Hakikat Merayakan Maulid Nabi Menurut Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani merupakan salah seorang tokoh besar ahlussunnah waljamaah di Mekkah. Ulama yang wafat pada 15 Ramadhan 1425 H (29 Oktober 2004 M) ini dikenal produktif menulis kitab dalam berbagai bidang keilmuan, salah satunya adalah kitab ḥaul al-Iḥtifāl Biżikrā Maulid an- Nabi asy-Syarîf. Kitab ini berisikan argumen-argumen beliau dalam membela tradisi maulid nabi, terutama untuk menangkis beberapa tudingan batil dari pihak-pihak yang menolak tradisi maulidan. Apa hakikat merayakan maulid Nabi?

Di pembahasan awal dalam kitab tersebut (hal. 8-10), Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menegaskan bahwa perayaan maulid Nabi bukanlah ibadah hari raya tambahan sebagaimana yang dituduh oleh golongan yang tidak maulid. Hari raya Islam hanya ada dua;  idul fitri & idul adha. Buktinya, tidak ada bentuk & tata cara yang baku (given) dalam merayakan maulid, juga tidak ketentuan khusus mengenai waktu dan tempat pelaksanaanya. Semuanya dikembalikan kepada penyelenggaranya masing-masing.

Jadi, tradisi maulid Nabi yang berkembang di masyarakat tak lain adalah salah satu bentuk suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Maulid yang diejawantahkan dalam berbagai ekspresi & aktivitas, salah satunya adalah berkumpul untuk mendengar perjalanan hidup Nabi SAW, mendengarkan pujian-pujian untuknya, memberi makanan untuk orang miskin &  yang membutuhkan, juga menebarkan kebahagiaan untuk para pecinta Nabi.

Maka, mengekspresikan kebahagiaan & suka cita atas lahirnya baginda Nabi harusnya tidak pernah terikat dan terbatas dengan waktu tertentu. Kita bisa mengungkapkannya kapan saja. Namun, suka cita tersebut akan menemukan momennya saat tiba bula Rabiul Awwal, bulan kelahiran Nabi, terlebih bila bertepatan pada tanggal 12. Dengan demikian, orang-orang yang merayakannya akan lebih terikat secara emosional dengan momen kelahiran baginda Nabi.

Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki juga menegaskan, bahwa orang yang merayakan maulid nabi tidak pernah mengklaim bahwa tradisi ini adalah satu-satunya bukti kecintaan kita kepada Nabi Muhammad, sehingga yang tidak merayakan tradisi ini dianggap tidak mencintai Nabi. Perayaan ini tak lain adalah salah satu-bukan satu-satunya- ekspresi cinta kita kepada beliau, juga salah bukti bahwa kita ingin mengikuti Nabi. Dengan demikian, orang yang tidak merayakannya bukan berarti tidak mencintai & mengikuti beliau.

Maka, tradisi maulid Nabi tidak perlu untuk dinilai sebagai bid’ah atau tidak. Sebab, ia bukanlah bentuk ibadah murni (mahdhah) baru yang dibuat-buat. Ia hanyalah sebuah forum yang mengumpulkan banyak orang, sebagaimana forum-forum yang biasa manusia adakan di dunia ini, seperti rapat, event, seminar dan lainnya.

Namun, forum ini bukanlah sekadar forum biasa yang mengumpulkan banyak orang. Forum ini menjadi perantara mulia menuju tujuan yang juga mulia. Salah satunya menjadi wasilah untuk mempertebal keimanan dan cinta kita kepada Nabi Muhammad dengan mengeksplorasi sifat, budi pekerti, perilaku keseharian dan ibadah beliau. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih “hukum hal yang menjadi perantara sesuai dengan hukum maksud yang ingin dicapai”

Dari titik inilah, tradisi maulid menjadi perantara besar serta kesempatan emas bagi da’i, kyai, ustaz, dalam menggencarkan dakwahnya kepada masyarakat. Maka wajib bagi mereka untuk menyampaikan segala hal tentang Nabi Muhammad, mulai dari perjalanan dakwah beliau, menyebut akhlak & adab beliau, sampai bagaimana beliau berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.di samping juga menyampaikan materi ceramah lainnya secara umum.

Akhir kata, sebagaimana yang ditegaskan Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam mukadimah kitab ini mengenai hakikat merayakan maulid Nabi, perdebatan tentang perayaan maulid Nabi yang muncul secara rutin tiap tahun harusnya dianggap selesai. Perhatian kita seharusnya berfokus pada hal yang lebih besar dari sekadar perdebatan tahunan ini.

Ada banyak problematika besar menanti untuk kita selesaikan, seperti bagaimana umat Islam terlepas dari belenggu perpecahan, permusuhan, kemiskinan, ketertinggalan dan kemunduran. Bila hal itu dilakukan, tentu masih ada secercah harapan agar umat Islam kembali memiliki peradaban maju sebagaimana yang telah dicapai oleh salafus shalih.  Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH