak memengaruhi jiwanya yang dipenuhi iman dan takwa.

Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya.

Ketika wafat, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, “Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu.”

 

REPUBLIKA

Ketika Abu Bakar Menjabat Amirul Haj Pertama

Abu Bakar As-Shiddiq RA adalah lelaki dewasa yang pertama kali memeluk Islam. Keislaman Abu Bakar disebut-sebut paling banyak membawa manfaat besar terhadap Islam dan kaum Muslimin dibandingkan keislaman orang selainnya.

Abu Bakar berhasil mengislamkan tokoh-tokoh Quraisy diantaranya Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwarn, dan Thalhah bin Ubaidillah. Pria yang dijuluki Atiq karena wajahnya yang tampan dan gagah ini banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT dan banyak memerdekakan budak-budak yang disiksa karena keislamannya seperti Bilal.

Putra pasangan Abu Quhafah dan Ummu al-Khair ini selalu mengiringi keberadaan Rasulullah SAW, bahkan dialah yang mengiringi Nabi Muhammad SAW ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Abu Bakar setia berada di samping Rasulullah SAW, bahkan hingga ke medan perang, di antaranya Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Fath Makkah, Perang Hunain, maupun Perang Tabuk.

Dalam buku berjudul 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah karya Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny disebutkan bahwa Abu Bakar merupakan pemimpin jamaah haji (amirulhaj) pertama yang ditunjuk Rasulullah SAW pada tahun 9 Hijriyah. Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar bin Khattab untuk menjadi amirulhaj.

Beliau sendiri masih banyak kesibukan dalam mengurus Muslimin di Makkah pascawafatnya Rasulullah SAW. Barulah pada tahun berikutnya, Abu Baku dapat menunaikan ibadah haji dan beliau sendiri yang menjadi amirulhaj.

Perjalanan itu diiringi dengan penuh ketawajuhan dan ketawakalan kepada Allah yang tinggi. Sebagai amirulmukminin sekaligus sebagai amirulhaj, amanah tersebut tentu menuntut perhatian dan tanggung jawab lebih besar di atas pundaknya.

Beliau beserta rombongan memasuki Kota Makkah sekitar waktu duha. Abu Bakar menggunakan kesempatan itu untuk langsung menemui orangtuanya yang memang tinggal di Kota Makkah. Ketika itu, ayah Abu Bakar, Abu Quhafah, sedang berbincang-bincang dengan beberapa pemuda di teras rumahnya. Begitu Abu Bakar terlihat oleh mereka, orang-orang berseru kepada Abu Quhafah,“Hai, itu putramu telah datang!”

Abu Quhafah pun bangkit dari duduknya. Abu Bakar menyuruh untanya bersimpuh dan dia pun bergegas turun dari untanya. “Wahai, Ayah, engkau tidak perlu berdiri!” kata  Abu Bakar.

Abu Bakar memeluk ayahnya dan mengecup keningnya. Abu Quhafah menangis bahagia dengan kedatangan putranya tersebut karena sudah lama mereka tidak berjumpa. Berita kedatangannya segera meluas sehingga tidak lama kemudian datanglah beberapa tokoh Kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan Al-Harits bin Hisyam.

Mereka semua adalah para sahabat yang menetap tinggal di Makkah. Abu Quhafah berkata kepada Abu Bakar, “Wahai, ‘Atiq, mereka itu adalah orang-orang yang baik. Karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka.”

Abu Bakar pun menjawab, “Wahai Ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat (dengan menjadi khalifah). Tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya, kecuali hanya dengan perotlongan Allah.”

Selain kunjungan untuk ibadah haji dan sebagai amirulmukminin, Abu Bakar juga menggunakan kesempatan itu untuk mengetahui hal ihwal kaum Muslimin di kawasan Makkah dan sekitarnya. Beliau bertanya kepada penduduk Makkah, “Adakah yang akan mengadukan kepadaku suatu kezaliman yang kalian alami?”

Ternyata tidak ada satu pun kasus kezaliman yang diadukan kepadanya. Sepanjang musim haji itu, beliau selalu mengulang-ulang pertanyaan di atas. Namun, rupanya tidak ada perlakuan zalim yang terjadi di bawah kepemimpinannya. Bahkan semua orang malah menyanjung kepemimpinan, kepedulian, dan kebijakan beliau terhadap umat.

Abu Bakar meninggal dunia pada malam Selasa, antara waktu magrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil Awal 13 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma’ binti Umais, istri beliau. Abu Bakar dimakamkan di samping makam Rasulullah SAW. Shalat jenazahnya diimami Umar bin al-Khattab di Raudhah. Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat yakni putranya, Abdurrahman bin Abi Bakar, Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.

 

 

IHRAM

——————–

TIPS: Temukan artikel kisah sahabatNabi lainya melalui kolom pencarian dg keyword: kisah sahabat nabi, sahabat nabi, Umar bin al-Khattab, Utsman, Ali bin Abi Thalib, atau nama lainnya.

Rasulullah Mencintai Sahabat Berwajah Jelek Ini

JULAIBIB adalah seorang sahabat Anshar yang sangat dicintai Nabi SAW walau ia tidak diketahui nasabnya dengan jelas, keadaannya-pun fakir dan wajahnya juga buruk.

Tentu saja kecintaan beliau kepadanya ini adalah karena kualitas keimanan dan ketakwaannya, juga karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian ia belum menikah karena kebanyakan orang enggan mengambilnya sebagai menantu karena keadaan lahiriahnya tersebut.

Para sahabat Anshar mempunyai kebiasaan, jika memiliki anak perempuan atau anggota keluarga perempuan yang belum menikah, baik gadis atau janda, mereka akan “menunjukkannya” kepada Rasulullah SAW. Jika beliau telah mengetahui dan tidak memintanya atau memintanya untuk orang lain yang dikehendaki beliau, barulah mereka menikahkannya dengan orang lain yang dikehendakinya.

Bahkan tak jarang para wanita tersebut, atau melalui walinya, “menyodorkan” diri untuk dinikahi beliau, atau orang lain yang dipilih oleh beliau. Sungguh kecintaan para sahabat Anshar kepada Nabi SAW sangat luar biasa.

Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan salah seorang sahabat Anshar dan bersabda, “Aku melamar putrimu!!” “Baik, ya Rasulullah,” Kata sahabat tersebut, “Ini suatu kehormatan besar dan sangat membanggakan!!”

“Tetapi aku tidak menginginkannya untuk diriku sendiri!!” Kata Nabi SAW.

“Untuk siapa ya, Rasulullah?” Kata sahabat tersebut.

“Untuk Julaibib…!!”

Sahabat tersebut tampak terkejut, tetapi kemudian berkata, “Kalau begitu saya akan bermusyawarah dahulu dengan ibunya!!”

Nabi SAW mengijinkannya, kemudian sahabat tersebut berlalu pulang. Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melamar putrimu!!”

“Baik, sungguh ini sangat menyenangkan!!” Kata istrinya dengan gembira.

“Beliau tidak melamar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Julaibib!!”

Seketika kegembiraan di wajah istrinya menghilang, dan berkata, “Untuk Julaibib?? Tidak, demi Allah kita tidak akan mengawinkannya dengan Julaibib!!”

Tampaknya kehebohan yang terjadi antara kedua orang tuanya menyebabkan sang gadis menghampiri mereka dan meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Sang ibu menjelaskan permintaan Nabi SAW dan sikap yang diambilnya, maka si gadis berkata, “Apakah kalian akan menolak urusan Rasulullah SAW? Pertemukanlah (nikahkanlah) aku dengan dia, sungguh dia tidak akan menyia-nyiakan aku!!”

