Fatwa Ulama: Hukum Sujud Di Atas Alas Lantai Atau Penghalang

Sebagian kaum Muslimin mempermasalahkan sujud seseorang dalam shalat yang tidak langsung ke lantai melainkan di atas suatu alas lantai seperti karpet, sajadah, atau semisalnya. Berikut ini penjelasan Asy Syaikh Al ‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.

Soal:

Apa hukum sujud di atas suatu penghalang yang menghalangi lantai?

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjawab:

Sujud di atas suatu penghalang yang menghalangi dari lantai ada tiga keadaan: ada yang terlarang, ada yang boleh dan ada yang makruh.

Yang terlarang adalah jika salah satu bagian tubuh anggota sujudnya berada di atas anggota sujud yang lain. Misalnya seperti meletakkan kedua tangannya atau salah satunya di atas pahanya, atau sujud dalam keadaan jidatnya berada di atas kedua tangannya, atau meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain. Ini semua tidak dibolehkan dan membatalkan shalatnya, karena sujud di atas tujuh anggota sujud itu adalah rukun shalat. Dan dalam keadaan tesebut ia meninggalkan sebagian anggota sujudnya sehingga ia dihukumi telah bersujud dengan anggota sujud yang tidak sempurna.

Adapun penghalang yang makruh adalah jika sujud di atas bagian pakaian yang muttashil (bersambung) dengan orang yang shalat tersebut, atau di atas imamah yang ia pakai tanpa udzur.

Adapun yang dibolehkan adalah jika penghalang tersebut ghayru muttashil (tidak bersambung) dengan orang yang shalat. Maka termasuk yang dibolehkan dalam shalat adalah semua jenis alas-alas lantai yang mubah.

(Sumber: Irsyad Ulil Bashair wal Albab li Nailil Fiqhi, hal. 49, Maktabah Mishr).

***

Penyusun: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/28563-fatwa-ulama-hukum-sujud-di-atas-alas-lantai-atau-penghalang.html

Ketika Iblis Membentangkan Sajadah

Jumat, siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan.

Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk dan masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.

“Hai, Blis!”, panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.

Iblis merasa terusik, “Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!” jawab Iblis ketus.

“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!” Kiai mencoba mengusir.

“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru.”

Kiai tercenung.

“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu.”

“Dengan apa?”

“Dengan sajadah!”

“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”

“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”

“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?”

“Bukan itu saja Kiai…”

“Lalu?”

“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”

“Untuk apa?”

“Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang kau pimpin, Kiai! Selain itu, saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ saya bisa ikut membentangkan sajadah.”

Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara satu lagi sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.

Keduanya masih melakukan sholat sunnah.

“Nah, lihat itu Kiai!” Iblis memulai dialog lagi. “Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka.”

Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf. Sang Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya.

Pemilik sajadah lebar, ruku’. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.

Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat.

Pada saat sholat wajib, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka ia akan meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.

Pemilik sajadah lebar, diindentikkan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi subordinat dari orang yang berkuasa.

Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.

“Astaghfirullahal adziiiim,” ujar sang Kiai pelan.

Disalin dan diedit dari sumbernya aslinya:
Bengkel Rohani. (ts)

 

ERA MUSLIM