Negeri Hausa, Kejayaan Islam di Nigeria Tempo Dulu

Negeri Hausa adalah salah satu wilayah ke-emiran Islam terpenting di Afrika tempo dulu. hausa terletak antara Kesultanan Mali dan Songhai di sebelah barat. Kesultan Bornu di timur. Dan di utara berbatasan dengan negeri Ahir dan padang pasir. Di masa modern saat ini, Hausa berada di wilayah Nigeria utara yang merupakan bagian dari Republik Nigeria.

Asal-Usul

Hausa adalah sebuah istilah untuk menyebut orang-orang yang berbicara dengan Bahasa Hausa. Dengan demikian istilah ini tidak me-refer pada etnik tertentu. Bukan pula dari garis keturunan tertentu. Mereka adalah komunitas masyarakat yang lahir dari akulturasi sekelompok kabilah kecil dan garis keturunan yang banyak. Kelompok inti dari Hausa adalah orang-orang Sudan, penghuni asli Nigeria utara, dan sekelompok Berber.

Percampuran suku-suku ini menghasilkan budaya baru. Mereka berbicara dengan satu bahasa yang sama. Yaitu Bahasa Hausa. Kemudian Hausa menjadi sebuah etnik besar yang tersebar di Afrika Barat. Hingga bahasa mereka digunakan sebagai bahasa ibu oleh penduduk wilayah tersebut. Saking dominannya Bahasa ini, orang-orang berinteraksi dan berdagang dengan menggunakan bahasa hasil akulturasi ini.

Sejarah Keemiran Hausa

Orang-orang Hausa tersebar di Nigeria. Mereka hidup berkelompok. Berinteraksi dengan satu Bahasa. Umumnya, mereka beragama Islam. Namun tidak dikuasai oleh satu pemerintahan. Hausa terdiri dari tujuh ke-emiran kecil. Tujuh ke-emiran itu adalah Kano, Katsina, Zaria, Jubir, Dora, Ranu, dan Zamfara.

Sebagian peneliti mengatakan Ke-emiran Dora adalah emirat tertua. Kemudian garis keturunannya menurun pada sebagian penduduk Mesir, Habasyah, sebagian negara Arab, dan Katsina. Kemudian Katsina meluas dan memunculkan wilayah Zaria yang merupakan emirat terluas. Lalu muncul Kano yang merupakan emirat terkaya. Setelah itu Jubir emirat yang wilayahnya paling basah.

Walaupun dari satu garis keturunan Dora, ketujuh emirat ini tidak saling menguasai. Bahkan sering terjadi peperangan antara mereka. Peperangan ini dipicu karena keinginan para emir untuk menguasai dan mengontrol wilayah lainnya. Atau mereka beraliansi dengan pasukan besar dari kerajaan tetangga. Seperti Burnu, Mali, dan Songhai.

Peradaban Hausa

Orang-orang Hausa terkenal ahli dalam pertanian, kerajinan, dan perdagangan. Pedagang mereka adalah pedagang yang paling terkenal di seantero Afrika. Mereka berani menembus sahara tiga bulan setiap tahunnya. Pedangang-pedagang Hausa ini berjasa menyediakan komoditi di Tarablus, Tunisia, dan wilayah Afrika Utara lainnya. Mereka menjual emas, gading, dan sutra.

Tidak hanya mendominasi wilayah Afrika Utara, pedagang Hausa juga menjamah pelosok selatan Afrika. Mereka menjangkau Nubia dan Burnu. Suatu wilayah dagang yang mereka kuasai pada tahun 856 H/1452 M. Pedagang-pedagang Hausa adalah orang-orang yang paling berpengaruh terhadap perkembangan rute dagang Afrika. Melalui jasa mereka, jalur antar negera pun terhubung semakin baik. Dimulai dari Hausa menuju ke utara (ke wilayah Ahir). Kemudian menuju Ghat, Gadamis, Chad, dan Burnu. Jalur-jalur ini terbuka. Layak dilalui dan tertata. Sehingga para musafir dan kafilah dagang mudah menempuh medan Afrika yang pada umumnya berat. Dengan baiknya jalur ini, berdampak pada penyebaran agama Islam. Para ulama dan peneliti pun semakin mudah menuju wilayah Hausa.

Perkembangan Islam di Hausa

Perkembangan jalur perdagangan Hausa membuat manusia mudah keluar dan masuk. Hal ini turut memicu tersebarnya Islam dan perkembangan pemikiran di daerah tersebut. Pengaruh budaya Arab Islam kian terasa. Pesebaran para pedagang Hausa juga turut membuat bahasa mereka tersebar di seantero Afrika. Di pasar-pasar, tempat-tempat umum, bahasa mereka digunakan. Apalagi setelah Kerajaan Songhai mengalami kemunduran, Hausa semakin menguasai perdagangan. Di Hausa sendiri, Emirat Kano dan Katsina menjadi pusat perdagangan dan ilmu keislaman.

Islam terus berkembang di Hausa. Diawali dengan Emirat Kano di akhir abad ke-12 M. Kemudian di abad ke-14 menyusul wilayah-wilayah lainnya. Perkembangan Islam di negeri ini juga berkat dukungan pemerintah mereka. Pemerintah yang sejak awal memimpin dengan adil. Kemudian saat Islam masuk, mereka menerima dakwahnya. Akibatnya, para rakyat pun dengan mudah mengikuti agama pemerintah mereka.

Perkembangan Islam di wilayah ini memotivasi para ulama untuk semakin giat berdakwah dan memperbaiki akidah penduduk Hausa. Mereka giat mendakwahkan Islam. Mengajarkan bahasa dan aksara Arab. Serta wawasan keislaman lainnya. Masjid-masjid besar bermunculan sebagai fasilitas dakwah. Keyakinan paganisme yang merupakan agama asli Afrika semakin terkikis di tengah masyarakat. Islam kian diamalkan. Keamanan dan stabilitas pun semakin terwujud.

Kondisi Dakwah di Hausa

Di antara ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di emirat ini adalah Syaikh Abdurrahman Zaid. Ia adalah seorang pendawakh di Emirat Kano. Kemudian ada Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Mughili. Seorang fakih dari Kota Tuat, Aljazair. Ia berdakwah di Kano dan Katsina. Ada pula Syaikh Abdussalam. Dialah yang membawa dan mengajarkan kitab al-Mudawwanah dan al-Jami’ ash-Shaghir di wilayah tersebut. Pendakwah lainnya adalah Syaikh al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Abi Muhammad at-Takhidzati. Atau yang lebih dikenal dengan Aid Ahmad atau Ibnu Ahmad. Ia adalah hakim di Kota Katsina dan wafat pada tahun 936 H/1529 M. Dan masih banyak pendakwah lainnya. Para pedagang juga tak kalah andil dalam penyebaran Islam di emirat ini. Bahkan merekalah perintis dakwah.

Para ulama Timbuktu (pernah ditulis di kisah muslim tentang Peradaban Islam di Mali) pun bersafar ke Hausa untuk berdakwah. Demikian juga ulama Mesir, di antaranya Jalaludin as-Suyuthi yang wafat tahun 911 H/1505 M. Beliau menjalin hubungan baik dengan Emir Katsina. Pada tahun 876 H/1471 M, as-Suyuthi kembali ke Mesir. Kemudian dakwah pun tetap ia lanjutkan dengan metode surat-menyurat. Metode surat-menyurat ini juga dilakukan oleh ulama-ulama Hijaz. Semua ini menunjukkan betapa Hausa terhubung dengan dunia Islam. Baik di Afrika maupun luar Afrika.

Sumber:
– al-Mausu’ah al-Mujazah fit Tarikh al-Islami

Read more https://kisahmuslim.com/6375-negeri-hausa-kejayaan-islam-di-nigeria-tempo-dulu.html

Cordoba di Mata Ulama dan Sastrawan

Cordoba adalah kota yang indah. Kota yang kaya dengan nilai intelektual di mata para ulama. Kota yang indah menjadi pujian di lisan para sastrawan. Kota yang merupakan ibu kota Andalusia di masa kejayaannya.