Tentu tidak ada pertimbangan lain dari sang gadis kecuali ketaatan dan kecintaan kepada Nabi SAW. Ia meyakini, di balik semua kekurangan yang ada pada Julaibib yang memang sudah diketahui banyak orang, tentu ia memiliki banyak kelebihan lainnya yang membuatnya mendapat kedudukan yang baik di sisi Rasulullah SAW.

Sahabat Anshar tersebut kembali kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau lebih berhak berurusan dengan anak gadisku!!”

Nabi SAW memanggil Julaibib dan menikahkannya dengan putri sahabat Anshar tersebut.

Julaibib hampir tidak pernah absen dalam medan pertempuran bersama Rasulullah SAW. Suatu ketika setelah berakhirnya suatu pertempuran, Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tidak kehilangan seseorang?”

“Tidak, ya Rasulullah!!” Kata mereka.

“Tetapi aku kehilangan Julaibib,” Kata Nabi SAW, “Carilah dia!!”

Mereka menyebar, dan akhirnya salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, inilah dia orangnya, ia tertutup di antara tujuh orang musuh yang dibunuhnya, dan ia juga terbunuh oleh mereka!”

Nabi SAW mendatangi tempat Julaibib tewas. Beliau memangku jenazahnya dan menyuruh beberapa sahabat menggali lobang untuk kuburnya. Sambil bercucuran air mata, beliau bersabda, “Dia ini bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya”

Setelah lubang kuburnya siap, beliau mengangkat sendiri jenazahnya dan membaringkannya di dalam kubur. Tidak ada tikar atau kain lainnya untuk menutup jenazahnya, sehingga langsung dikuburkan begitu saja. Tetapi semua itu tidak berarti mengurangi kemuliaan dan ketinggian derajadnya di sisi Allah dan Rasul-Nya, bahkan meningkatkannya karena tangan Nabi SAW sendiri yang memakamkannya. [ ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343708/rasulullah-mencintai-sahabat-berwajah-jelek-ini#sthash.NAdQbIoQ.dpuf

Allah Meridaimu, Abu Hurayrah! (2)

Saat itu aku mengatakan, “Tidak ada sisa lagi.” Anehnya, orang yang kedua bisa mengambil lagi susu itu. Ia juga minum hingga hilang dahaganya. Hal yang sama terus berlangsung, hingga mereka bisa meminumnya, sementara Rasulullah hanya melihatku sambil tersenyum.

Beliau berkata, “Sekarang yang tersisa hanya aku dan kamu.” “Benar, ya Rasulullah saw.!” jawabku. Beliau berkata kembali, “Minumlah, Abu Hurayrah!” (Masih adakah sisa setelah diminum orang sebanyak itu?). Aku pun meminumnya lalu aku berikan mangkok itu pada beliau. Tapi Rasulullah saw justru menyuruhku lagi, “Minumlah, Abu Hurayrah!” Aku pun meminumnya kembali. Peristiwa ini terus berlangsung hingga akhirnya aku mengatakan, “Tidak kuat lagi yang Rasul! Demi zat yang telah mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak sanggup lagi meminumnya.” Rasulullah saw lalu mengambilnya dan meminum sisanya.

Ini salah satu mukjizat Rasulullah saw. Abu Hurayrah dan seluruh kaum muslim sampai hari kiamat bisa mempelajari karakter ini; karakter altruisme.

Ada berkah di dalam sikap altruisme. Jika Anda merasa milik Anda sedikit lalu Anda lebih mengutamakan orang lain, maka sesuatu yang sedikit itu, dengan izin Allah, akan menjadi banyak. Saya tahu bahan bakar Anda sudah hampir habis. Isi lagi bahan bakar Anda! [amru muhammad khalid]/selesai.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2289070/allah-meridaimu-abu-hurayrah-2#sthash.ZgIAU2mE.dpuf

Allah Meridaimu, Abu Hurayrah! (1)

Simaklah kejadian ketika Rasulullah saw, mengajarkan sikap altruisme (mengutamakan orang lain) pada Abu Hurayrah dan kita semua. Abu Hurayrah menuturkan sendiri hal ini:

Suatu saat, saya sangat lapar. Ayanku pun kambuh lantaran tidak sanggup menahannya. Orang-orang mengira aku aku gila. Demi Allah, aku tidak gila. Yang aku alami adalah rasa lapar. Aku duduk di samping mimbar Rasulullah. Setiap ada orang muslim yang lewat di tempat itu, aku memintanya untuk membacakan beberapa ayat tentang infak (hingga hatinya tergerak dan merasa kasihan padaku, lalu mau berinfak dan memberiku). Tak lama berselang Abu Bakr lewat. Beliau membacakan ayat-ayat itu padaku dan berlalu begitu saja (tampak kurang peduli). ‘Umar juga membacanya dan juga berlalu begitu saja.

Setelah Rasulullah saw lewat. Beliau melihatku dan tahu apa yang sedang aku alami. Rasul tersenyum dan berkata, “Aku yang akan menanggungmu.” Beliau lalu masuk ke rumah dan meminta izin pada istri beliau. Beliau bertanya pada istrinya, “Apa kita punya makanan?” Istri beliau menjawab, “Semangkok susu. Hanya cukup untuk satu atau dua orang.” (Betapa bahagianya Anda, Abu Hurayrah! Akhirnya…).

Setelah keluar dari rumahnya, Rasul berkata padaku, “Abu Hurayrah, pergilah dan panggil semua Ahlushshuffah.” (Mereka adalah orang-orang kafir yang jumlahnya tidak kurang dari 100 orang).

Aku bingung bercampur sedih. Dalam hati aku berkata, “Apa cukup semangkok susu itu untuk semua Ahlushshuhhah?” Namun, aku harus patuh Rasul. Aku lalu pergi dan membawa mereka semua. Rasulullah saw melihatku dengan penuh senyum. (Rasulullah saw sebetulnya sedang mengajari Abu Hurayrah dan kita semua). Rasul berkata padaku, “Beri minuman pada mereka semua.” (Luar biasa! Abu Hurayrah memberi minuman itu pada kawan-kawannya seperjuangan). Aku mengambil mangkok dan membawanya ke salah seorang yang meminumnya hingga hilang dahaganya. Ia pun merasa segar kembali. [amru muhammad khalid]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2289062/allah-meridaimu-abu-hurayrah-1#sthash.NS8D9vYV.dpuf

Rasulullah dan tangis kesedihan Umar bin Khattab

Suatu hari, Rasulullah sedang berbaring di atas tikar kasar. Tikar itu tidak dapat menampung seluruh anggota tubuh Rasulullah, hingga ada yang berada di atas tanah. Rasulullah juga hanya berbantal pelepah kurma yang keras.

Umar bin Khattab kemudian meminta izin untuk bertemu. Rasulullah pun mengizinkannya, dan Umar menemui Rasulullah di rumahnya.

Saat masuk ke dalam rumah Rasulullah, Umar melihat sendiri keadaan “Sang Pemimpin Agung’ itu, yang sangat sederhana. Akibatnya, Umar menitikkan air mata karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.

“Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.

“Bagaimana saya tidak menangis, tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasihNya,” kata Umar.

“Saya melihat kekayaanmu hanya ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” lanjut Umar.

Kisra adalah nama dari penguasa Persia. Sedangkan kaisar yang dimaksud adalah Heraclius, raja Romawi. Keduanya merupakan pemimpin yang sangat berpengaruh di dunia kala itu.

Namun demikian, Rasulullah tidak mau mengeluh. “Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga, yang tidak lama lagi akan berakhir,” sabda Rasulullah.

Rasulullah kemudian melanjutkan perkataannya, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian pada musim panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.”

 

sumber: Merdeka