Benarkah Berhubungan Intim pada Malam Jumat Sunah Rasul?

BincangSyariah.Com –  Jamak diketahui oleh masyarakat kita bahwa berhubungan intim malam jumat merupakan sunah rasul, Benarkah demikian?

Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, tidak ditemukan dalam nash baik Alquran ataupun hadis yang menunjukkan secara jelas akan kesunahan berhubungan intim pada malam jumat. Kecuali mungkin hadis yang menyinggung tentang mandi janabah berikut ini

قال صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari jumat seperti mandi janabah kemudian dia berangkat shalat jumat di waktu pertama, maka seperti berkurban unta.. (HR. Bukhari & Muslim)

Imam Nawawi mengartikan bahwa hadis ini menerangkan tentang cara mandi jumat dilakukan seperti mandi junub, akan tetapi ada juga sebagian ahli fikih mengartikannya dengan barang siapa yang mandi jumat bertepatan dengan mandi junub lalu pergi jumatan fadhilahnya seperti berkurban unta. Namun menurut mayoritas ulama, pemahaman hadis pertama yang lebih benar.

Karena itu Imam Nawawi menegaskan

وَقِيلَ: فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى الْجِمَاعِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ لِيَغْتَسِلَ فِيهِ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَالْحِكْمَةُ فِيهِ: أَنْ تَسْكُنَ نَفْسُهُ فِي الرَّوَاحِ إِلَى الصَّلَاةِ ، وَلَا تَمْتَدُّ عَيْنُهُ إِلَى شَيْءٍ يَرَاهُ، وَفِيهِ حَمْلُ الْمَرْأَةِ أَيْضًا عَلَى الِاغْتِسَالِ ذَلِكَ الْيَوْمَ ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى هَذَا، وَهُوَ ضَعِيفٌ أَوْ بَاطِلٌ، وَالصَّوَابُ الأول. انْتهى

Dan ada yang berpendapat bahwa dalam hadis tersebut terdapat isyarat agar berhubungan intim pada hari jumat dan mandi junub pada hari itu. Hikmahnya agar jiwanya tenang menuju shalat dan matanya tidak jelalatan pada apa yang ia pandang, dan wanita juga disunahkan mandi pada hari itu. Sebagian saudara kita berpendapat demikian, pendapat itu lemah dan tidak benar, yang benar adalah pendapat yang pertama. Selesai.

Demikian pula menurut Ibnu hajar, bahwa tasybih atau penyamaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyaman dalam hal taat cara mandi, bukan penyamaan dalam hal hukum, demikian menurut mayoritas ahli fikih.

Jadi hadis tentang mandi junub di atas, menerangkan kesunahan mandi di hari jumat serta keutamaan orang yang bersegera pergi shalat jumat. Hadis itu tidak ada kaitannya dengan kesunahan berhubungan intim pada hari jumat atau malam jumat. Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH

Menonton Film Porno, Apa Hukumnya dalam Islam?

Menonton film porno mendatangkan mudharat ketimbang manfaat.

Film porno semakin mudah diakses di tengah keterbukaan informasi saat ini. Bagaimana hukumnya seorang Muslim yang senang menonton film biru itu. Apakah tujuannya untuk pendidikan seks dan membangun kemesraan dengan istri, sah saja dilakukan? 

Jawaban berikut ini disampaikan Prof M Quraish Shihab, sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika

Hubungan seks dalam ajaran Islam sangat suci. Dalam surah Yasin ketika Allah menjelaskan keberpasangan makhluk-Nya, dimulai-Nya penjelasan itu dengan kalimat ”Mahasuci”.

 ”Maha suci Allah yang menciptakan pasangan-pasangan seluruhnya, dari jenis yang tumbuh di bumi, dari jenis mereka (manusia) maupun dari makhluk-makhluk yang mereka tidak ketahui.” (QS Yaassin [36]:36). 

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْأَزْوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ

Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa hubungan suami istri merupakan ibadah dan mereka memperoleh ganjaran dari Allah SWT bila melakukannya sesuai petunjuk agama. 

Dari sini Islam memberi tuntunan agar hubungan tersebut dilakukan dengan baik, dimulai dengan berdoa kepada Allah SWT agar dihindarkan dari setan dan semoga menghasilkan anak keturunan yang shaleh.