Ibnu Hauqal

Seorang pedagang asal Kota Mosul, Irak, Ibnu Hauqal pernah menginjakkan kaki di Cordoba tahun 350 H/961 M. Ia menyifati kota itu dengan mengatakan, “Kota terbesar di Andalusia adalah Cordoba. Tidak ada satu pun kota di Maroko yang serupa dengannya. Baik dari sisi kepadatan penduduk maupun keluasan wilayahnya. Ada yang mengatakan, kota ini mirip dengan salah satu wilayah pinggiran Baghdad. Kalaupun tidak semisal, setidaknya mendekati. Kota Cordoba ini dikelilingi benteng batu. Dan memiliki dua pintu yang menempel di pagar benteng dan mengantarkan ke arah lembah (wilayah rendah) dan ar-Rishafah. Rishafah adalah tempat tertinggi di Cordoba yang bersambung dengan hutan kota. Bangunan-bangunannya bersambung (memadat) dari wilayah timur ke utara, ke barat, hingga ke selatan. Hingga ke lembahnya. Di jalan-jalannya terdapat pedagang kaki lima. Sebagai tempat transaksi jual beli. Di tempat-tempat umum juga terdapat taman kota. Penduduknya adalah orang-orang kaya dan orang-orang penting (Yaqut al-Hamawi: Mu’jam al-Buldan 4/324).

Al-Idrisi

Namanya adalah Muhammad al-Idrisi. Salah seorang ahli geografi. Dan termasuk orang pertama yang membuat peta dunia. Menurutnya penghuni Cordoba adalah orang-orang spesial. Karena mereka adalah para ulama dan mereka yang berkedudukan di negara. Al-Idris berkata, “Cordoba tak pernah kosong dari para ulama terkemuka dan tokoh-tokoh utama. Pedagangnya adalah orang-orang kaya raya. Mereka memiliki cita-cita yang tinggi (al-Idrisi: Nuzhatul Musytaq fi Ikhtiraqil Afaq 2/575).

Al-Hamiri

Al-Hamiri mengatakan, “Cordoba adalah asasnya Andalus. Induk dari kota-kotanya. Tempat tinggal para khalifah Umayyah. Peninggalan dan pengaruh mereka begitu tampak pada kota tersebut. Keistimewaan Cordoba dan kedudukan penduduknya lebih terkenal dari cerita. Mereka adalah tokoh bangsa dan pemuka masyarakat. Mereka sangat dikenal dengan bagus pemikirannya. Baik profesinya. Indah pakaiannya. Memiliki semangat hidup yang tinggi. Akhlak mereka, akhlak yang indah. Kota ini dihuni para ulama dan para tokoh utama (al-Hamiri: ar-Raudh al-Mu’thar fi Khair al-Aqthar, Hal: 456).

Yaqut al-Hamawi

Yaqut al-Hamawi berkata tentang Cordoba, “Sebuah kota besar yang terletak di tengah Andalus. Kota ini bagaikan tempat tidur bagi rajanya karena posisinya di tengah negara. Di sanalah para raja Bani Umayyah tinggal. Tempat orang-orang utama menetap. Tempat lahirnya cerdas cendekia (Yaqut al-Hamawi: Mu’jam al-Buldan 4/324).

Abu al-Hasan bin Bassam

Diceritakan bahwa Abu al-Hasan bin Bassam berkata tentang Cordoba, “Cordoba adalah puncak tujuan. Pusat dari peradaban. Ibu dari kota-kota. Tempat tinggal orang-orang utama dan bertakwa. Negerinya para ilmuan. Jantung wilayah. Tempat lahirnya ilmu pengetahuan. Pusat peradaban Islam dan tempat para imam. Tempat berkumpulnya kajian keilmuan. Kebun yang membuahkan keunggulan. Lautan permata. Dari rahimnya keluarlah bintang-bintang dunia dalam para pakar di masanya. Lahir para penunggang kuda, ahli perundangan, dan sastra. Di Cordoba muncul karya tulisan yang mendalam. Hal ini disebabkan karena keunggulan penduduknya dulu dan sekarang (masa itu) dibanding kota selainnya. Yang menaklukkannya adalah orang-orang mulia dari kalangan Arab. Disertai pembesar prajurit Syam dan Irak turut tinggal di sana. Lahirlah dari keturunan mereka memenuhi wilayah ini. Mereka berasal dari leluhur yang mulia. Sehingga di setiap wilayah tidak kosong dari seorang penulis yang mahir. Dan seorang penyair yang handal (Abu al-Hasan Bassam: Adz-Dzakhiroh fi Mahasin Ahli al-Jazirah 1/33)

Ibnul Waridi

Dalam Kharidatul ‘Aja-ib, Ibnul Waridi menyifati Cordoba dan penduduknya dengan mengatakan, “Penduduknya adalah orang-orang terbaik. Orang terbaik dalam makanan, pakaian, kendaraan, dan cita-cita yang tinggi. Penduduknya adalah ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh utama. Penduduknya adalah para ahli perang dan orang-orang mulia.” Setelah menyifati masjidnya, ia melanjutkan, “Kehebatan kota ini lebih besar lagi daripada apa yang diceritakan.” (Ibnul Waridi: Kharidatul ‘Aja-ib wa Faridatul Ghara-ib, hal: 12).

Cordoba adalah salah satu kota peradaban Islam. Kota yang memiliki sejarah dan nilai yang dikenal oleh manusia. Dan Cordoba bukanlah satu-satunya kota yang seperti ini dalam sejarah Islam. Kita belum bercerita tentang bagaimana hebatnya Baghdad, Damaskus, Kairo, Bashrah, dll. Kalau kita mengetahui bagaimana kota-kota itu, kekagumana kita akan semakin jauh melejit. Keyakinan kita bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, modernitas, dan kemajuan peradaban akan semakin kokoh menancap. Apalagi setelah mengetahui kalau nilai-nilai peradaban Islam tidak merusak tatanan social, kita akan semakin yakin agama ini adalah solusi untuk semua permasalahan manusia.

Diterjemahkan dari tulisan Raghib as-Sirjani dengan judul Qurthubah fi ‘Uyunil Ulama wal Udaba

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6368-cordoba-di-mata-ulama-dan-sastrawan.html

Ringkasan Sejarah 800 Tahun Kekuasaan Islam di Andalusia (2/2)

Perjalanan umat Islam di Andalusia tak selalu indah. Ada masa kemajuan. Adapula kemunduran. Delapan ratus tahun itu dihiasi dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan. Juga masa perpecahan. Bahkan di akhir cerita terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Mereka dibantai. Diusir dari Andalusia. Dan dipaksa murtad.

Pada tulisan yang kedua ini, kita akan membaca bagaimana perjalanan umat Islam di Andalusia pada periode keenam hingga kesepuluh.

Periode Keenam, Periode Kekacauan dan Runtuhnya Khilafah Umayyah (399-422 H).

Di periode ini, Andalusia silih berganti dipimpin oleh khalifah yang lemah. Wibawa Daulah Umayyah pun jatuh. Tak ayal peristiwa ini memunculkan rentetan masalah. Dimulai dengan adanya seruan dari sekelompok orang untuk membantu kaum Nasrani di utara dalam memerangi kerajaan. Kemudian tusukan duri dalam daging dari kalangan Berber menguat. Mereka menyiapkan strategi perlawanan terhadap kerajaan. Lebih parah dari itu, sejumlah wilayah di Andalusia, khususnya di bagian selatan, menyatakan merdeka. Kemudian muncul negara yang kuat. Mereka dikenal dengan Daulah Bani Hamud.

