Bahaya Memberikan Persaksian Palsu (Bag. 1)

Seseorang yang memberikan persaksian di pengadilan, haruslah bersaksi dengan jujur dan tidak memberikan kesaksian bohong. “Memberikan persaksian” yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas dengan menjadi “saksi” saja di muka pengadilan. Akan tetapi, termasuk juga advokat (pengacara) atau pihak-pihak yang juga ikut berbicara di depan persidangan untuk didengar keterangannya oleh hakim pengadilan. Ketika saksi atau pengacara itu memberikan kesaksian dengan memutar fakta dan bersilat lidah, sehingga yang benar tampak salah dan yang salah tampak menjadi benar, keduanya terancam dengan dalil-dalil di bawah ini.

Dalil-dalil yang menunjukkan adanya ancaman dari memberikan persaksian palsu

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun merugikan dirimu sendiri, atau ibu bapak, dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 135)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita agar menjadi saksi karena Allah, meskipun persaksian kita merugikan diri kita atau kerabat kita sendiri karena memang bersalah dalam kasus yang disidangkan. Hubungan kekerabatan tidaklah menyebabkan kita bersaksi palsu atau bohong demi menyelamatkan kerabat kita dari hukuman atas kesalahannya.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)

وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 140)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, 

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ

“Apakah kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?” 

Beliau menyatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” 

Beliau pun bersabda, 

الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua.” 

Lalu beliau bangkit untuk duduk dari sebelumnya berbaring, kemudian melanjutkan sabdanya, 

أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ

“Ketahuilah, juga ucapan keji (curang).” 

Dia berkata, “Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakan, ‘Duh, sekiranya beliau berhenti.” (HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengubah posisi duduk beliau dan mengatakannya berulang kali, yang menunjukkan bahaya dan gawatnya perkara ini.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang al-kabaa’ir (dosa-dosa besar). Maka beliau bersabda,

الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang, dan bersumpah palsu.” (HR. Bukhari no. 2653 dan Muslim no. 88)

Dari Khuraim bin Fatik Al-Asadi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, 

قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَامَ قَائِمًا فَقَالَ عُدِلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ بِالْإِشْرَاكِ بِاللَّهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ ثُمَّ قَرَأَ : فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنْ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat subuh. Selesai shalat, beliau bangkit dan berkata, “Persaksian palsu itu disamakan dengan perbuatan mensekutukan Allah.” 

Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membacakan ayat, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah.” (QS. Al-Hajj [22]: 30).” (HR. Abu Dawud no. 3599, Tirmidzi no. 2300, Ibnu Majah no. 2372)

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar bahaya dan dosa dari orang-orang yang memberikan kesaksian palsu di pengadilan, baik dia berbicara sebagai saksi, sebagai advokat (pengacara), atau pihak-pihak terkait lainnya.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50892-bahaya-memberikan-persaksian-palsu-bag-1.html

Bersaksi Palsu, Ini Pandangan Islam

Bersaksi di pengadilan ternyata bisa menimbulkan konsekuensi serius. Jika kesaksian seseorang salah atau terbukti palsu, ancaman hukuman pidana siap menanti.

Seseorang yang awalnya duduk di kursi saksi, jika terbukti melakukan kesaksian palsu bisa berubah duduk menjadi tersangka. Dalam hukum positif di Indonesia, sesuai Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang memberi keterangan palsu di atas umpah, baik lisan maupun tulisan diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Lalu bagaimana dengan bersaksi palsu menurut syariat Islam? Para ulama menggolongkan saksi palsu sebagai salah satu dosa besar. Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, ucapan palsu didefinisikan sebagai sebuah kebohongan dan perbuatan yang mengada-ada.

Perbuatan ini merupakan salah satu dari dosa-dosa yang membinasakan dan paling berat ketentuan hukum haramnya. Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menerangkan saksi palsu sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya.

Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui. Kesaksian yang benar adalah sebuah kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Allah SWT berfirman, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS al Baqarah [2] : 282).

Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.

Larangan bersaksi palsu termaktub dalam firman Allah SWT, “..dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS al-Hajj [22]:30). Para ulama bahkan menyejajarkan pelaku saksi palsu dengan pelaku kemusyrikan. Pelaku kemusyrikan sendiri adalah dosa paling besar dan tidak diampuni oleh Allah SWT. Dasarnya adalah beberapa ayat Alquran yang menyandingkan perbuatan dusta dengan musyrik.

Seperti dalam lanjutan surah al-Hajj ayat 30-31. “..maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”

Dalam surah lain Allah SWT berfirman, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,  mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan  terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-A’raaf [7] :33)

Beberapa sifat ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih) adalah mereka tidak suka bersaksi palsu (QS al-Furqan [25]: 72). Tafsir ayat ini disebutkan sifat lainnya, yakni kufur, bohong, fasik, sia-sia, dan perkara yang bathil. Makna lain dari ayat itu adalah nyanyian dan omong kosong. Lanjutan dari ayat 72 surah al-Furqan adalah, “dan apabila mereka bertemu dengan yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” Maknanya kehormatan orang-orang yang melakukan perbuatan dusta sama sekali tidak ada.

Dalam sebuah hadis, lebih jelas lagi tentang derajat keharaman saksi palsu. Rasulullah SAW menyejajarkan perbuatan saksi palsu dengan syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Dua dosa besar yang derajat dosanya sangat besar sekali.

Dari Abu Bakrah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kau kuberi tahu tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka  kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk lalu bersabda lagi, “Ketahuilah demikianlah pula ucapan bohong!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang sehingga kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR Bukhari Muslim).

Penyejajaran dengan syirik dan durhaka kepada orang tua menegaskan kedudukan dusta dalam persaksian dalam derajat dosa besar yang paling besar. Diulang-ulangnya perkataan Rasulullah saat menyebut perkataan bohong merupakan penegasan jika perbuatan ini adalah dosa yang tidak sepele.

Orang yang gemar melakukan perbuatan dusta juga termasuk golongan orang-orang munafik. Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, apabila berkata berdusta, apabila berjanji ia ingkar dan jika diamanati ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dusta juga bukan sifat orang beriman. Bahkan, ia bisa menjauhkan orang tersebut dari iman. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-ngadakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS an-Nahl [16]: 105).

Orang yang memiliki iman di hatinya mungkin memiliki rasa takut. Namun, orang yang beriman disifati Rasulullah tidak memiliki sedikitpun perangai dusta. Rasulullah SAW pernah ditanya, “Apakah mungkin orang mukmin itu penakut?” Beliau menjawab, “Mungkin.” Orang itu bertanya lagi, “Apa mungkin dia bakhil?” Beliau menjawab, “Mungkin.” Kemudian orang itu bertanya lagi, “Apakah mungkin dia pendusta?” Beliau menjawab, “Tidak Mungkin.” (HR Malik). Allahu A’lam.

Sumber: Pusat Data Republika