Nabi Muhammad juga menggarisbawahi agar hubungan tersebut tidak dilakukan dalam keadaan telanjang bulat seperti binatang. 

Rasulullah  SWT bersabda: Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan pasangannya, maka hendaklah dia menutup (auratnya) dan tidak telanjang sebagaimana keledai telanjang. (HR Ibnu Majah). ”Hindarilah telanjang, karena bersama kalian ada (malaikat) yang tidak meninggalkan kalian kecuali ketika buang air dan ketika seseorang bercampur dengan istrinya”. (HR Tirmidzi). Aisyah istri Nabi SAW menyatakan, ”Saya tidak pernah melihat dari beliau (auratnya).

Beliau pun tidak pernah melihat dari saya.” 

Nah, di sini dapat timbul pertanyaan apakah sabda tersebut dan semacamnya merupakan anjuran hingga tak berdosa melanggarnya, atau perintah, sehingga haram melakukannya?

 Dalam kitab-kitab hukum Islam, seperti Alfiqh ‘Alal Mazahib Al-Arba’ah dijelaskan bahwa ”berbeda-beda definisi perkawinan dalam pandangan ulama mazhab, namun kesemuanya dapat dikembalikan kepada satu makna yaitu bahwa: Akad pernikahan ditetapkan  Allah dan Rasul-Nya agar suami memiliki hak untuk memanfaatkan alat kelamin istri dan seluruh badannya dalam rangka memper kelezatan. 

Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa akad perkawinan adalah: ”Akad yang mengandung keban menikmati wanita dengan jalan bersetubuh, hubungan seks, ciuman dan lain-lain, dengan syarat bahwa wanita itu bukan mahram bagi pria tersebut, baik karena keturunan, persusuan, maupun periparan.

Akad ini, ditetapkan  agama hingga menghasilkan kepemilikan suami untuk meraih kenikmatan melalui istri dan kehalalan istri meraih kenikmatan dari suami. 

Yang perlu digarisbawahi dalam konteks pertanyaan di atas adalah kalimat-kalimat: memanfaatkan alat kelamin istri dan seluruh badannya dalam rangka memperoleh kelezatan serta keban menikmati wanita dengan jalan bersetubuh, hubungan seks, ciuman dan lain-lain. Ini berarti bahwa cara apapun yang digunakan  suami atau istri dalam rangka hubungan seks dapat dibenarkan dari segi hukum. 

Tapi tidak dari segi moral dan anjuran agama. Namun demikian perlu juga diingat bahwa Alquran menegaskan bahwa:

 نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

”Istri-istri kamu adalah ladang/tempat bercocok tanam untuk kamu, maka datangilah ladangmu bagaimana/kapan/di mana pun kamu sukai” (QS Al Baqarah [2]: 223). 

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hubungan seks harus dilakukan pada atau menuju ke jalan yang mengantar kepada kelahiran anak, bukan pada ‘jalan’ selainnya. Sedangkan kata ladang/tempat bercocok tanam pada ayat di atas mengecualikan kata di mana pun ‘yang tersebut di atas’. 

(QS Al Baqarah [2] 222) yang mengandung larangan bercampur dengan istri pada masa haidnya, mengecualikan kepada ‘kapan’ di atas. 

Adapun soal menonton film biru dan semacamnya, dengan dalih pendidikan seks, hemat saya sangat dibuat-buat. Kalau pun itu benar, maka ia tetap haram, lebih-lebih bagi muda-mudi, karena mudharrat yang diakibatkan berupa rangsangan yang dapat mengantar kepada perbuatan haram, jauh lebih besar dari ‘manfaat’ yang disebutkan itu. Memang boleh jadi ada yang membenarkan menontonnya dengan alasan bahwa yang ditonton hanya film yang berupa bayangan bukan kejadian sebenarnya. 

Tapi sekali lagi ini adalah alasan yang sangat lemah, karena ketetapan hukum Islam harus dikaitkan pula dengan dampak-dampaknya, yang tontonan tersebut dampak negatifnya tidak dapat disangsikan lagi. 

Bisa jadi ada juga yang dapat menoleransinya dalam batas tertentu bagi pasangan suami istri, yang tidak dapat melakukan hubungan seks, kecuali dengan rangsangan tersebut. Namun agaknya alasan ini pun, masih belum sepenuhnya dapat diterima  banyak ulama. Demikian. Wallahu a’lam

sumber : Harian Republika