Peristiwa utama pada periode ini adalah kembalinya ‘ashobiyah(fanatik suku). Antara Arab dan Berber. Dan muncul pemain baru yaitu orang Saqaliba (budak-budak Eropa). Awalnya, al-Hajib al-Manshur mempekerjakan orang-orang ini dengan tujuan menyetarakan kelas antara Arab dan Berber. Ternyata di kemudian hari, kebijakan al-Hajib al-Manshur ini membidani masalah yang sama.

Periode Ketujuh, Masa Raja-Raja Kecil (422-483 H)

Periode ini adalah masa kemunduran dan perpecahan. Masa dimana Andalusia yang sebelumnya hanya dikuasai oleh satu kerajaan Islam. Kini terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang umumnya lemah. Raja-raja mereka adalah orang-orang yang haus kekuasaan. Kepemimpinan dipegang oleh keluarga atau kabilah. Hhal ini semakin mempertajam isu ras di Andalusia.

Kerajaan kecil yang menguasai Andalusia kala itu terdiri dari 22 kerajaan. Orang-orang Berber menguasai wilayah selatan. Saqaliba di sebelah timur. Sisanya dipegang oleh klan-klan Bani Umayyah. peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa ini adalah:

Pertama: Degradasi Akhlak Para Raja

Pemimpin akan menjadi teladan rakyat. Gerak-gerik mereka begitu terlihat. Karena mereka adalah tokoh utama dalam negara. Sehingga apa yang mereka lakukan akan cepat tersebar dan mempengaruhi rakyatnya. Di masa ini, para pemimpin menularkan sifat-sifat lemah, penakut, dan lalai. Akibatnya pergerakan Nasrani di utara tak terpantau oleh mereka.

Kedua: Terjadi Perang Saudara

Karena haus kekuasaan, para raja kecil ini saling memerangi raja muslim lainnya. Mereka ingin memperluas kekuasaan mereka. Peperangan sesama muslim pun tak terhindarkan. Masing-masing kerajaan muslim ini menggandeng kerajaan Nasrani tetangga mereka untuk memerangi kerajaan muslim yang menjadi musuhnya. Inilah puncak keterpurukan di periode ini. Menjalin kerja sama dengan Nasrani untuk memerangi muslim. Tidak ada lagi prinsip al-waladan al-bara. Loyal kepada muslim. Dan tidak loyal kepada non muslim.

Ketiga: Bersatunya Nasrani di Utara

Saat kondisi umat Islam begitu terpuruk, kaum Nasrani di utara justru memperkuat persatuan mereka. Mereka bersatu di bawah pimpinan Raja Alfonso VI. Di bawah kepemimpinannya, Nasrani memperoleh kemenangan besar atas kaum muslimin di Andalusia. Di antara kemenangan besar yang dicapainya adalah merebut Kota Toledo. Kota yang dulu sempat menjadi ibu kota Andalusia. Kemenangan ini menimbulkan pengaruh yang begitu besar. Kemenangan yang dampaknya terasa sampai runtuhnya Andalusia.

Keempat: Munculnya Fanatik Kesukuan. Di masa ini, fanatik kesukuan antara kaum muslimin di Andalusia begitu kental.

Periode Kedelapan, Masa Murabithun (484-539 H)

Di periode ini, umat Islam kembali merasakan sebagian masa kegemilangan sebelumnya. Murabithun berjasa menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Andalusia kemudian meleburkannya ke dalam wilayah kekuasaan mereka. Kerajaan yang berpusat di Afrika Utara ini dipimpin oleh seorang raja yang kuat bernama Yusuf bin Tasyfin.

Yusuf bin Tasyfin berhasil mengembalikan wibawa umat Islam di Andalusia. Sehingga umat Islam lebih terhormat dan disegani salibis Spanyol. Ia berhasil menyeberangkan pasukannya dari Afrika Utara menuju Andalusia dan mengalahkan salibis Spanyol di Perang Zalaqah (BattleofSagrajas) tahun 479 H. Ia berhasil mendesak orang-orang Nasrani dan menghalangi kejahatan mereka atas kaum muslimin Andalusia. Setelah mendapatkan kemenangan, Yusuf bin Tasyfin kembali lagi ke pusat pemerintahannya di Maroko.

Beberapa tahun kemudian ia kembali lagi ke Andalusia untuk memerangi raja-raja kecil yang kembali bertikai dan membahayakan umat Islam Andalusia. Para ulama Andalus mendukung kebijakan Yusuf bin Tasyfin ini. Karena tidak ada jalan lain kecuali menaklukkan para raja agar terwujudnya persatuan dan kekuatan. Misi ini berhasil dituntaskan pada tahun 484 H.

Generasi awal Murabithun adalah orang-orang sederhana. Mereka awalnya sekelompok penjaga perbatasan yang taat beragama. Kemudian berhasil mendirikan negara. Merekalah yang membawa Madzhab Maliki ke tanah Maroko. Mereka cukup berhasil menegakkan pemerintahan yang berjalan di atas syariat. Namun kejayaan kerajaan ini tak berlangsung lama. Murabithun menghadapi pemberontakan Ibnu Tumart. Seorang yang mengaku Mahdi. Kelompoknya disebut dengan Muwahhidun. Kelompok ini juga berada di Maroko. Mereka mulai memberontak tahun 515 hingga berhasil menggulingkan Murabithun pada tahun 539 H.

Periode Kesembilan, Masa Muwahhidun (539-630 H)

Orang-orang Muwahhidun adalah para pengikut Mahdi palsu, Muhammad bin Tumart. Mereka memerangi Murabithun kurang lebih selama 25 tahun. Hingga akhirnya Murabithun runtuh pada tahun 539 H. Mereka pun mendapat warisan kerajaan yang besar. Kerajaan yang kekuasaannya meliputi Maroko dan Andalusia. Setelah berkuasa, mereka memaksakan akidah mereka pada rakyatnya. Akidah yang merupakan percampuran Mu’tazilah, Jahmiyah, ahlu ta’thil, dan Asy’ariyah.

Adapun dalam peperangan, mereka memiliki visi yang sama dengan Murabithun. Mereka juga memerangi raja-raja Kristen Spanyol. Mereka memenangkan banyak perang. Dan perang terbesar yang mereka menangkan adalah Perang al-Arak (Batle of Alarcos) tahun 591 H. Kemenangan ini setara dengan kemenangan kaum muslimin di Perang Zalaqah, Ucles, dan Fraga.

Pada tahun 609 H, orang-orang salibis berhasil memperoleh kemangan besar atas Muwahhidun di Perang al-‘Iqab (Battle of Las Navas de Tolosa). Mereka menekuk Muwahhidun dan menyegerakan keruntuhannya. Sebenarnya, kaum muslimin Andalusia juga berkali-kali melakukan pemberontakan terhadap Muwahhidun. Kemungkinan besar pemicunya adalah rusaknya akidah para penguasa kerajaan ini.

Periode Kesepuluh, Masa Pemerintahan Bani al-Ahmar di Granada (630-897 H)

Setelah runtuhnya Muwahhidun, Andalusia kembali terpecah menjadi wilayah-wilayah kecil yang lemah. Keadaan ini semakin mempermudah Nasrani Spanyol menguasai mereka. Berturut-turut kota-kota strategis jatuh ke tangan mereka. Dimulai dari Valecia, Cordoba, Murcia, dan Seville jatuh dalam waktu yang singkat. keadaan ini memaksa kaum muslimin untuk hijrah ke Kerajaan Granada di selatan Andalus. Sebuah kerajaan yang didirikan oleh Muhammad bin Yusuf an-Nashri. Yang laqobnya adalah Ibnu al-Ahmar. Kekuasaannya diteruskan oleh anak keturunannya hingga runtuh pada tahun 897 H.

