Langkahi Makam, Duduk, dan Bersender di Atasnya, Bolehkah?

Ziarah kubur merupakan salah satu anjuran Rasulullah SAW dalam banyak hadisnya. Di antara fungsi berziarah itu adalah mengingatkan kembali tentang kematian.

Ternyata berziarah tak sekadar berkunjung ke makam lalu tanpa disertai adab begitu saja. Ada banyak etika yang mesti dipenuhi dan dijaga selama berziarah.

Namun, belakangan publik Indonesia tengah dihebohkan dengan video viral calon wakil presiden nomor urut II Sandiaga Solahuddin Uno yang melangkahi makam KH Bisri Syansuri, pendiri Nahdlatul Ulama yang juga pendiri Pesantren Mambaul Ma’arif, Denanyar Jombang.

Pro dan kontra pun muncul terkait aksi melangkahi kuburan tersebut. Lantas sebagaimana sebetulnya pandangan fikih Islam terkait melangkahi makam?

Jawaban atas pertanyaan itu pernah diutarakan salah seorang ulama al-Azhar, Kairo, Mesir Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihamy, dalam kitabnya yang berjudul Fiqh as-Sunnah. 

Sayyid Sabiq menegaskan haram hukumnya duduk di atas kuburan, bersandar, dan berjalan di atasnya.

Kesimpulan ini merujuk hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Amar bin Hazm. Dia meriwayatkan bahwa, suatu ketika dia melihat Rasulullah SAW duduk bersimpuh di samping makam lalu Rasul bersabda,”Jangan sakiti penghuni makam ini.” Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad sahih.

Hadis lain diriwayatkan Abu Hurairah. Rasulullah bersabda,”Seseorang yang duduk di atas ember lalu bajunya terbakar dan menghabiskan kulitnya, jauh lebih baik daripada dia duduk di atas kuburan.” (HR Ahmad, Musim, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibn Majah).

Sayyid Sabiq menjelaskan, penegasan keharaman duduk di atas kuburan, bersandar, dan berjalan di atasnya merupakan pendapat Ibn Hazm. Ini karena disertainya ancaman dalam riwayat hadis itu. Selain Ibn Hazm, pendapat ini juga diamini sebagian generasi salaf, di antaranya Abu Hurairah.

Sementara mayoritas ulama berpendapat hukum duduk di atas kuburan, bersandar, dan berjalan di atasnya adalah makruh.

Imam an-Nawawi menukilkan pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm.Dalam kitab itu, dijelaskan bahwa mayoritas ulama mazhab berpandangan jika duduk di atas kuburan, bersandar, dan berjalan di atasnya hukumnya makruh.

Makruh yang dimaksudkan di sini adalah makruh tanzih (makruh dengan maksud menjaga kehormatan dan adab), sebagaimana istilah yang kerap digunakan para ulama. Di antara yang berpandangan demikian antara lain an-Nakha’i, Laits, Ahmad, dan Dawud.

Sayyid Sabiq lantas menjelaskan bahwa ada Abdullah bin Umar, Abu Hanifah, dan Malik yang memperbolehkan duduk di atas makam. Di antara alasan kebolehannya itu adalah seperti disampaikan Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’, yaitu barangkali sesorang yang duduk tersebut hendak menunaikan hajatnya (entah buang air kecil atau air besar).

Untuk memperkuat pendapatnyanya itu Imam Malik menyertakan sebuah hadis hadis dhaif. Namun, oleh Imam Ahmad, pendapat tersebut disanggah karena dianggap memberikan takwil yang salah.

Demikian juga pendapat yang terakhir ini dibantah Imam an-Nawawi. “Takwil ini (tentang bolehnya duduk di atas makam) adalah lemah dan batil. Oleh Ibn Hazam juga di sanggah dengan beberapa alasan.”

Sayyid Sabiq menjelaskan perbedaan ini muncul jika duduk itu dimaksudkan selain kepentingan buang hajat, jika memang duduk tersebut bertujuan untuk buang hajat, para ulama sepakat haram.

Sayyid Sabiq juga menjelaskan, para ulama sepakat boleh melangkahi makam dengan catatan darurat. Jika tidak ada alasan darurat, maka hukumnya adalah haram.

 

KHAZANAH

Arti dan Makna Ulama Menurut Ketua PBNU

Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan, sebutan ulama pada orang tidak sekadar yang bersangkutan menguasai disiplin ilmu tertentu. Ulama juga mempraktikkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.

“Penguasaan ilmu agama, konsisten, kredibel, dan panutan adalah kata kuncinya. Tidak semua orang yang menguasai ilmu agama layak disebut alim atau ulama,” katanya, Rabu (19/9).

Dalam perjalanan kebudayaan, kata Robikin, predikat alim atau ulama dilekatkan kepada orang yang menguasai di bidang ilmu agama dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat. Ia dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan ilmu agamanya.

Robikin lantas mencontohkan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda dan ahli politik imperialis pada era kolonial yang dikenal sebagai pembelajar dan menguasai Alquran. “Kalau dasarnya hanya penguasaan ilmu, Snouck Hurgronje pun layak disebut ulama,” ujar Robikin.

Namun, lanjut dia, tak seorang pun yang menyebut Snouck Hurgronje sebagai pribadi yang alim sebagai ulama. Apalagi, menjadikannya sebagai panutan.

“Karena ia tidak mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Bahkan, mempelajari Alquran untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak menunjukkan adanya konsistensi pada dirinya,” katanya.

Hal lain yang tak kalah penting, kata Robikin, predikat alim atau ulama dalam sejarahnya tidak lahir dari rekayasa sosial, apalagi dimaksudkan demi kepentingan duniawi berupa pencitraan politik.

Selain itu, predikat alim atau ulama adalah status sosial, bukan jabatan politik atau gelar akademik produk lembaga atau forum tertentu.

“Predikat alim atau ulama secara alamiah lahir dari rahim sosial, bukan dilahirkan atas dasar kesepakatan bersama dalam suatu forum permusyawaratan,” ujar Robikin.

 

REPUBLIKA