Selama dua ratus tahun lebih, kerajaan kecil ini remuk redam menahan gempuran Nasrani Spanyol. Di tengah keterpojokan dan boikot, Granada berhasil bertahan secara mandiri. Mereka disokong oleh rakyat yang profesinya bervariasi. Mulai dari petani, pedagang, dan industry. Inilah yang menopang kekuatan ekonomi dan militer Granada.Selain itu, mereka juga mendapat bantuan dari Bani Marin di Maroko. Mereka sokong Granada dengan tantara dan persejataan untuk menghadapi orang-orang Spanyol.

Granada mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Muhammad V dari Bani Ahmar 763 H. Setelah itu terjadilah perpecahan dan perang saudara di tengah Bani Ahmar. Khususnya perselisihan antara Ali Abu Hasan dengan anaknya Abu Abdullah. Kerusakan di tubuh kerajaan pun tak terhindarkan. Di sisi lain, raja-raja Spanyol bersatu di bawah pimpinan Ferdiand dan Isabela. Mereka semua bersekutu menghadapi Granada.

Mulai tahun 895 H, orang-orang Spanyol tanpa ampun menggempur Granada. Akhirnya Granada menyerah. Tepatnya pada 21 Muharam 897 H. Runtuhlah benteng terakhir umat Islam di Andalusia itu. Dengan runtuhnya Granada, umat Islam menghadapi babak baru. Babak sejarah yang sangat memilukan untuk diceritakan. Jutaan umat Islam dibantai dan disiksa. Sebagian lainnya dipaksa murtad memeluk Kristen. Inilah halaman penutup dari 800-an tahun kekuasaan umat Islam di Andalusia.

Sumber:
– https://islamstory.com/ar/artical/20603/سقوط-غرناطة-الاندلس-المفقود

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6362-ringkasan-sejarah-800-tahun-kekuasaan-islam-di-andalusia-2-2.html

Ringakasan Sejarah 800 Tahun Kekuasaan Islam di Andalusia (1/2)

Granada adalah benteng terakhir umat Islam di Andalusia. Dengan runtuhnya Granada berakhir pula masa kekuasaan Islam di daratan Siberia itu. Delapan abad bukanlah waktu yang singkat. Kekuasaan Islam di Andalusia adalah kekuasaan terlama dalam sejarah negara dan kerajaan Islam.

Islam masuk ke Andalusia tahun 92 H. Saat itu Andalusia dikuasai oleh orang-orang Goth (Gothic). Dipimpin oleh Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad, kaum muslimin yang berada di Afrika Utara memasuki benua biru tersebut. Sejak awal masuk dan menguasai Andalusia, umat Islam langsung membangun pondasi-pondasi peradaban. Hingga Andalusia menjadi Menara ilmu dan agama di jantung Eropa.

Untuk memudahkan kita mengetahui sejarah panjang umat Islam di Andalusia, berikut ini kami sajikan periodesasi kekuasaan umat Islam di daratan Iberia itu.

Periode Pertama, Periode al-Wulat (Para Gubernur) 92-138 H.

Dalam kamus sejarah, periode pertama ini dikenal dengan istilah periode wulat. Wulat adalah jamak dari kata wali (pemimpin). Periode ini dimulai sejak penaklukkan Andalusia hingga berakhirnya Daulah Bani Umayyah. Pada awalnya, Andalusia adalah wilayah kekuasaan Daulah Umayyah yang ber-ibu kota di Damaskus. Di masa ini, Andalusia dipimpin sebanyak 23 gubernur Umayah. Kondisi awal ini adalah kondisi babat alas. Sampai-sampai sebagian gubernurnya gugur di medan jihad Eropa. Baik untuk mempertahankan wilayah maupun untuk perluasan. Periode ini ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Di antaranya:

Pertama: Merebaknya Isu Rasisme

Periode pertama ini ditandai dengan merebaknya sensitivitas ras di tengah pasukan perang. Antara ras Arab yang terdiri dari kabilah Qays, Yaman, dan wilayah lainnya. Dengan orang-orang Berber penghuni asli Afrika Utara. Isu ini menimbulkan permasalahan serius. Sampai mengakibatnya perang saudara. Dan tidak sedikit nyawa yang melayang. Gara-gara pertikaian ini, wilayah-wilayah utara Andalusia pun terlepas dari kekuasaan kaum muslimin. Pertikaian seperti ini menjadi sebab terbesar yang membuat runtuhnya Islam di Andalusia.

Kedua: Tersebarnya pemikiran Khawarij.

Masuknya pemikiran Khawarij dari Timur Tengah menuju Maroko dan Andalusia. Bani Umayyah terus menekan kelompok Khawarij dari Timur Tengah. Mereka pun melarikan diri menuju Afrika Utara. Kemudian mereka rangkul orang-orang Berber yang merasa tersubordinasi (direndahkan). Dengan tersebarnya paham Khawarij, muncullah pemberontakan. Pembangunan menjadi lambat. Karena ketidak-stabilan negara.

Ketiga: Habis Energi Untuk Perancis

Pada periode ini, umat Islam berulang kali umat Islam berusaha menaklukkan Perancis. Namun gagal. Puncaknya pada tahun 114 H, saat terjadi Perang Balath Syuhada. Sejumlah besar kaum muslimin gugur dalam perang ini. Hingga dinamakan Balath Syuhada (rumah para syahid). Di antara mereka yang gugur adalah seorang tabi’in Abdurrahman al-Ghafiqi.

Periode Kedua, Periode Daulah Umayyah II (138 – 238 H)

Periode ini adalah respon terhadap runtuhnya Daulah Umayyah di Damaskus. Kerajaan besar itu runtuh dikalahkan orang-orang Abbasiyah. Setelah runtuh di Damaskus, klan Bani Umayyah mengalami pembantaian besar-besaran. Tapi ada tokoh muda mereka yang selamat. Namanya Abdurrahman. Kelak ia dikenal sebagai Abdurrahman ad-Dakhil. Ia melarikan diri ke Andalusia. Kemudian berhasil mengkonsolidasi sisa-sisa kekuatan Umayyah di sana. Akhirnya, di usia yang sangat muda, 25 tahun, ia berhasil mendirikan Daulah Umayyah II di Andalusia.

Berdiri pada tahun 138, selama 100 tahun kedepan kerajaan ini dibangun oleh empat orang raja. Mereka adalah Abdurrahman yang mendapat laqob ad-Dakhil. Kemudian anaknya yang bernama Hisyam. Setelah itu, cucunya yang bernama al-Hakam. Beriktunya, cicitnya yang juga bernama Abdurrahman. Masa ini adalah masa keemasan Daulah Bani Umayyah II di Andalusia. Di masa ini terdapat beberapa peristiwa penting. Di antaranya:

Pertama: Pemberontakan yang terjadi berulang kali.

Pemberontakan di masa ini dipimpin oleh kabilah-kabilah Arab yang menolak tunduk pada Daulah Umayyah II yang berpusa di Cordoba. Pemberontakan-pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Abdurrahman ad-Dakhil.

Kedua: Serangan Dari Abbasiyah.

Setelah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah di Damaskus, Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad ingin menuntaskan misi mereka. Mereka juga hendak menaklukkan Daulah Umayyah yang baru berdiri di Andalus. Namun semua usaha yang mereka lakukan berakhir gagal.

Ketiga: Serangan Kerajaan Eropa

Melihat kuatnya negara Islam di Andalusia, kerajaan-kerajaan Eropa tak tinggal diam. Mereka mengadakan perlawanan. Di antaranya kerajaan Aragon dan Lyon. Mereka berupaya mengembalikan kekuasaan leluhur mereka, namun mereka bukanlah tandingan Daulah Umayyah kala itu.

Keempat: Masa Kejayaan

Abdurrahman ad-Dakhil berhasil membangun kerajaan yang kuat. Pemerintahan yang stabil dan kokoh. Militer yang disegani. Dan markas-markas angkatan bersenjata yang strategis. Kemudian kekuatan itu ia wariskan kepada anak-anaknya

Kelima: Pembangunan Yang Pesat

Di masa ini, khususnya di masa Abdurrahman II, terjadi pembangunan yang pesat. Kemakmuran tersebar. Bahkan sebagian hidup dengan mewah. Masa kejayaan ini lama-kelamaan membuat lalai. Muncullah tempat-tempat musik dan aktivitas yang sia-sia.

Keenam: Muncul seruan pemberontakan terhadap Daulah Umayyah II.

Periode Ketiga, Kemunduran Tahap Pertama (238-300 H)

Setelah muncul pemimpin-pemimpin kuat dan negara yang maju, sunnatullah berjalan. Tidak selamanya kejayaan itu hadir. Demikian juga dengan Daulah Umayyah II di Andalusia. Pada tahun 238 H, periode kemunduran dimulai. Inilah tahap pertama dari kemunduran umat Islam di Andalusia.

Di masa ini Daulah Umayyah II dipimpin oleh tiga orang raja. Tiga orang raja ini menghadapi pembeontakan di wilayah perbatasan. Mulailah muncul bayangan gelap di kerajaan Islam itu. Di antara peristiwa penting di masa ini adalah:

Pertama: Terjadi Disintegrasi

Banyak wilayah menyatakan merdeka dari kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba. Terutama wilayah utara dan selatan.

Kedua: Muncul Kembali Isu Ras.

Konflik antara ras Arab dan Berber kembali muncul. Khususnya di wilayah bagian selatan kerajaan.

Ketiga: Muncul Pemberontakan dari Keturunan Arab

Muncul pemberontakan dari orang-orang keturunan Arab. Mereka adalah orang-orang Spanyol yang merupakan keturunan dari pernikahan orang Arab dan Berber. Keturunan Arab dan Berber yang memeluk Islam disebut al-Maulud. Sedangkan keturunan mereka yang tetap memegang agama Nasrani dikenal dengan al-Musta’rob. Kelompok terakhir inilah yang kemudian menjadi duri dalam daging dalam sejarah umat Islam di Andalusia.

Periode Keempat, Kembali Masa Kejayaan (300-368 H)

Periode keempat ini Daulah Umayyah II memperpanjang nafas kejayaan mereka. Namun tak berjalan lama, hanya enam puluh delapan tahun saja. Hanya dua raja yang berkuasa di masa ini, Abdurrahaman an-Nashir dan putranya, al-Hakam al-Mustanshir. Abdurrahman an-Nashir berhasil mengembalikan kejayaan Islam di Andalusia setelah kelesuan yang terjadi sebelumnya. Ia juga menjalin kembali persatuan yang sebelum terkoyak.

Karena kekuatan yang besar dan legalitas yang kuat, Abdurrahman an-Nashir sampai disebut sebagai seorang khalifah. Ia berhasil memperluas wilayah, memajukan kerajaan, dan menyebarkan ilmu.

Periode Kelima, Masa al-Hajib al-Manshur (368-399 H)

Masa ini adalah periode terbaik yang belum pernah dicapai di masa-masa sebelumnya. Pada masa ini, orang yang menjalankan pemerintahan adalah al-Hajib al-Manshur bin Abi Amir. Sementara Khalifah Hisyam hanya sebagai simbol semata. Hal ini disebabkan usianya yang masih begitu muda. Ia masih anak-anak yang berusia 10 tahun saat sang ayah, al-Hakam al-Mustanshir, wafat.

Al-Manshur adalah pemimpin terbesar dan terkuat yang pernah memimpin Andalusia. Kehebatannya melebihi Abdurrahman ad-Dakhil sekalipun. Jihad fi sabilillah begitu kuat di zaman ini. Al-Manshur memimpin hingga 50 pertempuran melawan Nasrani Spanyol. Tak sekalipun ia mengalami kekalahan. Untuk pertama kalinya seluruh wilayah Spanyol dikuasai oleh kaum muslimin. Dengan pencapaian yang demikian hebat, masih saja ada orang yang tak mendukungnya. Bahkan memeranginya.

Pada tahun 392 H, al-Hajib al-Manshur wafat. Kedudukannya digantikan oleh anaknya, Abdul Malik. Sang anak pun sukse meneruskan pemerintahan ayahnya hingga tahun 399 H. Setelah itu Andalus dirasuki oleh kemunafikan dan kegelapan dalam masa yang panjang.

Sumber:
– https://islamstory.com/ar/artical/20603/سقوط-غرناطة-الاندلس-المفقود

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6357-ringakasan-sejarah-800-tahun-kekuasaan-islam-di-andalusia-1-2.html#more-6357

Kisah Umayyah bin Khalaf yang Tergila-gila Harta

Harta adalah segala-galanya bagi  Umayyah bin Khalaf. Sejak kecil, dia telah dikenalkan bahwa uang adalah Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan oleh apa pun. Ayahnya, Wahab bin Hudzafah, adalah seorang pedagang Quraisy yang paling kaya dan paling beruntung dalam perdagangan di Jazirah Arabia.

Dia adalah Umayyah bin Khalaf bin Safwan, seorang pemimpin Quraisy dan ketua Bani Jumah yang terkemuka. Umayyah belajar banyak dari sang ayah. Tak heran bila kemudian dia besar menjadi pedagang yang kikir dan senang menumpuk kekayaan.

Dia pun dapat menguasai harta kekayaan yang banyak hingga merasa kuat dan berpandangan bahwa harta adalah nilai tertinggi dalam kehi dupan. Sementara, nilai manusia dan kebenaran dipandang rendah.

Salah satu bisnisnya adalah membodohi rombongan penyembah berhala di Ka’bah. Pada masa itu, ribuan orang dari seluruh Jazirah Arab rela menyeberangi gurun pasir untuk datang secara berkala ke Makkah guna menemui berhala dan arca.

Mereka akan datang sambil membawa buah-buahan dan barang berharga guna menyenangkan para juru kunci Ka’bah, salah satunya Umayyah. Umayyah merasakan betapa tingginya nilai berhala tersebut.

Dari berhala itulah rezeki datang kepadanya. Dia dapat meraih harta kekayaan tanpa kesulitan dan keletihan. Bagi Umayyah, berhala adalah gudang harta yang tidak pernah surut, sumber rezeki yang tidak pernah habis, dan sumber kekayaan yang harus dipelihara walaupun harus mengorbankan raga dan nyawa.

 

Hal itu terus berlangsung hingga Nabi Muhammad datang membawa ajaran yang menyapu se gala bentuk politeisme dan khu ra fat di Tanah Arab. Rasulullah mengajak penduduk bumi untuk menghamba kepada ketauhidan yang murni dan meminta mereka agar menyingkirkan berhala dan arca sebab benda-benda mati tersebut tidak dapat mendengar, memahami, dan memberi mamfaat.

Tentu saja ajaran Rasulullah itu menjadi ancaman bagi penghidupan Umayyah, mata air kekayaannya. Pada saat itulah Umayyah dan para juru kunci Ka’bah lainnya seperti merasakan bahwa bumi mulai bergoncang di bawah kaki mereka. Bahwa, kekuasaannya mendekati kepunahan serta menuju kehancuran.

Maka, dengan sekuat tenaga mereka menentang dakwah baru itu dengan segala cara, termasuk dengan menuduh isi dakwahnya sebagai sihir, perbuatan gila, dan kadang-kadang menuduhnya sebagai praktik perdukunan. Anak- anak Umayyah pun mengikuti jejak ayahnya.

Umayyah kemudian pergi menemui Nabi Muhammad untuk membuat sebuah kesepakatan. Muhammad marilah menuju ke sepakatan, kami akan menyem bah apa yang kamu sembah dan kamu juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kita sama-sama dalam satu perkara. Jika yang kamu sembah itu lebih baik daripada yang kami sembah, berarti kami telah meraih bagian kami dari kebaikan itu. Jika apa yang kami sembah itu lebih baik daripada yang kamu sembah, berarti kami telah meraih bagian dari kebaikan itu, ujarnya.

Negosiasi tersebut gagal karena Rasulullah tak sedikit pun terpengaruh oleh apa yang dika takannya. Seiring gagalnya upaya tersebut, Umayyah pun memutar otak dan mencari jalan lain untuk menghentikan dakwah yang dijalankan Rasulullah.

Mencegat Rasulullah Dia dan orang Quraisy lainnya akan tidur di seputar rumah Rasulullah agar beliau tidak bisa keluar rumah dan menyebarkan ajarannya. Namun, muslihat dan tipu dayanya gagal. Rasulullah tetap bisa keluar rumah dengan mudah. Dikisahkan, Rasulullah mengambil segenggam pasir lalu menebarkannya kepada mereka sambil berdoa.

Rasulullah pun berlalu sedang mereka terlelap tidur. Akhirnya, salah seorang di antara penduduk Makkah memeriksa me reka. Siapa yang kalian tunggu? ujar nya. Muhammad, jawab mereka. Orang itu kemudian berkata, Merugilah dan gagallah kalian! Demi Allah, dia telah pergi dengan melewati kalian.

“Dia menaburkan pasir kepada kalian,” ujarnya dengan kesal.

Tak henti di situ saja, Umayyah senantiasa berada di balik kekacauan yang ditebarkan oleh kaum Quraisy untuk menimbulkan keraguan terhadap Rasulullah dan risalahnya. Sejumlah propaganda diembuskannya. Dia pernah berkata, Apakah wahyu itu diturukan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang pendusta lagi sombong.

Lain waktu Umayyah beretorika, Mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat dan kalau kami turunkan seorang malaikat tentu selesailah semua urusan itu kemudian mereka tidak diberikan sedikit pun.

Rasulullah bersabar dan memikul cacian mereka serta mengambil pelajaran dari para rasul terdahulu.

Beliau percaya betul bahwa orang- orang yang memperolok tersebut akan menerima balasannya pada waktu yang dekat dari Allah. Dan, sungguh telah diperolok-olokan beberapa orang rasul sebelum kamu.

Maka, turunlah kepada orang yang mencemoohkan rasul-rasul itu azab yang selalu mereka perolok- olokkan, demikian bunyi ayat ke- 41 dari surah al-Anbiyaa.

Kepongahan Umayyah mencapai puncaknya pada beberapa hari sebelum Perang Badar. Saat itu, seorang temannya, Sa’ad bin Muadz, singgah di rumah Umayyah dalam perjalananya umrah dari Madinah ke Makkah. Menjelang tengah hari, Sa’ad mengatakan kepada Umayyah untuk melakukan tawaf. Namun, Umayyah menghalanginya. Dia tidak membiarkan Sa’ad untuk melaksanakan ibadahnya dan bersikap tidak sopan pada pemimpin Quraisy ketika itu, Abu Jahal.

Sa’ad terbakar amarah. Biarkan kami, wahai Umayyah! Sesung guhnya aku telah mendengar Rasulullah mengatakan bahwa mereka (umat Islam–Red) akan membunuhmu! Umayyah membalas dengan berkata, Di Kota Makkah? Sa’ad berkata, Aku tidak tahu. Maka, Umayyah sangat ketakutan karena hal tersebut. Dia bahkan tidak berani untuk keluar dari Kota Makkah.

Namun, ketika akan terjadi Perang Badar, Abu Jahal memaksanya untuk ikut berperang. Umayyah tidak punya pilihan selain ikut berperang. Dalam peperangan itu lah, Umayyah terbunuh. Kisah Umayyah yang tergila-gila harta hingga berupaya untuk menghancurkan Islam ini direkam Allah dalam surah al-Humazah ayat 1-9.

Kecelakaanlah bagi setiap pe ngumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan berulang- ulang menghitung kekayaannya. Ia menyangka bahawa hartanya itu dapat mengekalkannya (dalam dunia ini)! Tidak! Sesungguhnya, dia akan dicampakkan ke dalam al-Hutamah. Dan, apakah eng kau mengetahui apakah itu al-Hu tamah?(al-Hutamah) ialah api yang dinyalakan. Yang naik menjulang ke hati. Sesungguhnya, api neraka itu ditutup rapat atas mereka; (mereka terikat di situ) pada batang-batang palang yang melintang panjang.

 

Menjual Bilal Terlalu ‘Murah’

Umayyah bin Khalaf tidak hanya mengganggu upaya dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saja, dia juga menghalang-halangi mereka yang terbuka hatinya untuk menerima kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah.

Umayyah pernah menyiksa seorang budak yang memeluk Islam, yaitu Bilal bin Rabah. Umayyah pernah membaringkan Bilal di atas padang pasir yang panas membakar ketika matahari sedang terik sambil menindih batu besar di atas dadanya.

Sehingga, Bilal tidak dapat menggerakan badannya sedikit pun.

Pada malam harinya, Bilal diikat dengan rantai, kemudian dicambuk terus menerus hingga badannya luka-luka. Pada siang harinya, dia dibaringkan kembali di atas padang pasir yang panas.

“Apakah kamu bersedia mati dalam keadaan seperti ini? Ataukah kamu mau terus hidup, dengan syarat kamu tinggalkan agama Islam? ujar Umayyah. Walaupun Bilal disiksa seperti itu, ia berkata, Ahad!!! Ahad!!! sebagai wujud pengakuan atas keesaan Tuhan.

Umayyah memaksa Bilal agar memuji Latta dan Uzza yang patungnya memenuhi pelataran Ka’bah. Tapi, Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya dan Bilal menjawab, Lidahku tidak bisa mengatakannya. Jawaban ini membuat siksaan yang diterimanya semakin hebat dan keras. Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, Umayyah akan mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang jalanan Makkah.

Penderitaan Bilal berakhir ketika Abu Bakar mengajukan penawaran kepada Umayyah untuk membeli Bilal. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqyah emas, dengan nilai sekarang sekitar Rp 150 juta.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqyah pun maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya. Abu Bakar membalas, Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqyah pun aku tidak akan ragu membelinya.

Shalahuddin Al Ayyubi dan Penyebaran Akidah Al Asy’ariyah

SHALAHUDDIN AL AYYUBI disamping masyhur sebagai seorang mujahid besar pembebas Al Quds, Shalahuddin Al Ayyubi juga memiliki andil dalam hidupnya gerakan keilmuan di berbagai cabangnya di waktu itu, termasuk ilmu aqidah.

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki perhatian besar terhadap masalah aqidah, dimana Qadhi Ibnu Syaddad menyampaikan,”Ia memiliki akidah yang lurus, banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Akidahnya diperoleh dalil- dalil, dengan perantara melalui pembahasan bersama para ahlul ilmi dan para ulama besar.” (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Shalahuddin Al Ayyubi sendiri dalam akidah menganut akidah Al Asy’ari, dimana Ash Shafdi berkata,”Ia (Shalahuddin Al Ayyubi) bermadzhab Asy Syafi’i. Al Asy’ari dalam aqidah, dan  mentalqinkan akidah Al Asy’ari kepada anak-anaknya dan melazimkan mereka belajar di atas akidah tersebut.” (Al Wafi bi Al Wafayat, 29/48)

Para ulama pun mengetahui bahwa Shalahuddin sebagai penguasa amat memperhatikan masalah akidah, hingga mereka pun memberikan dukungan akan hal itu. Quthbuddin An Naisaburi, seorang ulama faqih madzhab Asy Syafi’i telah menyusun kitab aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi, dan karena antusiasnya, Shalahuddin Al Ayyubi pun hafal dengan baik kitab tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Dalam hal ini Ibnu Syaddad berkata,”Aku menyaksikan Shalahuddin mengajarkannya kepada anak-anaknya, sedangkan mereka menyampaikan dengan hafalan kepadanya.”( An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Bukan hanya Quthbuddin An Naisaburi, seorang faqih yang menjadi rujukan di Mesir, Muhammad Hibatullah bin Makki Al Hamawi telah menyusun nadzam aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi yang bernama Hadaiq Al Fushul wa Jawahir Al Ushul. (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 7/23)

Termasuk dalam rangka membentengi akidah Shalahuddin amat menjaga akidah para penuntut ilmu, dimana ia mensyaratkan gurunya berakidah Al Asya’riyah. Al Allamah Abdul Qadir Badran berkata,”Shalahuddin mengajak masyarakat kepada akidah Syeikh Abu Hasan Ali bin Isma`il Al Asy’ari, dan mansyaratkan siapa yang mengelola wakaf di Mesir harus berakidah Al Asy’ari, termasuk madrasah As Shalahiyah, Al Qamhiyah dan khaniqah Sa’id As Su’ada di Kairo. Dan keadaan itu terus berlangsung di Mesir, Hijaz dan Yaman”. (Manadimah Al Athlal wa Masamirah Al Khayal, hal. 75)

Menghapus Akidah Syi’ah dengan Al Asy`ari

Dengan menyebarnya akidah Al Asy’ariyah, Shalahuddin Al Ayyubi berhasil mengikis habis akidah Syi’ah yang pernah berkuasa di Mesir dan Syam sebelumnya pada waktu itu. Al Jabrati berkata,”Dan An Nashir Yusuf menampakkan syariat Nabi Muhammad dan membersihakn wilayah Mesir dari bid’ah-bid’ah, ajaran Syi’ah, serta aqidah yang rusak dan menonjolkan akidah Ahlu As Sunnah wa Al Jama’ah, yaitu aqidah Al Asy’ariyah dan  Al Maturidiyah. (Al Aja`ib Al Atsar li Al Jabarti, 1/10)

Gerakan Panjang Kuatkan Aqidah

Bahkan Shalahuddin Al Ayyubi berupaya keras dalam menguatkan akidah umat pada waktu itu dengan beberapa kebijakannya, dalam hal ini Al Hafidz As Suyuthi, menyatakan,”Ketika Shalahuddin bin Ayyub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini”. (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal. 15)

Di masa Imam As Suyuthi, tradisi melantunkan akidah Al Asy’ariyah masih berlaku, padahal ulama besar ini wafat tahun 911 H. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh madzhab Al Asy’ari sangat kuat dipegang di wilayah yang pernah dikuasai oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada waktu itu.

Daulah Al Ayyubiyah dan Aqidah Al Asy’ari

Bukan hanya Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki perhatian besar terhadap masalah akidah, penguasa-pengausa Daulah Al Ayyubiyah setelahnya pun memiliki sikap yang sama. Malik Al Adil yang merupakan saudara Shalauddin yang menjadi penguasa setelahnya pun memiliki perhatian terhadap akidah, hal ini terlihat bagaimana hubungan dekatnya dengan Imam Fakhruddin Ar Razi yang merupakan ulama penganut Al Asy’ariyah, hingga Imam Fakhuruddin Ar Razi mencatat dalam muqadimah kitabnya Ta’sis At Taqdis, bahwasannya ia membuat kitab itu untuk hadiah bagi Malik Adil Al Ayyubi, yang ia sebut sebagai seorang pemimpin mujahid. (lihat, muqaddiman Asas At Taqdis, hal. 10 dan 11)

Demikian juga yang terlihat pada penguasa Damaskus Malik Al Asyraf, yang tidak lain merupakan putera dari Malik Al Adil, dimana ia mensyaratkan siapa yang mengajar di Dar Al Hadits Al Asyrafiyah haruslah bermadzhab Al Asy’ari. Sebagaimana disebutkan oleh Taj As Subki bahwasannya Al Hafidz Al Mizzi, yang merupakan mertua dari Al Hafidz Ibnu Katsir tidak menduduki kursi Dar Al Hadits kecuali telah menulis pernyataan bahwa akidahnya Al Asy’ari. (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 10/200)

Pengajar Dar Al Hadits Al Asyrafiyah sendiri  adalah para ulama besar yang juga menghasilkan para ulama besar di bidang hadits. Diantara para ulama yang mengajar di sekolah ini adalah, Al Hafidz Ibnu Shalah, Al Hafidz Abu Syamah, Imam An Nawawi, Al Hafidz Al Mizzi, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki, Al Hafidz Ibnu Katsir dan lainnya. (Lihat, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, 1/15-36)

Dengan kondisi demikian, maka posisi madzhab Al Asy’ari amatlah kuat di wilayah-wilayah Al Ayyubiyyah. Dengan demikian, terlihatlah peran Shalahuddin Al Ayyubi beserta para penguasa setelahnya di dinasti Al Ayyubiyah  dalam penyebaran akidah Al Asyariyah di dunia Islam. Namun tentu saja Shalahuddin Al Ayyubi tidak melakukan sendiri, namun hal itu merupakan gerakan kolektif bersama para ulama di waktu itu.

 

HIDAYATULLAH

Saat Tha’if Dikepung 40 Hari

PERANG ini pada hakekatnya merupakan perpanjangan dan kelanjutan dari perang Hunain. Sebab mayoritas pelarian Hawazin dan Tsaqif masuk ke Tha’if bersama komandan tertinggi mereka, Malik bin Auf An-Nashri. Mereka bertahan di sana. Karena itu Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam beranjak ke Tha’if seusai dari Hunain dan setelah rampung mengumpulkan harta rampasan di Ji’ranah.

Khalid bin Walid berangkat lebih dahulu ke sana bersama 1.000 prajurit, kemudian Rasulullah menyusul dengan melewati Nakhlah Al-Yamaniyah, Qarnul Manazil, hingga tiba di Liyyah. Di sana ada benteng milik Malik bin Auf. Beliau memerintahkan untuk menghancurkan benteng tersebut.

Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Tha’if. Beliau berhenti tak jauh dari benteng mereka dan berkubu di sana. Kemudian beliau memerintahkan untuk mengepung benteng tersebut.

Pengepungan ini berjalan cukup lama. Dalam riwayat Muslim dari Anas, tempo pengepungan ini selama 40 hari. Tetapi menurut para penulis sejarah, tidak selama itu. Pada awal pengepungan, orang-orang Muslim mendapatkan serangan anak panah secara gencar.

Cukup banyak orang Muslim yang cedera. Ada 12 orang meninggal dunia, hal ini memaksa mereka mengalihkan kubu ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya di tempat yang didirikannya masjid Tha’if saat ini. Mereka pun bermarkas di sana.

Nabi memasang Manjaniq ke arah penduduk Tha’if di dalam benteng dan melontarkan peluru-peluru batu, hingga dapat merontokkan sebagian dinding benteng dan beberapa prajurit Muslim masuk ke dalam benteng lewat dinding yang sudah terlubangi itu.

Mereka masuk ke arah pagar benteng untuk membakarnya. Tetapi musuh melontarkan besi yang sudah dibakar panas dan juga serangan anak panah ke arah orang-orang Muslim yang masuk ke dalam benteng hingga dapat membunuh sebagian di antara mereka.

Sebagai bagian dari siasat perang, Rasulullah memerintahkan untuk menebangi pohon anggur dan membakarnya. Karena cukup banyak pohon anggur ditebangi, pihak musuh dari Tha’if memohon atas nama Allah dan hubungan kerabatan, agar penebangan itu dihentikan. Beliau mengabulkan permohonan mereka. Lalu beliau berseru, ”Siapa pun yang mau turun dari benteng dan datang ke sini, maka dia bebas.”

Ada 20 orang turun dari benteng dan mendatangi pasukan Muslim. Di antara mereka ada yang dijuluki Abu Bakhra. Pekerjaannya memanjat dinding benteng Tha’if, lalu menjulurkan kerekan bundar untuk mengambil air minum. Maka ia dijuluki Abu Bakrah (tukang kerek).

Beliau membebaskannya dan setiap orang di antara mereka diserahkan kepada seorang Muslim untuk diberi makan.

Setelah pengepungan berjalan sekian lama dan benteng tidak mudah ditaklukkan begitu saja, sementara musuh bisa bertahan di dalam benteng selama setahun, maka Rasulullah meminta pendapat Naufal bin Mu’awiyyah Ad-Dili. Dia berkata, ”Mereka adalah rubah di dalam lubang. Jika engkau tetap mengepung mereka, maka mereka pun tidak akan berbahaya.”

Beliau pun bermaksud hendak meninggalkan benteng dan pergi. Beliau memerintahkan Umar bin Al-Khattab mengumumkan kepada orang-orang, ”Insya Allah besok kita akan pergi.”

Tetapi ada di antara mereka yang keberatan dengan rencana ini. Mereka berkata, ”Maka kita pergi begitu saja dan tidak menaklukkannya?”

“Kalau begitu serbulah mereka!” sabda beliau.

Tetapi justru serbuan yang mereka lakukan mengakibatkan banyak orang terluka, karena benteng musuh memang cukup kuat. Maka beliau bersabda, “Insya Allah besok kita akan pergi.”

Perintah ini justru membuat mereka merasa senang. Karena itu mereka pergi. Melihat hal ini beliau hanya bisa tersenyum. Setelah mereka beranjak pergi, beliau bersabda, ”Ucapkanlah, ’Kami pasrah, bertaubat, menyembah dan kepada Rabb kami memuji.’”

Ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, berdoalah bagi kemalangan Tsaqif.”

Maka beliau bersabda,”Ya Allah, berikanlah petunjuk bagi penduduk Tsaqif dan limpahilah mereka.”*/Sudirman STAIL (sumber buku: Sirah Nabawiyah, penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

 

HIDAYATULLAH

Buku-Buku Sejarah Islam Perlu Direvisi

Ketua Umum Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga, Syarief Rahmat menilai banyak terjadi pengaburan sejarah Islam nusantara. Menurutnya, hal ini bisa ditemukan di berbagai buku sejarah dan lainnya yang selama ini masyarakat Indonesia pelajari saat sekolah.

“Begitu banyak sejarah Indonesia terutama Islam yang telah mengalami pengaburan karena adanya intervensi suatu pihak dan sebagainya,” ungkap Syarief Rahmat saat Seminar Nasional di UIN Jakarta dengan tema ‘Menelusuri Indikasi Pengaburan Sejarah Islam Nusantara’, Kamis (12/3).

Syarief menjelaskan dalam makalahnya mengenai temuan pengaburan sejarah Islam Nusantara. Dia mengaku telah menemukan pengaburan di dalam sebuah buku yang berjudul Pembahasan  Tuntas Perihal Khilafiyah pada halaman 681. Menurutnya, pengungkapan buku yang menjelaskan nama ‘Paseban’ berasal dari kata ‘Ba Syaiban’ itu keliru.

Menanggapi kekeliruan tersebut, Syarief pun langsung memberikan penjelasan atas pengaburan informasi yang bersejarah itu. Menurutnya, ‘Paseban’ itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat pertemuan dengan raja. Syarief mengaku ini merupakan salah satu bukti adanya pengaburan sejarah Islam Nusantara.

Dengan adanya kondisi demikian, Syarief menilai bahwa buku-buku sejarah terutama berkaitan dengan Islam Nusantara perlu direvisi. Sebelumnya, hal ini sebaiknya didiskusikan terlebih dahulu dengan para cendekiawan dan ulama.

“Mudah-mudahan pemerintah bisa membuat buku sejarah terbaru, terbersihkan, yang sudah direvisi, dan bebas dari campur tangan pihak manapun,” tutupnya.

 

sumber: Republika Online

Khalid bin Walid, Panglima yang Sempurna

Ketika Khalid bin Walid masuk Islam, Rasulullah sangat bahagia karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat membela panji-panji Islam.

Adanya Khalid di barisan Kaum Muslimin meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan Khalid diangkat menjadi panglima perang dan menunjukkan hasil kemenangan.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid ditunjuk menjadi panglima yang memimpin sebanyak 46.000 pasukan, Khalid tak gentar menghadapi tentara Byzantium dengan jumlah pasukan mencapai 240.000.

Uniknya, Khalid malah khawatir tidak bisa mengendalikan hatinya karena pengangkatannya dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Yarmuk itu.

Dalam Perang Yarmuk, jumlah pasukan Islam yang dipimpin Khalid bukan saja tidak seimbang dengan musuh. Khalid memimpin pasukan  tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih plus kualitas yang rendah.

Ini berbeda dengan angkatan perang Romawi yang bersenjata lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Hanya, bukan Khalid namanya jika tidak mempunyai strategi perang.

Khalid membagi pasukan Islam menjadi 40 kontingen dari 46.000 pasukan Islam untuk memberi kesan seolah-olah pasukan Islam terkesan lebih besar dari musuh.

Strategi Khalid ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah.

Heraklius telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Ini dilakukan agar mereka jangan sampai lari dari peperangan.

Kegigihan Khalid dalam memimpin pasukannya membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.

Perang yang dipimpin Khalid lainnya adalah perang Riddah (perang melawan orang-orang murtad). Perang  ni terjadi karena suku-suku bangsa Arab tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Abu Bakar di Madinah. Mereka menganggap, perjanjian yang dibuat dengan Rasulullah batal setelah Rasulullah wafat.

Mereka pun menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan. Maka Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menjadi jenderal pasukan perang Islam untuk melawan kaum murtad tersebut. Khalid berhasil memberikan kemenangan.

Masih pada pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hirah pada 634 M. kemudian Khalid bin Walid diperintahkan oleh Abu Bakar meninggalkan Irak untuk membantu pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid.

Diantara peperangan, terselip kisah  menarik dari Khalid bin Walid.  Meski dikenal sebagai ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya, Khalid bukan orang sombong. Dia pun berlapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Hal ini ditunjukkannya saat Khalifah Umar bin Khathab mencopot sementara waktu kepemimpinan Khalid bin Walid tanpa ada kesalahan apa pun. Menariknya, ia menuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan kepada penggantinya, Abu Ubaidah bin Jarrah.

Khalid tidak mempunyai obsesi dengan ketokohannya. Dia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai sebuah perjuangan dan semata-mata mengharapkan ridha Sang Maha Pencipta. Itulah yang ia katakan menanggapi pergantiannya, “Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!”

Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid tetap prima. Itulah nilai ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasulullah seperti Khalid bin Walid.

Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil oleh Sang Khaliq. Umar bin Khathab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya “Si Pedang Allah” menempati posisi khusus di sisi Allah SWT.

 

sumber: Republika Online

Batik Trusmi dan Perkembangan Islam Nusantara

CIREBON– Batik trusmi yang merupakan batik khas dari kota cirebon memiliki sejarah yang menarik. Menurut salah satu pengrajin batik Trusmi, Iman, awalnya batik Trusmi bukanlah sebuah produk komersil.

Menurut dia batik trusmi awalnya digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Dahulu buyut Trusmi mengizinkan siapa saja yang ingin belajar batik. Akan tetapi memiliki syarat yaitu harus mengucapkan dua kalimat syahadat.

Terus berkembang lagi, batik trusmi digunakan untuk para raja di keraton, Seiring berkembang zaman, batik trusmi mulai menjadi produk komersil dan diperjual belikan seperti saat ini. Berikut penjelasan lengkapnya.

Videografer: Fian Firatmaja
Video Editor: Casilda Amilah

sumber: Republika Online

berikut videonya: